Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Tuesday, October 30, 2007

Spirit Indonesia di ACT

Spirit Indonesia di ACT

Saat berlangsungnya 2nd Indonesia Sharia Expo, 24-28 Oktober 2007 yang berlangsung di Jakarta Convention Center lalu, seorang pengunjung stand ACT bertanya, “ACT ini lembaga asing? Dari negara mana?”

Bisa dimaklumi jika pertanyaan itu terlontar, sebab jika hanya melihat nama dan tulisan ACT, orang lebih sering membacanya “Act” yang maksudnya action. Tetapi lebih bisa dimaklumi karena ternyata orang yang bertanya itu belum lama tinggal di Indonesia setelah sekian tahun belajar di luar negeri. Sebelumnya kami sempat merasa sedikit harus berintrospeksi, bahwa selama ini sosialisasi dan kampanye lembaga ini masih sangat minim.

Terlepas bahwa ACT memang harus terus berupaya lebih baik lagi dalam mensosialisasika programnya, dan berhubung ada pertanyaan tentang asal muasal ACT, perlu diketahui bahwa ACT asli made in Indonesia. Lahir dan didirikan di Indonesia, semua pengurus dan relawannya pun asli orang Indonesia. Meski lingkup program ACT tidak hanya untuk negeri ini saja, melainkan jauh melewati batas wilayah Indonesia.

Belum cukup? Jika demikian perlu dijabarkan beberapa program dan lembaga inisiasi ACT yang bernuansa Indonesia. Ini sekaligus menjadi pelengkap bahwa nasionalisme begitu kuat mewarnai langkah dan gerak lembaga kemanusiaan ini.

Pertama, MRI (Masyarakat Relawan Indonesia), sebuah lembaga yang digagas ACT agar menjadi wadah yang menampung para relawan seluruh Indonesia. Semangat kepedulian yang dimiliki para relawan sangat luar biasa, itu terbukti ketika tsunami meluluhlantakkan Nangroe Aceh Darussalam. Semangat yang sama pun terlihat di berbagai bencana lainnya, di Jogjakarta, Pangandaran dan di hampir seluruh wilayah bencana negeri ini. Sudah semestinya semangat itu terbingkai dalam satu wadah agar tak kan luntur meski tak sedang ada bencana.

Kedua, DMII (Disaster Management Institute of Indonesia). Kami menyebutnya ‘di em wan wan” hanya agar terdengar lebih ‘emergency’ karena lebih dekat dengan 911 (nain wan wan). Semua tahu, bahwa angka 911 adalah angka emergency, dan DMII pun diharapkan sangat identik dengan semua persoalan kebencanaan. Program DMII meliputi training, consulting dan research. Salah satu program besar yang digarap DMII bersama ACT adalah pelatihan kesiapsiagaan gempa di Senayan beberapa waktu lalu.

Ketiga, Indonesia Sekolah (IS), sebuah program reguler dan kontinyu dengan satu tujuan, “tidak ada anak Indonesia yang tidak sekolah”. Itu artinya, sepanjang masih ada anak di negeri ini yang tidak sekolah, maka program ini akan terus berlangsung dan tidak boleh berhenti. Tiga program utama dari Indonesia Sekolah adalah, (1) Relawan Pendidikan, salah satunya menyediakan tenaga relawan sebagai guru di daerah-daerah minim tenaga pendidik. (11) Sister School, sinergi antara anak-anak sekolah yang berkemampuan lebih agar tumbuh jiwa kepeduliannya dengan membantu saudara-saudara mereka dari sekolah minim. (111) Korporat Asuh, semacam gerakan orang tua asuh, hanya saja bedanya program ini langsung dilakukan oleh sebuah perusahaan. Misalnya, perusahaan X membiayai 300 anak kurang mampu di lokasi bencana Jogjakarta.

Yang keempat, Sehatindonesia (SI). Ini bagian dari kepedulian ACT untuk masalah kesehatan negeri ini. Seperti halnya pendidikan, kesehatan adalah masalah utama negeri ini. Dua masalah tersebut (pendidikan dan kesehatan) bukan hanya pekerjaan yang mesti diselesaikan oleh pemerintah saja. Ini PR bersama yang menjadi kepentingan bersama pula untuk menyelesaikannya.

Dari empat program di atas saja, sangat terasa nuansa nasionalisme ACT. Semoga cukup untuk menggambarkan betapa warna program ACT sangat Indonesia. Bravo Indonesiana! (gaw).

Tuesday, October 23, 2007

Catatan Lebaran 7: Magnet Silaturahim

Saya pernah mendapatkan penjelasan tentang asal muasal kata "lebaran". Meski belum bisa menjamin ketepatan asal kata itu, tetapi boleh juga disimak. "Lebaran" menurut asal katanya adalah 'lebar' yang artinya luas, sehingga lebaran bisa diartikan 'melebarkan' atau 'meluaskan'. Makna kata 'melebarkan' adalah memperlebar persaudaraan dengan menyambung dan menjaga silaturahim. Entah sudah berapa ratus tahun kata 'lebaran' ini digunakan masyarakat Indonesia untuk menyebut hari raya Idul Fitri, dan nyatanya seringkali lebaran dijadikan moment terbaik untuk menyambung dan menjaga silaturahim.

Silaturahim pun diwujudkan dalam beragam cara dan bentuk. Mulai dari saling berkirim SMS (pesan singkat) berisi ucapan selamat hari raya dan mohon maaf lahir batin, hingga perjuangan tanpa kenal lelah menuju kampung halaman atau yang biasa disebut mudik.

Sepuluh tahun silam, saat telepon seluler masih menjadi barang lux dan langka. Kartu lebaran begitu booming dan menjadi penyambung silaturahim antar saudara, sahabat, kerabat bahkan sesama relabis bisnis serta mitra kerja. Memang tradisi kartu lebaran belum hilang sampai tahun ini, namun tidak seramai tahun-tahun sebelumnya karena telah tergantikan oleh pesan singkat melalui telepon seluler.

Penggunaan pesan singkat pun mengalami beberapa perubahan. Mulai dari hanya rangkaian kata, di tahun berikutnya sudah bisa ditambahi animasi. Tahun berganti foto dan gambar yang lebih hidup pun bisa terkirim dengan mudah melalui fasilitas MMS. Bahkan sekarang, jarak terasa semakin dekat dengan fasilitas 3G.

Sebagai pelengkap dari silaturahim, parsel pun menjadi pilihan utama. Jika dulu buah tangan masih berbentuk rantang berisi ketupat beserta sayurnya plus rendang atau opor ayam. Kali ini bingkisan parsel kerap menghiasi ruang tamu sebagian orang. Ini salah satu bentuk kebaikan yang tidak boleh hilang, yakni saling memberi hadiah sebagai salah satu cara pencair kebekuan dan peluntur kekakuan sikap.

Yang menarik, coba perhatikan cara berbagai orang bersilaturahim mengunjungi sanak famili, kerabat, saudara atau sahabat. Satu hari menjelang lebaran, bengkel-bengkel motor dan mobil penuh antrian. Tentu saja ini bagian dari persiapan bersilaturahim, agar perjalanan tidak terganggu oleh ulah kendaraan yang tidak diinginkan. Coba lihat sepanjang jalan selama lebaran, mulai dari hari pertama hingga hari ke enam. Mobil bak terbuka (pick up) disulap menjadi mobil angkutan, dipasangi terpal. Mobil box yang biasa untuk mengangkut barang pun dipakai untuk mengangkut anggota keluarga, tinggal pintu box-nya dibuka agar tidak pengap. Begitu juga dengan truk ukuran kecil yang mengangkut lebih banyak orang untuk beranjangsana ke sanak famili yang jauh.

Tidak peduli bedak harus luntur oleh keringat yang mengucur lantara terjemur terik matahari atau oleh pengapnya udara dalam mobil box. Tidak peduli aroma harum parfum pilihan berganti aroma tak sedap setelah berjam-jam di dalam truk yang belum sepenuhnya bersih. Bahkan mereka pun tidak menghiraukan baju lebarannya kotor dan lusuh berhimpitan serta turun naik dari pick up dan truk. Terpenting dari itu semua adalah, silaturahim tetap terjaga. Dalam hal ini, saya tidak sedang berbicara tentang orang-orang yang punya kendaraan bagus, baik roda dua maupun empat. Buat kelompok yang satu ini, mungkin silaturahim hanya mengalami sedikit perjuangan.

Nah, satu hal yang takkan tergantikan hingga kapanpun yakni tradisi mudik. Belasan jam berdiri di kereta, belasan jam berpeluh di dalam bis, belasan jam menahan kantuk, lelah, kesal dalam kemacetan di sepanjang perjalanan. Belum lagi kemungkinan mendapat perlakuan kasar, tidak senonoh, kecopetan, penipuan rela dijalani demi sebuah semangat silaturahim.

Kendaraan yang sebelumnya tidak layak jalan pun dipaksakan jalan, kendaraan roda dua ditumpangi empat orang, ditambah segunung tas dan oleh-oleh dari kota. Bajaj, becak, sepeda, truk pun jadi, tidak peduli seberapa besar lelah yang akan ditanggung. Namun semuanya akan sirna begitu tiba di kampung bertemu dengan orangtua, keluarga, saudara dan sahabat di kampung.

Luar biasa, silaturahim seperti sebuah magnet besar yang mampu membuat setiap orang mau melakukan apapun untuk menjalaninya. Coba hitung, berapa banyak jumlah pemudik yang meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan raya? Insya Allah mereka sudah mendapatkan pahala bersilaturahim, meskipun mereka tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang dituju. Subhanallah (gaw)

Thursday, October 18, 2007

Catatan Lebaran 6: Air Mata di Malam Takbiran

Selepas maghrib, bersama beberapa jamaah masjid Perumahan Taman Melati, bersiap untuk mendistribusikan zakat kepada para mustahik di sekitar komplek. Cukup banyak zakat yang terkumpul dari para penghuni komplek, selain zakat fitrah juga terdapat zakat maal, infak dan sedekah. Sesuai keputusan panitia, semua yang terkumpul akan didistribusikan tidak terkecuali.

Beberapa petugas pendistribusi sudah ditentukan, saya pun kebagian tugas menyampaikan ke beberapa rumah para calon penerima zakat.

Rumah satu:

Hanya sekitar lima belas menit dari komplek, menyusuri jalan yang gelap serta melewati beberapa petak kebun, sebuah rumah pun diketuk. Beberapa kali ucapan salam belum mendapat jawaban. Sampai kali keempat, barulah si empunya rumah menjawabnya, “wa’alaikum salam…” suaranya parau terdengar.

Tidak ada rumah lain di samping rumah tersebut. Ia seperti tinggal tak bertetangga, di sekelilingnya hanya kebun. Suasana rumah dan sekitarnya cukup gelap, sehingga saya pun tak bisa melihat secara jelas wajah penghuni rumah itu. Yang pasti, ia seorang lelaki tua berkisar 55 tahun. Tidak jelas apakah ia sendiri atau bersama keluarganya di rumah itu, yang pasti ia keluar sendirian dengan langkah tertatih. “terima kasih, sampaikan salam untuk para dermawan ya,” ujarnya pelan.

Tidak ada suasana jelang hari raya di rumah berdinding triplek itu. Tidak ada hiruk pikuk persiapan menyambut lebaran seperti kebanyakan rumah lainnya. Beberapa saat kemudian saya pun meninggalkan lelaki itu, yang nampaknya tetap sendirian. Sedetik sebelum kaki melangkah, setitik airmata mengambang di pelupuk mata dan tak sanggup tertahankan.

Rumah dua:

Hanya lampu sentir –lampu terbuat dari kaleng yang diisi minyak tanah dengan satu sumbu kecil diatasnya- yang menerangi seisi rumah itu. Penghuni rumahnya, kakek nenek berusia diatas tujuh puluh tahun. “anak-anak dan cucu sudah tidak disini, mereka tinggal jauh. Mungkin besok pas lebaran baru kesini,” ujar sang nenek, si kakek tersenyum mengiyakan.

Rumahnya terbuat dari bilik bambu, beberapa pondasi yang terbuat dari kayu sudah terlihat keropos. Bahkan bagian belakang rumahnya sudah sedikit miring, padahal di belakang rumah itu terdapat sungai kecil tempat aktifitas MCK (mandi cuci kakus) beberapa warga di kampung tersebut.

Dua sejoli tua itu, menjalani malam takbiran bersama sepi. Tanpa hiburan, hanya suara gemericik sungai kecil di belakang rumahnya yang terdengar. Setitik lagi air mata ini menyembul.

Rumah tiga:

Kondisi rumahnya agak lebih baik, cukup permanen namun terlihat sangat tidak terawat. Di beberapa bagian dindingnya terlihat pecah, bahkan bagian luar rumah itu belum diplester entah sudah berapa tahun lamanya. “yang penting bisa berteduh pak, mlester dan ngecat mah nanti saja kalau sudah ada uangnya,” terang kepala rumah tangga itu.

Saya ingin bercerita satu hal saja yang membuat saya benar-benar tak sanggup menahan air mata. Ketika saya menyerahkan sebuah amplop –berisi uang seratus ribu rupiah- dan sekantong beras, ucapan syukurnya seperti menggelegar, “Ya Allah, terima kasih, alhamdulillah…”

Di depan saya, amplop itu dibukanya dan, “Anak-anak ayo kita berangkat,” rupanya tempat yang dimaksud adalah toko baju. Hingga malam itu, tidak satu pun dari tiga anaknya yang sanggup dibelikan baju untuk berlebaran.

Bagaimana dengan sekantong beras itu? Keluarga itu sudah membeli sepuluh daun ketupat yang sudah jadi, namun belum tahu apakah mereka akan mengisinya atau tidak karena sampai malam itu mereka tidak punya beras sedikit pun.

Cukup… cukup sudah air mata saya. Maaf, saya tidak bisa melanjutkan cerita ini untuk rumah-rumah berikutnya. Saya tidak sanggup menuliskannya lagi.

***

Jika saya kembali mengingat tayangan di televisi tentang kecenderungan orang yang menciptakan antrian kaum fakir miskin untuk mendapatkan uang zakat dari seorang pejabat. Atau ketika saya melihat tayangan ribuan orang di sebuah daerah untuk berebut sedekah yang hanya sepuluh ribu rupiah saja, dan untuk senilai itu mereka rela berpanas-panasan, saling sikut, saling injak dan akhirnya jatuh pingsan. Semua tayangan itu hanya menggambarkan parade kemiskinan negeri ini yang takkan pernah selesai dituntaskan hanya dengan sepuluh atau lima puluh ribu rupiah saja.

Sungguh, mendatangi langsung para fakir miskin dan menyentuh tangan para penerima itu di rumahnya jauh lebih nikmat. Dan semestinya, memang kita yang mendatangi rumah-rumah fakir miskin, bukan sebaliknya. Semoga di masa yang akan datang tidak terulang lagi. (gaw)

Wednesday, October 17, 2007

Seorang Pengungsi Melahirkan di Tenda Kebakaran Cilincing


Rabu, 17 Oktober 2007, Posko ACT Medis sudah bersiap untuk ditutup sementara, karena pasien terakhir sudah selesai diperiksa dan tengah menunggu obat. Tiba-tiba sekitar pukul 15.33 WIB, seorang lelaki mendatangi posko medis dengan wajah panik, “Dokter, tolong segera ke tenda kami. Ada pengungsi yang mau melahirkan,” ujar lelaki itu tergopoh-gopoh.

Dr. Eddy Tarigan, ketua tim ACT Medis mengaku sudah biasa menangani pasien melahirkan. Dokter ahli penyakit dalam itu pun menyanggupi untuk segera ke tenda pasien, “Kalau ada bidan, sebaiknya ditangani bidan. Tapi kalau tidak ada, Insya Allah saya siap. Ayo kita berangkat,” serunya sambil membenahi peralatan medisnya.

Sesaat menunggu kabar tentang bidan setempat, namun dr. Eddy tidak mau menunggu lama dan langsung berlari menuju tenda pengungsi di seberang lokasi kebakaran Jl. Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.

Tidak lebih dari lima menit, tim sudah tiba di pengungsian. Jalan sempat terganggu oleh kerumunan pengungsi yang memadati masjid di sebelah tenda pengungsian. Di masjid tersebut, bantuan presiden baru saja tiba dan tengah dilakukan seremoni penyerahan bantuan untuk para pengungsi.

Sesampainya di tenda, ramai orang sudah memenuhi tenda tersebut. Dan ternyata, si bayi sudah keluar tanpa bantuan bidan maupun dokter. Suami korban sangat panik, sementara seorang ibu berteriak, “cepat panggil bidan, bayinya sudah keluar”.

“Permisi, kami tim dokter,” kami meminta jalan. Dr. Eddy langsung menangani bayi yang masih merah itu untuk memutus tali pusar. Alhamdulillah, dalam waktu beberapa menit, baik ibu maupun bayinya dapat diselamatkan. Sebuah mobil ambulance pun datang untuk membawa ibu dan bayi itu ke rumah sakit.

Seorang relawan ACT yang ikut menyaksikan proses persalinan itu, sempat berujar, “bayinya dikasih nama Abu Bakar saja. Karena lahir di lokasi kebakaran dan banyak abu di sekitarnya,” pengungsi yang lain pun tertawa. Suasana haru menyelimuti sekitar tenda pengungsian di Rabu sore itu. Subhanallah (gaw)

Catatan Lebaran 5: Tentang Peran Lembaga Zakat


Sehari sebelum hari raya Idul Fitri 1428 H, sebuah stasiun televisi swasta nasional menayangkan sebuah berita yang boleh diyakini membuat miris hati siapapun yang melihatnya. Digambarkan di sebuah wilayah di Riau, ribuan kaum fakir miskin berdesakan, saling sikut, saling tarik untuk berebut zakat dan sembako yang dibagikan oleh salah seorang dermawan di propinsi tersebut.

Tidak disebutkan secara persis jumlah fakir miskin yang melakukan aksi saling berdesakan itu, namun sangat jelas disebutkan –bahkan berulang-ulang- nilai uang yang membuat mereka memaksakan diri sikut kanan kiri bahkan rela terinjak-injak orang lain; yakni uang lima ribu rupiah dan paket sembako –tidak disebutkan jenis barangnya- senilai sepuluh ribu rupiah. Untuk seharga itu, tercatat ratusan orang, utamanya para lansia jatuh pingsan kehabisan nafas dan terinjak-injak.

Adegan kedua, masih ditayangkan di televisi swasta lainnya, Gubernur DKI Jakarta yang baru, Fauzi Bowo, membagi-bagikan ‘angpaw’ kepada sekitar 1500 warga Jakarta pada hari raya Idul Fitri. Warga berduyun-duyun mendatangi kediaman Bang Foke –panggilan akrab orang nomor satu di Jakarta itu untuk menerima amplop berisi selembar uang limapuluh ribu rupiah.

Yang menarik, belum selesai uang itu dibagi-bagikan kepada para warga yang sudah membentuk antrian panjang, tiba-tiba dihentikan dan antrian dibubarkan lantaran Wapres Jusuf Kalla datang bersilaturahim ke kediaman Foke. Alhasil, ribuan warga menggerutu, memaki-maki dan menyobek-nyobek kupon yang sudah dibagikan sebelumnya. Dalam berita itu, tidak dijelaskan apakah Foke melanjutkan pembagian amplop kepada warga Jakarta setelah Wapres pulang atau memang benar-benar tidak diteruskan.

Dari dua adegan tersebut, menarik untuk ditilik kembali peran berbagai lembaga zakat yang ada di Indonesia. Ini tidak bermaksud mengukur kinerja lembaga zakat, namun jika melihat apa yang terjadi dari dua tayangan di televisi tersebut bolehlah melayangkan satu pertanyaan; kenapa si dermawan tidak mempercayakan saja dana zakatnya kepada beberapa lembaga zakat, agar tidak perlu repot-repot membagi-bagikannya sendiri. Atau kenapa Bang Foke tidak menyerahkan dana ‘zakat maal’nya yang sekitar tujuh puluh lima juta rupiah itu untuk dikelola sebuah lembaga zakat, dan biarkan lembaga zakat itu yang bekerja.

Beragam alasan tentu saja melatarbelakangi dua kejadian itu. Mungkin saja ini bukan lantaran ketidakpercayaan si dermawan atau Bang Foke terhadap berbagai lembaga zakat. Boleh jadi ada faktor lain yang mendominasi aksi bagi-bagi zakat dan ‘angpaw’ itu. Bisa karena alasan politik atau alasan yang lebih bagus, ingin merasakan bersentuhan langsung dengan kaum dhuafa.

Lebih-lebih, di hari-hari akhir ramadhan dan di hari raya Idul Fitri, yang merupakan saat-saat setiap orang memiliki jiwa berbagi yang tinggi selain faktor kewajiban mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya melalui mekanisme zakat maupun infak, teramat banyak orang-orang yang tiba-tiba menjadi dhuafa, sekonyong-konyong terlihat layaknya kaum fakir yang memanfaatkan moment meningginya semangat berbagi itu.

Berkenaan dengan peran lembaga zakat, jelas tugas yang diemban sudah sedemikian berat –bukan saja mulia. Jadi tak perlu merasa direpotkan dengan sikap beberapa pihak yang lebih senang membagi-bagikan sendiri zakat dan kepeduliannya. Toh, masih jauh lebih banyak para muzakki yang menitipkan zakatnya kepada para lembaga zakat ini. Bagaimana pun, dua adegan diatas hanyalah bagian dari dinamika menuju pengelolaan dan pemanfaatan zakat agar lebih baik lagi di masa yang akan datang. Insya Allah (gaw)

Kembali dari Kampung, Rumah Ludes Terbakar

Kebakaran yang melanda kawasan Cilincing, Jakarta Utara, Senin (15/10) lalu, menyisakan lautan kesedihan bagi para korban. Terutama mereka yang saat kejadian tengah berada di kampung halamannya untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga. Kesedihan sangat nampak di wajah mereka yang hanya bisa menatap nanar rumah dan harta benda yang tak lagi tersisa.

Sriatun misalnya, ia dan keluarganya tengah berada di Indramayu untuk berlebaran ketika api melalap tidak kurang dari 500 rumah di Cilincing, termasuk rumahnya. Sri dan keluarganya mendapat kabar dari para tetangganya melalui telepon, "waktu ditelepon, katanya rumah kebakaran, saya langsung lemas dan tidak bisa berkata apa-apa," ujar Sri yang langsung mengajak suami dan anak-anaknya ke Jakarta untuk melihat rumahnya.

Selasa pagi (16/10), ia tiba di Cilincing dan mendapati rumahnya sudah hangus terbakar, bahkan rata dengan tanah. "Tidak satupun yang tersisa mas, ludes semua apa yang kami miliki," lirihnya sambil mengumpulkan beberapa mangkuk dan piring yang meski masih utuh namun sudah hangus terbakar.

Lain halnya dengan Karnadi (51), pedagang ayam potong ini ketika kebakaran terjadi tidak pulang kampung. Hanya saja ia dan isterinya ditinggal pulang kampung oleh kelima anaknya ke Tegal. Sehingga hanya ia dan isterinya saja yang berjuang menyelamatkan barang-barang dan hartanya. "harta saya yang paling berharga cuma freezer untuk menyimpan ayam potong ikut terbakar, tidak sempat kami selamatkan," kata Karnadi sambil terduduk lemah.

Teramat banyak kisah memilukan di antara puing-puing dan aroma hangus serta beberapa titik asap yang menyeruak. Kisah pilu yang takkan pernah selesai jika hanya disikapi dengan air mata dan empati. Mari, bantu mereka... (gaw)