Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Monday, March 28, 2005

4 Tahun Hufha, Alhamdulillah

Minggu 27 Maret 2005 selepas shubuh, saya pandangi wajah Hufha yang masih lelap tertidur di kamarnya. "Alhamdulillah..." batin saya. Hari ini empat tahun sudah ia bersama kami, Allah menghadiahkan titipan indah buah cinta kami, dan tak hentinya saya bersyukur Dia masih mempercayakan kami merawat titipan tersebut.

"Abi, alhamdulillah hari ini Hufha empat tahun. Hufha janji nggak cengeng lagi, nggak manja dan nggak gangguin dede Iqna lagi..." Entah angin apa yang membuatnya begitu semangat ketika bangun langsung meluncur kalimat demikian. Entah apa juga yang disampaikan ummi-nya semalam saat menemani Hufha tidur.

Sayang, sekitar pukul 10.00 WIB saya harus pergi ke Bekasi untuk mengisi pelatihan menulis FLP Bekasi. Hufha tak keberatan, karena sebelumnya saya telah memberinya hadiah yang telah lama dimintanya; Seprei bergambar Dora. Tak menunggu waktu lama, pagi itu juga ia segera menarik seprei yang baru semalam diganti untuk kemudian minta dipasangkan seprei Dora-nya.

Pulang dari Bekasi menjelang Maghrib, anak-anak sudah siap dengan mukenanya dan menggegas saya untuk segera mandi agar tak ketinggalan sholat berjama'ah di masjid. Usai membaca Iqro dan belajar membaca, Hufha dan Iqna mengambil koran bekas dan meminta ummi-nya membuatkan topi-topi kerucut seperti yang selalu mereka lihat di beberapa pesta ulang tahun teman-teman mereka. Isteri saya yang mantan guru TK itu tentu tak kesulitan membuat topi dari kertas, dan dengan senang hati ia melayani anak-anak.

Sementara menunggu topi-topi selesai dibuat, Hufha dan Iqna berlarian ke kamar dan menurunkan semua teman-temannya (boneka) dari atas lemari, Dora, Pluto, Choky, Calie, Tweety, Ducky, dll untuk duduk bersama di karpet depan TV. Kemudian satu persatu mereka dikenakan topi kertas, jadilah pesta ulang tahun hasil kreativitas Hufha dan Iqna berlangsung. Ah, semoga saya tetap bertahan pada pendirian saya untuk tetap tak menyelenggarakan pesta ulang tahun untuk anak-anak saya. Cukuplah dengan doa bersama keluarga.

Tetaplah menjadi peri cantikku, Hufha. Selamat ulang tahun nak,
Allah, terima kasih atas kepercayaan-Mu kepada kami untuk menjaga titipan-Mu, semoga kami mendapatkan kelayakan dan penilaian baik dari-Mu. Amiin


Bayu Gautama dan Ida Aryani

Tuesday, March 22, 2005

Berbagi Cahaya

“Besok kita lihat bintang lagi ya…” ujar anakku sambi melangkah ke dalam rumah. Hampir setiap malam jika tak pulang terlalu larut, dua peri cantik saya itu takkan pernah absen mengajak berbaring bersama di teras depan atau halaman samping rumah untuk menyaksikan bintang dan rembulan. Rembulan yang anggun tak pernah habisnya mendapat pujian dari si sulung, sementara adiknya tak hentinya menghitung bintang. Ketika melihat bintang yang lebih besar ia pun menganggap itu saya. Satu bintang besar lagi tertangkap matanya, ia pun berujar, “itu Ummi”. Sementara matanya terus mencari-cari bintang kecil yang menurutnya paling cantik, ia pasti senang saat mendapatkannya seolah tengah melihat dirinya terbang tinggi.

“Bintang turun dong ke sini, aku kan mau main sama bintang,” ujar si sulung. Dan sudah pasti bintang-bintang itu takkan pernah turun hingga menjelang waktu tidur kami. Matanya terus menatap langit meski langkahnya mulai memasuki rumah. Padahal hanya kalimat itu yang terakhir terucap sebelum ia benar-benar masuk ke rumah. Saya menyesal tak pernah sanggup memenuhi permintaan mereka untuk mengajak terbang menemui bintang-bintang itu.

Kebetulan saat pulang tadi saya membawa sekantong apel. Saya membelinya dengan satu harap bahwa saya bisa membawakan bintang kepada mereka. Sebelum tidur, saya ajak anak-anak untuk memperhatikan sebuah apel yang saya potong secara horizontal, yakni memotong bagian tengah tubuh apel dalam keadaan berbaring bukan berdiri seperti kebiasaan orang memotong apel. Apa yang kami dapatkan? Setiap apel yang kami potong dengan cara seperti itu akan menampilkan bintang di tengahnya. Dan itu membuat anak-anak saya senang mengira saya telah benar-benar membawakan bintang untuk mereka.

Anak-anak saya memang belum benar-benar mengerti hikmah yang ingin saya ajarkan. Buah apel jenis apa pun, warna apa pun, baik yang segar atau pun sudah sedikit mengeriput, bila dibelah secara horizontal mereka akan memperlihatkan bintangnya masing-masing. Demikian halnya dengan manusia, siapa pun dia, apa pun warna kulitnya, status sosialnya, agamanya, profesinya, maupun suku dan kebangsaannya, masing-masing memiliki bintang di dalam dirinya. Karenanya takkan pernah ada alasan bagi saya untuk tidak menghormati mereka, bahkan saat mereka melakukan kesalahan sekali pun.

Ada kalanya bintang mereka tengah redup sehingga tak ada yang menerangi hatinya untuk tetap berjalan lurus. Bintang di sebelahnya lah yang semestinya membagi cahayanya untuk bisa menerangi jalan sahabatnya agar tak semakin terjerembab lebih dalam. Berbagilah, karena disaat lain sering kali kita lah yang membutuhkan cahaya agar tak pekat jarak pandang kita di depan.

Siapapun Anda, semestinya terus berupaya menghidupkan bintang di dalam diri, dan salah satu cara terbaiknya adalah dengan membiarkan bintang di dalam diri orang lain tetap bercahaya. Iri, dengki, angkuh, berbuat curang serta tak berlaku jujur takkan pernah memudarkan bintang orang lain, terlebih, takkan pernah bisa membuat kebintangan Anda semakin bercahaya. Sebaliknya, perlahan bintang Anda pun semakin meredup sebelum akhirnya mati.


Setiap manusia memiliki kesempatan untuk menunjukkan kebintangannya, meski bersamaan dengan itu ia juga berkewajiban menjaga bintang sahabatnya tak memudar. Berbagi cahaya, itulah yang harus dilakukan setiap manusia. Karena sesungguhnya setiap kita tak pernah benar-benar mendapatkan cahaya itu dengan sendirinya. Seperti bintang yang juga mendapatkan cahaya, begitulah manusia. Saat tak lagi ada yang membagi, manalah ada bintang yang bercahaya? Wallahu ‘a’lam

Bayu Gawtama

Friday, March 18, 2005

Yang Terhormat: Tukang Sampah!

Pekan ini suasana kekhawatiran melanda warga lingkungan tempat tinggal kami. Lalat bertebaran dimana-mana, akibat tempat sampah di depan rumah penuh sesak dan menggunung. Beberapa warga mulai resah dan takut kalau-kalau tumpukan sampah itu menimbulkan penyakit. Satu persatu warga akhirnya turun tangan untuk mengangkut sendiri sampah-sampah itu dari tempat penampungan sementara ketika truk sampah tiba, sebagian cuma marah-marah, bahkan sebagian kecil tetap membiarkan sampah bertumpuk. “Kita sudah membayar uang sampah setiap bulan,” pikirnya.

Sepekan dua kali, pak Amrin –sebut saja begitu- mendatangi satu persatu rumah warga untuk mengangkut sampah. Selalu bisa terlihat senyumnya yang mengembang ikhlas meski ia harus berhadapan dengan tempat sampah yang beraroma tak sedap. Menyapa penghuni rumah, adalah hal yang lumrah dilakukannya, setiap hendak maupun selesai mengangkut sampah. Sehingga hampir seluruh warga disitu sangat akrab dengannya.

Tapi sudah sepekan lebih dua hari ini pak Amrin belum juga nampak dan membiarkan sampah-sampah di rumah warga menggunung. Hampir tak satu pun warga yang tahu penyebabnya, tak sedikit yang mulai marah-marah mengira tukang sampah itu mulai lalai akan kewajibannya. “bayarannya mau angkut sampahnya nggak mau. Sudahlah cari tukang sampah yang lain,” ujar salah seorang.

Akhirnya kabar itu didapat juga, lelaki setengah baya yang setiap dua pekan sekali menyapa satu persatu penghuni rumah dan kemudian mengangkut sampahnya itu tengah terbaring lemah di rumahnya karena sakit. Tapi tak satu pun warga yang tahu, entah darimana kabar itu didapat saya tak tahu persis. Sebagai penghuni baru, saya mencoba bertanya dimana rumah tukang sampah itu, kagetnya saya, ternyata tak satu pun warga yang tahu alamat tinggal pak Amrin.

Sepekan dua kali lelaki setengah baya itu mengunjungi rumah warga, sepekan dua kali juga ia melemparkan senyumnya kepada setiap penghuni rumah, sehingga ia cukup hapal mana penghuni yang ramah, yang arogan, yang mau bercakap-cakap dengannya, atau yang mau memandang dirinya bukan dari profesinya. Ia bahkan mulai hapal nama dua putri saya yang belum dua pekan kami tinggal di wilayah tersebut.

Mungkin selama ini, kita tak pernah memandangnya sebagai bagian terpenting dari kehidupan kita. Bahkan sering pula beranggapan orang-orang seperti pak Amrin lah yang membutuhkan kita, merekalah yang seharusnya merasa penting terhadap kita. Tetapi apa yang terjadi ketika satu pekan dua hari ia tak mengangkut sampah karena tengah sakit? Semua mencarinya, semua menyebut namanya, tiba-tiba saja semua merasa berkepentingan terhadapnya.

Tidak hanya tukang sampah seperti pak Amrin, para sopir angkutan umum yang sering kita kurangi bayarannya, penyapu jalan yang hampir tak pernah menjadi perhatian siapa pun, bahkan petani di desa-desa yang tak pernah kita sadari keberadaannya meski setiap hari kita menikmati jerih payahnya, mereka itu sama pentingnya dengan rekan bisnis kita, tidak kalah pentingnya dengan relasi atau teman makan dan sahabat dekat kita. Bisakah Anda membayangkan jika di dunia ini tak ada orang yang mau bekerja sebagai tukang sampah? Atau ketika semua sopir angkutan umum tak lagi mau meneruskan profesinya? Bagaimana rupa jalan raya di kota seandainya tak satu pun yang berkenan menjadi petugas kebersihan?

Siapa pun Anda, tak perlu merasa tak membutuhkan orang lain. Bukankah tidak akan ada sebutan “orang kaya” jika tak ada orang miskin di dunia ini? Wallaahu’a’lam.

Bayu Gawtama

Wednesday, March 16, 2005

Pertarungan Kepentingan

Saya senantiasa yakin bahwa kelak akan memperoleh manfaat atau pun kebaikan dari setiap perbuatan baik saya terhadap orang lain. Setidaknya hingga kemarin sore saat sebuah bis metromini mogok tepat di depan saya yang tengah menunggu bis lainnya. Empat puluh lima menit sudah menunggu, namun bis langganan yang akan membawa saya ke rumah belum juga tiba. Rupanya Allah punya rencana lain, sebuah bis tak berpenumpang bernomor S-75 mogok di depan saya.

Setelah beberapa menit sopir bis tersebut tak berhasil membuat kendaraannya berjalan, kondektur bis meminta bantuan kepada beberapa orang yang ada –yang kesemuanya tengah menunggu angkutan umum- untuk mendorong. Namun tak satu pun yang bergerak hingga tawaran itu mampir ke saya. Disinilah pertarungan kepentingan bermain, karena hati, kaki dan tangan saya hendak maju membantu mendorong bis tersebut, namun mata saya menangkap bis yang sudah saya tunggu hampir satu jam pun tiba. Akhirnya, mata saya kalah oleh tiga indera yang lainnya.

Sejujurnya, saya sering berpikir mungkin sah-sah saja jika saya tak melakukan hal yang diluar kepentingan saya. Seperti bis yang mogok tadi, saya tak hendak dan tak sedang menumpang bis tersebut. Jika bicara soal kepentingan tentu tak ada kepentingan saya terhadap bis tersebut, mogok atau pun tidak bisa saja saya katakan bukan urusan saya. Kadang yang membuat saya terheran justru ketika ada sebuah bis sarat penumpang yang mogok di tengah jalan, meski hampir putus urat leher si kondektur berteriak minta tolong penumpangnya untuk membantu mendorong, bisa dihitung dengan jari tangan jumlah penumpang yang bersedia turun tangan. Selebihnya, ada yang pura-pura tertidur, ada yang cuma bisa ngomel dan menghina bis, “bis bobrok masih dipake narik”, padahal mungkin esok hari ia masih mau naik bis yang sama. Bahkan ada yang cuek beibeh merasa ia sudah membayar, jadi segala urusan mogok dan lain sebagainya itu bukan tanggungjawabnya. Padahal kalau ia mau membantu dan kendaraan itu dapat berjalan lagi, mungkin saja ia terbantu juga dari keterlambatan tiba di tempat tujuan.

Tapi, kepentingan yang saya bicarakan bukan kepentingan yang demikian, melainkan kepentingan jangka panjang. Siapa yang bisa merasa yakin bahwa hidup Anda akan berjalan lancar-lancar saja tanpa hambatan? Siapa sih orang yang tak pernah berpikir bahwa di suatu waktu, di satu tempat ia akan mengalami kesulitan, dan disaat itulah Anda membutuhkan orang lain?

Kepentingan yang saya maksud adalah kepentingan yang harus dipentingkan oleh saya dengan satu keyakinan bahwa kelak orang lain pun akan merasa penting untuk membantu saya keluar dari kesulitan. Ini bukan berarti saya melakukan semua itu tanpa pamrih, di atas semua itu saya yakin bahwa setiap perbuatan baik kita akan ada balasannya, entah kapan. Seperti halnya saya juga yakin setiap perbuatan buruk seseorang juga akan ada ganjarannya.

Beruntung, disaat pertarungan kepentingan kemarin sore saya bisa mengalahkan ego untuk tidak beralih ke bis yang sudah empat puluh lima menit saya tunggu dan mungkin akan menunggu sepanjang waktu yang sama untuk bis berikutnya. Tapi lagi-lagi Allah punya rencana lain, karena selang lima menit kemudian bis berikutnya tiba dengan sederet bangku yang kosong. Padahal bis sebelumnya begitu penuh sesak.

Percayalah, pertarungan kepentingan itu akan selalu hadir dan untuk menguatkan kegigihan saya memenangkan pertarungan itu, saya ingin menyebut satu nama sahabat saya di KKS Melati, Fridessy yang pernah berucap; Cara terbaik dalam memberi adalah seperti bunga yang tak pernah peduli apakah orang yang mendapatkan keharuman dan keindahannya seseorang yang pantas atau tidak.


Terima kasih Allah, hari ini Engkau berikan lagi saya kesempatan untuk berbuat baik.

Bayu Gawtama

Tuesday, March 15, 2005

Nyalakanlah Api Cinta

Malam itu semua peserta pelatihan saya kumpulkan dan duduk melingkar dalam satu ruangan. Tanpa setitik pun penerangan dalam ruangan tersebut sehingga masing-masing peserta nyaris tak dapat melihat wajah peserta di sebelahnya. Dalam keadaan gelap seperti itu, tak banyak yang bisa dilakukan seseorang. Berjalan pun harus meraba-raba dengan langkah yang tersendat dan penuh hati-hati agar tak menabrak sesuatu atau terjerembab yang menyebabkan luka.

“Apa yang bisa Anda lakukan dengan keadaan seperti ini?,” saya membuka suara di keheningan malam yang terasa semakin pekat.

Beberapa peserta mencoba menjawab seadanya, meski sebagian mereka tak benar-benar tahu dari mana arah suara saya. Saya tak sedang mengajak peserta merasakan bagaimana rasanya tak memiliki penglihatan, juga tak sedang meminta mereka berempati kepada para tuna netra meski hal itu sangat penting untuk dilakukan.

Kemudian salah seorang peserta memecah kebekuan, “Apalah yang bisa saya lakukan tanpa cahaya, semuanya begitu sulit dan mencekam. Dalam keadaan seperti ini saya pasti membutuhkan bantuan orang lain.”

“Anda tak membutuhkan orang lain, yang Anda butuhkan adalah diri Anda sendiri,” tegas saya.

Meski tak dapat melihat dengan jelas raut wajah mereka, namun saya yakin sebagian besar mereka bertanya-tanya maksud pernyataan saya tadi. Ketika seseorang mengaku membutuhkan orang lain dalam kondisi yang pekat, justru saya katakan dia hanya membutuhkan dirinya sendiri.

Sedetik kemudian saya menyalakan sebatang lilin di tangan saya. Setitik cahaya berpendar di wajah saya, teramat kecil titik itu sehingga hanya mampu menerangi seperduapuluh dari ruangan tersebut. Sebelumnya saya juga membekali para peserta masing-masing sebatang lilin, namun saya tak menyertakan pemantik api kepada mereka.

“Yang harus Anda lakukan adalah menolong diri Anda sendiri. Api lilin ini melambangkan cinta dan saya akan membagi api cinta ini kepada Anda”

Saya dekatkan api lilin untuk menyalakan lilin di sebelah saya sambil mengatakan bahwa saya ingin memulai sebuah hubungan yang indah bersamanya dengan membagi cinta saya kepada Anda dan saya harap Anda mau menyalakan api cinta Anda. Saya pun meminta ia menggunakan lilin saya untuk menyalakan lilin rekan di sebelahnya dan seterusnya. Ketika terdapat dua lilin yang menyala di ruangan itu, tentu ruangan itu bertambah terang, terlebih ketika satu persatu dari semua lilin yang dimiliki peserta menyala. Adakah lagi kegelapan di ruang itu?

“Saat saya membagikan api lilin kepada masing-masing Anda, apakah api di lilin saya semakin kecil? Dengan memberikan cinta saya kepada semua orang yang ada di ruangan ini apakah kadar cinta saya semakin berkurang? Saat masing-masing Anda mendapatkan api cinta dari saya, apakah Anda mendapatkan api cinta yang lebih sedikit? Tentu saja tidak, Anda saksikan bahwa nyala api lilin kita sama besarnya.”

“Setelah semua lilin dinyalakan, Anda bisa melihat bahwa cahaya di ruangan ini jauh lebih terang dibanding ketika hanya lilin saya yang menyala”

Lalu saya pun mengajukan pertanyaan, “Apakah masing-masing kita mempunyai cukup api cinta untuk dibagikan kepada orang-orang di sekitar kita? Adakah yang khawatir api cinta Anda seketika mati saat Anda membaginya kepada orang lain?

Saya menutup sessi pelatihan itu dengan wajah tersenyum saat melihat wajah-wajah penuh cinta berpendar cahaya lilin. Indah nian jika semua cinta dapat dibagi, karena di luar sana teramat banyak sahabat yang membutuhkan cinta kita. Wallaahu ‘a’lam

dan kau lilin-lilin kecil, sanggupkah kau memberi seberkas cahaya… (James F Sundah)

Bayu Gautama

Monday, March 14, 2005

Carilah Tuhan yang Lain!

“brengsek…! Sialan…! Uu-uh… batu nggak tau diri, bikin sakit kaki gue aja…”

Dulu, kalimat itu sering terlontar begitu saja dari mulut saya saat kaki saya terantuk batu. Biasanya, jari kaki langsung berdarah, atau minimal lecet. Yang lebih buruk, kadang bisa sampai bengkak bahkan mungkin bernanah beberapa hari kemudian jika tak segera diobati.

Esok harinya, saya berpikir harus lebih berhati-hati saat berjalan, terutama di jalan yang berkerikil. Tapi yang namanya nasib, biar empat mata terpasang –plus dua mata kaki- lebar-lebar tetap saja kalau sedang tidak beruntung ya terantuk lagi. Hingga hari ini, entah sudah kali ke berapa kaki ini terantuk batu. Tak pernah saya menghitungnya.

Manusia memang perlu belajar dari kesalahan masa lalu agar tak mengulanginya di masa yang akan datang. Konon salah satu ciri orang bodoh adalah mengulangi kesalahan yang sama akibat tak mengambil pelajaran dari kesalahan sebelumnya. Tapi bicara takdir, ciri bodoh yang satu ini mesti dikesampingkan dulu. Seperti jempol saya yang berulang kali harus berdarah beradu keras dengan batu. Saya tak ingin menyalahkan batu itu yang sering saya anggap menghalangi jalan saya, padahal batu itu sudah ada di tempatnya sejak kemarin sebelum saya melewati jalan itu. Atau bahkan ia sudah di situ jauh sebelum saya lahir dan pernah juga memakan korban jutaan jempol kaki yang lain.

Jika saya sudah berhati-hati namun masih tetap terantuk juga, itu namanya takdir. Allah sudah mencatat jauh sebelum saya diciptakan bahwa yang namanya Bayu Gautama itu, pada hari ini, jam sekian, detik sekian, akan terantuk batu, di jalan ini, beberapa meter dari bangunan anu. Selesai? Belum!

Tinggal kemudian bagaimana saya mensikapi setiap keputusan Allah terhadap saya tersebut. Bersyukur kah atau mengeluh?

Ini bukan soal bahwa kemudian saya akan menerima begitu saja setiap keputusan Allah. Misalnya ketika saya sakit, maka saya tak perlu berobat karena saya pikir ini takdir Allah, dan saya yakin Allah pula yang akan mengangkat penyakit saya kelak karena Allah yang memberinya. Sebagai orang beriman, tentu saja saya harus melakukan satu ikhtiar, yakni berobat sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh seorangb manusia. Sembuhkah atau bertambah parahkah saya setelah berobat, itu diluar kekuasaan manusia. Manusia hanya bisa berbuat dan berdoa, soal hasil tunggu lah tangan Allah yang bermain.

Sekarang kita mulai logikanya.

Anak sekolah yang hendak naik tingkat selalu harus melewati beberapa rangkaian ujian. Begitu juga seorang karyawan, ia harus lulus test dan ujian tertentu untuk bisa naik posisi yang lebih tinggi dengan pendapatan yang lebih baik. Artinya, untuk menjadi lebih baik seseorang senantiasa ‘wajib’ melewati berbagai ujian. Dan bisa dikatakan, setuju atau tidak setuju, setiap orang baik dan yang akan menjadi baik akan selalu menerima bermacam cobaan untuk menguji kualitas kebaikannya. Kalau ada anak yang tidak ikut ujian, alternatifnya hanya dua; dia tidak sekolah atau dia tidak mau naik kelas. Kalau ada karyawan yang tidak disertakan dalam test kenaikan pangkat, bisa jadi dia memang dipandang belum layak untuk menduduki posisi lebih baik sehingga kemudian dinilai belum mampu melewati rangkaian test, atau mungkin karyawan tersebut memang sudah berniat untuk terus menjadi bawahan. Saya rasa yang kedua ini agak unik, kalau boleh dibilang mustahil.

Jangan dulu bicara soal hasil. Di sini kita hanya bicara soal ujian, ujian dan ujian yang mesti dilewati seseorang untuk mencapai derajat kebaikannya. Semestinya, setiap anak sekolah yang akan melewati ujian kenaikan kelas senantiasa semangat dan senang menghadapinya. Demikian juga dengan karyawan yang mendapat kesempatan melewati test kenaikan pangkat. Semakin sering mereka mendapatkan kesempatan itu, semakin besar peluang mereka memperoleh tingkat yang lebih tinggi.

Sekarang kembali kepada saya yang terantuk batu. Saya tak lagi mengeluh atau bahkan mengumpat dengan makian yang sarkas. Toh, seberapa banyak pun kalimat sarkas yang keluar dari mulut saya, ini sudah terjadi dan jempol kaki saya tetap berdarah. Syukuri saja, karena bisa jadi ini juga ujian dari Allah. Saat saya terbaring sakit dan sudah menghabiskan jutaan rupiah, namun jika akhirnya saya harus menghadap Allah, isteri dan anak-anak saya harus bersyukur karena mereka mendapatkan ujian ini dari Allah. Saya tentu tak ingin mereka marah, kecewa atau bahkan membenci Allah, karena semua itu takkan pernah bisa mengembalikan saya kepada mereka.

Allah dalam sebuah hadits qudsi mengatakan; Setiap ujian, musibah dan malapetaka yang Aku berikan kepada hamba-hamba-Ku sudah tercatat sebelumnya. Jika ada yang tak berkenan dengan semua itu, silahkan cari tuhan yang lain selain Aku. Silahkan cari bumi tempat berpijak selain bumi-Ku.

Memang tidak terlalu persis bunyinya seperti itu, tapi intinya saya ingin mengatakan, itu bukan marahnya Allah, justru itu Rahman (kasih sayang)nya Allah agar kita termasuk orang-orang yang baik, dan terus menjadi lebih baik karena senantiasa bersyukur atas cobaan, ujian dan musibah yang kita terima dengan ikhlas. Wallaahu’a’lam

Bayu Gautama

Wednesday, March 09, 2005

Rumah Baru

Sabtu siang (5/3) akhirnya kami tiba di rumah baru. Sebuah rumah sederhana yang akan menjadi persinggahan selanjutnya. Butuh waktu dua setengah jam dari Bogor menuju ke Tangerang, karena tiga mobil kami harus berjalan beriringan. Dua mobil untuk mengangkut rombongan keluarga, sementara hanya satu mobil box kecil untuk mengangkut barang-barang kami.

Cuma satu box kecil? Ya, karena kami memang belum punya apa-apa. Rumah (kontrakan) kami sebelumnya di Bogor terbilang kecil, bahkan bisa dibilang teramat kecil. Sehingga ketika kami menempati rumah baru (juga kontrakan) yang sedikit lebih besar, semakin bertambah terasa lah bahwa kami memang tidak memiliki apa pun.

Mau tahu barang apa yang paling berat yang kami bawa? Satu dus besar yang berisi buku! Ya, semua isinya buku dan itu adalah barang yang paling berat yang kami miliki. Tidak ada tempat tidur, tidak ada sofa, tidak ada lemari besar, tidak ada lemari es. Buku-buku yang sudah saya kumpulkan sejak saya masih bujangan itu terus setia mengikuti kemana pun kami berpindah kontrakan.

Perlu Anda ketahui, buku-buku itu pula yang membuat isteri saya sempat terbengong-bengong pada hari-hari pertama pernikahan kami. Saya hanya membawa satu tas kecil pakaian, sementara satu dus berukuran sedang dan satu tas traveling penuh terisi dengan buku. “Inilah harta paling berharga yang saya miliki, dan hanya ini yang saya bawa,” ujar saya waktu itu.

Kini, di rumah baru anak-anak saya bisa lebih leluasa bermain, berlari kesana kemari tanpa harus khawatir menabrak tembok. Rumah yang lapang memang merupakan bagian dari empat kebahagiaan yang disebutkan Rasulullah, yakni; rumah yang lapang, isteri shalihah, kendaraan yang baik dan tetangga yang baik. Alhamdulillah, setidaknya saya sudah mendapatkan tiga dari empat hal tersebut. Walaupun statusnya masih mengontrak. Kedua, soal tetangga yang baik, saya akan memulainya dengan menjadi tetangga yang baik buat para tetangga saya.

Tentang rumah yang lapang, saya pesankan kepada isteri saya. Ini semua tidaklah penting, jika hati kita tidak lapang. Apa yang ada di dalam dada ini, semestinya harus jauh lebih lapang dari kelapangan rumah. Selapang apa pun tempat tinggal kita, takkan pernah terasa damai dan lapang jika hati kita begitu sempit. Seyogyanya, kita bisa menciptakan hati kita senantiasa terbuka seluas-luasnya agar kita tetap merasa lapang meski tempat tinggal kita tidak lapang, agar orang-orang yang berada di sekitar kita pun terimbas kelapangan hati yang terpancar dari kita.

Jauh lebih penting dari semua itu, satu doa yang terus saya ucapkan bersama dengan isteri dan anak-anak saya, agar kelak Allah memberikan kelapangan ketika kami menempati rumah abadi kami, alam kubur dan alam akhirat. Jika Allah mengabulkan, tentu saja ini jauh lebih membahagiakan kami. Semoga.

Bayu Gautama