Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, January 26, 2006

Usang Sudah Nyanyian Cinta

“Waktu ku kecil hidupku
amatlah senang
senang dipangku-dipangku dipeluknya
serta dicium-dicium dimanjanya
namanya kesayangan...”


Masihkah lagu itu dinyanyikan anak-anak sekarang? Jika pertanyaan itu diajukan ke setiap anak di seluruh pelosok negeri ini, saya yakin tidak sedikit anak-anak yang tak mampu menyanyikannya. Bukan karena mereka tak pernah mendengar lagu itu sebelumnya, atau tak pernah diajarkan oleh guru di taman kanak-kanak. Tapi lebih karena lagu tersebut selama ini hanya akan membuat batin mereka menjerit.

“Lagu itu hanya mimpi, yang menciptakan juga sedang bermimpi, apalagi yang menyanyikannya, pastilah para pemimpi”. Kalimat ini pantaslah diucapkan oleh Riska Rosdiana, gadis kecil yang mati mengenaskan di kamar tidurnya setelah berkali-kali diperkosa paman dan dipukuli ibu tirinya. Bolehlah juga dilontarkan oleh Indah Sari yang kini telah berbahagia di sisi Allah, setelah berhari-hari menahan pedihnya luka bakar perbuatan sang ibu. Tinggal Lintar Syahputra, sang adik yang masih tak mengerti mengapa ibu tega membakar dirinya.

Risman pun boleh sekeras-kerasnya berteriak demikian, agar kakek yang telah menganiayanya dengan siraman air panas dan sundutan rokok mendengar. Kakek Risman mungkin sudah lupa, ia dipercaya untuk menjaga cucunya, bukan justru mengurung Risman dalam kamar tanpa makan dan minum. Siti Ihtiatus Sholehah bukan satu-satunya yang pernah merasakan lempengan setrika dengan suhu di atas 100 derajat celcius. Adalah ayahnya sendiri yang membuat Siti meringis kepanasan dan kulitnya melepuh luka bakar.

Di tahun 80-an, kita pernah mendengar kisah memilukan Ari Hanggara. Bahkan karena penganiayaan anak terbilang langka pada saat itu, kasus Ari pun sempat dibuat filmnya. Jika semua kasus penganiayaan anak saat ini dianggap luar biasa, entah sudah berapa judul dan episode film yang harus dibuat. Atau bisa jadi, sutradara dan penulis skenario pun akan kesulitan untuk lebih dulu menulis kasus yang mana. Mungkin juga dibutuhkan ribuan anak untuk melakukan casting sebagai pemeran anak-anak malang itu. Ah, jangan-jangan film-film itu takkan pernah selesai dibuat. Sebab belum selesai satu skenario ditulis, sudah ada puluhan kasus lain yang terjadi.

Akankah suatu saat penganiayaan anak menjadi sesuatu yang biasa di negeri ini? Sehingga anak-anak tak lagi mengerti kenapa mereka harus dilahirkan jika hanya untuk disakiti. Mulut-mulut kecil mereka takkan lagi mampu menyanyikan lagu cinta yang selama ini mereka dengar dan atau diajarkan guru di taman kanak-kanak. Haruskah mereka bernyanyi, “pok ame-ame/ belalang kupu-kupu/ siang dipukuli/ kalau malam disundut rokok/...”

Begitu banyak anak-anak yang tak lagi mendapat kasih sayang selayaknya anak-anak lain. Cinta dan kasih sayang adalah hak mereka, dan kewajiban orang tualah memenuhinya. Mereka butuh belaian, bukan pukulan. Butuh sentuhan, bukan cubitan melintir atau sundutan rokok. Butuh kata-kata manis, bukan makian dan bentakan lengkap dengan kata kasar. Butuh kecupan, bukan tempelengan. Butuh arahan, bukan tendangan yang menyakitkan.

Anak-anak memerlukan seorang ibu, bukan penjahat tak berperasaan yang terus menerus membuat mereka menderita. Anak-anak butuh seorang ayah, bukan gladiator yang akan membunuhnya. Mereka juga membutuhkan lingkungan dan saudara-saudara yang baik dan penuh kasih, bukan para perampok kebebasan.

Telinga mereka yang teramat lembut itu untuk mendengar ungkapan sayang, bukan makian kasar. Mata indahnya semestinya mendapatkan tatapan teduh ayah dan bunda. Kulit halus punya mereka itu untuk mendapat sentuhan lembut, bukan untuk dilukai. Rambut tipis terurainya untuk dibelai, tak untuk dijambak. Dan mereka butuh pelukan untuk menghangatkan tubuh kecilnya, bukan air mendidih atau api menyala-nyala.

Bermimpikah mereka untuk bisa disisiri setiap pagi oleh sang ibu? Salahkah mereka berharap ayah memangku dan mendongengkan cerita indah setiap malam? Atau bermimpi pun mereka tak boleh?

“Satu-satu, aku sayang ibu
dua-dua, juga sayang ayah
tiga-tiga, sayang adik kakak
satu-dua-tiga, sayang semuanya...”


Haruskah mereka menyanyikannya?

Bayu Gawtama

Wednesday, January 25, 2006

Dicintai Anak Yatim

"Kalau Ibu sudah nggak ada, tetap santuni anak yatim ya". Kalimat tersebut terucap belasan tahun lalu dari bibir tipis nan berkerut nenek saya kepada ibu. Wajar bila nenek berpesan demikian, sebab terhitung sejak tahun 1970an bersama sang suami ia rajin menyantuni anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Setidaknya, setiap tahun di bulan Muharam acara santunan anak yatim digelar di rumahnya.

Ketika kakek meninggal tahun 1984, ratusan pasang mata anak yatim menangis. Saya yakin mereka mencintai kakek dan khawatir kehilangan orang yang selama ini menyantuninya. Ternyata kekhawatiran mereka tak berlangsung lama, karena nenek berjanji untuk tetap melanjutkan tradisi keluarga itu. Sayangnya, sejak seluruh keluarga nenek pindah dari Jakarta ke Tangerang, entah siapa yang melanjutkan menyantuni anak-anak yatim di Jakarta itu. Nenek tetap menyantuni anak yatim, tentu anak-anak yatim di Tangerang, di sekitar rumahnya.

Puluhan pasang mata anak yatim pun menangis sedih saat nenek meninggal di tahun 1998. Sebelumnya, nenek berpesan kepada semua anak-anaknya agar tetap menyantuni anak yatim. “Jika kita tak punya uang, ajak orang lain untuk menyantuni anak yatim. Dicintai anak yatim itu salah satu kunci pintu surga,” salah satu pesan terakhirnya. Tentu saja, tak satupun anak-anak nenek berani mengabaikan pesan tersebut. Dan hingga kini, tradisi ini masih terus berlangsung meski kami sering tak tahu harus mendapat bantuan dari mana untuk menyantuni anak-anak yatim, janda tua dan kaum dhuafa di sekitar rumah.

Tahun lalu, menjelang bulan Muharram tiba, biasanya ibu mulai direpotkan dengan meminta anak-anaknya membuat proposal permohonan bantuan. Semakin dekat bulan Muharram ibu semakin panik, terlebih jika belum satu pun permohonan mendapat jawaban. Saya tahu persis kekhawatiran ibu, ia tak ingin malu kepada anak-anak yatim dan janda tua itu jika mereka datang ke rumah dan tak mendapatkan apa pun. Karena tanpa diundang pun, mereka sudah tahu jadwal pemberian santunan itu, yakni tepat tanggal 10 Muharram setiap tahunnya. “Ibu tak ingin membuat mereka kecewa. Biar sedikit yang penting tetap ada,” harapnya.

Muharram tahun ini sudah tiba. Seperti biasa, ibu pun tetap sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memang tidak pernah ada seremoni dan adegan foto pemberian santunan. Anak-anak yatim itu hanya datang untuk mengambil “haknya”, sudah itu pulang. Namun ibu masih terlihat resah, belum banyak bantuan yang didapatnya untuk membeli sembako dan sedikit untuk mengisi amplop kosong. Semua anak-anak ibu sudah membantu, bahkan membawa proposal permohonan bantuan itu ke kantor masing-masing.

Dalam keresahannya itu, ibu berujar, “Cuma satu keinginan ibu, yakni dicintai anak-anak yatim. Ibu ingin saat meninggal nanti ada anak-anak yatim yang menangis. Itu berarti mereka mencintai ibu”. Dan sambil menghitung dana yang ada ia pun berpesan persis seperti dulu nenek berpesan kepadanya, “Jangan putus amal keluarga, tetap santuni anak yatim”.

Saya bisa menangkap kekhawatiran ibu dalam dua hal. Pertama, ibu khawatir tahun ini tidak banyak bantuan yang didapat, sehingga tidak banyak pula yang bisa diberikan kepada anak-anak yatim. Kedua, nampaknya ibu pun khawatir anak-anaknya tak melanjutkan tradisi ini. Ah ibu, doakan anakmu ini diberikan rezeki yang cukup, agar ada yang terbagi untuk mereka. Tentu saya juga punya keinginan yang sama, mendapatkan salah satu kunci surga karena dicintai anak yatim.

Bayu Gawtama

Tuesday, January 24, 2006

Bersihkan Mushola Berhadiah Gratis Sekolah

Jangan kaget atau heran, kalau suatu hari Anda melihat seorang gadis belia tengah membersihkan mushola di kawasan Depok, Jawa Barat. Anda hanya perlu mendekat dan tanyakan kepadanya perihal yang dikerjakannya. "Saya membersihkan mushola agar bisa gratis sekolah," ujar Rani tanpa malu-malu.

Ya, Rani memang tak pernah malu untuk mengerjakan hal itu. Baginya, membersihkan mushola adalah pekerjaan mulia. Selain, Insya Allah, mendapatkan pahala, Rani juga mendapatkan apa yang selama ini menjadi rintangan terbesar dirinya untuk mengenyam pendidikan. Dengan pekerjaan itulah Rani mendapatkan imbalan yang membuatnya sering bersyukur, ia dibebaskan dari kewajiban membayar uang sekolah. Karena mushola tersebut adalah mushola milik sekolah tempat ia belajar.

Rani, 16 tahun, gadis kecil yang mampu menyingkirkan rasa malunya dari teman-teman sekolahnya lantaran menjadi pembersih mushola sekolah. Berbeda dengan teman-temannya yang masih mendapat sokongan dari orangtuanya baik uang sekolah maupun uang saku untuk jajan, Rani tak pernah mencicipinya. Rani sadar betul, orangtuanya tergolong tak mampu, maka untuk tetap bersekolah, ia harus melakukan sesuatu. Awalnya Rani tak tahu, sampai akhirnya pihak sekolah menawarkan satu pekerjaan dengan imbalan gratis biaya sekolah. Jadilah Rani sang pembersih mushola. Dan ia senang melakukannya.

Jangan pernah tanya berapa uang saku Rani untuk jajan di sekolah. Karena untuk ongkos pulang pergi ke sekolah yang berjarak 5 km dari rumahnya pun Rani tak punya. Ia harus berangkat lebih awal agar tak terlambat berjalan kaki ke sekolahnya. Alhasil, tidak jarang pakaian seragamnya basah oleh peluh setibanya di sekolah. Pulang ke rumah pun demikian. Setelah membersihkan mushola, ia kembali ke rumah tetap dengan berjalan kaki.

Rani tak pernah bersedih, apalagi menyesali nasibnya. Ia merasa harus tetap berjuang. Mungkin Rani tak pernah tahu, bahwa jalan yang tengah ditempuhnya kini adalah jalan yang pernah dilalui orang-orang sukses terdahulu. Tak pernah ada orang sukses tanpa mengarungi derasnya ombak kehidupan, dan tak satupun orang meraih sukses tanpa peluh.

Kelak, jika Rani menuai kesuksesannya. Pastilah sulit baginya melupakan terminal-terminal perjalanan hidupnya. Mushola dan sepanjang jalan menuju sekolahnya, juga baju seragam yang sering bersimbah peluh itu, akan senantiasa menjadi kenangan terindah yang tak mungkin terhapus.

Bayu Gawtama

Thursday, January 12, 2006

Bukan Salah Awang

Anwar namanya, tapi teman-temannya biasa memanggilnya Awang. Mendung adalah senyumnya, hujanlah yang dinantinya setiap hari. Bila langit bersinar, justru wajahnya murung. "Allah, turunkan hujan dong," harapnya. Awang bukan sedang sholat meminta hujan, apalagi pawang hujan. Bocah kurus berusia 9 tahun itu kerap menanti hujan karena baginya, hujan berarti rezeki. Rezeki yang sesungguhnya, sebab sekurangnya 20 ribu rupiah bisa dibawa pulang untuk membantu ibu belanja sehari-hari.

Sore menjelang maghrib itu, Awang terlihat murung. Hujan turun sangat sebentar, hanya cukup membasahi jalanan kota yang berdebu dan lumayan bikin kotor pajalan kaki yang bersandal jepit. Ia pun belum sempat menggigil seperti hari-hari sebelumnya setelah beberapa jam menawarkan jasa payung kepada pejalan kaki yang membutuhkannya. Ya, Awang memang pengojek payung. Kegemarannya setiap hari adalah menatap langit. Mendung adalah senyumnya, terik matahari akan membuatnya murung.

Awang tidak sendirian. Belasan anak di sekitar Pasar Ciputat punya hobi yang sama; menatap langit dan kalau perlu ribuan kali meminta kepada Sang Pemilik hujan agar hari itu hujan diturunkan. “Kalau perlu hujan jangan berhenti seharian, biar uang yang Awang dapat lebih banyak. Pasti ibu senang,” ujar Awang polos.

Anak sekecil itu bahkan tahu waktu-waktunya hujan turun, termasuk di bulan apa biasanya curah hujan lebih besar dan lebih lama. Desember dan Januari adalah bulan panen baginya. Maka tak heran, jauh-jauh hari ia sudah meminta dibelikan payung oleh ibunya. Karena tahu yang diminta Awang akan berbuah rezeki, sang ibu pun tak keberatan merogok kocek lebih dalam untuk membeli payung.

Lain Awang lain masyarakat kebanyakan di ibukota dan berbagai daerah rawan bencana lainnya di Indonesia. Mereka berharap hujan jangan turun, kalau pun turun hanya sekelebatan saja, sekadar membasahi jalan. Atau gerimis saja boleh lah. Maklum, hujan berkepanjangan sama dengan bencana. Hujan semalaman tak berhenti, bikin jantung para pejabat setempat berdegub keras lantaran daerahnya akan tergenang air. Hujan deras terus menerus membuat masyarakat panik, sebab tahun lalu hujan yang sama telah pernah menghabiskan harta benda, ternak, ladang, bahkan menelan korban jiwa. Dan ketika hujan turun, doa mereka pun sama, “Ya Allah, jangan biarkan bencana menimpa kami lagi”.

Sesungguhnya hujan itu rezeki Allah. Tidak hanya bagi pengojek payung seperti Awang dan teman-temannya. Rezeki juga bagi para petani yang membutuhkan cukup air untuk mengairi sawah dan ladangnya. Di masa lalu, tak satu pun orang takut akan datangnya hujan, bahkan ketika hujan tak datang pun ramai masyarakat melakukan sholat untuk meminta hujan. Di masa silam, anak-anak kecil bermain riang saat hujan turun, dan tak sedikit pun orang tua ketakutan anaknya akan terseret banjir. Paling mungkin sekadar flu, itu pun masih bisa di atasi.

Saat ini, hujan berarti bencana. Tak lagi rezeki. Hujan turun terus menerus, harta benda berharga pun siap dikemas. Anak-anak tak diizinkan jauh dari orang tua, khawatir banjir datang tiba-tiba dan menyeret serta mereka. Tak cuma hujan, langit hitam dilangit bisa jadi pertanda bahaya, was-was dan kepanikan berlebihan muncul di benak warga. Maklum, kehilangan harta benda dan anggota keluarga di musim banjir tahun lalu belum terlupakan. Kini, bencana yang sama siap mengepung mereka, seolah bencana tak ada habisnya.

Bagi Awang, hujan adalah rezeki. Jangan salahkan Awang yang terus berdoa agar Allah menurunkan hujan. Karena di masa lalu pun hujan deras tak pernah ditakuti, hujan seharian tak menimbulkan kepanikan. Jika saat ini hujan justru berakibat bencana, jelas harus ada yang bertanggungjawab. Dan yang pasti bukan Awang.

***

Bocah berbadan kurus itu tersenyum lebar. Hujan lebat turun kembali, payungnya pun mengembang sudah. Kaki kecilnya mengibas jalan berair dan siap mengais rezeki. Yang pasti, ia begitu sumringah, tak peduli banyak orang selainnya yang ketakutan.

Bayu Gawtama

Wednesday, January 11, 2006

(Karena) Tuhan Tak Pernah Tidur

Bencana terus menerus terjadi, seolah tak pernah berhenti. Belum habis tangis akibat tsunami Aceh Desember 2004 silam, juga duka mendalam karena longsor sampah di Cililin Bandung, satu persatu bencana bersusulan. Banjir di Kutacane, Aceh, angin puting beliung di Lebak, Banten, tanah longsor di Padang, kebakaran di berbagai pelosok Jakarta, gempa tektonik di Alor dan Nabire, kelaparan di Yahukimo, hingga bencana terbaru berupa banjir bandang di Jember dan longsor di Banjarnegara di awal tahun 2006 ini.

Jaelani, 58 tahun, salah satu warga Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, yang rumahnya dijadikan posko ACT-Aksi Cepat Tanggap mengatakan bahwa bencana yang baru saja terjadi di daerahnya adalah bukti bahwa Tuhan tidak pernah tidur. "Tuhan itu sibuk, selalu bekerja. Dia nggak pernah tidur. Bencana ini buktinya," ujarnya.

Jaelani benar. Tuhan memang tak pernah diam, dia selalu awas, tak pernah mengantuk, tak mungkin lengah, apalagi terlena. Dia melihat semua yang dikerjakan manusia, Dia merekam setiap detik perjalanan makhluknya, Dia pun mencatat dengan tinta yang takkan terhapus semua ulah dan polah makhluknya, tanpa kecuali. Tak satu pun terlewati dari pengawasannya, bahkan mereka yang tak sadar melakukan kemungkaran seara sembunyi-sembunyi.

Karenanya, Tuhan pun sekadar mengingatkan kapada seluruh makhluk di muka bumi akan keberadaannya. Bencana demi bencana itu hanya untuk menyadarkan, mungkin saja ada sebagian kita yang lupa bahwa Tuhan Maha Melihat, atau sebagian kita yang tak sadar bahwa telinga Tuhan ada dimana-mana. Sehingga tanpa merasa berdosa kesalahan demi kesalahan tercipta, kerusakan alam yang disebabkan oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab pun terus berlangsung. Sungguh kita telah terlena, lupa bahwa Tuhan tak pernah tidur.

Tuhan memang takkan pernah tidur, siang atau pun malam. Disaat semua hamba terlelap, matanya tetap awas. Ketika seluruh makhluk bekerja, Dia semakin awas. Sungguh, kenapa kita yang diawasi super ketat oleh Sang Pengawas masih saja terlena? Bangunlah, buka mata dan telinga. Lihat sekitar, teramat banyak yang membutuhkan kepedulian kita.

[16.112] Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.

Bayu Gawtama

Monday, January 02, 2006

Sepatu Baru untuk Si Pemetik Pucuk Daun Singkong

Usianya baru 12 tahun, duduk di bangku kelas 6 Madrasah Ibtida’iyah –setingkat Sekolah Dasar-, namun posturnya yang tinggi membuat orang mengira ia siswa kelas 3 SMP. Januar Rizky, atau biasa dipanggil Kiki, tak kenal lelah mengumpulkan ikat demi ikat daun singkong yang berhasil dikumpulkannya setiap pulang sekolah. Kulit hitam dan merah dirambutnya adalah bukti kerasnya hidup yang dijalani bocah dari keluarga tak mampu ini. Namun, semua dilakukannya demi satu cita-cita, “Saya ingin membahagiakan ibu,” ujarnya malu-malu.

Setiap hari sepulang sekolah, Kiki dijemput bosnya dengan sepeda motor dan diajak ke ladang singkong. Bersama belasan anak sebayanya yang lain, Kiki berpacu dengan waktu memetik pucuk daun singkong yang oleh bosnya nanti dijual ke pasar. Jika Anda biasa makan lalap daun singkong di rumah makan Padang, boleh jadi itu adalah hasil petikan tangan Kiki. Untuk satu ikat kecil daun singkong yang dipetiknya, Kiki mendapat upah Rp. 20,-, jumlah yang teramat kecil untuk simbah-peluhnya. Namun dasar Kiki adalah pekerja keras yang tak kenal lelah, sejak siang hingga senja tak kurang 150 ikat berhasil dikumpulkannya. Kiki pun tersenyum puas menghitung uang hasil jerih payahnya. Menjelang maghrib ia bersegera pulang.

“1.500 buat ibu, buat masak. Sisanya saya simpan buat bayar sekolah dan uang jajan Rini,” ujar Kiki yang teramat sayang terhadap Rini, adiknya yang baru kelas 3 sekolah dasar. Tak heran, setiap bulannya, orangtuanya tak perlu repot mengeluarkan uang bayaran sekolah, karena Kiki sudah bisa membayar sendiri uang sekolahnya. Untungnya, ada ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah), sehingga biaya sekolah lebih murah. Bahkan untuk membeli buku pelajaran pun, Kiki tak mau meminta. Kiki sadar, orangtuanya bukan orang yang mampu, sehingga ia tak mau merepotkan.

Sudah satu pekan ini Kiki tak mau bersekolah. Pasalnya, ia malu setiap hari harus ditegur guru dan kepala sekolahnya lantaran ia tak bersepatu. Setiap hari, Kiki hanya bersandal jepit ke sekolahnya. Selama ini, teguran dari gurunya ia simpan dalam hati. Tak ingin ia mengadukan perihal tersebut kepada Ayahnya. Ayah Kiki, hanya seorang pembuat miniatur menara dari bambu. Penghasilannya tak tentu, tergantung pesanan. Pesanan pun baru bisa dipenuhi sang Ayah jika ada modal untuk membeli bahan baku. Sementara ibunya, hanya seorang ibu rumah tangga yang menderita stroke, butuh biaya besar untuk mengobati penyakitnya. Alhasil, Kiki pun tahu diri untuk menuntut dibelikan sepatu. Tak hanya Kiki, Rini sang adik pun sekolah tanpa sepatu.

Bukan cuma soal sepatu, baju seragam Kiki pun bukan hasil beli di toko, melainkan pemberian dari teman-temannya atau kakak kelasnya yang sudah lulus. Wajarlah bila seragam Kiki terlihat lebih jelek dari siswa lainnya, maklum bukan barang baru. Pernah satu hari Kiki harus mendobeli celana seragamnya dengan celana mainnya, karena celana seragam pemberian dari temannya lebih besar dari ukuran tubuhnya. Usahanya untuk tetap berseragam malah mendapat teguran dari seorang guru, karena celana mainnya yang lebih panjang itu menyembul dari celana hijau seragamnya. Lucu? Tentu tidak, ini menyedihkan buat Kiki.

Menjelang ujian bulan April 2006 nanti, Kiki semakin resah. Kepala sekolah sudah mengancam tak mengizinkan Kiki mengikuti ujian jika Kiki tetap bersandal ke dalam kelas. Kiki pun mengeluhkan hal ini kepada Ayahnya. Namun apa daya, sang Ayah pun hanya bisa pasrah dan mengucap janji, “Insya Allah”.

Pucuk daun singkong yang setiap hari dipetiknya semakin lama semakin habis. Ladang yang biasa menjadi tempatnya mencucurkan peluh itu, hanya menyisakan batang-batang singkong tak berdaun. Kiki dan teman-temannya pun diboyong pindah ke ladang lainnya yang lebih jauh. Hingga tak jarang, Kiki harus pulang selepas Isya. Bila tak ada lagi ladang singkong yang harus dipetik pucuknya, Kiki pun beralih profesi sebagai pemanjat pohon pepaya. Rupanya, bisnis si bos bukan hanya menjual daun singkong, tetapi juga menjual pepaya di pasar. Kiki dan seorang temannya lah yang diandalkan sebagai pemanjat. Meski jarang, tetapi hasil memetik buah pepaya ini lebih besar, yakni Rp. 5.000,- perhari.

Kiki harus membayar mahal untuk kegiatannya sehari-hari itu, baik memetik pucuk daun singkong maupun pepaya. Bukan hanya warna kulitnya yang makin legam tersengat matahari, tapi prestasi di sekolahnya pun menurun. Dulu sebelum ia menjalani semua ini, ia masih mampu bersaing dengan teman-temannya dan meraih peringkat dua atau tiga di kelas. Kini, peringkatnya jauh menurun. Anak sekecil itu terlalu lelah membanting tulang untuk tigaribu rupiah perhari.

Esok, semoga Kiki mau bersekolah lagi. Ada sedikit rezeki untuk membeli sepatu baru buat Kiki. Senyum ceria si pemetik pucuk daun itulah yang dinanti di hari depan, bukan karena ia berhasil mengumpulkan seribu ikat daun singkong perhari. Melainkan senyum atas prestasi tertinggi yang diraihnya di sekolah.

Bayu Gawtama