Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, September 26, 2007

Carikan Hufha Suami yang Baik ya...

Semalam, saat mengantar putri pertama saya, Hufha ke kamarnya untuk tidur, tercetus satu pertanyaan, "Bi, memangnya Ummi benar-benar hamil?"

Saya menjawabnya singkat, "Insya Allah"

Kemudian Hufha bertanya lagi, "Kok Ummi bisa hamil sih, gimana caranya?" untuk pertanyaan yang satu ini, saya sedikit berseringai menahan tawa, sekaligus butuh sedikit waktu untuk berpikir agar bisa memberikan jawaban yang tepat dan memuaskan.

Jawaban yang dicari ternyata susah sekali untuk diungkapkan, akhirnya saya hanya menjawabnya dengan penjelasan yang umum, "Ya, kalau orang sudah menikah memang akan hamil," jawab saya.

Jujur, saya sempat tercengang dengan pertanyaan putri saya itu. Namun lebih kaget lagi dengan pertanyaan -lebih tepatnya permintaan- berikutnya. "Nanti kalau Hufha sudah besar, Abi carikan suami yang baik ya buat Hufha..."

Senyum lebar pun terbentuk di wajah saya, hampir tak percaya, gadis kecil saya yang masih berusia 6 tahun berkata seperti itu. "Yang baik, nggak galak, nggak pernah marah, rajin sholat dan sayang sama Hufha," ia menambahkan.

Duh duh duh, gadis kecil saya sudah berpikir tentang kriteria calon suami. Di satu sisi saya terharu, di sisi lain cukup menimbulkan pertanyaan, bagaimana anak seusianya sudah mulai berpikir tentang suami dan kriteria yang diinginkannya.

Saya pun memancingnya dengan pertanyaan singkat nan menggelitik, sekadar ingin mengorek gerangan siapakah anak lelaki di komplek yang ada di benaknya, "Yang baik, nggak galak, rajin sholat dan sayang itu seperti siapa sih?"

Mulut kecilnya tertutup rapat, dan "hmmm..." agak lama ia berpikir. Kemudian, "Seperti Abi donk..."

Aha, lega rasanya. Saya hanya khawatir pikirannya mulai terpengaruh gaya anak-anak sekarang yang kecil-kecil sudah paham soal pacaran. Ketika ia menyebut, "seperti Abi" saya pun berkata dalam hati, "Alhamdulillah, sampai saat ini saya masih positif dan bisa menjadi teladan di mata anak-anak, insya Allah akan selalu seperti itu".

Saya pun mengecup keningnya, ketika ia mulai melafalkan doa sebelum tidur. (gaw)

Tuesday, September 25, 2007

Berkah Ramadhan, dapat 2 amanah, seneng tapi deg-degan

Ramadhan memang bulan berkah, alhamdulillah saya mendapatkan keberkahan di bulan mulia ini sekaligus dua;

pertama (disebut pertama saking girangnya sekaligus memang ini yang selalu ditunggu), isteri saya hamil! Senin pagi ini isteri ke bidan untuk periksa, dan ketika saya sedang rapat di kantor dapat sms dari isteri yang isinya, "Alhamdulillah positif, sudah 7 minggu..."

Subhanallah, inginnya sih langsung sujud sukur, tapi berhubung meeting sedang serius bicarakan rencana program recovery Bengkulu, ya dalam hati aja deh sujud sukurnya. Pasti Hufha dan Iqna senang sekali mendengarnya, sebab mereka memang sudah lama kepingin punya adik.

Namun saya cukup deg-degan juga nih, sms isteri kan masih ada lanjutannya, "... karena punya riwayat keguguran, jadi gak boleh kerja berat dulu seperti nyuci, dll"

oke deh say, tenang aja, abang siap nyuci. tapi kalau abang nggak ada di rumah, biar kita cari tenaga bantuan saja ya, he he... Memang selama 2 tahun terakhir, isteri sudah 3 kali keguguran. entah karena lelah atau memang penyakit, semoga saja kali ini Allah memberi kesempatan saya mendapatkan anak ketiga (semoga laki2), dan itu artinya saya sudah diberi kepercayaan lagi sama Allah. Amiinn

berkah kedua; selama ini saya sering merasa nggak nyaman karena selalu pakai handphone milik kantor. So, Sabtu kemarin ada 'titipan' dari seseorang yang nggak mau disebutkan namanya, dan memberikan satu unit HP. Alhamdulillah, sekarang nggak pakai HP kantor lagi, meski yang namanya semua barang itu tetap bernilai "amanah".

Bantu doa ya, semoga saya bisa mengemban dua amanah yang saya dapat di ramadhan ini. terima kasih

Thursday, September 20, 2007

[Peduli Bengkulu] Balada Lampu Cogok

Anasia (65 tahun), salah seorang warga Dusun Raja, Kecamatan Lais, Bengkulu Utara menuturkan kejadian gempa yang mengguncang dusunnya pada Rabu (12/9) selepas adzan maghrib. Ketika itu, ia tengah berada di rumahnya bersama suaminya, Sapri, dan kedua anaknya.

“tiba-tiba rumah bergetar, kami langsung berlari ke halaman rumah. Belum jauh kami ke halaman, rumah kami sudah roboh,” tuturnya.

Beruntung Anasia, Sapri dan kedua anaknya sudah terlebih dulu keluar rumah. Sebab jika melihat kondisi rumahnya saat ini yang sudah rata dengan tanah, ceritanya akan berbeda jika mereka tak segera keluar rumah. “mungkin kami sudah tidak ada, kejadiannya sangat cepat,” tambah Anasia.

Sejak Rabu malam, ia beserta suami dan kedua anaknya mendirikan tenda dengan terpal yang dimiliknya untuk sekadar berteduh. Sapri, sang suami menceritakan, sejak Rabu malam itu, mereka tidur berempat di tenda terpal berukuran 3 x 2 meter tanpa penutup sisi. Sehingga angin laut yang berada di belakang rumahnya begitu mudah menerobos setiap celah tenda. “Dingin pak, saya jadi sakit-sakitan. Apalagi makan pun seadanya…” terang Sapri.

Dusun Raja, Kecamatan Lais, Bengkulu Utara, merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak cukup parah akibat guncangan gempa Rabu lalu. Semenjak gempa hingga Selasa (18/9), jaringan listrik belum tersambung, sehingga seluruh pengungsi hidup dalam kegelapan.

Sore menjelang maghrib itu, Sapri memperlihatkan lampu cogok (di jawa lebih dikenal dengan lampu sentir), sebuah alat penerangan berbahan bakar minyak dengan satu sumbu kecil menyembul di atasnya. “Ini lampu kami, kami menyebutnya lampu cogok,” kata Sapri.

Semula kami menganggap bahwa kondisi tersebut wajar mengingat semua jaringan listrik di dusun tersebut memang belum tersambung. Namun ternyata, selama belasan tahun sebelum gempa pun keluarga Sapri memang hidup dalam kegelapan. “Kami orang miskin, tidak punya uang untuk membayar listrik. Jadi ya hanya lampu cogok inilah penerangan rumah kami…” mata Anasia berlinang.

“Sekarang, kami tidak lagi punya rumah. Satu-satunya rumah kami walaupun kecil sudah rata dengan tanah. Tidak tahu apakah nanti kami bisa punya rumah lagi atau tidak,” Anasia nampak sudah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Sapri pun menutup obrolan kami dengan kalimat yang meruntuhkan hati, “lampu cogok inilah yang masih kami punya. Sebelum dan sesudah gempa, tetap kami pakai lampu ini.” (gaw/bengkulu utara)

Friday, September 14, 2007

Kelahiran Ketiga, Panik!

Waktu menunjukkan pukul 15.40 WIB, tiba-tiba ia berteriak, "Sudah mules terus-terusan, mungkin sudah waktunya". Saya yang sedang tidur-tiduran langsung beranjak meminta izin pinjam mobil paman. Sudah skenario Allah, siang itu Ibu, tante dan paman mampir ke rumah, jadi mobil KIA Carens baru milik paman langsung jadi sasaran.

Mobil pun terpacu cepat melesat melintasi jalan komplek perumahan. Di depan gerbang, tepatnya di lapangan depan perumahan Taman Melati, Sawangan, ternyata sedang ada rencana panggung hiburan, katanya sih menjelang bulan ramadhan, mungkin semacam pesta terakhir. Yang saya dengar pula, beberapa artis dangdut ibukota siap hadir, bahkan MC-nya pun Jaja Miharja. So, jam segitu warga sudah membludak.

Klaksok pun bermain, sambil buka kaca berteriak "Permisi ada yang mau melahirkan nih!". Alhamdulillah jalan terbuka lebar sehingga mobil pun bisa melaju lagi.

Keluar dari pertigaan pengasinan sempat ragu mengambil jalan, kiri atau kanan. Kalau jalan ke kanan lebih lancar dan sepi tetapi banyak jalan berlubang. "kacau kalau brojol di mobil..." pikir saya. Akhirnya arah kanan pun dipilih. Tiga menit kemudian, "Ya Allah, macet total..."

Sepanjang kurang lebih 2 kilometer sampai traffic light Bojongsari jalanan macet total dan tak bergerak. Klakson dan teriakan "orang mau melahirkan" sudah tidak berlaku lagi. Saya menjadi panik, keringat dingin keluar sebesar-besar biji jagung meski airconditioner tetap terpasang.

Kepanikan saya bertambah mendengar rintihannya, "sudah tiga menit sekali mulesnya". Wah, antrian macet masih panjang. Belum lagi si kakak yang muntah sepanjang perjalanan, untungnya ada kantong plastik di laci mobil. Kalau sampai muntah di dalam mobil, bisa didamprat paman. Sedangkan si adik tenang di kursi belakang sambil memegangi perut ibunya.

Alhamdulillah, tidak sampai sepuluh menit jalan kembali normal. Usai melewati traffic light, mobil saya pacu tak kurang dari 80 km/jam. Saya tidak lagi pikirkan keselamatan, bagaimana pun harus cepat tiba di rumah sakit. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 16.05 WIB. Dan kira-kira lima belas menit lagi jika tidak ada aral akan tiba di rumah sakit.

Bersyukur jalan terus lancar, mungkin karena hari Sabtu sedikit orang keluar rumah. Akhirnya, pukul 16.25 WIB mobil pun masuk halaman UGD (unit gawat darurat) dan segera mendapatkan pertolongan dokter bersalin. Saya sedikit lega, termasuk karena tidak melahirkan di dalam mobil paman.

Kepanikan saya sepertinya belum hilang sebelum si bayi terlahir. Sampai di rumah sakit sudah pembukaan empat -jangan minta saya menjelaskan apa itu pembukaan empat- Bahkan boleh jadi lebih panik dari saat isteri saya melahirkan anak pertama enam tahun lalu. Mondar-mandir di depan ruang bersalin menunggu hadirnya warga baru di Taman Melati itu. Ya, hanya itu yang bisa saya lakukan karena dokter melarang saya masuk ke ruang persalinan.

***

Pukul 17.10 WIB, seorang bayi perempuan terlahir dan langsung digendong untuk diazankan ayahnya. Ya, oleh ayahnya, bukan oleh saya. Karena yang melahirkan itu tetangga saya, pada saat mules terasa, si suami sedang pergi mencari perlengkapan melahirkan dan sudah tiba di rumah sakit sepuluh menit sebelum anaknya lahir. Si kakak yang muntah itu anak pertama mereka, adiknya yang memegangi perut ibunya, anak keduanya.

Tapi sejujurnya, saya memang benar-benar panik. Entah kenapa, mungkin karena yang melahirkan justru bukan isteri saya. Syukurnya, saya jadi merasakan kembali bagaimana paniknya jika isteri melahirkan. hi hi....

Gaw

Friday, September 07, 2007

Menolong Itu Sehat!

Chairul namanya, atau ia lebih senang dipanggil Ilul. "Ilul saja bang, lebih enak dan sudah biasa" katanya ketika saya berkenalan dengannya. Ia pemuda sederhana, tidak bermotor, tidak berpakaian perlente, tidak nge-jeans, dan juga tidak punya handphone layaknya kebanyakan pemuda sekarang. Pemuda berusia duapuluh satu tahun ini sehari-harinya bekerja sebagai tukang ojeg mulai pukul sepuluh pagi hingga malam hari.

Ilul memahami betul bahwa pekerjaannya bukan semata mencari uang. "ada unsur tolong menolong dalam pekerjaan saya bang." Yang dimaksud Ilul adalah, seringkali orang membutuhkan jasa ojeg untuk alasan kecepatan dan menghindari macet. Jasa ojeg-lah yang sering dijadikan andalah untuk mereka yang berpacu dengan waktu. Namun bukan hanya itu 'unsur menolong' yang dimaksud pemuda jebolan SMP itu. "Kadang ada orang butuh tumpangan padahal dia nggak punya duit, tetap saya antar. Mungkin suatu saat gantian saya yang ditolong orang lain".

Tapi, kenapa baru mulai ngojeg pukul sepuluh? nah, inilah yang menarik untuk diceritakan, sebab hal ini juga berkenaan dengan postur tubuhnya yang boleh dibilang cukup atletis. Memang kalau dilihat lebih seksama, tubuh Ilul terlihat bagus dan atletis. Untuk bagian perutnya, bolehlah dibilang "six pack", sementara otot lengannya cukup berbentuk layaknya binaraga pemula.

Apakah Ilul rajin fitness? "Duit dari mana bang buat ikut fitness. Mending buat makan..."

Akhirnya Ilul pun buka suara. Dia bilang, "boleh percaya boleh nggak". Soal bentuk tubuh atletisnya itu ia dapatkan dari rutinitas pagi dan sorenya membantu sang ibu. Setiap pagi dan sore, ia harus mengisi bak mandi di rumahnya dengan pompa tangan untuk segala keperluan, termasuk untuk mandi ketiga adiknya. Selain bak mandi, semua ember dan bak di rumahnya pun harus diisi, termasuk tempayan besar untuk air memasak. "fitness" pagi ala Ilul itu dilakukan setiap hari pagi dan sore sejak enam tahun lalu. Ayahnya meninggal dunia lebih enam tahun yang lalu dan sejak itu keluarganya memutuskan untuk tidak menggunakan pompa listrik karena khawatir tak sanggup membayar tagihan listrik.

Bukan hanya memompa, setiap usai sholat subuh ia pun harus membawakan belanjaan ibunya dari pasar. "Memang tidak banyak, tapi lumayan berjalan kaki sambil menenteng belanjaan," terangnya.

"Hasilnya seperti ini nih..." Ilul memerlihatkan beberapa bagian otot tubuhnya. Kemudian Ilul menutup pembicaraan dengan kalimat, "Saya percaya akan selalu ada keberkahan setiap kali menolong orang lain, terlebih ibu sendiri."

Sekadar menambahkan kalimat Ilul, seraya melihat hasil yang didapatnya bolehlah saya berujar, "menolong itu sehat".

***

Georgia Wilkins, PhD, penulis buku "Badai Pasti Berlalu" sebuah buku yang didedikasikan untuk para korban bencana tsunami di Asia, termasuk di Aceh, menuliskan, "setiap kali Anda menolong orang, tubuh Anda akan dibanjiri oleh zat alami dari dalam tubuh yang disebut endorfin. Zat Endorfin inilah yang berkhasiat menghilangkan berbagai penyakit dalam tubuh.

Sekali lagi, boleh percaya boleh tidak, rata-rata relawan di berbagai lokasi bencana jarang terkena penyakit meskipun ia harus bekerja siang dan malam. Boleh jadi itu karena aktivitas menolong yang dilakukannya. Wallahu 'a'lam.

Monday, September 03, 2007

Rp. 2.000,- yang Meresahkan

Sabtu sore, usai sholat ashar. Hari ketiga Iqna -putri kedua saya- dirawat di rumah sakit karena typus, saya berpamitan kepada Iqna untuk mengantar orang tua ke rumah. Tidak disangka-sangka, ketika saya mencium keningnya tangan lemah Iqna menyambar seraya mengaitkan tangannya ke leher dan tak melepaskannya.

"Abi nggak boleh pergi, dede nggak mau ditinggal..." kalimat itu lemah terucap dari mulut mungilnya.

Saya bilang, "sebentar ya de, mau antar Abah ke rumah. Nanti Abi balik lagi..."

Namun tetap saja kait tangannya tak terlepas, terus melingkar di leher saya. Kali ini dibumbui air matanya yang mengalir bening melintasi pipinya. Saya pun memberi kode ke Abah agar menunggu sejenak. Sebuah buku cerita saya ambil dan membacakannya. Saya pun sempat bersenandung 'nina bobo' sambil mengusap-usap punggungnya. Soal mengusap-usap punggung ini, adalah kesenangannya sejak bayi dan menjadi senjata andalan saya setiap menemaninya tidur. Kalau ibu saya bilang, "itu nurunin abinya".

Tak berapa lama kemudian, Iqna pun tidur. Tetapi lingkar lengannya masih mengait erat di leher saya. Perlahan saya angkat tangan gadis kecil berusia lima tahun itu. Sejenak saya memandangi wajahnya dan selangkah demi langkah meninggalkan kamar rumah sakit.

Sepanjang jalan mengantar orangtua ke rumah -yang hanya sekitar dua puluh menit- hanya wajah 'malaikat kecil' itu yang terus menerus muncul. Tiba-tiba saya jadi merasa takut, gelisah dan resah. Jangan-jangan... Ah, saya tepis segera perasaan itu. Namun seharian itu saya terus menerus merasa takut kehilangannya, terlebih sejak Senin sore panasnya belum juga turun, masih berkisar 38 sampai 38,5 derajat celcius.

Sekembalinya ke rumah sakit, saya ciumi lagi kening si kecil yang sedang terlelap. Dan nyatanya, dada ini terus menerus tak henti bergemuruh. Minggu pagi, gemuruh resah itu mulai reda. Apalagi saya mulai bisa melihat Iqna tersenyum meskipun panasnya belum juga turun. Minggu siang saya semakin tenang karena ia sudah mau makan walau hanya beberapa suap saja.

Siang itu saya pun minta izin keluar untuk makan siang. Segera saya pesan semangkuk mie ayam, plus teh botol di warung sebelahnya. Usai makan, mie pun terbayar dan langsung menuju ke kamar rumah sakit.

Entah apa yang sudah atau bakal terjadi. Sesuatu yang aneh saya rasakan. resah, galau dan ketakutan yang kemarin tibat-tiba muncul kembali. Segera saya naiki anak tangga dan memasuki kamar tempat Iqna dirawat. "Alhamdulillah..." ia terlihat biasa-biasa saja meskipun masih lemah. Tetapi kenapa saya masih merasa resah?

Akhirnya saya mencoba menghilangkannya dengan berwudhu dan membaca beberapa ayat suci Al Quran untuk menenangkan diri. Setengah jam berlalu, keresahan justru makin menjadi. Namun seketika, "Ya Allah..." saya setengah berteriak. Pantas saja saya terus menerus merasa resah. Saya pun bergegas ke luar rumah sakit dan menemui ibu penjual teh botol.

"Maaf bu, tadi saya lupa membayar teh botol. Sekali lagi maaf, saya sangat lupa dan tidak sengaja melupakannya. Mohon dimaafkan..." saya malu sekali.

"Iya pak, tidak apa-apa" sahutnya.

Saya merasa harus memastikan pemberian maafnya saya dapatkan. Karenanya saya ulangi lagi permintaan maaf itu, "Tolong bu maafkan saya, agar saya merasa tenang".

Akhirnya, "Ya pak, sudah saya maafkan. Saya tahu bapak tidak sengaja..."

Alhamdulillah lega rasanya. Ternyata yang membuat saya resah di hari Minggu itu, hanya uang seharga teh botol. Ya cuma Rp. 2.000,- membuat saya sangat takut dan resah. Terima kasih Ya Allah... (Gaw)