Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Tuesday, October 31, 2006

Catatan Lebaran II : Dari Saltum Hingga Supermodel

Hari Raya Idul Fitri, atau lazim orang Indonesia menyebutnya dengan lebaran, layaknya panggung catwalk tempat para model memamerkan desain terbaru dari para perancang ternama. Dan catwalk lebaran, adalah panggung terbesar di dunia yang tidak ada bandingannya. Tak hanya panggung terbesar, perancangnya yang berpartisipasi pun terbanyak, pakaian yang ditampilkan terbanyak ragamnya, dan para modelnya pun tak terhingga.

Dimulai sejak sekitar pukul 06.00, saat takbir berkumandang membelah fajar memanggil orang-orang untuk datang ke lapangan untuk sholat Id. Nyaris semua yang datang mengenakan pakaian baru, setidaknya yang terbaik yang mereka miliki. Sebagian besar jamaah laki-laki tak berbeda, semua terlihat sama dengan pakaian gamis, kain sarung, kopiah dan berselendang sajadah. Sebagian kecilnya, tetap berupaya menampilkan pakaian barunya, mungkin karena ia tak membeli gamis untuk sholat Id. Sementara yang wanita, ini yang sangat menarik perhatian. Sebagian wanita cukup sederhana dengan mengenakan mukena, namun sebagian lainnya terlihat melipat dan menjinjing mukenanya. Mungkin ia tak ingin baju barunya tertutupi oleh mukena. Ada juga yang sudah memakai mukena saat menuju masjid atau lapangan, tetapi tetap menyibakkan sebagian mukenanya agar baju barunya tetap terlihat.

Yang menarik, ketika seorang gadis berlenggak menuju lapangan dengan pakaian ketat melekat di tubuhnya. Karuan saja ia menjadi pusat perhatian sejenak para jamaah yang sudah hadir lebih dulu. Saltum –salah kostum-? Bisa jadi. Padahal yang dituju adalah masjid atau lapangan tempat sholat Id, tapi pakaiannya lebih pantas dipakai ke tempat hiburan. Padahal lengannya anggun menjinjing tas mukena, yang itu bisa dipakai untuk menutupi tubuhnya.

Sholat Id pun usai. Wajah-wajah ceria bercahaya terlihat dari semua jamaah. Saling berpelukan dan memohon maaf satu sama lain. Kembali ke rumah, seolah sedang memasuki ruang ganti panggung catwalk. Sebab, sejurus kemudian, seperti mendapat aba-aba, serempak para model berganti kostum. Jika saat sholat tadi mereka berpakaian religius, kini giliran pakaian lainnya yang dikenakan. Bak pentas peragaan busana pada umumnya yang kerap berganti-ganti pakaian, tidak sedikit dari orang-orang berlebaran memiliki sejumlah pakaian baru. Satu untuk sholat Id, satu lagi untuk hari pertama, satu lagi untuk hari kedua. Atau pertimbangannya begini, satu untuk di rumah saat menerima tamu dan keluarga yang datang, satu stel untuk bertandang ke rumah-rumah keluarga, satu lagi disiapkan untuk ke rumah mertua atau calon mertua, dan seterusnya.

Beragam jenis pakaian yang ditampilkan para model lebaran ini, dari yang sederhana seperti baju gamis hingga yang mirip artis idola dan model sungguhan. Bahkan, saking ingin menyerupai sang idola, penampilan mereka lebih mirip disebut supermodel. Ya, di hari raya mereka tampil spesial layaknya seorang mega bintang, lebih ngartis dari artis sebenarnya.

Jikalah lebaran merupakan panggung catwalk, lalu siapa penontonnya? Jelas, yang menonton adalah mereka yang hanya menangis di hari raya tanpa baju baru. Mereka adalah fakir miskin dan anak-anak yatim, yang sesungguhnya sudah sangat bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani ramadhan sebulan penuh dan mencicipi kebahagiaan hari raya. Namun, polah tingkah kita yang bak supermodel dengan pameran beragam baju baru telah secara nyata melukai kebahagiaan mereka. Membuat mereka menitikkan air mata lantaran tak sanggup membeli baju baru.

Di sudut sebuah rumah yatim, seorang anak berusia enam tahun menatap sedih orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahnya. “Saya rindu Ayah,” terbayang di wajahnya kenangan tahun lalu ketika Ayahnya masih membelikannya baju baru.

Bayu Gawtama

Monday, October 30, 2006

Catatan Lebaran 1: Banyak Pengemis di Hari Raya, Tanya Kenapa?

Jika Anda cukup jeli, cobalah perhatikan berapa banyak pengemis yang datang ke rumah Anda pada saat hari raya Idul Fitri. Sejak beberapa hari sebelum hari Raya, hingga mencapai puncaknya usai sholat Id, para pengemis datang silih berganti berharap keberkahan hari Raya dari segenap muslim yang tengah merayakan hari kemenangan.

Sebagian Anda tak hanya jeli, bahkan merasa terganggu dengan kedatangan pengemis yang seolah tak ada habisnya itu. Baru saja memberi ke satu pengemis, tak sampai dua menit datang lagi pengemis lainnya, begitu seterusnya. Boleh jadi, dalam satu hari, mencapai dua puluhan pengemis yang datang. Terganggu? Tunggu dulu

Mari kita bicara soal kenapa mereka ada dan sangat ramai di hari raya. Apakah mereka tak ikut berlebaran seperti kita? Untuk sementara lupakan anggapan dan berita yang mensinyalir kehadiran mereka di lingkungan kita lantaran ada yang ‘memasok’nya dari berbagai daerah. Setiap pagi usai shubuh mereka dibawa dengan sebuah truk, diturunkan di tempat-tempat strategis dan komplek perumahan. Sebagian besar adalah wanita, plus dengan membawa serta anak-anak kecil yang berpakaian lusuh dan kumal.

Sebelum Anda mengeluh dan menganggap parade pengemis itu ada yang mengkoordinirnya, mari kita berkaca pada diri sendiri. Ada pertanyaan menarik, pengemis ada karena ada yang memberi atau karena tidak ada yang memberi? Dalam arti kata, ada dermawan yang mengasihani seraya merogoh kocek atau sebaliknya, karena tidak ada yang mengasihani mereka? Kemudian, karena ada yang selalu memberi maka si pengemis merasa apa yang dilakukannya adalah cara mudah mendapatkan uang. Jadilah ia pengemis terus menerus. Melihat rekannya ‘sukses’ mendapatkan uang hanya dengan menadahkan tangan, yang lain pun tak mau kalah. Mengubah penampilan layaknya pengemis, meski tubuh masih nampak segar bugar, semakin banyaklah jumlah pengemis di negeri ini.

Nampaknya, para pengemis itu tahu persis watak dan karakter kebanyakan orang Indonesia. Baik hati dan tidak tega. Alhasil, mereka pun berhasil meraup rezeki hanya dengan menadahkan tangan bermodal keyakinan bahwa orang Indonesia itu baik hati dan tidak tega. Untuk memuluskan program mencari rezekinya itu, sebagian pengemis bahkan berpura-pura cacat dengan membalutkan perban bernoda darah di kaki mereka. Bertambah miris lah hati yang melihatnya, keluarkan beberapa receh dari kantong lantaran iba.

Kembali ke soal bertambah banyaknya pengemis di hari raya, yang sangat mungkin jumlahnya meningkat beberapa kali dari biasanya. Sekali lagi, sebelum Anda merasa terganggu dengan kehadiran mereka, ada yang menarik untuk kita bicarakan. Di bulan ramadhan hampir seluruh ummat Islam menunaikan zakat, bahkan sebagian lainnya membayarkan zakat harta mereka juga di bulan suci, dengan pertimbangan akan meraih pahala lebih banyak. Khusus untuk zakat harta, di bulan sebelum ramadhan pun tidak sedikit orang-orang yang membayarkannya untuk menjaga kesucian hartanya. Tentu karena para muzakki ini mengerti, bahwa di sebagian hartanya terdapat hak bagi kaum dhuafa (lemah).

Jika pada hari raya, masih banyak pengemis yang datang, tentu ini jadi fenomena menarik. Pertanyaannya, apakah distribusi zakat yang tidak merata atau justru kita yang tidak maksimal dalam berzakat? Atau jangan-jangan sebagian dari kita belum menunaikan zakat? Atau, memang para pengemis itu yang bandel, tetap mengandalkan cara termudah mendapatkan rezeki dengan menadahkan tangan? Wallaahu ‘a’lam

Bayu Gawtama

Friday, October 20, 2006

Seindah Ramadhan, Sebagus Syawal

Kalaulah ada yang harus disebut terindah
Pastilah rembulan malam ramadhan
Yang dipandang tercantik
Pastilah senja ramadhan

Jikalah ada yang paling dinanti
Pastilah hari-hari ramadhan
Yang selalu dirindui
Adalah masa-masa sebulan penuh ramadhan

Andai ada yang harus dikenang sepanjang hayat
Tentulah keceriaan ramadhan
Yang takkan mungkin terlupakan
Ialah kenikmatan beribadah di ramadhan
Dan yang pasti ditangisi kepergiannya
Pasti pula si mulia ramadhan

Ampunan
Berkah
dan Rahmat
adalah yang diharap dari usainya ramadhan
seraya berdoa,
Dia berkenan kita bertemu lagi ramadhan
Walau satu tahun lagi…

Seindah ramadhan, sebagus Syawal
Begitulah persaudaraan ini terus terjalin

Minal aidin wal faidzin
Taqobbalallahu minna wa minkum
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H

Bayu Gawtama
Ida Aryani
Hufha Alifatul Azka
Iqna Haya Adzakya

Wednesday, October 18, 2006

Bunda, Luar Biasa!

Seorang anak terlahir normal, tanpa cacat sedikit pun. Proses kelahirannya berlangsung normal, tanpa operasi caesar. Tetapi proses panjang selama sembilan bulan sebelum melahirkan itulah yang tidak normal. Bahkan, jika bukan karena kuasa Allah, takkan pernah terjadi sebuah kelahiran yang menakjubkan ini. Selain faktor Allah, tentu saja ada sang bunda yang teramat luar biasa...

Pekan pertama setelah mengetahui bahwa dirinya positif hamil, Sinta mengaku kaget bercampur haru. Perasaan yang luar biasa menghinggapi seisi hidupnya, sepanjang hari-harinya setelah itu. Betapa tidak, sekian tahun lamanya ia menunggu kehamilan, ia teramat merindui kehadiran buah hati penyejuk jiwa di rumah tangganya. Dan kenyataannya, Allah menanamkan sebentuk amanah dalam rahimnya. Sinta pun tersenyum gembira.

Namun kebahagiaan Sinta hanya berlangsung sesaat, tak lebih dari dua pekan ia menikmati hari-hari indahnya, ia jatuh sakit. Dokter yang merawatnya tak bisa mendiagnosa sakit yang diderita Sinta. Makin lama, sakitnya bertambah parah, sementara janin yang berada dalam kandungannya pun ikut berpengaruh. Satu bulan kemudian, Sinta tak kunjung sembuh, bahkan kondisinya bertambah parah. Dokter mengatakan, pasiennya belum kuat untuk hamil sehingga ada kemungkinan jalan untuk kesembuhan dengan cara menggugurkan kandungannya.

Sinta yang mendengar rencana dokter, langsung berkata "tidak". Ia rela melakukan apa pun untuk kelahiran bayinya, meski pun harus mati. "bukankah seorang ibu yang meninggal saat melahirkan sama dengan mati syahid?" ujarnya menguatkan tekad.

Suaminya dan dokter pun sepakat menyerah dengan keputusan Sinta. Walau mereka sudah membujuknya dengan kalimat, "kalau kamu sehat, kamu bisa hamil lagi nanti dan melahirkan anak sebanyak kamu mau". Namun Santi tak bergeming. Janin itu pun tetap bersemayam di rahimnya.

Waktu terus berjalan, memasuki bulan ketiga, Sinta mengalami penurunan stamina. Keluarga sudah menangis melihat kondisinya, tak sanggup melihat penderitaan Sinta. Tak lama kemudian, dokter menyatakan Sinta dalam keadaan kritis. Tidak ada jalan lain, janin yang sudah berusia hampir empat bulan pun harus segera dikeluarkan demi menyelamatkan sang bunda.

Dalam keadaan kritis, rupanya Sinta tahu rencana dokter dan keluarganya. Ia pun bersikeras mempertahankan bayinya. "Ia berhak hidup, biar saya saja yang mati untuknya". Santi pun memohon kepada suaminya untuk mengabulkan keinginannya ini. "Mungkin saja ini permintaan terakhir saya Mas, biarkan saya meninggal dengan tenang setelah melahirkan nanti. Yang penting saya bisa melihatnya terlahir ke dunia," luluhlah sang suami. Pengguguran kandungan pun batal.

Bulan berikutnya, kesehatan Sinta tak berangsur pulih. Di bulan ke enam kehamilannya, ia drop, dan dinyatakan koma. Satu rumah dan dua mobil sudah habis terjual untuk biaya rumah sakit Sinta selama sekian bulan. Saat itu, suami dan keluarganya sudah nyaris menyerah. Dokter dan pihak rumah sakit sudah menyodorkan surat untuk ditandatangani suami Sinta, berupa surat izin untuk menggugurkan kandungan. Seluruh keluarga sudah setuju, bahkan mereka sudah ikhlas jika Allah berkehendak terbaik untuk Sinta dan bayinya.

Seorang bunda memang selalu luar biasa. Tidak ada yang mampu menandingi cintanya, dan kekuatan cinta itu yang membuatnya bertahan selama enam bulan masa kehamilannya. Maha Suci Allah yang berkenan menunjukkan kekuatan cinta sang bunda melalui Sinta, menjelang sang suami menandatangani surat izin pengguguran, Santi mengigau dalam komanya. "Jangan, jangan gugurkan bayi saya. Ia akan hidup, begitu juga saya" Kemudian ia tertidur lagi dalam komanya.

Air mata meleleh dari pelupuk mata sang suami. Ia sangat menyayangi isteri dan calon anaknya. Surat pun urung ditandatanganinya, karena jauh dari rasa iba melihat penderitaan isterinya, ia pun sangat memimpikan bisa segera menggendong buah hatinya. Boleh jadi, kekuatan cinta dari suami dan isteri ini kepada calon anaknya yang membuat Allah tersenyum.

Allah Maha Kuasa. Ia berkehendak tetap membuat hidup bayi dalam kandungan Sinta meski sang bunda dalam keadaan koma. Bahkan, setelah hampir tiga bulan, Sinta tersadar dari komanya. Hanya beberapa hari menjelang waktu melahirkan yang dijadwalkan. Ada kekuatan luar biasa yang bermain dalam episode cinta seorang Sinta. Kekuatan Allah dan kekuatan cinta sang bunda.

Bayi itu pun terlahir dengan selamat dan normal, tanpa cacat, tanpa operasi caesar. "Mungkin ini bayi termahal yang pernah dilahirkan. Terima kasih Allah, saya tak pernah membayangkan bisa melewati semua ini," ujar Sinta menutup kisahnya.

Adakah alasan untuk tak berbakti kepada bunda?

Bayu Gawtama
amazing buat Sinta, bunda yang mengagumkan. Maha Suci Allah

Monday, October 16, 2006

Niat Saja Tak Cukup, Berbuatlah…

Sore kemarin sebuah pelajaran kembali saya dapatkan. Kali ini dari Ayahanda sahabat saya yang tahun lalu baru saja menunaikan ibadah haji. Ia nampak bahagia bisa menjalankan ibadah ke tanah suci, sebahagia semua orang yang pernah berhaji. Bercerita ia tentang berbagai pengalamannya selama menjadi tamu Allah, tentang makam Rasulullah dan semua hal menakjubkan di tanah suci.

Namun dari semua cerita itu, ada satu bagian yang benar-benar menarik perhatian. Yakni ketika sampai pada cerita tentang, bagaimana ia bisa berangkat pergi haji, padahal uang tabungannya belumlah mencukupi. Kisah-kisah unik dan ajaib tentang orang-orang yang pergi haji pun berlanjut, dan kisah dari Ayahanda sahabat saya ini menambah daftar panjangnya. Kita pernah mendengar ada seorang pengemis yang bisa berangkat haji lantaran ia senantiasa menjaga mulutnya dari kata-kata yang sia-sia. Begitu pun kisah tentang tukang sol sepatu yang bisa berhaji karena kebaikannya terhadap tetangganya.

Kisah Ayahanda sahabat saya ini, mungkin tak sedramatis kisah-kisah mengagumkan sebelumnya. Namun cukuplah untuk memberi semangat baru, terutama bagi orang-orang seperti saya yang kebanyakan keinginan namun sering hanya berujung di bab niat saja. “Pergi haji, jangan cuma niat. Jangan hanya punya keinginan, sebab semua orang pun punya keinginan itu. Tapi tidak semua orang mau merealisasikan kenginannya itu”.

Beliau tidak sedang bicara tentang orang-orang kaya harta yang sebenarnya mampu berkali-kali pergi haji, namun tak juga berangkat. Yang dimaksud beliau, adalah orang-orang yang punya keinginan kuat, namun tak pernah menunjukkan keinginannya itu dengan satu perbuatan. “Saya orang yang tidak punya, tetapi saya sangat ingin pergi berhaji, karenanya saya menabung sedikit demi sedikit. Ketika tahun kemarin saya pergi haji, apakah tabungan saya sudah cukup? Tentu saja belum! Tapi Allah melihat niat yang saya iringi dengan usaha untuk mewujudkannya dengan cara menabung. Inilah cara Allah memudahkan jalan orang-orang yang mau berusaha,” terangnya bersemangat.

Kalimat-kalimat yang mengalir darinya, sangat menyejukkan sekaligus mencerahkan. Tertohok diri ini mendengarnya, namun juga menyenangkan bisa mendapat nasihat yang bermanfaat. Betapa sering dan mudahnya kita berucap, “Yang penting niat dulu, niat baik saja kan sudah dicatat malaikat”.

Boleh jadi betul bahwa niat baik itu tercatat, tapi jangan-jangan malaikat bosan melihat catatan harian kita hanya dipenuhi kumpulan dan daftar niat. Namun tak sekali pun pernah menunjukkan i’tikad untuk mewujudkannya. Sangat mungkin saat ini Allah menunggu-nunggu kapan kita bekerja merealisasikan kumpulan niat itu, sementara kita tetap asik menggantang niat yang tak pernah terwujud itu. Seperti kisah Ayahanda sahabat saya itu, mungkin Allah tak perlu menunggunya sampai ia mampu mencukupi biaya haji. Tapi Allah hanya mau melihat –sekali lagi, hanya mau melihat- adakah hal yang diperbuat untuk merealisasikan niat tersebut. Akhirnya, tak perlu sampai mencukupi biaya haji, beliau bisa berangkat ke tanah suci menjadi tamu Allah. Maha Suci Allah.

Begitu pun dengan kita. Mari lihat kembali daftar niat yang pernah kita tuliskan, kemudian satu persatu kita upayakan untuk merealisasikannya. Insya Allah, Allah bersama malaikat dan rasul akan melihat apa yang kita kerjakan. Soal hasil akhir, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. (Bayu Gawtama)

Sunday, October 15, 2006

School of Life, Chapter 1: Mind Power (terbatas!)

School of Life, Chapter 1: Mind Power

Tahukah Anda bahwa kekuatan pikiran mampu mengendalikan semua tingkah, sikap dan perilaku manusia? Benarkah bahwa perilaku baik dan jahat seseorang disebabkan oleh pikirannya? Bagaimana mengubah kebiasaan negatif menjadi positif hanya dalam sekejap, yakni hanya dengan mengubah cara berpikir Anda tentang diri sendiri? Tahukah Anda bahwa 70% kegiatan sehari-hari Anda berjalan hanya berdasar kebiasaan dan merupakan perintah alam bawah sadar? Temukan jawabannya di School of Life.

Kelas pertama (A) School of Life dibuka. Chapter 1, mengambil tema tentang Mind Power (kekuatan pikiran).

Hari/Tanggal : Minggu/12 November 2006
Waktu : Pukul 09.00 s/d 12.00 WIB
Tempat : Taman Kota BSD-Bumi Serpong Damai, Tangerang (tentatif)
Peserta : 20 orang (per kelas, dan saat ini baru dibuka untuk satu kelas)
Infak : Tidak ditentukan (untuk biaya konsumsi tiap pertemuan, dan sebagian dikumpulkan untuk kegiatan sosial members SOL)

Persaratan : Tidak ada persaratan (siapapun boleh menjadi peserta)
Registrasi : kirim email ke bayugautama@yahoo.com (registrasi ditutup 8 November 2006)
Informasi : 0852 190 68581 – 0888 190 2214

---
“Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru”
Orang bijak bilang, sering kali masalah timbul dari diri sendiri. Karenanya, sesungguhnya yang paling mengerti bagaimana menyelesaikannya, adalah si pembuat masalah itu sendiri. Namun, kadang seseorang membutukan orang lainnya untuk menyelesaikan masalahnya. Bukan untuk meminta tolong, melainkan untuk sama-sama belajar kepada orang lain, mengingat hampir setiap orang memiliki masalah yang sama, hanya waktu, bentuk, tempat, dan tingkatannya saja yang berbeda. Atas dasar itulah, School of Life diselenggarakan. Anda berminat? Bergabunglah bersama kami di sekolah yang menerapkan sistem andragogi plus (pendidikan untuk orang dewasa yang mendewasakan)

Tentang School of Life
• Sekolah yang tidak ada alumninya, sebab belajar tentang kehidupan hanya akan berakhir bersamaan dengan saat kita mengakhiri kehidupan ini
• Semua peserta adalah guru, begitu pun semua peserta adalah muridnya
• Tidak ada gedung sekolah, ruang kelas tetap, seragam, apalagi peraturan.
• Persaratannya hanya satu, yakni: tidak ada persaratan
• Tidak ada kurikulum, modul, kertas kerja, dan buku panduan, karena semuanya sudah tersedia oleh kehidupan ini. Peserta cukup mempersiapkan untuk berbagi (share) kepada sesama tentang pelajaran yang akan dibahas.
• Pelajaran yang didapat dari sekolah ini semuanya tentang kehidupan sehari-hari
• Tujuan dari sekolah ini hanya satu; untuk hidup lebih baik

Metode belajar:
• Dynamic Group
• Brainstorming and share story
• Simulation and role play

Next Chapter: ditentukan kemudian oleh peserta di kelas

Friday, October 13, 2006

Bang Dollie dan Pelajaran Tentang Kejujuran

Ada yang bilang, kepercayaan dan kejujuran bagai dua sisi mata uang, satu sisi kepercayaan, sisi lainnya berupa kejujuran. Maksudnya, jika seseorang menanamkan sebuah kepercayaan kepada orang lain, maka yang diberi kepercayaan itu semestinya senantiasa bersikap jujur. Namun nyatanya, seringkali kepercayaan dibalas dengan ketidakjujuran. Atau sebaliknya, ada saja orang yang sudah mati-matian jujur, tetap saja tidak mendapat kepercayaan.

Bicara soal kepercayaan dan kejujuran. Sebuah pelajaran menarik justru ditunjukkan oleh Bang Dollie, sebut saja begitu namanya. Dia seorang kondektur Metro Mini -sebuah angkutan umum dalam kota Jakarta- yang selain bertugas berkoar-koar memanggil penumpang, juga mendapat kepercayaan memegang uang ongkos para penumpang.

Sepanjang hari, sejak keluar jam 05.00 WIB sampai tengah malam hingga waktunya menghitung setoran dan laba. Uang yang terkumpul pun dihitung, kemudian ada kewajiban untuk membayar setoran ke pemilik angkutan umum. Namun, diakui Bang Dollie, tak sekali pun ia pernah berniat untuk menilep -menyembunyikan uang untuk keuntungan pribadi- beberapa lembar uang dari setumpuk uang ongkos penumpang digenggamannya. Padahal, kalau ia mau, tentu saja ia bisa. Meski jika ia nakal, sangat mungkin baginya melakukannya.

Tapi ia tak melakukannya. Bukan karena takut kepada Allah, bukan pula lantaran ia tak tertarik. Dalam logat bataknya yang kental, "Mana mungkin aku bisa nilep, jangankan Tuhan, sopirku pun pasti tahu kalau aku nilep".

Obrolan pun mengalir. Menurut Bang Dollie, rekannya yang menjadi sopir memang tak akan pernah tahu kapan dan berapa yang bisa ditilep olehnya. Tapi secara umum si sopir bisa tahu, sebab pekerjaan mereka berdua selain menuntut saling percaya, juga didasari atas pengalaman. Pertama, sebelum naik pangkat menjadi sopir, si sopir pernah mengenyam beberapa tahun pengalaman sebagai kondektur. Kedua, melalui jalur yang sama berulang-ulang, dan melakoni pekerjaan yang sama setiap hari, membuat si sopir tahu persis berapa banyak penumpang yang naik kendaraannya dalam sehari. Sepi atau ramai penumpang pun dia bisa menghitungnya, sehingga sangat sulit bagi sang kondektur berdalih, "penghasilan hari ini sedikit, sebab penumpang sepi" untuk mengelabui si sopir.

Sebenarnya, terpenting dari soal ketidakberanian Bang Dollie untuk nilep uang adalah karena rekannya yang bertugas dibalik kemudia telah memberikan kepercayaan penuh kepadanya. "Sekali kau berbuat curang, kau tidak akan pernah bisa bekerja di mana pun. Karena kau akan dikenal sebagai orang tidak jujur". Tentu saja yang dimaksud bekerja di mana pun itu, menjadi kondektur di angkutan mana pun.

Pelajaran yang sama juga diperoleh dari seorang sopir angkot cadangan. Ia memang bukan sopir asli dari angkot yang dibawanya, tetapi si sopir asli sering berbaik hati dengan memberinya kesempatan beberapa jam untuknya. Si sopir cadangan ini pun takkan pernah bisa berbohong soal penghasilannya selama beberapa jam itu. Sebab, sopir asli bukanlah orang yang tak tahu berapa yang biasa ia dapatkan dalam beberapa jam. Sebab, ia sangatlah pengalaman untuk pekerjaannya.

So, sebenarnya kedekatan antara kepercayaan dengan kejujuran masih bisa dipakai. Asalkan memenuhi dua saratnya. Kesatu, si pemberi kepercayaan tetap melakukan pengawasan. Kedua, yang mendapat kepercayaan betul-betul menyadari bahwa dirinya pun dalam pengawasan. Kalau semua bisa berlaku seperti ini, bukankah indah negeri ini? Wallaahu 'a'lam.

Bayu Gawtama

Tuesday, October 03, 2006

Khasiat Sedekah: Penerima Berdaya, Anda Bahagia

Siapa yang lebih bahagia, pemberi sedekah atau penerima sedekah? Sekilas, nampak kebahagiaan hanya terpancar dari raut wajah penerima. Ia terlihat sumringah saat menggenggam uang sedekah dari yang memberi. Tak lupa, sekelumit doa dan rasa syukur dihaturkan untuk orang yang memberinya sedekah sebagai ungkapan terima kasih. Beberapa penerima, bahkan tak sungkan mencium punggung tangan orang yang telah menyisihkan hartanya untuk mereka. Beginilah pemandangan yang senantiasa tampak dalam setiap episode sedekah berlangsung.

Demikiankah sesungguhnya? Benarkah penerima sedekah jauh lebih berbahagia tinimbang yang bersedekah? bukankah justru seharusnya penyedekah itu yang berbahagia?

Setidaknya ada dua tingkatan tujuan sedekah bagi para penerimanya. Pertama, diharapkan setelah menerima sedekah, mereka mencapai tingkatan berdaya. Setidaknya, dalam rentang beberapa waktu mereka tidak lagi menjadi orang-orang menerima sedekah. Orang-orang yang biasa menerima sedekah ini, seharusnya di waktu tertentu sudah bisa memberdayakan diri mereka sendiri. Tak perlu menengadahkan tangan, meminta-minta dan berharap belas kasihan para penderma. Mereka tak lagi menerima sedekah karena sudah tidak membutuhkan. Meski demikian, dalam tingkatan ini mereka belum menjadi penyedekah. Tingkatan kedua, yakni mereka berubah status dari penerima menjadi pemberi sedekah. Ini yang paling diharapkan, kalau satu tahun lalu -misalnya- mereka masih menjadi penerima sedekah, seharusnya di tahun berikutnya merekalah para penyedekah yang berniat memberdayakan orang-orang yang disedekahinya.

Karenanya, sedekah bukan sekadar menaruh uang di kotak amal. Atau mengumpulkan para fakir miskin, anak yatim, kemudian membagi-bagikan amplop, lantas selesai. Para penyedekah tak selesai kewajibannya hanya sampai sebatas memberi. Ada kewajiban lainnya, yakni tak membiarkan penerima sedekah menjadi orang-orang yang berketergantungan dengan sedekah. Jangan sampai ada orang yang 'menikmati' hidup dengan pemberian orang lain. Ada kewajiban bagi para penyedekah, yakni membuat penerima sedekah itu menjadi orang-orang yang berdaya. Setidaknya hingga mereka sanggup mencapai tingkatan tak lagi bergantung pada sedekah dan bisa menghidupi diri dan keluarganya sendiri.

Sedekah itu tanpa batas. Nilai dan jumlahnya tak dibatasi, penerima sedekahnya juga tidak terbatas. Artinya, penyedekah bisa memberikannya kepada siapa saja, dari yang terdekat hingga terjauh sekali pun. Tak hanya itu, waktu untuk bersedekah pun tak pernah dibatasi. Tak hanya di bulan-bulan tertentu saja, melainkan sepanjang waktu. Selama seseorang mampu untuk bersedekah, baik di waktu sempit mau pun lapang, maka bersedekah dianjurkan.

Nah, lantaran sedekah itu tanpa batas, maka tidak pernah dibatasi jumlah yang boleh disedekahkan. Tidak ada nisab untuk sedekah, selama ia mampu maka teruslah bersedekah. Tidak pernah ada ketentuan seseorang sudah boleh bebas tak bersedekah karena sudah terlalu sering bersedekah. Dan yang terpenting, tidak pernah tertulis dalam sejarah ada orang yang jatuh miskin lantaran bersedekah.

Sebab, semua orang yang pernah dan selalu bersedekah tahu betul, bahwa sedekah membuat mereka kaya dan bahagia. Siapa yang tak bahagia berniaga dengan Allah? Kita mendapatkan modal dari Allah, berupa diri dan harta yang kita miliki saat ini. Kemudian dari modal yang dipinjamkan Allah itu, kita diajak berniaga oleh-Nya dengan tawaran keuntungan yang tidak bisa diberikan oleh pedagang terbesar mana pun di dunia ini. Tak tanggung-tanggung, keuntungan berniaga dengan Allah adalah mendapatkan ampunan dari Allah, kemudian Allah akan memasukkan kita ke dalam surga-Nya.

Padahal, yang diminta Allah kepada kita adalah, beriman kepada-Nya dan rasul-Nya, kemudian Allah juga meminta kita berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kita. Bayangkan, Allah meminta kita menukar harta dan jiwa ini –yang keduanya milik Allah dan hanya dipinjamkan kepada manusia- dengan balasan surga-Nya. Perniagaan indah nan menguntungkan ini Allah gambarkan dalam Qur'an Surat Ash Shaaf (61) ayat 10-12.

Adakah yang mampu memberikan keuntungan lebih besar dari Allah? Tak bahagiakah orang-orang yang mau berniaga dengan Allah. Bukankah seharusnya orang-orang yang bersedekah jauh lebih bahagia, karena ia telah melakukan perniagaan dengan Allah?

Sedekah itu membahagiakan. Siapakah yang dimaksud? Tentu saja yang bersedekah, sebab selain ia telah mendapatkan kesempatan mengenyam surga Allah, kebahagiaan pula bisa melihat senyum orang-orang yang mendapat sedekah. Tak hanya itu, sedekah masih memberikan banyak manfaat bagi pelakunya, antara lain dilipatgandakannya harta kita, dijauhkan dari bahaya, diberikan kesehatan, dan tentu saja menenangkan jiwa.

Adakah yang tak menginginkan kebahagiaan seperti itu? Sungguh, khasiat sedekah hanya satu bagi penerima. Namun terdapat jutaan khasiat yang diperoleh bagi pelakunya. Maka, bersegeralah meraihnya. (gaw)

------------------------------------------------------

Sedekah melalui ACT-Aksi Cepat Tanggap, untu korban bencana

Bank Central Asia
Acc. No. 676 030 0860
Bank Permata Syariah
Acc. No. 0971 001224

Bayu Gawtama
Communication Manager ACT

email: bayu.gawtama@aksicepattanggap.com

Sunday, October 01, 2006

Jejak Volunteer: Totalitas ala Fahmi

Ia datang sebagai relawan, suatu saat jika kembali pun tetap relawan. Fahmi namanya, usianya baru menginjak 23 tahun. Namun, banyak hal yang patut diteladani dari pemuda ini, terutama soal makna totalitas dan loyalitas sebagai relawan (volunteer) kemanusiaan.

Fahmi datang ke Jogja hari ke-empat pasca gempa Jogja 27 Mei 2006, dan semenjak itu hingga kini ia masih di Jogja bersama-sama dengan korban bencana. Dunia kemanusiaan memang baru buatnya, namun sekali ia menceburkan diri ke dalamnya, ia seperti tak pernah puasnya berenang dalam kenikmatan bekerja sebagai volunteer. Sejak masa emergency, hingga kini memasuki fase recovery, tak berkurang semangat yang dimilikinya untuk membantu sesama.

"Setiap kita, mungkin hanya diberi satu kesempatan untuk melakukan hal terbaik. Dan hal terbaik bagi saya adalah ketika saya bisa berbuat sesuatu untuk orang lain. Ini adalah kesempatan saya, saya tak akan pernah melepaskannya," ungkap Fahmi pemuda yang sangat pendiam ini. Ya, Fahmi memang menganut sikap tak banyak bicara, namun warga Dusun Kedaton Kidul, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, bisa memberikan kesaksian tentang apa yang dikerjakan Fahmi.

Sejak hari pertama kedatangannya membantu korban gempa Jogja, Fahmi tinggal ditenda bersama-sama dengan relawan ACT-Aksi Cepat Tanggap lainnya. Bahkan saat ACT membuka kantor untuk program recovery Jogja, Fahmi tetap memilih tinggal di tenda bersama-sama dengan pengungsi. Bahkan saat ini, susah membedakan, Fahmi itu volunteer atau pengungsi. Sebab, sehari-hari Fahmi sangat menyatu dengan pengungsi.

"Dia sangat dekat dengan kami, totalitasnya terbukti dengan tetap memilih tinggal bersama kami di tenda pengungsi," ujar Pak Ngadimin, salah satu pengungsi di Kedaton Kidul.

"Wah, dia sih jangan ditanya deh. Ya sudah seperti warga Kedaton. Tinggal di sini, makan, mandi semuanya dilakukan di sini. Sepertinya dia ingin ikut merasakan penderitaan warga korban bencana," ungkap Bidan Endang, warga Kedaton lainnya.

Kini, Fahmi sama lusuhnya dengan pengungsi. Sama-sama makan seadanya seperti yang dimakan pengungsi. Bahkan ketika ditanya, kapan rencana kembali ke Jakarta, ia hanya menjawab singkat, "belum tahu mas, mungkin nanti kalau sudah tidak dibutuhkan".

Fahmi tahu betul, seperti diketahui pula oleh seluruh relawan kemanusiaan di mana pun berada, di lokasi bencana mana pun mereka pernah bekerja. Bahwa relawan tak pernah tidak dibutuhkan. Kehadirannya senantiasa dinanti. Pun ketika tidak ada bencana, mereka tetap diminta siap siaga jika sewaktu-waktu bencana memanggil. Negeri ini banyak berhutang jasa kepada relawan-relawan kemanusiaan. Totalitas dan loyalitas ala Fahmi, benar-benar patut diacungi jempol.

Tentu Fahmi tidak sendiri, teramat banyak relawan sepertinya di berbagai lokasi bencana. Meski relawan tak pernah meminta, tapi layaklah kita berucap, "Terima kasih atas baktimu, relawan". (gaw)