Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, February 27, 2008

Bukan Doa Saya yang Terkabul

Apakah rezeki hari ini benar-benar karena kerja keras saya? Benarkah doa di pertengahan malam atau di setiap sholat saya yang dikabulkan Allah? Tidak adakah andil orang lain dalam kesuksesan yang telah kita raih? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah sangat sering menyerbu pikiran saya. Bukannya saya tak pernah yakin akan jawaban-jawaban yang terkuak di kemudian hari, tetapi justru karena semakin hari semakin saya dapatkan peristiwa-peristiwa menakjubkan yang memaksa saya berkata, “bukan semata karena hasil kerja keras dan doa saya, sehingga hari ini saya memperoleh rezeki dari-Nya”.

Kisah mengagumkan itu terjadi malam tadi, atau tepatnya ketika siang harinya saya mendapatkan telepon dari seorang sahabat, “Pak, ada sedikit rezeki saya transfer untuk keponakan-keponakan saya, salam untuk mereka ya”. Tentu saja yang dimaksudnya adalah kedua putri saya. Dan karena amanahnya memang untuk mereka, saya pun teringat akan beberapa pesanan yang belum sempat terbeli.

Beberapa hari terakhir kedua putri saya selalu bertanya, “Abi sudah punya uang?” pertanyaan yang sangat hati-hati dari keduanya karena tidak ingin membuat Ayahnya gelisah mengemban ‘kewajiban’ membelikan sesuatu yang dinginkannya. Kalau pun jawaban saya adalah; “Belum”. Mereka pun tidak menunjukkan mimik kecewa sedikit pun. Yang ada hanyalah sebuah pernyataan penuh kesabaran, “Nanti kalau Abi sudah punya uang, dapat rezeki dari Allah, Abi janji ya beliin dede sama teteh buku gambar, pensil warna, dan serutan yang baru ya”.

Alhamdulillah. Saya kadang tak pernah henti bersyukur, anak-anak yang pernah menuntut sesuatu dengan tangisan. Sudah bertahun-tahun saya memberinya pengertian, bahwa jika ada rezeki, tanpa meminta pun saya akan membelikannya. Setidaknya saya berusaha menjaga janji itu dan mereka tahu Ayahnya tak berniat melupakan janjinya.

Satu lagi, mereka juga paham, bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Karenanya, dalam setiap selesai sholat selalu ada doa yang mereka utarakan kepada Allah, terutama ketika mereka menginginkan sesuatu. Misalnya saja yang terjadi malam tadi, ketika saya pulang dari kantor membawa sekantong plastik berisi dua buku gambar mewarnai, dua kotak pensil warna, satu serutan pensil, dan satu buku magnet Doraemon.

Setiap pekan memang ada jadwal membeli buku mewarnai. Pensil warna harus beli lagi karena sudah pendek-pendek dan sebagian pensil warna-warna tertentu sudah hilang. Begitu juga dengan serutan pensil, yang lama sudah rusak. Tentang buku magnet Doraemon itu ada cerita khusus. Setiap kali ikut Umminya belanja ke sebuah mini market, buku magnet itu selalu terpajang di kasir lengkap dengan banderol harganya. Ditambah, sebagian teman-temannya di komplek sudah memilikinya. Hufha, si sulung bahkan beberapa hari terakhir bertanya sopan, “Abi sudah punya uang dua puluh enam ribu sembilan ratus belum?” Aih, dia benar-benar sangat berhasrat memilikinya, sampai hapal betul harga buku itu.

Nah, malam tadi, ketika mereka membuka kantong yang saya bawa. Iqna, putri kedua saya langsung berteriak, “Ya Allah, terima kasih. Abi tahu nggak, waktu sholat dede minta sama Allah supaya Abi dikasih uang yang banyak… eh bener aja, sekarang Abi beliin dede ini. Memang Abi sudah dikasih uang sama Allah?”

Antara ingin tertawa mendengar celoteh polosnya, dan sangat terharu karena saya semakin menyadari, bahwa ternyata tidak selalu doa saya yang dikabulkan Allah. Terima kasih ya Allah, jagalah diri kami agar senantiasa pandai bersyukur.

Gaw

Tuesday, February 26, 2008

Ibu; Jauhnya Pun Menenangkan Hati

Senin siang, isteri saya mengirim pesan singkat, “Iqna sakit, badannya panas”. Kemudian saya membalasnya, “sudah minum obat? Satu jam lagi kasih kabar ya…”

Tak ada kabar lagi sampai lewat satu jam, saya berpikir Iqna –putri kedua saya- pasti sudah diberi obat penurun panas. Jadi saya agak sedikit tenang dan tetap melanjutkan pekerjaan di kantor. Namun menjelang ashar, sebuah SMS masuk lagi, “suhunya masih tinggi, belum turun”.

Saya pun bergegas pamit menuju rumah. Iqna harus segera dibawa ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. Motor pun terpacu lumayan cepat, jarak antara rumah dan kantor yang biasanya memakan waktu hingga 30 menit saya buat kurang dari 25 menit. Adrenalin sedikit meningkat, mungkin karena pacuan motor yang meningkat, ditambah pikiran saya terus kepada Iqna yang sedang sakit.

Sesampainya di rumah, saya sedikit tenang. Sebab, si sakit yang membuat saya memacu cepat motor sedang asik bermain boneka. Tidak seperti yang saya bayangkan beberapa menit sebelumnya, bahwa ia sedang terkulai lemah di tempat tidurnya. Begitu masuk dan mengucapkan salam, ia pula yang pertama membalas salam saya dan memperlihatkan barisan gigi-gigi putihnya. Saya segera menyentuh tubuhnya, dan, panasnya sudah turun. Alhamdulillah.

Tetapi entah kenapa, sejak siang di kantor hati ini terasa berbeda. Ada gusar, gelisah dan keresahan yang menyelimuti diri ini sepanjang hari. Sampai selepas maghrib, segenap rasa tak nyaman itu tetap tak mau pergi meskipun saya sudah mencoba menenangkannya dengan membaca ayat-ayat al quran.

Malam terus bergulir, waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB, namun mata ini belum mau terpejam. Tentu karena hati ini pun masih gundah, belum tenang dan belum mau diajak istirahat. Saya terus memikirkan gerangan apa yang membuat saya merasa seperti ini. Mungkin pekerjaan di kantor yang belum selesai? Atau beberapa tagihan yang belum terbayarkan? Ah, bukan, pasti bukan itu.

Akhirnya, entah jam berapa saya tak sadar sudah terlelap. Namun tak berapa lama, sekitar pukul tiga dini hari saya kembali terbangun. Masih saja semua rasa tak nyaman itu masih menggelayuti hati. Saya pun berwudhu, menghadap Allah bersujud kepada-Nya. Tidak cukup tenang, saya pun melanjutkannya dengan tilawah quran. Beberapa lembar terbaca, hati pun terasa sedikit lega.

Waktu sudah beranjak ke pukul empat dini hari. Empat puluh lima menit lagi adzan subuh, tetapi masih ada yang terasa mengganjal di hati ini. Tiba-tiba, isteri saya menyodorkan telepon genggam, “Telepon Mama bi, mungkin Mama kangen”.

Ya Allah, saya istighfar berkali-kali. Mungkin ini yang diinginkan Allah dari saya, berbicara dengan ibu meski sebentar saja akan menenangkan jiwa. Sekarang baru pukul empat pagi, waktu yang tepat berbicara dengannya. Saya tahu ia tak pernah absen sholat malam lengkap dengan doa-doa untuk semua anaknya.

“Assalaamu’alaikum ma…” baru saja suara saya menyapanya. Ibu langsung berkata, “Wa’alaikum salam, mama tahu kamu akan telepon. Mama baru saja membayangkan wajah kamu di sholat mama. Mama minta sama Allah, kamu, juga anak-anak mama yang lain diberi kekuatan oleh Allah dalam menjalani hidup”

“Ma…” belum selesai kalimat saya, ibu memotongnya, “Kamu kangen mama kan? Makanya kamu telepon mama pagi-pagi begini” Ia seperti sudah tahu perasaan berat yang terpendam, yang selama seharian membuat hati tak tenang. Terima kasih ya Allah, masih Kau beri saya kesempatan menyapanya pagi ini.

“Kapan mau ke rumah?” Duh ibu, saya belum bisa berjanji. Malu rasanya, ibu bisa menembus jarak dan waktu setiap kali ia merasa rindu kepada anak-anaknya. Setiap detik waktunya terisi sebongkah rindu. Setiap hela nafasnya, menyebut nama orang-orang yang dicintainya. Dan di setiap pintanya kepada Allah di pertiga malam, nama anaknya lah yang tak pernah alpa disebut.

Sedangkan saya, rindu ini sering terhalang jarak dan waktu. Kesibukan pekerjaan sering membuat saya lupa mengeja namanya. Dan kecintaan saya kepada isteri dan anak-anak, kadang menyamarkan wajah teduhnya yang dilukis Allah dengan tinta cinta. Saya yakin, setiap tetes darahnya mengalir butiran-butiran kasih yang tak pernah sebanding dengan mutiara termahal di dunia mana pun.

Dalam tidur dan terjaganya, ia selalu menanti sapa sayang anak-anaknya yang sering kali berbuah hampa. “Maaf ma…” Tetapi seolah telunjuk ibu menutup rapat bibir ini agar tak melanjutkan kata. “Ssstt… anak-anak tidak pernah salah di mata mama. Mama tunggu akhir pekan ya, jangan lupa bawa cucu-cucu mama ya…”.

Telepon pun ditutup, bersama dengan turunnya hujan, ketenangan pun hinggap merayapi hati ini. Suara adzan subuh sayup-sayup membelah keheningan pagi. “Terima kasih Allah…”

Gaw
Yang sedang kangen ibu, kupandangi fotomu kini