Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Tuesday, August 30, 2005

Airmata di Hari Jadi

Sejak kecil saya mengenal ulang tahun identik dengan lilin, kue tart dan balon. Ada tepuk tangan meriah dan nyanyian selamat kepada yang berulang tahun, kemudian, ffiuuhh... lilin pun padam disambut tepuk tangan yang jauh lebih meriah dari sebelumnya. Peluk cium pun bersarang di kening, pipi dan kepala yang hari itu tengah berbahagia memperingati hari jadinya.

Beranjak remaja, ulang tahun yang saya saksikan masih tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Masih ada lilin, kue tart, balon, tepuk tangan dan lagu yang sudah sangat dihapal luar kepala bahkan oleh anak usia tiga tahun sekali pun. Bedanya mungkin pada pestanya yang lebih beragam, makanannya yang tak lagi dibungkus plastik berisi permen dan makanan kecil. Musiknya pun berbeda, dan kali ini dibarengi acara yang saya sendiri tak pernah mengerti kaitannya dengan makna ulang tahun itu sendiri. seperti ketika seorang teman memperingati hari jadi ketujuhbelasnya kala itu, kebebasan menjadi tema pesta hari itu sehingga beragam acara dibuat sesuai dengan tema itu. Ada peluk cium, tapi bukan dari orang tua, kakak atau adik dan saudara yang berulang tahun, melainkan dari rekan sebaya, teman sekolah, dan pasti seseorang yang menjadi tamu spesial di pesta itu.

Saya yang sejak kecil tak pernah merayakan hari jadi dengan pesta, tak pernah ada lilin, kue tart, balon, dan segala yang saya saksikan di berbagai pesta teman-teman, hanya ingat satu hari saat orang tua saya mengumpulkan kami dalam sebuah jamuan makan alakadarnya. Duduk bersila seluruh anggota mengelilingi sajian makan malam yang sedikit lebih istimewa dari biasanya. Kemudian saya diminta bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan selama sekian tahun menjalani kesempatan yang diberikannya. Ada pertanyaan yang teramat sulit terjawab oleh lidah ini kala itu, "kebaikan apa yang sudah dilakukan sepanjang tahun ini?" dan "sebanyak apa keburukan yang terjadi sepanjang tahun ini?"

Kelu lidah ini untuk menuturkan seberapa banyak kebaikan yang sudah dilakukan, terlebih ketika harus membeberkan berbagai salah dan keburukan yang sadar maupun tidak terjadi begitu ringan, tanpa beban, tanpa penyesalan, dan tanpa takut akan balasan yang kan menimpa. Bukankah setiap keburukan yang dilakukan sekecil apa pun ada ganjarannya? seperti halnya Allah juga akan seringan hembusan angin menghadiahi sebesar atom pun kebaikan kita, terlihat maupun tidak, dalam keadaan mudah maupun sulit.

Sejak lima belas tahun yang lalu saya dan segenap sahabat pun mentradisikan sebuah ulang tahun dengan cara yang sederhana. Tanpa lilin, kue tart, balon, tepuk tangan dan pesta meriah dengan musik yang hingar bingar. Sebuah ulang tahun yang dibingkai dengan satu makna, bahwa ulang tahun adalah sebuah terminal pemberhentian untuk melihat kembali jalan yang sudah ditempuh agar mampu menutup setiap celah yang ada, memperbaiki kesalahan yang tercipta. Satu persatu sahabat menyebutkan kesalahan, kealpaan, keburukan yang pernah dilakukan oleh yang berulang tahun hari itu. Tidak ada pujian, tidak ada kata selamat, bahkan sahabat yang berulang tahun hari itu hanya boleh berucap "terima kasih" untuk semua masukan, kritikan, dan evaluasi yang bisa jadi terasa pedas dan perih. Mungkin tak lagi terasa perih semua masukan itu jika ia lebih bijak memandangnya sebagai bentuk kasih dan cinta sahabat akan kebaikan sahabatnya di masa datang.

Acara pun ditutup dengan bersimpuh bersujud bersyukur kepada kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya. Menangislah ia menyadari bahwa teramat banyak salah yang terbuat dari goresan lidahnya, gerak tangan, ayunan langkah, bahkan kerling mata dan sunggingan senyum tak tulusnya terhadap orang terkasih itu.

Saat ini, semakin sadar diri ini bahwa memperingati hari jadi terasa lebih khidmat saat mengingat kembali masa lalu, menapaki satu persatu jalan yang pernah terlewati, memperbaiki yang salah, menambal yang berlubang, menutupi setiap celah keburukan, agar mampu menatap masa depan yang lebih cemerlang.

Bayu Gawtama
hadiah istimewa untuk yang berulang tahun pertama hari ini, delta siesta

Berubah atau Mati

Alam mengajarkan banyak ilmu kepada manusia, dengan catatan, manusia itu sendiri yang mau menggali ilmu yang terdapat di alam ini. Penjelasan bahwasannya hanya orang-orang berakal yang mau mengamati dan belajar dari tanda-tanda alam sepanjang silih-ganti siang dan malam adalah sebuah petunjuk yang sangat membantu manusia untuk memahami maksud alam tersebut. Dan menjadi kepastian mereka yang tak mampu mengambil pelajaran yang diberikan alam akan lebih cepat tergusur. Mulanya hanya tergeser hingga ke pinggiran, kemudian menghilang dan musnah.

Siapa pun manusianya, hendaknya memperhatikan setiap perubahan yang terjadi di setiap detik berjalan. Detik ini dengan detik sebelumnya terdapat banyak perubahan yang terjadi. Arah mata angin, dedaunan yang terus bergerak seirama hembusan angin yang tak pernah sama besarannya, air sungai yang mengalir mencari kerendahan, terik matahari yang menyerap air dari bumi agar kemudian awan menumpahkannya kembali sebagai hujan. Dan langit sebagai atap yang tak pernah berwarna yang sama setiap harinya, selalu berubah biru, putih, merah, jingga, kuning bahkan hitam.

Perhatikanlah malam, bintang yang menghiasi langit malam hari tak pernah sama jumlahnya. Bisa jadi di satu malam tak satu pun yang menampakkan diri, padahal malam sebelumnya tak satu pun makhluk di muka bumi ini yang sanggup menghitungnya. Hangat mentari pagi berganti panas di siang hari, kemudian perlahan sejuk seiring memerahjingganya langit senja menjemput malam. Tak pernah siang selamanya, tak pernah pula malam seterusnya, pergantiannya senantiasa seiring dengan kekuasaan Tuhan atas apa-apa yang pernah diciptakannya.

Adakah manusia juga berubah? Secara fisik manusia pun berubah semenjak pertama kali matanya menatap dunia sampai ia menutup matanya di hari ajalnya. Semenjak huruf pertama yang mampu terucap hingga kalimat terakhir yang diucapkannya saat meregang nyawa. Semenjak belum mampu kakinya menahan tubuh, kemudian belajar berdiri, berjalan, berlari, hingga ia benar-benar terbaring kembali di tanah sempit sedalam satu meter. Semenjak ia belum mengenal apa pun, kemudian belajar, tahu, memiliki, dan mencintai sesuatu hingga Tuhan berkehendak pasti disaat manusia harus meninggalkan semua yang pernah dimilikinya, semua yang dicintainya. Semua perubahan itu tak sekadar mengiringi perubahan yang berlaku pada alam tempat manusia hidup, tetapi juga bagian dari kekuasaan Allah.

Mungkin Anda pernah mendengar atau membaca kisah tujuh pemuda yang masuk ke dalam gua untuk mempertahankan keimanannya. Kemudian Allah membuat mereka tertidur selama tiga ratus sembilan tahun lamanya. Tak terbilang perubahan yang terjadi di luar gua tempat mereka bersembunyi, namun atas kuasa Allah tubuh mereka tidak berubah tetap seperti sediakala saat pertama masuk ke gua sehingga sebagian mereka menganggap hanya satu dua hari tertidur dalam gua.

Saat mereka tertidur Allah membalik-balikkan tubuh ketujuh pemuda itu ke kanan dan ke kiri? Dan itu berlangsung selama tiga ratus sembilan tahun. Di satu sisi bahwa mereka tetap hidup dan tak menua adalah kekuasaan Allah, tapi cara Allah membalik-balikkan tubuh tujuh pemuda itu tak lain untuk menunjukkan kepada kita tentang hakikat perubahan. Dari sudut pandang keilmuan, andai tubuh yang merebah itu tak dibalik-balikkan ke kanan dan ke kiri untuk bergantian mendapat sinar matahari terdapat kemungkinan bagian yang menempel tanah itu akan membusuk dan akhirnya mati. Allah berkenan membuat tujuh pemuda itu tetap hidup dengan dua cara, kekuasaan untuk memberi umur panjang dan mengubah ke kanan dan kiri posisi tidur mereka agar berganti mendapat sinar matahari.

Inilah semestinya yang menjadi pelajaran manusia diluar tujuh pemuda yang beriman itu, bahwasannya perubahan menuju perbaikan itu adalah sebuah keharusan. Menjadi orang baru setiap hari dengan memperbaiki kesalahan, menutupi kekurangan hari kemarin adalah kewajiban. Seperti halnya daun yang telah jatuh ke tanah, ia tak lagi mengikuti irama angin bersama jutaan daun lain yang masih menyatu di dahan. Berarti ia mati. Manusia yang tak berubah, yang tak memperbaiki kesalahannya, tak menutupi kekurangannya, tak menambah nilai prestasi dalam hidupnya, mereka hanya tengah menunggu saat matinya.

Setiap manusia pasti mati, tapi setiap manusia juga punya kesempatan meng-create kematiannya apakah berakhir dengan indah atau sebaliknya. Mengakhiri hidup dengan segunung prestasi, selaut amal kebaikan, dan sebaris senyum para penghuni langit. Ini mimpi sederhana saya. Semoga.

Bayu Gawtama

Wednesday, August 24, 2005

Ia Hadir untuk Dicinta

Jika masih tertahan kelopak mata ini untuk tetap terbuka hingga larut, atau saat terjaga di pertengahan malam selalu saya sempatkan untuk menyambangi kamar anak-anak. Saya hampiri dan tatap wajah mereka bergantian sambil menghalau nyamuk yang hinggap di tubuh mereka. Wajah indah yang terlelap itu menyibakkan kejujuran dalam hati, bahwa mereka hadir sebagai amanah yang harus dijaga sebaik-baiknya. Mereka ada untuk dicinta.

Terbayanglah kekesalan yang hampir tercipta akibat perbuatan dan tingkah nakal mau pun pembangkangan mereka siang tadi. Terlintaslah amarah yang nyaris meluap saat mereka tak mendengar perintah mau pun ketika peraturan terlanggar. Beruntung kekesalan itu hanya sempat mampir di kepala dan tak sampai keluar makian kasar yang pasti akan melukai telinga mereka. Bersyukur amarah ini tak sekali pun sempat membuat mereka melihat saya seperti monster yang menakutkan. Mereka hanya anak-anak yang sangat pantas dan bisa sangat dimaafkan ketika berbuat kesalahan. Jiwa mereka masih sangat rapuh untuk menerima kalimat dan perilaku kasar orang tua hanya karena kesalahan kecil yang mereka pun mungkin tak sadar kalau itu benar-benar sebuah kesalahan.

Bisa jadi letak kesalahan justru terletak pada orang tua yang terlalu kaku membuat peraturan, mengekang kebebasan mereka sebagai individu yang meski masih kecil tetap saja seorang manusia yang berhak dan bebas memilih untuk melakukan yang terbaik menurut mereka. Tugas orang tua bukan melarang atau memerintah, tapi lebih kepada mengarahkan agar mereka tetap berada pada jalur yang sebenarnya.

Menatap kembali wajah-wajah bersih itu dalam tidur mereka yang mungkin sedang memimpikan Ayah dan Ibu yang tengah menimang dan membuai penuh kasih, tergambar jelas tak sedikit pun ada dosa di diri mereka. Kalau mau menghitung-hitung, jangan-jangan justru kita lah yang lebih banyak berbuat kesalahan terhadap mereka dibanding jumlah kesalahan kecil mereka.

Saya teringat banyak kejadian di luar. Misalnya ketika di sebuah angkot seorang ibu memaki anaknya yang masih berusia empat tahun –dari posturnya seukuran anak saya- dengan kalimat yang sangat belum waktunya anak sekecil itu mendapatkannya. Belum lagi tempelengan yang sempat mampir di kepalanya. “goblok lu ya, kalau jatuh mampus luh,” hanya karena ia sempat melongok ke arah pintu angkot. Sebuah kesalahan kecil yang mestinya bisa disikapi lebih bijak dengan sebuah nasihat lembut. Atau ketika isteri saya bercerita tentang seorang ibu dari teman sekolah anak kami di TK. Anaknya terjatuh saat berlari, “Nyungsep sekalian biar bonyok tuh muka. Udah dibilangin jangan lari,” itu pun masih ditambah satu tamparan di kepala. Yang pasti itu tak meredakan tangis si anak, bahkan membuat memar di lututnya semakin perih terasa hingga ke hati.

Mengusap bulir keringat di kening mereka dan membelai rambutnya saat tidur membuahkan pertanyaan di benak ini, haruskah bintang-bintang sejernih ini mendapatkan perlakuan sekasar itu? Lihat saja senyum mereka saat terlelap, dan dengarkan hati mereka bernyanyi dalam mimpi. Anda akan mendengarkan nyanyian riangnya jika Anda memperlakukannya sepanjang hari seperti halnya Anda tengah menciptakan sebuah mimpi indah untuknya. Namun jangan terperanjat ketika tengah malam tidur Anda terusik saat ia mengigau dan berteriak ketakutan. Hanya rintihan yang bisa terdengar dari mimpinya karena sepanjang hari ia hanya mendapatkan kecemasan dan ketakutan dari kalimat kasar, delikkan mata dan ayunan keras tangan Anda ke tubuh mereka.

Tak seekor nyamuk pun pernah saya persilahkan untukmenyentuh setiap inci kulit mereka. Lalu kenapa masih ada yang tega mencederai anak-anak, padahal dalam berbagai dongeng mereka selalu mendengar bahwa yang kasih dan cintanya tak terbanding itulah Ayah dan Ibu. Coba sentuh dengan lembut wajah halusnya saat tidur, itu akan membuatnya bermimpi indah seolah tengah terbaring di pangkuan bidadari.

Anak-anak tak pernah membenci orang tuanya, bahkan saat mereka mendapatkan perlakukan kasar dari orang tua pun, tetap saja nama Ayah atau Ibu yang mereka panggil saat menangis. Anak-anak tak pernah berdosa terhadap orang tuanya, justru kebanyakan orang tua yang berdosa kepada mereka dengan makian kasar dan pukulan menyakitkan. Anak-anak tak pernah benar-benar membuat orang tua kesal, orang tua lah yang teramat sering membuat mereka kecewa mendapati Ayah dan Ibunya tak seindah syair lagu yang selalu diajarkan guru di sekolah.

Ah, kadang orang tua baru menyadari bahwa anak-anak hadir untuk dicinta saat ia terbaring lemah di salah satu tempat tidur di bangsal anak-anak. Atau ketika Tuhan mencabut amanah itu dari kita. Menangiskah kita?


Bayu Gawtama

teramat banyak yang merindukan kehadiran mereka dengan cinta yang teramat tulus

Sunday, August 21, 2005

Ibakan Hatimu

Suatu hari saya menancapkan sebuah paku panjang ke batang anak pohon pisang hingga menelusup ke jantungnya. Esoknya kembali saya menancapkan satu paku ke pohon yang sama. Setelah beberapa hari saya melihat bekas membusuk di sekitar paku yang tertancap di batang tersebut. Saya pun menambahkan paku lainnya untuk ditancapkan di sekitar batang yang mulai membusuk itu. Esoknya saya bisa melihat luka membusuk di batang itu semakin besar, mungkin karena ditambah satu paku kemarin.

Saya terus membiarkan beberapa hari dan melihat kembali batang pohon pisang itu, ternyata busuk di batangnya tak juga hilang. Saya tak segera mencabut paku-paku yang telah menyebabkan kebusukan itu, justru saya menambahkannya dengan beberapa paku lain yang tak kalah panjangnya. Beberapa paku yang tertancap bahkan sudah berkarat sebelum saya hujamkan ke dalam jantung pohon pisang itu, saya pikir mungkin karat itu lah yang membuat batang itu membusuk. Ia seperti terluka, dan lukanya semakin membesar karena semakin banyak paku yang tertancap. Tak sebatas luka, bahkan batang itu terus membusuk.

Semakin penasaran, saya menancapkan lagi sepuluh paku besar ke sekeliling batang pohon pisang itu, hingga terlihatlah barisan paku yang kini sudah lebih mirip kalung yang menghiasi leher seorang gadis. Saya biarkan paku tajam dan berkarat itu terus bersemayam di jantung pohon pisang, tak ada sedikit pun niat untuk mencabutnya meski satu paku pun. Bahkan tak seorang pun saya izinkan untuk mencabutnya.

Puas dengan tancapan demi tancapan di satu batang pohon, batang pohon pisang di sebelahnya pun menjadi sasaran berikutnya. Setelah menguliti sebagian pelepahnya, mulailah satu persatu paku ditancapkan di batang pohon hingga mengenai jantungnya. Seperti batang pohon sebelumnya, setelah beberapa hari bekas luka dari tusukan paku terlihat membusuk di batang itu. Kemudian saya tambahkan lagi beberapa paku persis seperti yang saya lakukan pada batang pohon pertama.

Pagi hari ketika sudah siap dengan beberapa paku di tangan untuk ditancapkan, saya melihat pohon pertama yang sekeliling batangnya sudah tertancap paku selama beberapa pekan itu akhirnya mati. Teramat banyak paku tajam dan berkarat yang bersarang di jantungnya, tidak hanya menyakitkan dan membusukkan, bahkan paku-paku itu membuatnya mati.

Segera saya mencabuti beberapa paku yang terlanjur menancap di pohon yang belum mati, berharap luka membusuknya segera membaik. Agar ia tak mati seperti pohon di sebelahnya.

***

Ada jutaan kata hilir mudik mampir di telinga ini, entah itu penuh makna atau pun nirmakna. Entah membuat segar atau justru memerahkan telinga. Tapi seburuk apa pun kata-kata yang terdengar, biarkan ia hanya mampir di telinga saja. Jangan izinkan ia singgah di hati.

Tak terbilang peristiwa dan adegan berlangsung di pelupuk mata ini, entah membuat kita tersenyum atau sebaliknya. Entah menyenangkan atau membuat mata ini seperti dilempari pasir. Aneka kejadian yang berlangsung dan sering kali tak bisa kita pilih itu memang teramat sering tak menyedapkan pandangan. Namun hentikan itu hanya di pelupuk mata saja, dan jangan biarkan ia menelusup ke dada hingga memenuhi setiap inci ruang dalam hati.

Ada banyak hal yang tak berkesesuaian dengan pikiran dan harapan kita, namun sering kali tak mampu kita tolak kejadian dan peristiwanya. Tapi tahukah kita apa yang terjadi atas diri ini jika terus menerus menyimpan sakit dan kecewa itu dalam hati? Sungguh melelahkan dan menyakitkan terus menyimpannya dalam hati. Satu-satunya orang yang paling merugi setiap kita menanam sakit hati, iri, dengki, kecewa, kesal, adalah diri ini sendiri.

Ibakan hati ini dengan tak menyimpan segala penyakit itu dalam hati. Luaskan ruang dalam hati agar cukup tersedia permaafan untuk segala kata dan peristiwa yang menyakitkan itu. Satu-satunya orang yang paling luas hatinya dan langkahnya seringan awan ialah yang tak menyimpan satu pun dendam dan sakit di hatinya. Saya belajar untuk menjadi seperti ini, semoga bisa.

Bayu Gawtama

Wednesday, August 17, 2005

Kata Sampah

“Saya tidak suka kata-kata Anda siang tadi, dan tidak seharusnya Anda berkata seperti itu,” kalimat itu ditujukan kepada saya sore hari setelah pertemuan dengan beberapa sahabat siang sebelumnya. Kemudian saya minta maaf seraya bersukur memiliki sahabat sepertinya, jika bukan karena kami sangat dekat dan menghargai persahabatan ini, tentu ia tidak akan langsung mengkritik kesalahan saya dalam bertutur mau pun bersikap. “Terima kasih, Anda lah sahabat sebenarnya yang mau berterus terang untuk membantu saya memperbaiki kesalahan”.

Kata dan perbuatan seringkali tidak terkontrol dan dengan seenaknya mengalir keluar begitu saja tanpa tersaring lebih dulu. Padahal, jangankan sebuah kata atau tindakan, berpikir negatif pun jika tahu akibat buruk yang bisa ditimbulkannya maka tidak akan pernah sesiapa pun mau apalah lagi berani berpikir negatif. Masalahnya manusia seperti kita terkadang harus mengalami tamparan keras akibat kekeliruan kata dan ketakbenaran tindakan untuk kemudian tersadar, “Oh ya, saya memang salah”. Itulah kemudian banyak orang menyebut, penyesalan selalu datang terakhir.

Ibarat membuang sampah bungkus permen, atau puntung rokok bagi yang merokok. Orang yang melakukannya tak pernah sadar bahwa sampah yang dalam penglihatannya begitu kecil itu akan berdampak besar di kemudian hari. Meski kecil, bayangkan jika Anda melakukannya setiap hari selama puluhan tahun menjalani hidup. Anda tak sendiri, tidak sedikit juga yang menganggap bungkus permen, plastik kue, puntung rokok sebagai hal kecil yang bisa dibuang sembarangan. Bersukur masih ada tukang sapu jalanan yang menyelamatkan kita dari pemandangan kotor kota dan akibat yang lebih buruk yang bisa ditimbulkan jika sampah-sampah kecil itu dibiarkan berserakan di jalan sekian lama. Setidaknya, sebagai penduduk kota kita akan dicap bagian dari masyarakat kotor yang tak mengerti kebersihan.

Misalkan Anda sering membuang sampah di halaman depan rumah Anda. Tak pernah sekali pun ada yang membersihkannya di pagi atau sore hari, begitu seterusnya selama berhari-hari. Siapa yang akan menerima akibat buruk dari sampah yang menumpuk di halaman rumah Anda itu? Tetangga Anda mungkin akan menerima akibatnya, tapi sudah jelas Anda lah yang pertama kali mendapat akibat buruknya. Dicap sebagai orang tak tahu kebersihan, ditambah lagi Anda akan terjangkit penyakit dari tumpukan sampah yang membusuk.

Begitu lah juga kata dan tindakan yang tak lagi melalui seleksi ketat, ia seperti sampah yang menyebabkan Anda dibenci orang karena telah membuat sakit hati dan perih telinga yang mendengar kata-kata sampah Anda. Pernahkah Anda ditampar seseorang karena perbuatan keliru Anda? Saya pernah, belasan tahun silam. Tapi sakit dari tamparan itu masih bisa saya rasakan hingga detik ini.

Bukan hanya kata dan tindakan salah, bahkan yang tak salah namun tak bermanfaat pun bisa merupakan sampah bagi orang lain. Pastikan setiap kata bermakna, atau diam. Itu pilihan terbijak bagi kita agar tak semakin banyak orang yang muak, mual kemudian muntah di muka kita sendiri akibat teramat banyak sampah-sampah yang kita jejalkan kepada mereka, akibat teramat sering mulut ini mengeluarkan bau busuk dari kalimat yang tak bermanfaat, yang mengiris-iris hati, memerahkan telinga.

Contoh kecil, bukankah kita sering dibuat kesal setiap kali menerima junkmail (email sampah yang entah datangnya dari mana)? Semakin dibuat kesal jika jumlahnya semakin tak terbilang mampir di inbox email kita karena harus setiap hari men-delete-nya. Begitulah juga kesalnya orang mendengar kalimat sampah dari mulut ini. Masalahnya lagi, menghilangkan kata sampah yang terlanjur hinggap di telinga tak semudah menghapus email sampah dari inbox kita.

Bayu Gawtama

Thursday, August 11, 2005

Potret Keluarga

Setiap kali berkunjung ke rumah teman, sahabat, kerabat maupun famili, ada sesuatu yang senantiasa menarik untuk saya perhatikan. Hampir setiap rumah, entah pemiliknya orang berada maupun sederhana terpajang sebuah potret keluarga di dinding ruang tamu. Biasanya perlu waktu untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarga agar tak ada yang tak tertinggal dalam foto keluarga itu, kalau bukan Ayahnya yang lebih mementingkan pekerjaan, mungkin anaknya yang sibuk kegiatan sekolah. Anak lainnya, bisa jadi jarang pulang karena bekerja di luar kota. Begitu ada kesempatan berkumpul semua, mereka kira itulah kesempatan langka yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Pakaian pun disiapkan yang terbaik, kalau pun tidak sempat membuat seragam keluarga maka diupayakan mencari yang warna dan motifnya serasi. Crekk.. kilatan lampu blitz kamera menangkap senyum seluruh anggota keluarga yang seolah dikomando untuk memberikan yang termanis, tanpa cemberut, tanpa masam. Kalau pun ada yang kurang berkenan, adegan dan pengambilan gambar pun wajid diulang sampai betul-betul mendapatkan hasil yang terbaik. Maklum, potret keluarga itu akan dipajang di dinding ruang tamu. Agar siapa pun yang bertamu akan melihat dan mempersepsikan dan menjadikan mereka sebagai contoh keluarga yang baik, serasi, kompak, hangat, penuh komunikasi dan yang tak kalah pentingnya; bahagia. Itu semua tergambar dari potret keluarga.

Berbilang tahun sudah potret itu terpajang di dinding ruang tamu, tidak ada yang berubah kecuali sedikit berdebu, atau posisinya agak miring jika pemiliknya malas meluruskannya kembali. Tapi yang pasti gambar dalam bingkai itu tidak satu pun yang berubah, senyumnya yang kompak, posisi berdirinya yang diatur sehangat dan sedekat mungkin, keserasian warna dan motif pakaian, ditambah wajah manis dan tampan yang terpoles make up. Semua menggambarkan keutuhan sebuah keluarga bahagia.

Jikalah potret yang bahkan hingga puluhan tahun itu sudah berubah, apakah dalam kenyataannya keluarga itu juga tak ada yang berubah? Mungkin tidak demikian. Boleh jadi kepala keluarga dalam bingkai itu sudah pergi ke alam lain, dan potret yang dibuat puluhan tahun silam itu pun menjadi kenangan akan dirinya. Kalau lah masih lengkap seluruh keluarga, tapi satu persatu anak-anak yang ada dalam potret itu kini menetap di tempat lain bersama keluarga mereka masing-masing dan telah pula membuat satu potret keluarga mereka sendiri. Tentu dengan proses yang tak jauh berbeda saat dulu ia bersama Ayah, ibu, kakak dan adiknya mencari waktu dan berpakaian serasi untuk membuat potret keluarga.

Sampai di sini tidaklah masalah. Justru yang kadang menjadi pertanyaan, mungkinkah kebahagiaan, kekompakan, kehangatan serta keserasian dalam potret keluarga itu kini hanya berstatus: Dahulu memang demikian? Karena kedua orang tua yang terlihat bahagia dengan anak-anak bunga cinta mereka itu kini sudah bercerai dan kemudian membentuk keluarga lagi. Atau Si sulung yang pergi menghilang tanpa kabar setelah pertengkarannya dengan Ayah belasan tahun silam. Sementara adik perempuannya lebih banyak menghabiskan waktu malamnya bersama teman-temannya di kafe atau club, ia kecewa menyaksikan ibunya yang kian hari semakin sibuk dengan urusan bisnis dan arisan kelas atasnya. Tak ada lagi kasih sayang dan cinta yang pernah ia dapatkan dari seorang ibu yang pernah diidolakannya belasan tahun lalu, saat semuanya masih terasa begitu hangat.

Bagaimana nasib potret keluarga di dinding ruang tamu? Ia tak pernah lagi dilirik oleh satu pun anggota keluarga dan tetap dibiarkan berdebu bersama senyum dan kehangatan dalam bingkai yang kini hanya tinggal kenangan. Si bungsu sering menatap dengan mata kosongnya setiap pulang sekolah. Getar hatinya pun bergumam, “Dulu saya pernah punya keluarga yang bahagia”.

Akankah kebahagiaan hanya akan menjadi masa lalu bagi keluarga kita? Mungkinkah potret keluarga yang mencerminkan kehangatan itu dibuat hanya untuk menjadi kenangan di hari kelak? Apakah senyum indah yang terangkai dalam bingkai itu belasan atau puluhan tahun yang akan datang tak lagi terwujud dalam kehidupan sehari-hari keluarga itu?

Saya telah membuat potret keluarga, dan semuanya terlihat sangat bahagia. Meski tak terpajang menghiasi dinding ruang tamu, namun lekat terpatri di dinding hati ini. Semoga tetap utuh dan bahagia hingga takdir yang menghendaki satu persatu harus pergi. Setidaknya itu doa yang tak pernah alpa saya pinta. Saya yakin Allah mendengar pinta itu.

Bayu Gawtama

Tuesday, August 09, 2005

Alhamdulillah Telah Terbit "Berhenti Sejenak"

Image hosted by Photobucket.com

"Hidup sangatlah halus dan kita harus memimpinnya
dengan kebijaksanaan yang halus pula. Salah satunya
melalui cerita-cerita di buku ini, yang dapat menjadi
kaca, apakah kita sudah bisa dikatakan orang baik yang
penuh cinta." (Shahnaz Haque Ramadhan, Penyiar Radio).

"Kejadian-kejadian yang ada dalam keseharian kita
kembali diceritakan penulis. Meskipun muatan religinya
tidak terlalu kental, namun sebetulnya "mendalam".
Saya sarankan bacalah buku ini. Tulisan-tulisan dalam
buku ini bisa memberikan energi positif bagi Anda,
insya Allah." (Hedi Yunus, Penyanyi).

Kata Pengantar
Ramadhan KH:
Saya tak mengenal postur pengarang buku ini, Bayu
Gawtama, tapi saya bisa menangkap jiwanya: halus,
penuh kemanusiaan. Itu saya dapatkan dari
cerita-cerita yang ditulisnya.

Menurut keterangannya, ini semua adalah pengalamannya
sehari-hari yang sempat direnungkannya kembali dan
dituliskannya.
"Ibuku Tangguh" mencerminkan kehalusan perasaannya,
hormat pada orang tua, mencatat perjuangan seorang
ibu. Maka pantas penerbit Hikmah tertarik untuk
menerbitkannya.
Begitu juga "Energi Positif", di samping mengandung
kalimat-kalimat puitis "ada bening air yang siap
tumpah". Maka dengan ini pengarangnya pandai mencatat
atau mengenang secara ringkas tapi halus mengenai
kejadian yang sempat ia lakukan.
"Menciptakan Perbedaan" mengandung filsafat hidupnya,
pendirian tentang dirinya berada di bumi. Katanya,
"nilai hidup tidak ditentukan oleh berapa banyak yang
berhasil kita kumpulkan di tabungan pribadi; tidak
juga diukur dari tingkat dan gelar pendidikan yang
sudah diraih... Hidup akan memiliki nilai jika ada
peran serta kita terhadap kehidupan orang lain.
Semakin banyak orang lain yang tersentuh oleh
keberadaan kita, semakin besarlah nilai hidup kita."
Itu pendirian Bayu Gawtama.
Pendek kata, semua cerita yang ditulis Bayu Gawtama
mengingatkan saya pada tokoh masyarakat yang mendidik
moral kita, Aa Gym (Abdullah Gymnastiar) dengan
wejangan-wejangannya dan buku-bukunya, a.l. "Indahnya
Kasih Sayang."
Membaca "Semua Karena Cinta" - Bayu Gawtama, saya
mencatat: Jika banyak orang yang seperti penulis ini,
sadar akan arti dan kewajiban dirinya, akan
beruntunglah kita. Maka saya serukan, hadapkanlah
tulisan ini pada orang banyak. Dan saya menyarankan,
Bacalah buku ini!!! (Ramadhan KH, Cape Town)

Spesifikasi Buku:
Judul: Berhenti Sejenak (Melihat Lebih Dalam untuk
Memperbaiki Diri)
Penulis: Bayu Gawtama
Penerbit: Hikmah (kelompok Mizan)
Kata Pengantar: Ramadhan KH
Halaman: 176 Halaman
Harga: Rp. 25.000,-

Kontak Gaw: 0852 190 68581

Monday, August 08, 2005

Kisah Sedih Pencuci Piring

Siapa yang paling berbahagia saat pesta pernikahan berlangsung? Bisa jadi kedua mempelai yang menunggu detik-detik memadu kasih. Meski lelah menderanya namun tetap mampu tersenyum hingga tamu terakhir pun. Berbulan bahkan hitungan tahun sudah mereka menunggu hari bahagia ini. Mungkin orang tua si gadis yang baru saja menuntaskan kewajiban terakhirnya dengan mendapatkan lelaki yang akan menggantikan perannya membimbing putrinya untuk langkah selanjutnya setelah hari pernikahan. Atau bahkan ibu pengantin pria yang terlihat terus menerus sumringah, ia membayangkan akan segera menimang cucu dari putranya. “Aih, pasti segagah kakeknya,” impinya.

Para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura kebahagiaan, itu nampak dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi sanak saudara dan kerabat orang tua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan ajang silaturahim, kalau perlu rapat keluarga besar pun bisa berlangsung di sela-sela pesta. Sementara teman dan sahabat kedua mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni yang tak direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak ada yang hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu lagi, bagi mereka yang jarang-jarang menikmati makanan bergizi plus, inilah saatnya perbaikan gizi walau bermodal uang sekadarnya di amplop yang tertutup rapat.

Nyaris tidak ada hadirin yang terlihat sedih atau menangis di pesta itu kecuali air mata kebahagiaan. Kalau pun ada, mungkin mereka yang sakit hati pria pujaannya tidak menikah dengannya. Atau para pria yang sakit hati lantaran primadona kampungnya dipersunting pria dari luar kampung. Namun tetap saja tak terlihat di pesta itu, mungkin mereka meratap di balik dinding kamarnya sambil memeluk erat gambar pria yang baru saja menikah itu. Dan pria-pria sakit hati itu hanya bisa menggerutu dan menyimpan kecewanya dalam hati ketika harus menyalami dan memberi selamat kepada wanita yang harus mereka relakan menjadi milik pria lain.

Apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta itu? Semula saya mengira yang paling bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang pernah saya ketahui hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah plus sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak cukup mengeringkan peluhnya. Sedih, pasti.

Tak lama kemudian saya benar-benar mendapati orang yang lebih bersedih di pesta itu. Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Mereka lah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.

Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang tak jauh berbeda dengan pembawa piring kotor. Mereka juga tidak sedih hanya karena harus belakangan mendapat jatah makan, itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.

Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan sedih mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.

Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia padahal tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.

Sekadar usul untuk Anda yang akan melaksanakan pesta pernikahan, tidak cukup kalimat “Mohon Doa Restu” dan “Selamat Menikmati” yang tertera di dinding pesta, tapi sertakan juga tulisan yang cukup besar “Terima Kasih untuk Tidak Mubazir”. Mungkinkah?

Bayu Gawtama

Saturday, August 06, 2005

Rumput Liar pun Punya Nama

Sebulan terakhir ini saya membuat agenda kegiatan baru untuk dua bidadari kecil saya di rumah. Mengajak mereka ke tempat-tempat tertentu untuk lebih mengenal alam adalah hal yang sudah lama saya rencanakan dan telah masuk dalam bagian dari rancangan pendidikan saya terhadap mereka. Di awal-awal tahun usia mereka, saya sudah lebih dulu mengenalkannya dengan bintang, benda kecil berkerlap indah di langit. Juga bulan, bintang yang nampak lebih besar karena jaraknya lebih dekat ke bumi. Matahari dan angin pun tak luput untuk dikenalkan sebagai bagian alam yang tak pernah absent dalam kehidupan mereka.

Kebun, lahan pertanian, sungai dan bahkan laut sudah masuk dalam daftar tempat yang harus kami kunjungi, dan akan saya kenalkan anak-anak dengan lingkungan dan alam yang lebih luas, lebih dari yang selama ini mereka kenal sebatas rumah dan isinya, sebelah rumah dengan beragam hiruk pikuknya, riuh rendah aktivitas kota, juga suara bising transportasi serta lalu lalang orang-orang sibuk memburu waktu.

Berada di tepi sungai kecil, mereka akan mengenal suara gemiricik air yang mengalirkan ketenangan dari telinga hingga ke hati, jelas lebih nyaman ketimbang klakson kendaraan dan makian orang-orang terjebak kemacetan yang menyegakkan. Tentu saja selain mereka juga saya harapkan mengerti dari mana air berasal dan kemana menujunya, senangnya mereka menemukan pelajaran baru di minggu pagi. Menggembirakan melihat mereka gembira menemukan berbagai tumbuhan baru yang tak pernah mereka lihat sebelumnya selain di buku cerita atau pun televisi.

Kemudian meluncurlah puluhan tanya tentang satu persatu nama tumbuhan dan binatang kecil yang mereka lihat. Saat jemari mungil si bungsu menyentuh tanaman yang kuncup setiap kali disentuh, saya beritahu, “Itu namanya putri malu”. Sementara kakaknya tak berkedip memandangi bunga bunga cantik berwarna putih, jatuh cinta rupanya ia dengan bunga itu. Lalu saya kenalkan ia, “Ini melati, cantik bukan?”. Entah sudah berapa belas nama yang mereka kenal hari itu hingga saya pun menyadari satu hal, bahwa semuanya memiliki nama. Bahkan rumput liar pun punya nama. Mungkin pekan depan akan ada yang lain mereka temui dan kemudian mereka mengenalnya.

Entah siapa yang pertama kali memberi nama-nama itu, sejak dulu orang mengenal bintang dan hingga kini tetap bernama bintang, begitu juga dengan bulan, matahari, dan angina. Jauh sebelum kita, orang-orang sudah mencintai melati dan sampai detik ini ia tetap disuka sebagai melati karena putihnya yang cantik. Di banyak tempat orang menginjak rumput dan rumput pun tahu bahwa perannya lebih banyak menjadi alas kaki yang terus menerus terinjak. Itulah sebabnya hingga kini ia tetap dikenal sebagai rumput. Yang bernasib lebih buruk dari rumput biasa, adalah rumput liar. Ia diberi nama rumput liar karena kebiasaannya tumbuh di sembarang tempat, dan karenanya ia harus rela berumur pendek dipangkas pemilik halaman yang tak menyukai kehadiran mereka. Tapi karena sifatnya itulah ia memiliki nama, rumput liar.

Luar biasa. Terus menerus masing-masing bagian alam itu memerankan apa yang seharusnya dan tidak pernah berubah sehingga sampai kapan pun kita akan mengenalnya dengan nama yang sejak awal tersemat lekat di dada mereka. Ketika generasi berganti pun, para orang tua tetap akan memperkenalkannya sesuai dengan nama-nama yang sudah sekian lama tersemat itu. Tidak pernah orang tua menyebut alang-alang sebagai mawar, atau air sebagai api.

Sebulan terakhir ini saya ajak dua bidadari kecil itu ke tempat-tempat tertentu, antara lain sungai dan kebun. Ternyata bukan hanya mereka yang mendapatkan pelajaran baru tentang nama-nama tumbuhan dan makhluk hidup yang ada di tempat itu. Saya pun mendapatkan pelajaran baru, bahwa sebagai manusia semestinya saya memainkan peran secara baik, menorehkan sejarah dan mengukir nama saya di atas prasasti kehidupan saya dengan melakukan hal terbaik secara terus menerus. Sehingga tidak hanya anak dan keturunan saya yang mengenal, bahkan orang di luar lingkungan keluarga saya pun akan mengenang nama ini kelak meski diri ini tak lagi ada.

Mungkin selama ini saya belum melakukan apa pun sehingga tak banyak orang bisa mengenal saya. Seperti halnya orang mengenal Thomas Alva Edison setiap kali bicara tentang bola lampu. Atau setiap kali para pendaki gunung pemula atau pun senior menyebut nama Sir Edmund P. Hillary dan Tenzing Norgay sebagai orang pertama yang berhasil mencapai puncak Everest.

Tak berhenti melakukan berbagai hal kebaikan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain, adalah cara terbaik mengukir indah nama dengan bingkai yang tak pernah rapuh. Semoga saya bisa dan tak pernah lelah melakukannya.

Bayu Gawtama

Thursday, August 04, 2005

Menjemput Rezeki

Setengah jam menjelang adzan dzuhur, dari kejauhan mata saya menangkap sosok tua dengan pikulan yang membebani pundaknya. Dari bentuk yang dipikulnya, saya hapal betul apa yang dijajakannya, penganan langka yang menjadi kegemaran saya di masa kecil. Segera saya hampiri dan benarlah, yang dijajakannya adalah kue rangi, terbuat dari sagu dan kelapa yang setelah dimasak dibumbui gula merah yang dikentalkan. Nikmat, pasti.

Satu yang paling khas dari penganan ini selain bentuknya yang kecil-kecil dan murah, kebanyakan penjualnya adalah mereka yang sudah berusia lanjut. “Tiga puluh tahun lebih bapak jualan kue rangi,” akunya kepada saya yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraan bisa menemukan jajanan masa kecil ini. Sebab, sudah sangat langka penjual kue rangi ini, kalau pun ada sangat sedikit yang masih menggunakan pikulan dan pemanggang yang menggunakan bara arang sebagai pemanasnya.

Tiga jam setengah berkeliling, akunya, baru saya lah yang menghentikannya untuk membeli kuenya. “Kenapa bapak tidak mangkal saja agar tidak terlalu lelah berkeliling,” iba saya sambil menaksir usianya yang sudah di atas angka enam puluh. “Saya nggak pernah tahu dimana Allah menurunkan rezeki, jadi saya nggak bisa menunggu di satu tempat. Dan rezeki itu memang bukan ditunggu, harus dijemput. Karena rezeki nggak ada yang nganterin,” jawabnya panjang.

Ini yang saya maksud dengan keuntungan dari obrolan-obrolan ringan yang bagi sebagian orang tidak menganggap penting berbicara dengan penjual kue murah seperti Pak Murad ini. Kadang dari mereka lah pelajaran-pelajaran penting bisa didapat. Beruntung saya bisa berbincang dengannya dan karenanya ia mengeluarkan petuah yang saya tidak memintanya, tapi itu sungguh penuh makna.

“Setiap langkah kita dalam mencari rezeki ada yang menghitungnya, dan jika kita ikhlas dengan semua langkah yang kadang tak menghasilkan apa pun itu, cuma ada dua kemungkinan. Kalau tidak Allah mempertemukan kita dengan rezeki di depan sana, biarkan ia menjadi tabungan amal kita nanti,” lagi sebaris kalimat meluncur deras meski parau terdengar suaranya.

“Tapi kan bapak kan sudah tua untuk terus menerus memikul dagangan ini?” pancing saya, agar keluar terus untaian hikmahnya. Benarlah, ia memperlihatkan bekas hitam di pundaknya yang mengeras, “Pundak ini, juga tapak kaki yang pecah-pecah ini akan menjadi saksi di akhirat kelak bahwa saya tak pernah menyerah menjemput rezeki.”

Sudah semestinya isteri dan anak-anak yang dihidupinya dengan berjualan kue rangi berbangga memiliki lelaki penjemput rezeki seperti Pak Murad. Tidak semua orang memiliki bekas dari sebuah pengorbanan menjalani kerasnya tantangan dalam menjemput rezeki. Tidak semua orang harus melalui jalan panjang, panas terik, deras hujan dan bahkan tajamnya kerikil untuk membuka harapan esok pagi. Tidak semua orang harus teramat sering menggigit jari menghitung hasil yang kadang tak sebanding dengan deras peluh yang berkali-kali dibasuhnya sepanjang jalan. Dan Pak Murad termasuk bagian dari yang tidak semua orang itu, yang Allah takkan salah menjumlah semua langkahnya, tak mungkin terlupa menampung setiap tetes peluhnya dan kemudian mengumpulkannya sebagai tabungan amal kebaikan.

***

Sewaktu kecil saya sering membeli kue rangi, tidak hanya karena nikmat rasanya melainkan juga harganya pun murah. Sekarang ditambah lagi, kue rangi tak sekadar nikmat dan murah, tapi Pak Murad pedagangnya membuat kue rangi itu semakin lezat dengan kata-kata hikmahnya. Lagi pula saya tak perlu membayar untuk setiap petuahnya itu.

Bayu Gawtama
Lezatnya masih terasa