Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, June 29, 2006

Menunggu Taubat Sesungguhnya

Ketika tsunami menghempaskan ratusan ribu manusia di Aceh pada 26 Desember 2004, negeri ini bercucuran air mata. Setiap pelosok dan sudut negeri dihiasi tangis seakan kiamat begitu dekat datangnya. Jutaan makhluk Allah bersimpuh di masjid memohon doa agar Allah berkenan mengampuni segala dosa berharap tak menimpakan bencana yang sama di tempat berbeda. Semua orang saat itu seakan ingat mati, bahkan mereka menjauhi tempat maksiat karena takut mati dalam keadaan tak baik. Ribuan masjid melakukan doa bersama, menampung simpati dan memperbanyak amal shaleh guna membantu meringankan beban para korban bencana.

Sekian lama berlalu, kita pun melupakan bencana yang menghiris hati itu. Tangis pun tak lagi terdengar, simpati dan empati berkurang. Masjid tak lagi dipenuhi orang-orang yang menangis takut akan datangnya adzab Allah, suara-suara panggilan kebaikan lebih sering lewat tanpa perhatian. Mereka yang dulu menangis, kembali tertawa. Orang-orang tak lagi menyesaki masjid, berganti memenuhi tempat-tempat hiburan bahkan tempat maksiat dan mati pun bukan hal yang ditakuti. Tak ada lagi tangan-tangan terhulur bersedekah, semakin sedikit simpati bagi mereka yang kesulitan. Beberapa bencana skala kecil di Jember, Banjarnegara dan Manado pun tak memalingkan wajah kita kepada Allah.

Sehingga Allah berkehendak menurunkan kembali bencana yang lebih besar di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Sabtu, 27 Mei 2006 ketika manusia masih terlena dengan indahnya fajar dan alunan nada unggas pagi. Luluh lantak sudah Yogyakarta, menangis lagi negeri ini. Air mata pun tumpah di seluruh pelosok tanah air, dan masjid-masjid kembali disesaki orang-orang bersimpuh memohon ampunan-Nya. Kita menangis, sedih, takut bencana besar menimpa diri dan tempat kita bernaung.

Belum habis air mata, belum usai tangis di Yogyakarta, Sinjai membuat kita terus bercucuran, haru, pilu, getir dan ketakutan yang semakin mendalam. Seolah tak puas membuat kita menangis, alam mengamuk di Gorontalo, Balikpapan, Banjarmasin, Boolang Mongondow, dan entah alam mana lagi di negeri ini yang akan bergejolak.

Ratusan ribu anak negeri sudah menjadi korban keganasan alam, jutaan rumah telah hancur oleh amukan bencana, banjir air mata telah pernah menenggelamkan tanah negeri. Tak cukupkah semua kesedihan, kehilangan, kerugian, kehancuran itu menjadi peringatan bagi kita? Masihkah terus bersenang-senang di tengah bencana yang terus mendera negeri? Tak takutkah kita jika suatu saat maut dan bencana menyambangi rumah-rumah kita dan menenggelamkan seisi rumah kita. Masihkah sanggup tertawa ketika banjir bandang menyeret anak-anak mungil kita, ketika lumpur membenamkan isteri tercinta, ketika reruntuhan bangunan menghimpit tubuh suami kita? Sanggupkah mata ini menyaksikan tubuh-tubuh terbujur kaku atau menemukan mereka dalam keadaan tak lagi bernyawa?

Haruskah menunggu Allah mengirimkan bencana lagi di negeri ini agar membuat kita benar-benar takut kepada-Nya. Mungkin Tuhan belum benar-benar melihat taubat kita yang sesungguhnya, dan sebagian kita masih tenang meski dosa terus berlangsung, meski salah dan khilaf tak pernah alpa, meski kekurangan tak pernah diperbaiki. Sungguh, dengan taubat yang sungguh-sungguh Allah akan menghapuskan segala kesalahan kita, menutup aib dan menyelamatkan kita. Jangan tunda taubat yang sungguh-sungguh. Wallaahu ‘a’lam (Bayu Gawtama)

Tuesday, June 20, 2006

The Latest Man

"Saat berlebih tak memberi, saat diminta tak memiliki" Ini menjadi kalimat yang paling menyakitkan untuk disimak saat ini, setidaknya oleh saya. Sedih ketika harus berkata "tidak" atau "maaf" untuk mewakili ketakberdayaan untuk membantu seseorang yang tengah berada dalam kesulitan. Pada saat kita teramat dibutuhkan, justru tak sedikit pun yang kita miliki untuk diberikan. Alih-alih kita menjadi pahlawan kesiangan karena menawarkan bantuan kala tak lagi dibutuhkan. "Pergi saja dengan bantuanmu itu, kami tak lagi membutuhkan," seolah kalimat pedih ini yang terdengar sepanjang jalan sepulang dari kegagalan memberi.

Salahkah saya? salahkah orang-orang yang datang menawarkan bantuan saat tak lagi dibutuhkan? Mungkin tidak. Lebih tepatnya terlambat. Ingat waktu masih jamannya sekolah dulu, terlambat adalah hal paling memalukan yang harus terjadi dalam sejarah pendidikan saya. Betapa ratusan pasang mata harus memandangi langkah penuh malu si Latest Man ini, mulai dari penjaga sekolah yang dengan tampang seramnya membuka pintu gerbang, anak-anak dari kelas lain yang sedang berolah raga, barisan depan siswa kelas lain yang melihat diri ini melewati pintu-pintu kelas yang tak tertutup rapat, hingga harus main 'kucing-kucingan' agar tak bertemu Wali Kelas atau bahkan Kepala Sekolah.

Langkah pun terhenti saat menjelang mengetuk pintu kelas. Terbayang ketukan itu akan menghentikan suara guru yang tengah serius memberikan pelajaran, membuyarkan konsentrasi teman satu kelas, atau mungkin juga membangunkan seorang teman di deretan belakang yang pulas tertidur. Pernah seorang guru yang terganggu akibat ketukan itu berujar singkat, "tolong tutup kembali pintunya, tapi dari luar!" Duh, sakitnya.

Belasan bibir manyun, puluhan tatap mata tak senang semakin memberatkan langkah menuju kursi yang sejak setengah jam lebih terlihat kosong. Meski tak semua begitu, tetap saja membuat latest man ini menunduk sepanjang satu jam pelajaran. Tatapan dan senyum simpul gadis di bangku tengah baris ke tiga pun tak sempat diladeni. Ah, mana sempat. Oh ya, sebutan latest man ini berasal dari celetukan seorang teman yang bahasa inggrisnya pas-pasan. Karena semua anggota kelas bahasa inggrisnya pun pas-pasan, jadi ngetrend-lah julukan itu untuk siapa pun yang sering terlambat masuk kelas.

Intinya, amatlah malu menjadi orang yang terlambat. Untuk dan dalam hal apa pun.

Kembali ke soal memberi saat tak dibutuhkan, dan tak memberi saat dibutuhkan. Saya mendapat satu pelajaran berharga bahwa Allah senantiasa memberi kita kesempatan untuk berbuat baik, kesempatan itu datang pada saat kita berlebih mau pun dalam kesempitan. Masalah kita adalah, saat berlebih lupa memberi sedangkan saat sempit menjadi alasan untuk tak memberi. Boleh jadi Allah dan para malaikat memperhatikan kita pada saat demikian, sehingga tak ada lagi kesempatan yang diberikan untuk kita berbuat baik.

Semestinya, kita senantiasa memanfaatkan peluang berbuat baik itu pada saat dibutuhkan. Sedikit banyak bukan soal, karena terpenting dari itu adalah kita selalu ada pada saat orang lain membutuhkan. Walau pun saya selalu berprasangka baik kepada Allah, bahwa kesempatan berbuat baik tak pernah tertutup bagi siapa pun. Ini berita baiknya. Tapi, cobalah selalu membuat Dia tersenyum.

Bayu Gawtama

Saturday, June 17, 2006

Keluarga Relawan, Hebat!

Nanny (19), seorang mahasiswi akademi perawat di Jakarta yang langsung menghubungi kantor ACT-Aksi Cepat Tanggap di Ciputat ketika mendengar berita bencana gempa di Jogyakarta (27/5). Tapi Nanny tak sendiri, bersama Tantenya Rosi (27), keduanya mendatangi kantor ACT untuk segera bisa berangkat ke Jogya secepatnya. "Kami bisa bergabung dengan tim medis ACT, kami akan berbuat semampu kami," ujar Rosi yang diiyakan Nanny sang keponakan. Meski harus menunggu beberapa hati, Rabu (31/5) siang bersama sejumlah relawan lainnya yang diberangkatkan ACT dari Jakarta, Nanny dan Rosi pun tiba di Posko ACT di Bantul, Yogyakarta.

Sebuah sinergi yang menarik, ketika dua bersaudara berada dalam tingkat kepedulian yang sama untuk bersama menjadi relawan di sebuah lokasi bencana. Nanny yang sebentar lagi menyelesaikan kuliah keperawatannya mendapat pengalaman banyak ketika berhadapan langsung dengan para korban bencana di berbagai lokasi, sementara Rosi yang sudah berpengalaman di dunia medis selain membantu korban juga banyak membantu memberikan pelajaran bagi keponakannya, Nanny. "Satu hari bisa 300 pasien. Ini pengalaman yang sangat berharga buat saya, saya bisa belajar langsung meski pun sangat melelahkan," ujar Nanny yang bersama Rosi setiap hari menemani tim dokter ACT menyambangi berbagai lokasi gempa Jogya dan Klaten.

Jika Nanny dan Rosi adalah Tante dan keponakan, Fathurrahmi (26) dan Meutia (20) adalah kakak beradik. Fathurrahmi adalah Wakil Direktur Lazis UII yang sejak sebelum bencana gempa sudah bersama-sama ACT menangani bencana Merapi. Ketika gempa Jogya terjadi, sang adik Meutia pun bergabung. Calon dokter itu sejak hari pertama bencana tak berhenti melayani ratusan pasien setiap hari di Posko Pengungsian Kecamatan Pundong. "Rasanya seperti benar-benar sudah menjadi dokter berpengalaman," ujar Meutia yang predikat Co-Ass nya tiba-tiba berubah menjadi "dokter" berkat panggilan para pasien di pengungsian.

Meutia mengungkapkan pengalamannya selama di Posko Pengungsian Kecamatan Pundong, "Lelah, kantuk tak lagi terasa. Bagaimana mungkin kami mengeluh, mereka jauh lebih menderita dan harus segera ditolong." Bersama para Co-Ass dan mahasiswa kedokteran lainnya dari UGM dan UII bahu membahu menangani para korban bencana di pos kesehatan. Uniknya, hari pertama dan kedua bencana belum satu pun dokter di Posko Pundong, sehingga ratusan pasien hanya ditangani oleh tenaga medis seadanya. Membanjirnya Bahkan kawan-kawan yang bukan dari kedokteran pun membantu. Mahasiswa arsitektur, teknik sipil tiba-tiba saja berperan sebagai dokter. "Saya nggak enak selalu dipanggil pak dokter sama pengungsi," ujar Alfan, mahasiswa tingkat akhir Teknik Sipil UII yang setiap hari bertugas di posko kesehatan Pundong. Dari penampilan, Alfan memang lebih meyakinkan untuk dipanggil dokter ketimbang para calon dokter yang ada di Posko Kesehatan.

Bagi Fathurrahmi, kakak Meutia, kiprah aktifnya dalam kerelawanan baik di Merapi maupun gempa Jogya-Jateng tak lepas dari perannya sebagai Wakil Direktur Lazis UII. Namun jauh lebih tinggi dari sekadar tanggung jawab di Lazis UII itu, Fathur, demikian panggilan akrab bujangan asal Aceh ini, adalah panggilan kemanusiaan yang tak mungkin ia abaikan. "Saya merasa berhutang budi dengan seluruh kepedulian yang pernah ditunjukkan di Aceh ketika tsunami. Kini saatnya saya melakukan hal yang sama," terang Fathur. Keluarga Fathur di Banda Aceh, adalah korban bencana tsunami Desember 2004 silam, termasuk kedua orang tuanya.

Husni (60) dan Fami (23) adalah contoh lain dari kekeluargaan dalam kerelawanan. Husni sang Ayah berperan sebagai driver (sopir) sedangkan Fahmi anaknya bergabung di tim rescue ACT. "Saya sudah tua, tidak punya uang untuk menyumbang tapi saya ingin sekali berbuat untuk Jogya," ungkap Husni yang ternyata juga berbekal seperangkat alat bekam (terapi kesehatan cara Rasulullah). "Saya tergetkan bisa membekam 100 orang, baik pengungsi maupun relawan yang bekerja," tambahnya. Sedangkan Fahmi yang sangat pendiam itu tak banyak berkomentar, "Apa saja, yang penting bermanfaat," tentang peran yang dilakukannya bersama ACT.

Peran keluarga dalam kerelawanan yang tak kalah menarik juga ditunjukkan oleh Ihsan dan Maryam. Pasangan pengantin baru ini seolah ingin menghabiskan bulan madunya dalam aksi kerelawanan di Jogyakarta. Ihsan sebagai tim recovery sedangkan Maryam mengendalikan administrasi dan keuangan Posko. "Ya nggak bisa dibilang bulan madu, kerja kami berbeda. Saya di lapangan sejak pagi hingga malam sedangkan Maryam di Posko," kata Ihsan sambil tersenyum.

"Ini bukan masanya bersenang-senang. Kami datang untuk membantu, meski terus terang sinergi antara saya dan Bang Ihsan membuat kami semakin kuat," tutur Maryam disetujui Ihsan.

Luar biasa. Kalimat ini yang pantas ditujukan bagi seluruh relawan yang bekerja baik di lokasi bencana maupun di berbagai kota lainnya. Meski tak semua harus ke Jogya dan Jateng, peran relawan di Jakarta dan kota lainnya dalam mengumpulkan bantuan, donasi untuk dikirimkan ke lokasi bencana sangatlah patut diacungi jempol. "Kalau menuruti keinginan, saya inginnya ke lokasi bencana. Tapi nampaknya saya lebih dibutuhkan di Jakarta untuk mengumpulkan bantuan dan melakukan fund raising. Meski tak di lokasi bencana, toh yang kami lakukan di sini juga untuk Jogya," ujar Andika, mewakili sejumlah relawan di kantor ACT. Tugas sehari-hari Andika adalah membantu Imam Akbari, Manager Marketing ACT, mulai dari mendistribusikan marketing tools hingga jemput dana dan bantuan.

Siapa pun relawannya, di manapun lokasinya, apa pun yang dilakukannya, baik di lokasi bencana mau pun di tempat lain, salut untuk semua relawan. Begitu juga dengan para donatur, sumbangsih yang diberikan sangat lah berarti untuk para korban bencana. Kerja-kerja para relawan dan peran serta donatur merupakan sinergi terindah antara kerja keras, kepedulian dan kepercayaan. Sungguh, salut untuk semua. Salute to volunteer, salute to donator. (Bayu Gawtama)

ACT Office :
Jl. Ir. H. Juanda no. 50
Kompleks Perkantoran Ciputat Indah Permai B-8
Telepon : 021-741 4482
Fax : 021-742 0664
www.aksicepattanggap.com

Hotline :
Info Lapangan :
Ahyuddin 0811 941 216
Bayu Gawtama 0888 190 2214 / 0852 190 68581
Eko Yudho 0816 169 3044

Donasi :
Imam Akbari 0812 848 1466
Jemput Donasi : 021-7061 4482

Bantuan dana dapat disalurkan melalui rekening a.n Aksi Cepat Tanggap :
BCA no. 676 030 2021
BSM no. 101 000 1114
Mandiri no. 128 000 459 3338
Bank Muamalat Indonesia no. 304 002 3015
BNI Syari’ah no. 009 611 0239

Wednesday, June 14, 2006

"Bawa Foto Dede, ya..."

Sungguh saya tak pernah berani bertanya, keberatankah mereka jika saya terlalu sering pergi ke lokasi bencana beberapa pekan. Tak ada sedikit pun ingin saya berpikir, rindukah anak-anak jika lelaki satu-satunya di rumah ini harus pergi berminggu-minggu meninggalkan mereka? Atau bahkan berpikir pun saya tak mampu untuk sekadar membayangkan betapa sepinya hari-hari mereka tanpa saya.

Setiap malam menjelang tidur, adalah waktu bagi seorang Ayah seperti saya mentransfer nilai-nilai kehidupan melalui dongeng. Setelah sebelumnya berlelah-peluh meramaikan malam di rumah kami dengan canda dan bermain bersama. Cukup padat waktu sepanjang malam selepas sholat maghrib berjamaah, yang kemudian berlanjut dengan mempelajari ayat-ayat Allah atau memperlancar bacaan si kecil yang agak sedikit malas belajar. "Kalau nggak belajar, nggak ada dongeng" kalimat ini menjadi senjata pamungkas setiap kali rasa malas menyerang mereka.

Akan ada banyak malam mereka lewatkan tanpa dongeng, ada banyak waktu sholat mereka tanpa imam laki-laki, dan entah berapa menit waktu sepi mereka tanpa kehadiran lelaki penghibur ini. Entah kemana mereka berlari untuk mengadu sedih saat berselisih-soal atau berebut mainan, kepada siapa mereka menabrakkan kepalanya seraya mencucurkan air mata dan berkata, "Ummi nakal..." bahasa yang mereka pakai ketika tak sependapat dengan umminya.

Ingin hati bertanya, pernahkah terbersit oleh mereka bahwa saya pun amat tersiksa menjalani hari-hari tanpa tawa ceria mereka. Bahwa tak ada yang mampu menserikan hidup ini kecuali menikmati suara-suara kecil lucu mereka, melihat gelak canda dan tingkah polos mereka. Tahukah mereka bahwa saya teramat menantikan hari-hari untuk selalu bersama, sehingga ketika berada di tempat lain, anak-anak seusia mereka lah yang senantiasa saya dekati untuk diajak bermain dan mendongeng seraya membayangkan keduanya berada di tengah-tengah kerumunan anak-anak itu. Sementara, itu cukup untuk mengobati rindu. Semoga pula mereka tahu di hati ini selalu tersedia cinta yang siap ditumpahkan setiap saat. Walau sedetik, semakin tertunda pertemuan dengan mereka semakin membuncahlah cinta yang menyesaki dada ini.

Cukup sudah saya mempunyai gambaran betapa mereka tak ingin lelaki ini berlama-lama pergi. "Tujuh hari, nggak boleh lebih. Janji?" tak mampu saya mengiyakan pertanyaan itu kecuali dengan pertanyaan, "Kalau lebih?" Mereka hanya menjawab dengan senyum. Saya mengartikannya 'boleh' entah bagi mereka.

Ingin sekali saya bertanya, keberatan kah mereka setiap kali saya pergi keluar kota untuk beberapa hari? Saya harus bertanya karena hampir setiap bulan harus meninggalkan mereka, karena akan ada malam-malam mereka tanpa dongeng, akan ada ribuan detik milik mereka yang terlewatkan tanpa bermain bersama lelaki ini.

Belum sempat saya bertanya, semuanya sudah terjawab pagi ini sebelum berangkat ke kantor. "Bi, bawa foto dede ya, simpan ya di kantong..." ujar si kecil. Ooh...

Bayu Gawtama

Monday, June 12, 2006

Tunggu Tanggal Terbitnya!!!

Image hosted by Photobucket.com

Spesifikasi Buku
Judul Buku : School of Life

Sub Judul : Menggali Kebijaksanaan dari Perjalanan Kehidupan

Penulis : Bayu Gawtama

Ukuran : 11,5 x 17

Tebal : 232 halaman (punggung 1 cm)

No. ISBN :

Cover Depan:

SCHOOL OF LIFE
Menggali Kebijaksanaan dari Perjalanan Kehidupan
Bayu Gawtama

Penulis Bestseller, Berhenti Sejenak

Pengantar: Ust. Yusuf Mansur,

Pengasuh Wisata Hati

“…Mengharukan. Apa yang ditulis Bayu dalam buku ini menyentuh relung jiwa.”

Ineke Koesherawati, Selebritis

Cover Belakang
“Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru"
Kehidupan mengajarkan kita banyak hal. Namun seringkali kita tidak mempedulikannya. Dengan gaya tutur yang khas Bayu Gawtama melalui buku ini kembali mengajak kita untuk memikirkan segala hal yang telah kita lakukan. Bayu memberi kita contoh bagaimana kita mengevaluasi diri. Boleh jadi apa yang dikisahkan Bayu, pernah kita rasakan. Atau kita memiliki kisah yang lain. Tapi satu yang pasti, dari kisah-kisah itu kita bisa mengambil pelajaran. Kita tidak akan pernah berhenti belajar.

“Menggugah...”

Yusuf Mansur, Pengasuh Wisata Hati

“Mas Bayu Gawtama sangat pandai merangkai kata, menyusun kalimat. Kejadian keseharian mampu dihadirkan dengan kedalaman makna. Kita pun bisa memetik makna darinya,”

Zazkia Mecca, pemeran Sarah dalam sinetron Kiamat Sudah Dekat

“Belajar tidak harus di selalu di ruang kelas. Kehidupan pun mengajarkan kita. Buku ini menjadi buktinya,”

Sahrul Gunawan, Artis Sinetron

Bayu Gawtama memiliki segudang aktivitas yang memungkinkannya bertemu dengan banyak orang dari berbagai lapisan. Interaksi inilah yang menjadi sumber inspirasi tulisan-tulisannya. Meskipun menurut pengakuannya, istri dan anak-anaknya-lah sebagi inspirasi tertinggi dalam karier menulisnya. Untuk kontak sehari-hari, Gaw bisa dihubungi di bayugautama@yahoo.com juga di blog pribadinya http://gawtama.blogspot.com

Inneke pun Memasak di Tenda Pengungsi

Pernah melihat Inneke Koesherawati memasak? mungkin pernah atau bahkan sering. Tapi kalau memasaknya di dapur umum tenda pengungsian korban gempa Jogyakarta, ini tentu berbeda. Dalam kunjungannya selaku Duta Kemanusiaan ACT-Aksi Cepat Tanggap, Kamis (8/6), Inneke Koesherawati tiba-tiba mengambil alih posisi seorang tentara yang sedang menggoreng tahu. Cukup lihai tangan artis itu mengayunkan sodet besar di atas penggorengan besar. Tungku api besar, penggorengan besar dengan penuh minyak panasnya tak membuat ngeri pemain sinetron itu. "Saya sudah biasa masak lho di rumah," ujar Inneke.

Inneke yang datang ke lokasi pengungsi bersama tim ACT ditemani dua rekannya sesama artis, Astri Ivo dan Ozzy Syahputra. Ketiga artis tersebut nampak tak mampu menyembunyikan kesedihannya menyaksikan langsung kerusakan akibat gempa berkekuatan 5,6 SR yang terjadi pada Sabtu pagi (27/5). "Sungguh menyedihkan, saya tak kuasa dan berkali-kali menangis melihatnya, juga para pengungsi yang tinggal di tenda-tenda darurat," ujar Inneke.

Inneke, Astri dan Ozzy langsung berbaur dengan pengungsi di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul. Pengungsi terlihat sangat terhibur dengan kehadiran ketiga artis tersebut, satu persatu mereka menyalami artis yang selama ini hanya bisa mereka saksikan di layar kaca. Tangan lembut Duta Kemanusiaan ACT itu pun tak canggung menyambut para pengungsi yang menyalaminya, dari anak-anak hingga orang tua. Bincang-bincang pun tak terelakkan, jelas sekali Inneke tengah menjalankan salah satu perannya sebagai Duta Kemanusiaan, yakni membantu meringankan penderitaan para korban gempa dengan menyediakan telinganya untuk mendengar berbagai keluhan. "Rumah kami hancur mbak, kami sudah tidak punya tempat tinggal," "Terima kasih mbak mau peduli terhadap nasib kami," "Duuh, mbak cantik gini kok mau ya datangi tenda pengungsi," "sering-sering ya mbak mampir ke sini," antara lain suara para pengungsi kepada Inneke.

Tak lupa, Inneke, Astri dan Ozzy memberi semangat kepada para relawan yang bekerja tak kenal lelah di lokasi pengungsian. Bahkan, ia tak segan-segan menggantikan seorang tentara untuk menggoreng tahu di penggorengan besar. Kedatangan Inneke, semoga menambah semangat para relawan itu. Selepas itu, Inneke menghampiri seorang ibu yang sedang mengulek bumbu dapur, dan tangan lembut itu pun beraksi. "Waaah, ternyata mbak Inneke bisa ngulek juga," ujar salah seorang relawan di dapur umum Kecamatan Pundong.

Sebelumnya, ketiga artis itu pun sempat mengunjungi lokasi pengungsian di Desa Kedaton Kidul, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Di lokasi tersebut, Inneke diajak berkeliling melihat proses pembangunan rumah tahan gempa yang sedang digarap ACTJogya Recovery (AJR). Inneke mengaku setuju dengan apa yang digagas ACT untuk membangun kembali rumah-rumah warga korban gempa secara cepat. "Mereka tak seharusnya berlama-lama tinggal di tenda, semoga banyak pihak akan mendukung program ini," tambah Inneke.