Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, December 22, 2004

Ibuku, Tangguh!

Pernah suatu sore, ibu pulang dengan tapak kaki berdarah. Tertusuk kerikil, terangnya. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan semenjak pagi, wanita yang kasihnya tak terbilang nilai itu mengakhirinya dengan sedikit ringisan, “Tidak apa, cuma luka kecil kok,” tenang ibu.

Padahal, baru dua hari lalu beberapa orang warga yang tak satu pun saya mengenalnya membopong ibu dalam keadaan pingsan. Ternyata ibu kelelahan hingga tak kuat lagi berjalan. Bermil-mil ia mengetuk pintu ke pintu rumah orang yang tak dikenalnya untuk menawarkan jasa mengajar baca tulis Al Qur’an bagi penghuni rumah. Tak jarang suara hampa yang ia dapatkan dari dalam rumah, sesekali penolakan, dan tak terbilang kata, “Maaf, kami belum butuh guru mengaji.” Tapi ibu tetap tersenyum.

Sejak perceraiannya dengan ayahku, ibu yang menanggung semua nafkah lima anaknya. Pagi ia berjualan nasi dan ketupat bermodalkan sedikit keterampilan memasak yang ia peroleh selagi muda dulu. Menjelang siang ia memulai menyusuri jalan yang hingga kini takkan pernah bisa ku ukur, menawarkan jasa dan keahliannya mengajar baca tulis Al Qur’an. Selepas isya’ kami ke lima anaknya menunggu setia kepulangan ibu di pinggir jalan.

Sempat saya bertanya dalam hati, lelahkah ia?

Biasanya kami berebut untuk menjadi tukang pijat ibu, saya di kepala, abang di kaki, sementara kedua tangan ibu dikeroyok adik-adik. Kecuali si cantik bungsu, usianya kurang dari empat tahun kala itu. Bukannya ibu yang tertidur pulas, justru kami yang terlelap satu persatu terbuai indahnya nasihat lewat tutur cerita ibu.

Tengah malam saya terbangun, melihat ibu masih duduk bersimpuh di sajadahnya. Ia menangis sambil menyebut nama kami satu persatu agar Allah membimbing dan menjaga kami hingga menjadi orang yang senantiasa membuat ibu tersenyum bangga pernah melahirkannya. Saya ternganga sekejap untuk kemudian terlelap kembali hingga menjelang subuh ia membangunkan kami.

Selepas subuh, wanita yang ketulusannya hanya mampu dibalas oleh Allah itu meneruskan pekerjaanya menyiapkan dagangan. Sementara kami membantu ala kadarnya. Tak pernah saya melihat ia mengeluh meski teramat sudah peluhnya.

Satu tanyaku kala itu, kapan ia terlelap?

Pagi hari di sela kesibukannya melayani pembeli, ia juga harus menyiapkan pakaian anak-anak untuk ke sekolah. Sabar ia meladeni teriakan silih berganti dari kami yang minta pelayanannya. Wanita yang namanya diagungkan Rasulullah itu, tak pernah marah atau kesal. Sebaliknya dengan segenap cinta yang dimilikinya ia berujar, “abang sudah besar, bantu ibu ya.”

Ingin sekali kutanyakan, pernahkah ia berkesah?

***

Kini, setelah berpuluh tahun ia lakukan semua itu, setelah jutaan mil jalan yang ia susuri, bertampuk-tampuk doa dan selaut tangisnya di hadapan Allah, saya tak pernah, dan takkan pernah bertanya apakah ia begitu lelah. Karena saya teramat tahu, Ibuku tangguh.

Bayu Gautama
Happy Mother's Day, Mom...

Tuesday, December 21, 2004

Menciptakan Perbedaan

Belum lama saya berkenalan dengan dua wanita hebat di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Keduanya adalah bagian dari relawan yang memberikan pelajaran baca tulis kepada anak-anak jalanan dan juga anak-anak pemulung di beberapa tempat di Jakarta. Secara pribadi, saya –yang pernah besar di jalan- sangat tertarik dengan aktivitas para relawan ini. Tidak sekadar mengisi waktu sisa, tak juga sebatas aktualisasi diri. Tapi saya yakin, lebih dari semua itu, apa yang mereka lakukan juga membedakan mereka dengan kebanyakan orang di muka bumi ini yang tak peduli dengan masa depan dan pendidikan anak-anak jalanan.

Persaingan hidup, kadang menjebak kita pada rutinitas harian yang melelahkan. Bahkan hampir-hampir tak ada waktu tersisa selain untuk mengisi keperluan dan kebutuhan pribadi. Bangun pagi, sarapan kemudian berangkat ke kantor bekerja hingga sore bahkan larut. Kembali ke rumah dan merapatkan diri di pembaringan. Kalau pun ada aktivitas lain, ya masih bagian dari kepentingan diri, ibadah, jalan-jalan dengan keluarga, belanja, dan sebaris jadwal lainnya, yang kesemuanya: pribadi.

Jika itu yang kita lakukan, tentu kita tak bedanya dengan milyaran manusia di belahan bumi mana pun. Yang terus menerus terjebak dengan rutinitas hidup demi pemenuhan kebutuhan individu. Kita, tak bedanya dengan orang biasa yang mengejar prestasi pribadi, yang hasilnya pun hanya dirasakan sendiri. Padahal jika hanya demikian, sekali lagi, kita tak bedanya dengan milyaran kepala di bumi ini.

Nilai hidup tidak ditentukan oleh berapa banyak uang yang berhasil kita kumpulkan di tabungan pribadi. Tidak juga diukur dari tingkat dan gelar pendidikan yang sudah diraih. Dan saya sendiri tak pernah ‘angkat topi’ melihat jabatan di kartu nama seseorang yang baru saja saya kenal. Hidup akan memiliki nilai jika ada peran serta kita terhadap kehidupan orang lain. Semakin banyak orang lain yang tersentuh oleh keberadaan kita, semakin besarlah nilai hidup kita.

Apapun bisa kita lakukan untuk menjadikan hidup ini bernilai. Semakin banyak yang bisa kita perbuat untuk orang lain, tentu hidup ini akan semakin berarti. Semangat inilah yang kemudian membaluri seluruh sendi dan aliran darah di tubuh saya untuk menciptakan perbedaan dengan mencoba lebih banyak berbuat untuk orang lain, tentu dengan cara saya sendiri. Dan saya yakin, setiap manusia di muka bumi ini bisa dengan mudah menciptakan perbedaan itu untuk menambah nilai hidupnya.

Seperti dua sahabat baru saya di Stasiun Gambir itu, jejak langkahnya yang seringan kapas, kesabarannya mengajar takkan pernah bisa terlupakan oleh anak-anak jalanan itu. Mereka telah menciptakan sebuah perbedaan dengan apa yang mereka lakukan itu. Tentu tanpa perlu bertanya, saya yakin, hidup mereka jauh lebih berarti. Tak sekadar berarti untuk diri sendiri, atau keluarga. Tapi teramat berharga bagi orang-orang yang pernah disentuhnya.

Kini, saya pun selalu mengenang sebuah momentum di tahun 1983 ketika kakek saya meninggal dunia. Rumah keluarga besar kami tak hanya dipenuhi dengan keluarga, sahabat maupun kerabat dekat kakek. Ratusan anak yatim piatu dari beberapa panti asuhan ikut berjejal dan berebut untuk mencium wajah bersih kakek saya dan menghantarkan jasadnya ke tempat terakhir.

Teramat banyak daftar orang-orang yang telah menciptakan perbedaan dan membubuhkan nilai untuk hidupnya. Sehingga pada saat hidupnya berakhir, kenangan tentang dirinya takkan pernah berakhir, sampai kapan pun. Itu bisa dibuktikan dengan seberapa banyak orang yang antri untuk ikut sholat jenazah.

Inilah yang menjadi cita-cita terakhir saya, semoga.

Bayu Gautama

Monday, December 20, 2004

Antara Monas dan Gambir

Anda tentu tahu Monas, bagi orang Jakarta Monas bukanlah tempat asing. Setiap hari, salah satu monumen kebanggaan bangsa Indonesia yang kini lebih "aman" itu kerap dikunjungi wislok alias wisatawan lokal. Kalau boleh saya bilang, kadar lokalnya tuh, LOKBANG, lokal banget, karena emang kebanyakan warga yang tinggalnya gak jauh dari kota Jakarta saja yang mengunjunginya.

Secara geografis, Monumen yang katanya berhias emas di bagian paling ujungnya itu bersebelahan dengan Stasiun Gambir. Stasiun internasional milik bangsa Indonesia. Dan lagi-lagi, sebagian Anda juga pasti tak asing dengan Stasiun yang satu ini. Terutama bagi Anda yang sering menggunakan jasa transportasi Kereta Api untuk melancong ke luar kota dengan tujuan pulau Jawa.

Nah, di antara Stasiun Gambir dan komplek Monas itu ada sebuah lahan parkir yang juga jadi tempat para tentara menyimpan pagar kawat berduri untuk berjaga-jaga jika suatu waktu Kedubes AS -yang letaknya juga tak jauh dari Monas- dan Kantor Gubernur DKI Jakarta diserbu para demonstran. Disisi mobil kawat berduri itu, di bawah pohon yang tak seberapa rindang, Maliki (2 tahun), Adam (3 tahun), Diana (7 tahun), Tommy (3 tahun) belajar menulis dan membaca.

Saya amat tertarik dengan kegiatan yang dilakukan dua wanita luar biasa, Susi Sebayang -Master dari IPB- dan seorang rekannya, Nita Pramono yang memberikan pelajaran baca tulis untuk anak-anak jalanan di Stasiun Gambir. Sementara rekan-rekan relawan lainnya tak kalah gigihnya melakukan hal yang sama di pemukiman pemulung di Kampung Melayu.

Sore itu, saya bergabung dengan Susi dan Nita dan berkenalan dengan Maliki, Adam, Diana dan Tommy. Dengan membagi-bagikan masing-masing sebuah jeruk kepada mereka saya mencoba mengakrabkan diri dengan wajah-wajah kumal, kotor, bau matahari, lengkap dengan ingus yang keluar masuk dari hidung mereka.

Tak ada wajah curiga dari mereka dengan kehadiran "orang baru", begitu juga dengan ibu mereka yang ikut memperhatikan proses belajar mengajar anak-anaknya. Sayang, saya tak berkesempatan bertemu lebih banyak anak-anak yang biasanya berjumlah tak kurang dari 20 orang. Karena sebagian mereka sedang berenang, entah dimana.

Yang unik, proses belajar mereka tidak hanya sering terganggu oleh kejaran tramtib yang sering bertingkah sangar mengoprak-oprak "kelas" belajar mereka. Tapi, juga terganggu oleh 'kewajiban' mereka mencari uang. Maliki misalnya, ketika sedang asyiknya Nita membacakan cerita dari sebuah majalah, ia malah ngeloyor sambil berujar ringan, "cari duit dulu ah,..."

Atau Adam, yang terlihat paling akrab dengan saya berkata, "ntar diterusin ya, Adam mau cari duit dulu..." sambil memperlihatkan tiga lembar ribuan hasil pencariannya sebelumnya. "Baru segini nih..."

Tommy, yang datang belakangan, langsung menyambar jeruk yang saya tawarkan tanpa peduli tangannya yang sangat kotor. Ia tak suka menulis seperti Adam, ia lebih suka membolak-balik halaman majalah yang bergambar.

Sungguh, ingin saya menangis melihat keinginan kuat mereka untuk belajar. Diana misalnya, ia tekun belajar matematika bersama Susi, dan ternyata ia amat cerdas. "Saya senang membaca, tapi saya nggak punya buku..." aku Diana yang hingga usianya tujuh tahun belum juga bersekolah.

Menurut Nita, anak-anak di Stasiun Gambir sangat semangat belajar, tapi mereka selalu kekurangan buku. Kadang, buku-buku dan alat tulis sering hilang bersamaan dengan paniknya mereka saat petugas tramtib membubarkan prosesi mereka. "Anak-anak ini mau sekolah, tapi sulit mendapatkan sekolah yang mau menerima mereka..." tambah Susi.

Hari berangsur sore, saat anak-anak itu satu persatu pamit untuk meneruskan "pekerjaan" mereka. Kami bertiga pun segera merapikan 'kelas' belajar itu untuk pamit pulang. Tentu, kami akan kembali ke tempat itu, sebuah tempat parkir antara Komplek Monas dan Stasiun Gambir.

hmm, Gubernur DKI pernah mampir ke 'kelas' mereka nggak ya?

Bayu Gautama
sore, 19 Desember 2004

Wednesday, December 15, 2004

Energi Positif

Beberapa pekan lalu, saya berkesempatan mengunjungi seorang sahabat di rumah sakit. Tak ada yang aneh dengan orang sakit, dinding putih teman setia, selimut bergaris biru muda, senampan buah segar bawaan penjenguk yang datang silih berganti, dan sisa makanan pagi yang belum sempat diangkat petugas.

Ya, tak ada yang aneh dengan sahabat saya yang sakit kecuali pasien yang satu kamar dengannya. Seorang bapak berusia 60-an tampak iri dengan kehadiran saya beserta beberapa sahabat lain saat menjenguk sahabat saya, pasien sekamarnya. Binar matanya menyiratkan kerinduan akan seseorang seperti halnya sahabat saya yang tak hentinya dijenguk keluarga, kerabat maupun sahabat.

Segera saya hampiri ia dan menyapanya. Belum satu kata keluar dari mulut saya ketika tiba-tiba ia menangkap tangan saya dan menariknya perlahan ke dadanya. Sebulir air jatuh dari sudut matanya yang memendam sepi, beberapa kata pun mengalir dengan paraunya. Kepada saya ia bercerita, sudah tiga hari anaknya tidak menjenguknya karena anak tunggalnya itu harus berdagang lebih giat untuk mengumpulkan biaya berobat. Isterinya telah lama meninggal sehingga ia hanya hidup berdua dengan anaknya.

Tidak ada keluarganya di
Jakarta, kerabat pun tak ada yang menjenguknya. Sahabat? Mungkin sudah terlalu lama ia tak lagi mengenal arti sahabat. Setidaknya, dalam tiga hari ini. Selain anaknya tak ada lagi yang diharapkannya untuk sekadar tahu keadaannya di rumah sakit.

Saya teringat saat ikut serta salah satu kegiatan Kelompok Kerja Sosial (KKS) Melati di RS Fatmawati. Atas seizin pihak rumah sakit, kami, para relawan Melati mengunjungi paviliun anak dan mendongeng untuk anak-anak yang tengah menjalani masa perawatan.
Ada ceria, dan tawa, juga tangis selama acara itu berlangsung. Betapa anak-anak yang mulai bosan dengan suasana rumah sakit, jenuh dengan perawat-perawat yang serba putih, atau bahkan wajah orang tua mereka yang tampak muram, hari itu terceriakan. Satu persatu para relawan mendatangi anak-anak yang tidak bisa turun dari pembaringannya, sementara beberapa relawan mengumpulkan anak-anak lainnya di aula untuk diajak bermain dan mendongeng.

Ada
bening air yang siap tumpah di setiap pelupuk mata para relawan, menyaksikan wajah-wajah muram orang tua yang berhari-hari menunggu anaknya yang tak kunjung sembuh. Tak sedikit yang menangis ikut meresapi penderitaan anak-anak itu, sangat tergambar betapa menderitanya mereka, dari tangisnya, dari sorot matanya yang polos, dari keluh rintihnya menahan sakit, juga dari lunglai tubuhnya.

Saya dan juga rekan-rekan relawan lain sangat yakin, bahwa kesembuhan seseorang disebabkan oleh tiga faktor, Allah, dokter yang merawatnya, dan satu lagi yang tak kalah pentingnya adalah semangat untuk sembuh dari si pasien. Dan hal kecil yang kami lakukan pada hari itu hanyalah sedikit energi positif untuk menyalakan semangat hidup anak-anak itu. Setidaknya, semangat untuk sembuh.

Kepada bapak tua teman sekamar sahabat saya itu, saya terus merapatkan diri untuk bisa lebih dekat mendengarkan suaranya yang makin parau. Harap saya, semoga hal kecil yang saya lakukan itu bisa memberikan energi positif baginya. Terlebih ketika serombongan sahabat saya memberinya salam dan doa sebelum kami meninggalkan kamar tersebut. Tak lupa, buah tangan yang kami niatkan untuk sahabat kami, dialihkan kepada ‘sahabat’ baru kami.

Dalam banyak kesempatan, tentu kita bisa memberikan energi positif kepada siapapun di lingkungan kita. Seperti halnya saya berharap, tulisan ini pun bisa memberikan energi positif bagi yang membacanya.

Bayu Gautama
Teriring doa untuk Kayyis Razhes Fadgham Jihady

Wednesday, December 08, 2004

Mendengarkan Dengan Hati

Pekan lalu, satu lagi sahabat saya menikah. Setelah melalui berbagai pertimbangan yang sempat memberatkannya, dengan penuh keyakinan ia jalani dengan mantap tekadnya untuk mengakhiri masa sendirinya.

Sore hari beberapa bulan yang lalu, saya menemuinya dalam keadaan tak bersemangat. Pasalnya, orang tua, kakak, adik, tante dan nyaris semua orang yang sejak awal diharapkan memberikan dukungan dan restunya atas rencana pernikahannya justru menentang dengan berbagai alasan.


“Dengan penghasilan yang masih pas-pasan, mau dikasih makan apa isteri kamu nanti …” satu pertanyaan pamungkas dari ibunya. Sebelumnya, ayahnya menilai sahabat saya itu belum waktunya menikah, masih ada beberapa adiknya yang membutuhkan bantuan biaya pendidikan. Belum lagi alasan lain yang terlontar dari anggota keluarga yang lain. Semua itu membuatnya semakin bingung, resah sekaligus merasa tertekan, sementara di sisi lain hasratnya untuk menikah semakin kuat.

Tidak hanya pada saat seperti yang dialami sahabat saya tersebut. Setiap orang, sebagian dari mereka bahkan orang-orang terdekat kita, pernah mengalami satu posisi dimana ia berdiri di bibir jurang sementara di belakangnya juga terdapat bibir jurang yang tak kalah lebar ternganganya. Segunung keraguan bertengger di pundaknya. Segunung keraguan yang sebagian kecil datang dari dalam dirinya, sebagian besarnya justru ia dapati dari orang-orang maupun keadaan sekitarnya.


Bayang-bayang kegagalan dari sejarah masa lalu yang pernah tercatat, yang terus menerus ia dapati dari seluruh referensi, cemoohan dan setumpuk kata juga alasan negatif dari orang-orang yang semestinya memberikan dukungan, seperti merantai kuat kedua kakinya sehingga tak mampu melangkah sedikit pun untuk maju. Di saat seperti itu, ada dua kemungkinan yang akan dipilih, mundur –yang artinya ia mungkin akan jatuh lebih dalam dari jurang yang ada di depannya- atau mengurungkan niatnya, duduk terdiam dan menunggu mukjizat datang menghampirinya. Sementara kekuatan untuk melangkah lebih jauh tak berani dicobanya.


Saya pernah mengalami masa seperti itu, dan dalam hati terbersih saya, saya yakin sebagian besar orang di atas bumi ini juga pernah menghadapi situasi yang demikian. Tak berani maju karena jurang menganga, mundur pun berarti terjerumus lebih dalam. Di detik-detik terakhir sebelum akhirnya setiap kita kehabisan energi di ambang putus asa, di saat itulah kita berpasrah kepada Allah berharap ia mengirimkan seseorang yang bisa membantunya keluar dari masalah.

Di detik terakhir, seorang sahabat menepuk pundak saya dan meminta saya duduk menenangkan diri menceritakan semua yang saya alami. Tidak ada yang ia lakukan kecuali mendengarkan setiap huruf yang keluar dari mulut saya. Tak ada bantahan, tak ada selaan, tak ada kernyit dahi, juga mata yang melengah darinya. Yang ada hanya tatapan mata penuh perhatian, telinga yang terbuka seluas langit dan senyum yang menyiratkan kasih.


Tahukah Anda apa yang terjadi setelah itu? Sebuah jembatan seperti terbentang antara bibir jurang di sedepa langkah saya dengan tanah pijakan di seberang yang sebelumnya tak mampu tertangkap oleh mata. Ya, ternyata yang saya butuhkan hanyalah seseorang yang mau mendengarkan –sekali lagi, mendengarkan- dengan hatinya. Dan saya yakin, dia lah sahabat yang dikirimkan Allah dari sepenggal doa saya di ambang keputusasaan.

Kepada sahabat saya yang tampak murung menghadapi kesulitan dengan rencana pernikahannya, saya hanya menyediakan hati saya untuk mendengarkannya. Saya ingin membangun sebuah jembatan baginya. Sungguh, saya hanya menepuk pundaknya dan mendengarkan apa pun yang keluar dari mulutnya hingga tak satu pun huruf tersisa. Wallaahu ‘a’lam.

Bayu Gautama

Tuesday, December 07, 2004

Kekuatan Cinta

Entah kenapa tiba-tiba saya menekan salah satu tombol ponsel sehingga keluar sebuah nama seorang sahabat yang sudah sekian pekan tak bersua, juga tak saling berkabar. Ada gerakan yang tanpa menunggu instruksi untuk kemudian menekan tombol "yes" untuk memanggil nama tersebut. Setelah sekian lama bercuap, tertawa dan melepas rindu, kami berjanji untuk bertemu keesokan harinya.

Apa yang kita pikirkan kadang jauh meleset dari kenyataan yang sesungguhnya tengah terjadi. Adakalanya sesuatu yang kita anggap berjalan biasa-biasa saja, tanpa sepengetahuan kita ternyata telah terjadi perubahan yang sedemikian cepat karena berjalan tidak biasa, atau bahkan luar biasa. Suatu hal sering kali kita anggap remeh dan bukan hal penting untuk dilakukan, seperti menelepon seorang sahabat, misalnya. Namun ternyata, kita sering terperangah saat sadar kekuatan dari yang kita anggap ‘hal biasa’ itu.

"Jangan lupa bawa isteri dan anakmu ya ..." satu kalimat menutup pembicaraan kami.

Sampai hari ketika kami bertemu, saya masih menganggap semuanya berlangsung biasa saja. Sahabat saya tetap masih seperti dulu dengan potongan rambutnya sedikit menjuntai di bagian depan, mata sayunya yang terlihat mengantuk dan juga kaos lengan panjang yang menjadi ciri khas penampilannya. Begitu pula isterinya, seorang wanita sederhana bersahaja yang sangat menghormati suaminya.

Tapi, sepuluh menit kemudian semuanya baru terungkap. Ya, yang selama ini saya anggap berlangsung apa adanya dan biasa-biasa saja terbantahkan. Sahabat saya mengaku, kalau saja saya tak meneleponnya pagi itu untuk berjanji bertemu, mungkin akan lain ceritanya. Ia, lanjutnya, pagi itu bersama isterinya tengah dalam perjalanan menuju Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mengurus perceraian mereka. Mereka menganggap pernikahan yang sudah dijalani selama hampir empat tahun tak perlu dipertahankan lagi. Terlalu banyak perbedaan dan perselisihan yang terjadi selama mengarungi bahtera rumah tangga, demikian seterusnya.

Dan, lagi-lagi menurutnya, telepon dari saya membuat mereka membatalkan rencana perceraian dan kembali ke rumah. Satu alasan hingga keputusan itu begitu cepat diambil adalah ucapan saya, "jangan lupa bawa isteri dan anakmu ya ..."

Mereka saling celingukan sesaat sebelum akhirnya sepakat menunda rencana perceraian demi menghormati pertemuan dengan saya. Maklum mereka merasa mendapatkan satu harapan saat akan bertemu dengan saya, mengingat pertemuan mereka hingga ke jenjang pernikahan pun di-rekayasa oleh saya, atas izin Allah tentunya. Saya lah yang memperkenalkan mereka berdua.

Sekali lagi. Tak ada yang bakal menyangka bahwa satu tindakan sederhana, apakah itu silaturahim untuk saling berkunjung, atau sekadar menelepon sahabat yang lama tak kita dengar kabarnya, mungkin bisa menyelamatkan mereka dari kehancuran, apa pun itu. Setidaknya, hingga hari ini pernikahan sahabat saya itu masih bertahan.

Seperti juga ketika dua pekan lalu, tanpa memberi tahu, tanpa konfirmasi, serombongan sahabat-sahabat saya lengkap dengan isteri dan anak-anak mereka tiba-tiba datang ke rumah saya. Sebuah kejutan silaturahim yang tak pernah saya bayangkan, betapa kami masih memiliki cinta yang dengan cinta itu semakin menguatkan ikatan persaudaraan.

Percayakah Anda dengan kekuatan cinta itu? Cobalah, jika bukan Anda, sahabat Anda yang akan merasainya.

Bayu Gautama

Thursday, December 02, 2004

Andai Ia Anakku ...

Bis yang saya tumpangi dari terminal Blok M melaju di depan Ratu Plaza Senayan, Jakarta, ketika seorang anak kecil berpostur mungil membagi-bagikan amplop lusuh kepada para penumpang.

Anak-anak jalanan, pengamen bis kota, dan amplop lusuh bertuliskan "Kepada Yth, para penumpang, mohon bantuan untuk biaya sekolah kami, anak-anak jalanan...", adalah hal lazim diterima setiap penumpang angkutan umum di Jakarta. Dan karena sudah biasa, saya tak merasa risih, atau terganggu dengan kehadiran mereka. Justru yang membuat saya terganggu malam itu, karena perempuan kecil yang baru saja membagikan amplop-amplop lusuh itu ... benar-benar anak kecil!

Dari cara ia menyanyi dan caranya berusaha mengucapkan kata demi kata dari lagu yang ia bawakan, saya bisa taksir usianya baru 4 tahun. Dan jika memang benar, berarti usianya sama dengan usia anak saya, Hufha.

Saya benar-benar merinding sesaat terbayang wajah lucu yang tengah menyanyi di atas bis itu sesekali berubah menjadi wajah anak saya. Dan tanpa diperintah, setetes air mengalir dari sudut mata ini, bukan karena anak itu, bukan karena lagu yang dibawakannya, bukan karena baju dan tubuh kumalnya, dan juga bukan karena amplop lusuhnya. Tapi bayangan saya menerawang seandainya Allah menentukan hari itu adalah hari terakhir saya, akankah anak-anak saya akan seperti mereka?

Saya tak lagi mempedulikan omelan beberapa penumpang bis yang mengutuk-ngutuk orang tua si anak sebagai orang tua tak bertanggungjawab, "Kalau saya jadi ibunya, apa pun akan saya lakukan asal bukan anak saya yang mengamen seperti itu...," ujar seorang ibu di sebelah saya.

Mata saya terus membayangkan, andai yang ada di depan itu adalah anak saya... "Ya Allah, berikan kesempatan hamba untuk hidup lebih lama agar anak-anak saya tumbuh dan besar sesuai dengan yang hamba cita-citakan...," doaku.

Bayu Gautama

Tuesday, November 30, 2004

Meneruskan Virus Berbagi...

Saya punya satu keinginan, kelak jika memiliki anak lelaki akan memberinya nama "Tullus Berbaggi". Tentu Anda mengerti maksud saya memberinya nama demikian, karena saya sangat komitmen untuk terus menerus menyebarkan virus berbagi, sebuah virus yang tidak mematikan, tetapi justru yang -meski sedikit- mampu menambah semangat hidup orang lain. Gerakan inilah yang kemudian oleh beberapa teman -dan juga saya- disebut sebagai gerakan "Pay It Forward", membalas kebaikan yang kita peroleh dengan cara meneruskan kebaikan itu kepada orang lain yang membutuhkan.

Tentu Anda pernah menonton film "Pay It Forward", jadi saya tak perlu menceritakan panjang lebar tentang film Hollywood tersebut. Intinya film itu mengajarkan kita untuk melakukan banyak kebaikan terhadap orang lain karena sebelumnya kita pun -secara sadar atau pun tidak- pernah dan sering mendapatkan berbagai kebaikan dari orang lain. Siapa pun dia.

Kembali ke virus berbagi. Karena saat ini yang ada adalah dua putri cantik saya, Hufha dan Iqna, maka saya berkewajiban meneruskan virus berbagi tersebut kepada dua malaikat cantik saya itu.

Dalam berbagai kesempatan, saya dan juga istri saya yang memang se-ide dengan saya soal virus berbagi ini, mencoba untuk menyisipkan virus ini. Misalnya, kalau memasak sayur atau lauk untuk makan, istri saya sering melebihkan porsinya sehingga ada yang bisa dibagikan kepada tetangga terdekat. Dan anak saya Hufha, diantar adiknya Iqna yang bertugas mengantar makanan tersebut. Kecuali kalau itu berupa sayur panas, istri saya langsung yang mengantarnya, tentu dibuntuti dua malaikat cantik sebagai pengiringnya. Kami lakukan ini bukan berarti kami dalam kondisi berlebih, siapa pun yang pernah mengenal keluarga saya, tentu mengerti.

Di kesempatan lain, Hufha mulai akrab dengan pengemis, dia biasanya akan berlari ke dalam rumah meminta 'receh' untuk kemudian diberikannya ke pengemis tersebut. Saya amat senang memperhatikan dua peri cantik itu berlomba "berbagi", karena biasanya Iqna tidak mau kalah meminta 'receh'.

Tapi ada yang unik, beberapa waktu lalu saat kami menggunakan KRL ekonomi jurusan Bogor-Jakarta. Seorang pengemis melintas di depan kami, segera istri saya menyodorkan receh ke anak kami. Hufha sigap memberikannya kepada pengemis itu. Ada yang kami lupa, bahwa di KRL, pengemis, pengamen, penyapu gerbong atau apa pun lebel dan predikatnya, setiap menit selalu lewat. Sementara Hufha dan Iqna terus menerus memaksa kami mengeluarkan 'receh', sedangkan persediaan terbatas.

Bingung kan? Susah juga memang untuk komitmen. Butuh perjuangan. Kepada Hufha dan Iqna yang terus merengek minta 'receh', saya bisikkan, "Kalau semua yang lewat sepanjang Bogor-Jakarta kita kasih, besok gantian abi yang minta-minta lho..." he he ...

Bayu Gawtama

Friday, November 26, 2004

Bantu Aku Menjelang Cinta

Berhenti di tepian asa
Lelah menatap hadirnya kasih
Saat pendarmu meniti arah
Menujuku engkau kembali,

Bantu aku menjelang cinta ...

dedicated for Vita

Thursday, November 25, 2004

Aku Masih Tetap Sederhana

Sesederhana bulan mencintai malam
Sesederhana bintang nan tersenyum
Sesederhana langit memayungi bumi
Sesederhana bumi tempat kembali
Demikian jiwaku, sesederhana senja ...

Gawtama nu tetep sederhana
paska ramadhan

Wednesday, November 24, 2004

Dibalik H-1

Ribuan orang tumpah ruah di jalan-jalan kota, ribuan orang memadati pertokoan, ribuan orang menyambangi mal dan pusat perbelanjaan, dan ribuan orang menghamburkan uangnya untuk satu hal: Menyambut Idul Fitri

Ribuan anak bersuka cita sambil menenteng pakaian, sepatu dan berbagai hal baru lainnya yang baru saja dibelikan ayah mereka. Ribuan mata bersuka cita di hari terakhir ramadhan karena esok pagi fajar Id menjelang.

Ada ribuan mata juga yang menitikkan air mata, sang kekasih akan pergi meninggalkan mereka, sementara tak satu pun dari mereka bisa mengira akankah bertemu dengan ramadhan di tahun depan. Hanya doa dan asa yang tersisa, semoga Allah berkenan menambah satu kesempatan lagi.

Ribuan tubuh meringsek bersimbah peluh di gerbong-gerbong kereta, ribuan mata terlelap lelah setelah berjuang berebut tempat di bis-bis yang mengantarkan mereka ke kampung halaman. Segerbong rindu mereka bawa dari kota, sejumput harap kan bertemu sanak famili, tak peduli berapa besar ongkos yang mereka korbankan; uang, keringat, letih, kantuk, bahkan juga darah.

Ribuan suara melengking, merobek langit mengagungkan nama Allah dari ribuan corong mikropon masjid, dari kota sampai ke desa, dari masjid besar, hingga langgar-langgar dan surau di kampung. Semakin malam semakin keras takbir mereka, sesemangat malam menyongsong sang Aidil.

Andai tangan tak kuasa berjabat, saat jasad tak sempat bersua, jutaan SMS terkirim sebagai pengganti diri tanda ingatan tak layu di hati.

Tapi,
Ada yang ingin saya ceritakan di balik riuh rendah ribuan orang-orang di atas,

Bi Iyoh, pembantu rumah tetangga saya, tak pulang ke kampung. Hingga malam ia masih harus berbenah rumah majikannya, agar esok tamu yang hadir tak mendapati sedikit pun noda di lantai, kusen, buffet, dan setiap sudut ruangan. Padahal siangnya, peluhnya belum lagi mengering seiring dengan selesainya kue-kue yang dibuatnya bersama majikan. Untuk semua itu, ia rela menggadaikan rindunya pada anak-anak, suami, juga orang tua di kampung halaman.

Mas Darmo, supir pribadi tetangga saya yang rumahnya di ujung gang, hanya delapan rumah dari rumah saya, hingga malam menjelang masih mengantar majikan dan anak-anaknya mencari pakaian baru, sepatu baru. Sementara pikirannya jauh menerawang hingga ke kampung, di pelupuknya terus membayang wajah sang buah hati, terngiang celoteh lucunya, "bapak pulang ya, jangan lupa bawa baju baru"

Hari terakhir ramadhan, saya sempat bingung dengan pemandangan kota. Entah dari mana datangnya, ribuan pengemis memadati kota seperti lebah-lebah saat menyembah ratunya, seperti sekelompok semut yang berebut secuil kue di lantai.

Saya sempat dibuat jengah dengan pemandangan satu ini, pikiran saya pun mulai nakal bahwa mereka sengaja di-drop oleh orang-orang tertentu khusus di hari Raya, hari Natal, dan tahun baru. Saya juga sempat protes dalam hati ketika saat hari raya tiba, tiap lima menit satu pengemis mampir di balik pagar rumah.

Aneh, kenapa saya harus jengah, kenapa juga harus protes? Memangnya lebaran cuma milik orang-orang kaya? atau memang begitu? tapi kenapa bi Iyoh dan mas Darmo tidak ikut lebaran bersama keluarga mereka?

Wallaahu 'a'lam deh ...

Bayu Gawtama

Tuesday, November 23, 2004

satu blok di tepi masjid

kalau diminta menyebutkan satu tempat yang hingga hari ini masih membekas di hati, tentu saya akan menyebut: satu blok di bagian dalam dekat pintu masjid at tiin, taman mini.

jika ada yang meminta saya menunjukkan lokasi yang paling berkesan -setidaknya hingga detik ini-, pastilah telunjuk saya mengarah ke: satu blok di bagian dalam dekat pintu masjid at tiin, taman mini.

dan seandainya hari ini ada yang memaksaku mengantarkan ke suatu tempat yang menurutku paling menenangkan, pastilah ia akan saya ajak ke: satu blok di bagian dalam dekat pintu masjid at tiin, taman mini.

di blok itu, saya menghabiskan sepuluh malam terakhir ramadhan 1425 h. lantai keramiknya, sering menjadi saksi tapak-tapak kaki ini berdiri tegap di setiap pertengahan malam hingga waktu sahur tiba. di lantai dingin di blok bagian dalam dekat pintu masjid at tiin itu juga saya menggelar sajadah hijau yang sedikit membantu menghangatkan tubuh saat diri ini bersimpuh, bersandar, berdiri, atau berbaring sekadar mengistirahatkan mata.

di blok bagian dalam dekat pintu masuk masjid at tiin itu juga, saya meletakkan qur'an, buku-buku bacaan, botol aqua yang sebagian sudah kosong, dan pakaian-pakaian kotor yang tak tercuci hingga akhir ramadhan.

(insya Allah) bukan cuma Allah dan malaikat, tapi blok bagian dalam dekat pintu masjid itu juga merekam semua pinta yang terajut di setiap kesempatan yang ada, di setiap letih yang tersisa, di setiap tangis yang terburai, di lebam yang membekas, di setiap ketukan hati yang menghiris, di setiap malam yang membisu, di setiap fajar yang mencerahkan, di setiap siang yang terik, di setiap senja yang menawan, dan di setiap diamku yang tak mengalirkan satu kata pun.

satu harap cemas terbersit di hati, semoga Allah berkenan mendengar pintaku, agar kembali mempertemukan diri ini dengan sang kekasih, ramadhan.

Monday, November 22, 2004

SMS-SMS Lebaran Guwe...

Total ada 61 SMS yang diterima dari H-2 sampai H+7 kemarin, tapi berhubung sebagian udah terhapus, selain juga ada SMS yang isinya sama cuma beda subjeknya doank, ya yang dimuat cuma sebagian aja deh...

from Uwi (adiknya Iin):
Selepas ramadhan semoga mutiara kesabaran, keimanan dan mahabbah pada Allah selalu terpatri dalam diri, seharmoni dengan gelombang kehidupan yang tak selalu datar... maaf lahir batin

from Niar (salah satu sahabat terbaik gw yang paling jago bikin gw tersenyum):
Semoga kharisma ramadhan menjadi pencerah hati kita di hari kemenangan ini dan seterusnya. Taqobbalallahu minna wa minkum. Selamat Idul Fitri 1425 H.

from Unang (ini rekan seperjuangan di Majalah Surga):
Taqobbalallahu minna wa minkum, minal aidin wal faidzin. Semoga amal ibadah, doa dan amal kita diterima dan diijabah-Nya (sehingga) kita menjadi manusia fitri, jujur dan sabar. Amiin.

Lutfhi (yang punya perpustakaan Tegal Gundil dan Sanggar Barudak, Bogor):
Tetesan air mata melepas kepergian kekasih tercinta :) senyuman manis menyambut hari kemenangan :), Minal Aidin Wal Faidzin. Met Idul fitri 1425 H.

from 081315400xxx (gak tau, gak kasih nama, tapi ya mungkin the secret admirer kali ya?):
Bila ada kata menyelipkan dusta, ada sikap membekas lara dan ada langkah menoreh luka, semoga masih ada maaf yang tersisa. Minal Aidin wal Faidzin.

M Setiawan (Sahabat di PII, salah satu teman setia di i'tikaf 10 hari terakhir ramadhan di at tin kemarin):
Sang Cinta tlah terpisah, jiwa damai merangkai makna, berharap hati kembali suci dalam hidup penuh cinta Ilahi. Ikhlas hati 'tuk saling memaafkan. Maaf lahir batin.

Faisal (Bingung nih, Faisal yang mana ya?):
Pas Idul Fitri datang, pas ramadhan pergi, sebelum operator sibuk, sebelum sms pending melulu... Minal Aidin wal Faidzin.

Edi Mulyono (Sahabat PII, Teknisi Pesawat Terbang):
Untuk lisan yang tak terjaga, janji yang tak terpenuhi, hati yang kerap berprasangka, dengan penuh keikhlasan mohon maaf lahir batin.

Enur Herdiana (orang paling ganteng di kantor):
Minal Aidin wal Faidzin, mohon maaf lahir dan batin. Selamat hari raya idul fitri 1425 H (gitu doank?)

Nung Subarga (sahabat yang paling punya tempat di hati):
Taqobbalallahu minna wa minkum, selamat Idul Fitri, Maafkan kesalahan kami.

Indra T Ariandi (yang paling Gokil dan Jayuz di 1001buku):
Selamat hari raya Idul Fitri 1425 H, minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin. (tumben normal lo ndro?)

Raudhatul Jannah (calon dokter, di UI):
Selamat Idul Fitri 1425 H, mohon maaf lahir batin

Andre (dari Penakom dan yang gawangin Milist Penulis Kreatif):
Selamat merayakan hari kemenangan, mohon maaf lahir batin

Arul dan Via (suami istri paling kompak):
Syukurlah bisa baca SMS ini... buah duku buah kedondong, maafin aku dong...

Deka Kurniawan (Sahabat yang paling bisa bikin gw menangis):
Fitrah sejati adalah meng-Akbarkan Allah dan Syariat-Nya di alam jiwa, di dunia nyata, dalam segala gerak, di sepanjang nafas dan langkah. Semoga seperti itulah diri kita di hari kemenangan ini. (betulkan Dek, ane nangis lagi nih...)

Ambar (relawan 1001buku, anak SMA Sang Timur, non muslim tapi baik banget):
Ikut ngucapin met lebaran ya, mohon maaf lahir batin juga ya

Tary (anak FLP nih, penulis yang udah mulai lupa ame abangnya nih...):
Selamat Idul Fitri 1425 H, mohon maaf lahir batin

Ali (Guru SMP Al Azhar, kocag banged orangnya):
Anda jemari tak kuasa berjabat, setidaknya kata masih dapat terungkap, tulus hati memohon maaf lahir batin ya...

Teguh Juwarno (PR Manager RCTI):
Mas Bayu, Salam dari kami, mohon maaf lahir batin

Iin (kakaknya Uwi, cantik, baik, ups...):
Firdaus yang indah lagi berseri, menjadi hiasan di Aidil Fitri, SMS dikirim pengganti diri, tanda ingatan tak layu di hati. Mohon maaf lahir batin.

Dewi Ma'rifat (yang punya Butik Rumah Kelambi, cewek paling ramah dan baik hati):
Taqobbalallahu minna wa minkum, taqobbal ya kariim, mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan ucapan dan tindakan kami.

Yesi Elsandra (Mahasiswi S3 di Unpad):
Eid Mubarak, taqobalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir batin. semoga kita menjadi lebih bertaqwa, lebih kreatif, inovatif, prestatif.

yang lainnya, maaf ya gak dimuat. udah kebanyakan nihh...
tapi kalo mo ngirim masih diterima kok, ketik: Lebaran nama Pesan, kirim ke 0818922655, tarif reguler.






Thursday, November 11, 2004

Apa Pantas Berharap Surga?

Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: “Kalau tidak terlambat” atau “Asal nggak bangun kesiangan”. Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Baca Qur’an sesempatnya, tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, itu pun dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?

Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata miliki Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?

Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.

Astaghfirullaah …

Bayu Gautama
di penghujung Ramadhan

Tuesday, November 09, 2004

Bersihkan Diri
Ikhlaskan Hati
Raih Jati Diri
Di Hari Yang Fitri


Bayu Gautama beserta keluarga (Ida Aryani, Hufha Alifatul Azka dan Iqna Haya Adzakya) Mengucapkan :

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1425 H


Semoga Kemenangan Id tahun ini menghantarkan kita kepada Ramadhan tahun depan

Thursday, November 04, 2004

Yang Bersedih di Hari Raya

Meski bukan baru, tapi baju yang saya pakai masih terlihat seperti baru. Bersih dan rapi. Begitu juga yang dikenakan istri dan anak-anak saya. Tangis haru dan tawa gembira mewarnai suasana lebaran hari itu. Sepulang sholad Id, anak-anak cantik kami berlarian memburu nenek mereka untuk meminta cium. Setelah sebelumnya berhamburan di pelukkan kami, mengecup lembut tangan dan pipi kami. Saya dan istri membalasnya dengan kecup terkasih. Sebelum berlalu, tak lupa mereka meminta 'jatah' uang lebaran.

Ada air mata yang menetes saat kutatap wajah tua di hadapanku. Terlalu lemah hati ini untuk menahan rasa yang begitu dalam terhadap ibu, sesosok anggun yang selalu ingin kucium kakinya. Kurengkuh kaki letihnya, kunikmati wangi cintanya seraya berharap kelak mendapatkan surgaku dari sana. Lalu, mengalirlah doa dan kalimat penuh kasihnya untuk anak yang sering tak tahu membalas budi ini. Kemudian satu persatu adikku tersungkur di kakinya.

Aneka kue khas hari raya yang sejak subuh telah tersedia di meja ruang tamu nampaknya tak sabar menanti untuk disentuh. Saya dan istri, tentu saja takkan melewatkan hidangan khas lebaran di rumah cinta itu, Laksa Betawi. Tidak hanya anak-anak ibu yang menikmati Laksa masakan ibu, tapi juga sahabat-sahabat saya yang sengaja datang untuk dua hal; silaturahim dan Laksa!

Begitu indah dan harunya hari raya kami, hingga saya hampir terlupa akan sebuah janji jika saja tak diingatkan seorang sahabat. “Jadi kan kita ke sana?”

Berenam kami memacu kendaraan menuju tempat yang sudah kami rencanakan untuk dikunjungi. Untuk sementara, kami tangguhkan rencana silaturahim ke beberapa teman lama. Tak lebih dari lima belas menit, kami sudah sampai di depan sebuah rumah yang kami tuju.

Sebaris senyum belasan anak-anak dari halaman rumah menyambut salam kami. Seorang dari mereka yang paling besar mempersilahkan kami masuk …


Rumah kecil itu, dinding-dindingnya terlihat terkelupas di beberapa sisi. Tak ada satu pun anak yang mengenakan baju baru, sepatu baru, juga tak yang terlihat tengah menghitung-hitung uang hasil pemberian saudara-saudara mereka. Tak ada kue khas hari raya. Tak tersedia ketupat lebaran, apalagi semur daging atau rendang pelengkap sayur bumbu kuning. Air yang tersedia untuk kami pun hanya air tak berwarna, jelas, karena mereka tak punya sirup.

Di rumah panti anak yatim itu, hanya ada mata-mata kosong menanti uluran tangan para dermawan. Mereka tak pernah lagi menikmati saat-saat indah di hari raya dengan aneka hidangan, pakaian bagus, cium dan peluk hangat dari orang-orang terkasih. Tak lagi mereka dapatkan punggung tangan dan pipi untuk dikecup sepulang sholat Id, juga kaki-kaki mulia tempat mereka bersimpuh, bahkan sebagian besar mereka pun tak pernah tahu wajah orang yang pernah melahirkannya.

Sebagian mereka mengaku terus bertanya, kenapa Allah membiarkan mereka hidup tanpa orang tua? “Apakah Allah tak ingin melihat saya bermanja dengan ibu?” tanya Ardi, salah seorang penghuni panti berusia delapan tahun. Tidak sedikit dari mereka terus berharap Allah mengembalikan orang tua mereka agar mereka bisa merasakan menjadi anak, yang mendapatkan kasih sayang orang tua, agar ada tangan yang dikecup saat berangkat dan pulang sekolah, agar ada satu kesempatan bagi mereka untuk menikmati manisnya berbakti.

Mereka seolah tak peduli dengan aneka makanan dan hadiah yang kami bawa. Bukan itu yang mereka rindui. Mereka mengaku sudah terbiasa hidup tanpa berlimpah makanan. Bersekolah tanpa uang jajan pun sudah keseharian mereka. Ada yang lebih mereka rindui di sepanjang hari, terlebih di hari raya ini.

Akbar, lelaki kecil berusia enam tahun menghampiri dan berbisik di telinga saya, “Kak, gimana rasanya tidur ditemani mama?”

Gagal saya menahan air mata ini ...

Bayu Gautama

Monday, November 01, 2004

Multilevel Kebaikan

Ada teman yang pernah bertanya, “apa sih yang membuat kamu senang membantu orang lain?”

Saya berikan dia dua jawaban, pertama, karena Allah senang dengan orang-orang yang suka membantu saudaranya. Allah akan memberikan kemudahan bagi orang yang memudahkan orang lain. Kedua, saya berjanji kepada seseorang untuk terus berbuat baik membantu orang lain.

“Seseorang …?” teman saya makin bingung.

Baiklah, saya akan perjelas.

Beberapa tahun lalu saya pernah berada dalam kesulitan keuangan. Kuliah saya terancam berantakan karena saya tak mampu mengumpulkan uang kuliah dari sisa-sisa gaji saya yang memang kecil. Saya nyaris putus asa dan berpikir akan mengakhiri kuliah saya hanya sampai di tingkat dua saja. Biarlah tinggal mimpi, pikir saya.

Disaat kebingungan dan putus asa melanda itulah, ada seorang sahabat yang datang menanyakan kabar saya dan juga studi saya. Karena kami biasa berterus terang tentang segala hal, saya katakan kondisi saya baik-baik saja. Tapi kuliah saya yang terancam gagal. Mendengar pengakuan saya, sahabat tersebut kemudian menawarkan bantuan sejumlah uang untuk membayar uang kuliah saya yang tertunggak.

Tanpa basa-basi, saya langsung menerima tawaran tersebut tanpa berpikir terlebih dulu bagaimana nanti menggantinya.

Di akhir semester empat, saya sempat bertanya kepadanya perihal bantuan yang diberikan kepada saya. Ada yang membuat saya heran dengan jawabannya, “Saya hanya berjanji kepada seseorang untuk senantiasa berbuat baik membantu orang lain”

Kemudian ia memperjelas,

Ia pernah mendapati ibunya yang sakit keras dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Namun tak sepeser pun uang yang ia dan anggota keluarga lain miliki saat itu. demi kesembuhan ibunya, ia nekat menghubungi satu persatu orang yang dikenalnya yang mungkin bisa membantu biaya pengobatan. Hingga akhirnya, ada seorang sahabat lamanya yang dengan cuma-cuma membiayai seluruh biaya yang dibutuhkan untuk kesembuhan sang ibu.

Terheran sahabat itu bertanya, “Kenapa kamu mau membantu saya?”

Jawabnya, “Karena saya telah berjanji kepada seseorang untuk senantiasa berbuat baik membantu orang lain”

Menurut cerita sahabat saya, sahabat lamanya itu pernah pula mendapati kesulitan dalam hidupnya. Ia hampir tak tahu kemana lagi meminta bantuan hingga ia bertemu dengan seseorang yang tak dikenal sebelumnya. Setelah berterus terang, orang tak dikenal itu pun memberikan apa yang dibutuhkan sahabat lama itu. kepada orang itu ia bertanya, “Anda sebelumnya tidak mengenal saya, kenapa Anda mau membantu saya?”

Anda sudah bisa menduga jawabnya bukan? Tapi ada pertanyaan kedua dari sahabat lama sahabat saya itu, “Bagaimana saya mengganti kebaikan Anda ini?”

Orang tak dikenal itu menjawab, “Berjanjilah untuk melakukan banyak hal untuk membantu kesulitan orang lain. Itu lebih baik nilainya daripada mengganti apa yang telah saya berikan”

Begitulah seterusnya hingga saya tak pernah tahu siapa yang pertama kali menyulam jaringan amal kebaikan ini. Sungguh, saya tak pernah tahu. Hanya saja yang pasti akan saya lakukan setiap kali memberikan bantuan kepada orang lain, saya akan berkata, “Berjanjilah untuk melakukan kebaikan yang sama terhadap orang lain yang membutuhkan”

Bayu Gautama

Friday, October 29, 2004

Yang Kutakut...

Yang kutakutkan dalam hidup adalah memiliki
Yang kutakutkan setelah memiliki adalah mencintai
Setelah mencintai, jelas aku takut akan kehilangan

Sungguh berat bila kehilangan
Sesuatu yang ku miliki
Apalagi sudah ku cintai

Sepertinya
Akan lebih baik aku tak pernah mencintai
apa pun
Sebab aku takut kehilangan apa pun
yang aku cintai
Sejujurnya
Aku tak ingin memiliki apa pun
Agar tak ada luka
Saat aku kehilangan

Tapi
bukankah semua yang aku miliki akan hilang?
Lalu kenapa aku begitu mencintai
seolah yang kumiliki itu tak kan pernah hilang

Ternyata
Aku telah salah memaknai cinta

Maafkan aku, Tuhan

Bayu Gautama
Malam tanggal 29 Oktober 2004


Thursday, October 28, 2004

Get Well Soon My Angel, U Make My Tears Drop Last Night

Rabu malam pukul 22.40, Anak saya Hufha (3,5 tahun) yang tengah tertidur pulas tiba-tiba batuk dan ... saya kaget dan panik melihat reaksinya setelah batuk. Ia terengah-engah untuk mengambil nafas, dan berkata, "... Hufha nggak bisa nafaaas .." berkali-kali.

Kulihat matanya memerah, dan kembali ia katakan itu, "Hufha susah nih nafasnyaaa ..."

Saya angkat ia ke pelukan dan mendekapnya, sementara istri saya berlari ke dapur untuk mengambil air hangat. Setelah itu ia memeriksa kotak persediaan obat. Ternyata ..., obat persediaan habis!

Kami semakin panik sementara Hufha terus menerus mencoba menarik nafas. Sekali ia coba tarik, bunyi yang memilukan terdengar dari tenggorokan dan dadanya, "sakiitt bii... " katanya.

Saya bergegas keluar rumah malam itu juga untuk mencari obat. Sudah bisa dipastikan, di Bogor, sedikit sekali toko yang buka hingga larut malam. Akhirnya saya kembali dengan tangan hampa.

Saat kembali ke rumah, saya tak hanya mendapati Hufha sesak nafas, tetapi juga tiba-tiba saja suhu tubuhnya meninggi. Melihat Hufha yang semakin menderita, saya pun membopong malaikat kecil kami itu untuk membawanya ke Klinik 24 Jam yang tidak seberapa jauh dari rumah kami.

Tanpa banyak basa-basi untuk urusan administrasi, saya minta segera dokter memeriksa terlebih dulu anak saya. Dan, dokter pun bingung. Ia mengira anak saya terkena asma. "Pernah asma nggak anak bapak?"

Saya katakan tidak, karena selama ini ia memang tidak pernah menderita penyakit itu. Saya tegaskan dokter untuk tidak menyuntiknya ketika dokter muda itu mengatakan, jika memang asma ia akan segera memberinya suntikan.

Saya semakin panik ketika dokter mengatakan Hufha harus mendapatkan bantuan oksigen. Seketika air mata saya luruh, menatap wajah kecil itu menangis ketakutaan sambil menahan perih di dadanya. "Ya Allah... dosa apa hamba pada-Mu, ..." lirihku.

"Tolong dulu deh dok! Kalau harus ke rumah sakit sekarang jauh sekali..." pinta saya sambil mengusap air mata.

Dengan penuh kesabaran dokter pun memeriksa kembali anak saya dan menyatakan, bahwa Hufha cukup diberi obat saja sepulang dari Klinik.

Sampai di rumah, saya masih belum tenang. Istri saya juga masih panik. Segera kami beri Hufha obat dari dokter. Dan, tak lama kemudian, nafasnya sedikit berubah lebih lancar. Tapi ia tetap tidak mau lepas dari pelukan saya.

Saya usap pelan sekujur tubuhnya agar ia merasakan kehangatan. Sebab sejak dari Klinik tadi ia terlihat menggigil. Setengah jam kemudian, ia pun tertidur, masih dengan nafasnya yang agak sesak.

Tak dikira, jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.20, sewaktu Hufha benar-benar bisa tertidur pulas. Saya dan istri tak berani ikut tidur dan tetap menemani Hufha, khawatir kalau-kalau ia kesulitan bernafas lagi. Tak terasa kami terus berdoa menemani Hufha hingga pukul 02.10 dini hari. Akhirnya kami putuskan untuk tidak tidur sampai menjelang sahur.

Semalam dokter bilang, kalau sampai pagi ini tidak ada perubahan dengan nafasnya. Hufha harus segera dibawa ke Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.

Setelah subuh, saya ragu apakah akan berangkat ke kantor atau tidak. Melihat Hufha yang tertidur pulas dengan nafas yang lebih teratur, istri saya berkata, "Berangkatlah...keep in touch ya..."

Saya berangkat dengan hati masih di rumah, dengan bayang-bayang Hufha di cermin mata ini.

Get Well Soon My Sweetheart...

Wednesday, October 27, 2004

Terima Kasih Untuk Tidak Berdusta!

Ada seorang yang menemui Rasulullah untuk menyatakan ketertarikannya kepada Islam dan kepada Muhammad Nabi Allah itu ia mengaku ingin menjadi bagian dari pengikut Rasul. Namun ia juga mengatakan bahwa ia masih gemar melakukan perbuatan-perbuatan lamanya seperti berzina, minum khamar (mabuk) dan berjudi. Rasul tidak menolaknya, bahkan beliau mempersilahkan ia masuk Islam dengan satu syarat, tidak berdusta! Maka kemudian orang tersebut menjadi orang yang teguh menjalankan semua ajaran Islam dengan satu komitmen yang bernama kejujuran.

Kejujuran adalah bahasa universal, agama apa pun, di tanah mana pun kita berdiri, dan di waktu kapan pun kejujuran tetap berlaku. Namun nampaknya keuniversalan tersebut semakin teralienasi, dimana justru saat ini yang lebih sering dianggap biasa dan lumrah adalah ketidakjujuran. Di kantor, rumah, persahabatan, rumah tangga semakin mudah ditemui warna-warna dusta dengan berbagai ragam dan bentuknya. Dan justru pula disaat yang sama, kejujuran menjadi barang langka dan seringkali dianggap aneh.

Kalaulah Allah Swt memperingatkan kepada manusia yang beriman agar mengatakan perkataan yang benar untuk mengikuti perintah takwa (Al Ahzab:70) tentulah banyak makna yang bisa dirasakan oleh setiap manusia dari sikap kejujuran tersebut. Perhatikanlah penjelasan Rasulullah berkenaan dengan hal itu, "Hendaklah kamu selalu berada pada siklus kejujuruan, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kamu kepada kebaikan dan kebaikan itu akan mengantarkan kamu kepada surga. Jauhilah oleh kamu (jangan sekali-sekali kamu dekati) dusta, sesungguhnya dusta itu membawa kamu kepada kerusakan dan sesungguhnya kerusakan itu akan mengantarkan kamu kepada neraka."

Tak perlu membayangkan bagaimana dunia tanpa kejujuran, karena episode cerita tentang hal ini sudah berlangsung sejak zaman para Nabi hingga sekarang. Bukalah kilasan cerita tentang saudara-saudara Yusuf yang berbohong kepada ayahanda Nabi Ya'kub setelah mereka mencelakai Yusuf. Abdullah bin Ubay bin Salul, terkenal sebagai tokoh munafik pada zaman Rasululullah Muhammad yang pandai bersikap manis di depan kaum muslimin tetapi menohok dari belakang. Pada masa sekarang dimana manusia semakin pintar, teknologi semakin hebat tentu ketidakjujuran pun semakin terbungkus rapi, semakin beragam dengan bentuk kamuflase yang halus. Saksikan bagaimana korupsi menghancurkan negeri ini, rumah tangga yang berantakan karena ada dusta yang terselip di antara suami isteri, dan masih banyak lagi episode-episode kedustaan yang terus berputar hingga sekarang.

Sekarang bayangkanlah jika hidup tanpa dusta barang sehari saja. Maka bisa dipastikan hari itu tidak ada perusahaan yang dirugikan oleh kecurangan pegawainya, negara tidak bangkrut karena ulah para koruptor kelas kakap, tak ada keretakan rumah tangga karena senantiasa terlindung oleh bingkai kejujuran, tidak ada pengkhianatan, tidak ada kemunafikan, tidak ada bencana besar yang timbul akibat satu bentuk ketidakjujuran yang terlalu sering dianggap sepele. Maka juga, bisa dipastikan hari itu adalah hari yang sangat dirindukan kembalinya.

Jujur saja, ide judul dan isi tulisan ini berawal dari satu label peringatan yang bertuliskan "Terima Kasih Untuk Tidak Merokok" yang dapat kita jumpai di berbagai tempat. Selain di tempat-tempat yang memang dilarang keras untuk menyalakannya seperti di pom bensin, rumah sakit, perkantoran atau ruangan-ruangan berpendingin, peringatan itu juga kadang terlihat di tempat-tempat umum lainnya seperti kendaraan umum atau bahkan di rumah-rumah yang memang diisi oleh keluarga yang anti terhadap tembakau dan asapnya. Sangat beralasan memang jika peringatan-peringatan itu seharusnya makin diperbanyak, bahkan jika perlu di semua tempat dimana masih ada wanita (hamil), anak-anak, orang-orang yang mencintai kesehatan. Meski demikian, terkadang masih saja ada yang bandel dengan tetap menghisap tembakau rokok tersebut di tempat-tempat yang dilabeli peringatan itu tanpa mempedulikan hak orang lain yang ingin tetap sehat.

Ah, kalau saja urusan rokok yang memang begitu merugikan orang lain dan juga membuat sakit para penghisapnya sampai sedemikian banyak label peringatannya. Kenapa juga tidak dibuat saja stiker-stiker dengan bertuliskan, "Terima Kasih Untuk Tidak Berdusta". Toh keluarnya sama-sama dari mulut seseorang, hasilnya juga bisa melukai dan merugikan banyak orang. Cuma bedanya, dusta juga bisa merugikan bangsa dan negara. Si pendustanya juga bisa merasakan sakit, yang semakin ia terus berbohong maka sakit di hatinya semakin membusuk.

Ah, kalau saja urusan anti asap tembakau itu bisa sampai terbentuknya lembaga atau komunitas anti rokok, kenapa tidak dicoba untuk dirintis sebuah komunitas anti dusta, hmmm, ada yang mau memulai?

Untuk bisa memulainya, perhatikan terlebih dahulu kutipan hadits berikut, seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasul, "mungkinkah seorang mukmin itu menjadi pengecut?" Rasulullah mengatakan, "ya mungkin". Lalu sahabat tersebut bertanya kembali, "mungkinkah seorang mukmin itu bakhil?" "Ya" jawab Rasul. Lalu, "mungkinkah seorang mukmin itu pendusta?" Rasul dengan tegas menjawab, "Tidak! karena dusta tidak mungkin bersatu dengan iman". Wallahu a'lam bishshowaab

Bayu Gautama
11/06/2002 10:14 WIB

Tuesday, October 26, 2004

Tak Perlu Ajari Kami Berpuasa

Hari ke tiga di bulan ramadhan saya berkesempatan menumpang becak menuju rumah ibu. Sore itu, tak biasanya udara begitu segar, angin lembut menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, "Abang becak ...?"

Ya, kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisang goreng di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. "Heeh, puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan ...," gumamku.

Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya, dan ... untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang tengah berpuasa.

"mmm ..., Abang muslim bukan? tanyaku ragu-ragu.

"Ya dik, saya muslim ..." jawabnya terengah sambil terus mengayuh

"Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan. Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa ..." deras aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.

Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.

"Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini pun makanan pertama abang sejak tiga hari ini."

Tanpa memberikan kesempatan ku untuk memotongnya,

"Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa," jelas abang tukang becak itu.

"Maksud abang?" mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.

"Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya ..."

"Jadi ...," belum sempat kuteruskan kalimatku,

"Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan ..."

"Abang sejak siang tadi bingung dik mau makan dua potong pisang goreng ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang yang berpuasa, tapi..." kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.

Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya. Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan berputar ...

Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?

"Wah, nggak ada kembaliannya dik..."

"hmm, simpan saja buat sahur abang besok ya ..."

Saya jadi teringat seorang teman di Kelompok Kerja Sosial Melati, ia punya motto hidup yang sederhana, "Kami Peduli".

Bayu Gautama


Wednesday, October 20, 2004

Sudah Sedemikian Keraskah Hati Ini?

Di dalam perjalanan menuju kantor, saya terlelap menikmati sejuknya udara dalam bis. Tak terasa hingga kondektur bis membangunkanku untuk menagih ongkos, dengan mataku yang masih merejap kuulurkan sejumlah uang untuk membayar ongkos bis. Dan … samar mataku menangkap sosok seorang ibu setengah baya berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Tapi, rasa kantuk dan lelah ku mengalahkan niat baik untuk memberikan tempat duduk untuk ibu tersebut.

Turun dari bis, baru lah sisi baik hati ini bergumam, “Andai saya berikan tempat duduk kepada ibu tadi, mungkin pagi hari ini keberkahan bisa kuraih”. “Siapa tahu ridha Allah untuk ku di hari ini dari doa dan terima kasih ibu itu jika saja kuberikan tempat dudukku…” Ah, kenapa baru kemudian diri ini menyesal?

Semalam dalam perjalanan pulang dengan kereta api, duduk di hadapan saya seorang bapak berusia 40-an. Lewat seorang penjual air minum kemasan, dan ia segera menyetopnya untuk membeli. Tangan kirinya memegang segelas air minum kemasan sementara tangan satunya merogoh-rogoh kantongnya. Sesaat ia memperhatikan beberapa keping yang ia mampu raih dari bagian terdalam kantongnya, ternyata … ia mengembalikan segelas air minum kemasan yang sudah digenggamnya kepada penjual air sambil menahan rasa hausnya.

Saya yang sedari tadi di depan bapak itu hanya bisa menjadikan serangkaian adegan itu sebagai tontonan. Tidak ada tawaran kebaikan keluar dari mulut ini untuk membelikannya air minum, meski di kantong saya terdapat sejumlah uang yang bahkan bisa untuk membeli dua dus air minum kemasan! Bayangkan, cuma 500 rupiah yang dibutuhkan bapak itu tapi hati ini tak juga tergerak?

Kemarin, sebelum Isya, juga dalam perjalanan pulang. Hanya berjarak 200 meter dari kantor, saya melewati pemandangan yang menyentuh hati. Di pinggir jalan Wijaya, Jakarta Selatan, sekeluarga pemulung tengah menikmati penganan kecil berbuka puasa mereka. Suami, istri beserta dua anaknya itu tetap lahap meski yang mereka nikmati hanya sebungkus kue –entah pemberian siapa. Sempat langkah ini terhenti setelah tujuh atau delapan langkah melewati mereka, sempat pula saya berpikir untuk menghampiri keluarga itu untuk sekadar mengajak mereka makan. Tapi … bayangan ingin segera bertemu anak-anakku di rumah mengalihkan langkahku untuk meneruskan perjalanan.

Padahal, dengan uang yang saya miliki saat itu, sepuluh bungkus nasi goreng pun bisa saya belikan. Apalagi jumlah mereka hanya empat kepala. Dan kalau pun harus tergesa-gesa, toh semestinya saya bisa memberikan sejumlah uang untuk makan mereka malam itu, atau juga untuk sahur esok hari. Duh, kenapa kaki ini justru meneruskan langkah sekadar untuk memburu kecupan kedua putriku sebelum mereka tidur?

Pagi ini. Saya coba renungi semua perjalanan hidup ini. Ya Tuhan, sudah sedemikian keraskah hati ini? Sehingga tanpa rasa berdosa kulewatkan begitu banyak kesempatan berbuat baik. Bukankah selama ini saya selalu berdoa agar Engkau memberikanku kemudahan untuk berbuat baik terhadap sesama? Tetapi ketika Engkau berikan jalan itu, saya malah melewatkannya.

Berikan kesempatan itu lagi untukku, Tuhan.

Bayu Gautama

Monday, October 18, 2004

Sabtu Sore Bersama Gola Gong

Anak-anak Tegal Gunding punya gawean, temu penulis bersama Gola Gong dan Azimah Rahayu. Sabtu sore itu, puasa hari kedua saya meluncur ke Tegal Gundil, Bogor demi dua hal; ingin ketemu (lagi) dengan Kang Gege (panggilan akrab Gola Gong) dan juga menghindari ancaman Lutfi (penguasa Tegal Gundil) bahwa kalau saya tidak datang, saya tidak akan diaku sebagai orang Bogor.

Kira-kira setengah empat sore, tiba di Masjid Arrahman, Tegal Gundil. Lihat-lihat pameran buku (lebih tepat sih bukan pameran, tapi gelaran, karena pesertanya dikit banget) Islam di pelataran masjid. Ketemu dengan beberapa wajah angker tapi mengagumkan milik penghuni Tegal Gundil alias Cs-nya Lutfi.

Setelah sholat ashar, dengerin Lutfi ama kang Gege siaran di Pro3 FM. Seger juga dengerin obrolan mereka berdua soal komunitas dan bagaimana mengelola juga mengembangkan perpustakaan. Tidak sedikit propartners (sebutan buat pendengar Pro3FM) yang menelepon dan bertanya banyak hal ke Kang Gege, juga Lutfi.

Sekitar jam empat sore, Lutfi dah nyampe ke Masjid Arrahman -tempat bakal diadain temu penulis- sementara Kang Gege masih dalam perjalanan dari Pro3. Bersama Lutfi, saya ke Perpustakaan Tegal Gundil yang letaknya di pinggir Jalan Bangbarung, Bogor, tidak jauh dari masjid Arrahman.

Uennnak tenan berada di Perpustakaan Tegal Gundil, bayangin aja, tempatnya rame, banyak orang lalu lalang, sebelah kanan ada tukang es buah, es kelapa muda, tukang buah. Sebelah kanana, ada tukang makanan aneka rupa segala ada. Wahh, asyik banget kan kalo buka puasa di situ.

Barengan saya nyampe di Perpustakaan, Kang Gege dan istri, Tias Tatanka, juga ketiga anaknya; Bela, Abi, dan Odi, diantar Fitri (P-tree) cewek Tegal Gundil yang paling aktif kampanyein gerakan membaca di Bogor. Kalau mau nemuin cewek ini gampang banget, datang aja hari minggu ke Taman Kencana sekitar jam 9-an. kalo liat ada yang gelar buku-buku bacaan dan dongeng untuk anak-anak, dia ada deh di situ.

Gak lama kemudian, dimulai deh acara temu penulis. Walau pesertanya bisa diitung pake jari tangan plus jari kaki (termasuk jempol nya loh...), namun acara tetap berlangsung meriah. Tapi yang paling meriah adalah .... waktu berbuka puasa!

Ada lontong (cek urang sunda mah, buras!), risoles, macem-macem kue, dan es buah. Kang Gege, langsung inisiatf penuh semangat membabat lontong plus risoles yang disiram sambel kacang. wahh, nikmat tuh keliatannya, langsung aja saya ikut serta mengikuti jejak Kang Gege.
Abis sholat maghrib, kirain mah acara selesai, ternyata anak-anak TeGe (Tegal Gundil) masih ngajak kita main ke sekretariatnya yang nggak jauh dari situ. Di sekretariat yang oke punya itu, kita ditawarin makan, (makan lagiii!!!), rasanya perut dah mau meledak nih. Tapi demi menghormati TeGe, dan juga menghormat hasrat hati, ya udah diembat aja lagih.

Sempet juga kita foto-foto bersama di Perpustakaan TeGe, juga di sekretariat. hmm, Sabtu sore yang mengagumkan.

Bayu Gautama



Wednesday, October 13, 2004

Karena Noda Datang Setiap Hari

Beberapa tahun silam, setiap satu hari menjelang Ramadhan biasanya kami sekeluarga melakukan satu kegiatan bersama. Seluruh anggota keluarga berkumpul, tanpa kecuali, untuk bersama-sama membersihkan rumah. Setiap sudut dan sisi rumah dibersihkan, dari pagar, teras, kamar mandi hingga gudang. Ibu sudah mengatur tugas masing-masing dan seperti tahun sebelumnya, saya mendapatkan bagian paling basah, kamar mandi.

Bagi kami, rutinitas tahunan seperti ini amatlah menyenangkan. Disitu terlihat kekompakan dan kebersamaan semua anggota keluarga untuk membersihkan istana kecil yang selama ini menjadi tempat kami bernaung, berteduh dan terlelap menikmati mimpi-mimpi sederhana kami. Walaupun sebenarnya, tanpa acara bebersih total semacam ini, meski sederhana namun istana kecil kami senantiasa terlihat asri dan bersih setiap harinya.

Dan ketika saya coba tanyakan itu kepada ibu, lembut bibirnya berucap, "Apa abang mau hari ini nggak mandi? Kita harus bersih setiap hari kan?"

"Iya, tapi kenapa ini berbeda dari hari lainnya?" tanyaku lagi

"Karena besok tamu istimewa akan tiba. Sepantasnya kita menyambutnya dengan cara yang istimewa juga," terang ibu kemudian.

Maka dimulailah tugasku. Sementara Abang dan adik-adik saya harus berkutat dengan debu di halaman depan, teras, juga gudang, saya menghabiskan waktu beberapa jam dengan kubangan air untuk membersihkan kamar mandi. Sepintas kamar mandi kami terlihat bersih, sehingga,

"Kamar mandi kita masih bersih kok bu ..." ujarku nakal untuk menghindari pekerjaan berat.

"Jangan tertipu dengan pandangan pertama. Yang terlihat bersih belum tentu benar-benar bersih. Coba perhatikan lebih dekat, banyak noda hitam di sudut-sudutnya ..." ajar ibu.

Ibu benar. Setelah kuperhatikan, banyak sekali noda hitam di celah-celah, sudut dan juga ruas keramik lantai kamar mandi. Segera kuambil peralatan pembersih seperti sikat lantai dan sabun pembersih.

Mulanya kusiram dengan air berkali-kali, tapi noda hitam itu tidak juga hilang dari dinding dan lantai. Hingga satu ember air habis, tak juga hilang. Ibu yang sejak tadi memperhatikan, berujar, "Tidak semua noda bisa hilang hanya dengan menyiramnya dengan air, sebanyak apa pun air yang Abang siapkan"

Lalu saya menyikat noda hitam itu. Sekali sikat tak hilang, berkali-kali kucoba, hanya sedikit. Masih banyak noda tersisa di lantai dan nampaknya sudah begitu merekat di dinding sehingga teramat sulit untuk dihilangkan. Suara ibu kembali terdengar, "Susah kan kalau noda tidak dibersihkan setiap hari? Noda-noda itu sebenarnya tidak terlihat, tapi justru karena tidak terlihat itu kita menganggap ruang ini tetap bersih. Karena tidak pernah dibersihkan, semakin hari noda itu semakin jelas pekatnya."

Tidak cukup dengan air dan sikat, saya pun menggunakan sabun pembersih untuk membantu menghilangkan noda-noda itu. Dan, setelah beberapa butir peluh menetes, akhirnya bersih juga kamar mandi itu. Saya dan ibu saling berpandangan lega memperhatikan hasilnya.

Sebelum keluar dari kamar mandi, lagi-lagi ibu bersuara, "Seperti ini lah sulitnya jika diri ini sudah dipenuhi dosa. Tidak cukup satu dua macam ibadah untuk bisa menghilangkannya. Semakin banyak kita berbuat salah, semestinya jauh lebih banyak perbuatan baik yang kita lakukan untuk membuat diri kita bersih."

Malam hari sebelum ibu membimbing kami dengan untaian doa dan belai lembut usapan ibu menjelang tidur, ibu berpesan, "Perbaiki diri kita setiap hari, karena kita melakukan kesalahan juga setiap hari."

***

Esoknya Ramadhan tiba. Kami semakin mengerti bahwa Ramadhan semakin indah dijalani dengan rumah yang bersih. Juga hati yang bersih. Sekali lagi ibu benar, noda datang tidak mengenal waktu.

Bayu Gautama