Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, December 22, 2004

Ibuku, Tangguh!

Pernah suatu sore, ibu pulang dengan tapak kaki berdarah. Tertusuk kerikil, terangnya. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan semenjak pagi, wanita yang kasihnya tak terbilang nilai itu mengakhirinya dengan sedikit ringisan, “Tidak apa, cuma luka kecil kok,” tenang ibu.

Padahal, baru dua hari lalu beberapa orang warga yang tak satu pun saya mengenalnya membopong ibu dalam keadaan pingsan. Ternyata ibu kelelahan hingga tak kuat lagi berjalan. Bermil-mil ia mengetuk pintu ke pintu rumah orang yang tak dikenalnya untuk menawarkan jasa mengajar baca tulis Al Qur’an bagi penghuni rumah. Tak jarang suara hampa yang ia dapatkan dari dalam rumah, sesekali penolakan, dan tak terbilang kata, “Maaf, kami belum butuh guru mengaji.” Tapi ibu tetap tersenyum.

Sejak perceraiannya dengan ayahku, ibu yang menanggung semua nafkah lima anaknya. Pagi ia berjualan nasi dan ketupat bermodalkan sedikit keterampilan memasak yang ia peroleh selagi muda dulu. Menjelang siang ia memulai menyusuri jalan yang hingga kini takkan pernah bisa ku ukur, menawarkan jasa dan keahliannya mengajar baca tulis Al Qur’an. Selepas isya’ kami ke lima anaknya menunggu setia kepulangan ibu di pinggir jalan.

Sempat saya bertanya dalam hati, lelahkah ia?

Biasanya kami berebut untuk menjadi tukang pijat ibu, saya di kepala, abang di kaki, sementara kedua tangan ibu dikeroyok adik-adik. Kecuali si cantik bungsu, usianya kurang dari empat tahun kala itu. Bukannya ibu yang tertidur pulas, justru kami yang terlelap satu persatu terbuai indahnya nasihat lewat tutur cerita ibu.

Tengah malam saya terbangun, melihat ibu masih duduk bersimpuh di sajadahnya. Ia menangis sambil menyebut nama kami satu persatu agar Allah membimbing dan menjaga kami hingga menjadi orang yang senantiasa membuat ibu tersenyum bangga pernah melahirkannya. Saya ternganga sekejap untuk kemudian terlelap kembali hingga menjelang subuh ia membangunkan kami.

Selepas subuh, wanita yang ketulusannya hanya mampu dibalas oleh Allah itu meneruskan pekerjaanya menyiapkan dagangan. Sementara kami membantu ala kadarnya. Tak pernah saya melihat ia mengeluh meski teramat sudah peluhnya.

Satu tanyaku kala itu, kapan ia terlelap?

Pagi hari di sela kesibukannya melayani pembeli, ia juga harus menyiapkan pakaian anak-anak untuk ke sekolah. Sabar ia meladeni teriakan silih berganti dari kami yang minta pelayanannya. Wanita yang namanya diagungkan Rasulullah itu, tak pernah marah atau kesal. Sebaliknya dengan segenap cinta yang dimilikinya ia berujar, “abang sudah besar, bantu ibu ya.”

Ingin sekali kutanyakan, pernahkah ia berkesah?

***

Kini, setelah berpuluh tahun ia lakukan semua itu, setelah jutaan mil jalan yang ia susuri, bertampuk-tampuk doa dan selaut tangisnya di hadapan Allah, saya tak pernah, dan takkan pernah bertanya apakah ia begitu lelah. Karena saya teramat tahu, Ibuku tangguh.

Bayu Gautama
Happy Mother's Day, Mom...

Tuesday, December 21, 2004

Menciptakan Perbedaan

Belum lama saya berkenalan dengan dua wanita hebat di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Keduanya adalah bagian dari relawan yang memberikan pelajaran baca tulis kepada anak-anak jalanan dan juga anak-anak pemulung di beberapa tempat di Jakarta. Secara pribadi, saya –yang pernah besar di jalan- sangat tertarik dengan aktivitas para relawan ini. Tidak sekadar mengisi waktu sisa, tak juga sebatas aktualisasi diri. Tapi saya yakin, lebih dari semua itu, apa yang mereka lakukan juga membedakan mereka dengan kebanyakan orang di muka bumi ini yang tak peduli dengan masa depan dan pendidikan anak-anak jalanan.

Persaingan hidup, kadang menjebak kita pada rutinitas harian yang melelahkan. Bahkan hampir-hampir tak ada waktu tersisa selain untuk mengisi keperluan dan kebutuhan pribadi. Bangun pagi, sarapan kemudian berangkat ke kantor bekerja hingga sore bahkan larut. Kembali ke rumah dan merapatkan diri di pembaringan. Kalau pun ada aktivitas lain, ya masih bagian dari kepentingan diri, ibadah, jalan-jalan dengan keluarga, belanja, dan sebaris jadwal lainnya, yang kesemuanya: pribadi.

Jika itu yang kita lakukan, tentu kita tak bedanya dengan milyaran manusia di belahan bumi mana pun. Yang terus menerus terjebak dengan rutinitas hidup demi pemenuhan kebutuhan individu. Kita, tak bedanya dengan orang biasa yang mengejar prestasi pribadi, yang hasilnya pun hanya dirasakan sendiri. Padahal jika hanya demikian, sekali lagi, kita tak bedanya dengan milyaran kepala di bumi ini.

Nilai hidup tidak ditentukan oleh berapa banyak uang yang berhasil kita kumpulkan di tabungan pribadi. Tidak juga diukur dari tingkat dan gelar pendidikan yang sudah diraih. Dan saya sendiri tak pernah ‘angkat topi’ melihat jabatan di kartu nama seseorang yang baru saja saya kenal. Hidup akan memiliki nilai jika ada peran serta kita terhadap kehidupan orang lain. Semakin banyak orang lain yang tersentuh oleh keberadaan kita, semakin besarlah nilai hidup kita.

Apapun bisa kita lakukan untuk menjadikan hidup ini bernilai. Semakin banyak yang bisa kita perbuat untuk orang lain, tentu hidup ini akan semakin berarti. Semangat inilah yang kemudian membaluri seluruh sendi dan aliran darah di tubuh saya untuk menciptakan perbedaan dengan mencoba lebih banyak berbuat untuk orang lain, tentu dengan cara saya sendiri. Dan saya yakin, setiap manusia di muka bumi ini bisa dengan mudah menciptakan perbedaan itu untuk menambah nilai hidupnya.

Seperti dua sahabat baru saya di Stasiun Gambir itu, jejak langkahnya yang seringan kapas, kesabarannya mengajar takkan pernah bisa terlupakan oleh anak-anak jalanan itu. Mereka telah menciptakan sebuah perbedaan dengan apa yang mereka lakukan itu. Tentu tanpa perlu bertanya, saya yakin, hidup mereka jauh lebih berarti. Tak sekadar berarti untuk diri sendiri, atau keluarga. Tapi teramat berharga bagi orang-orang yang pernah disentuhnya.

Kini, saya pun selalu mengenang sebuah momentum di tahun 1983 ketika kakek saya meninggal dunia. Rumah keluarga besar kami tak hanya dipenuhi dengan keluarga, sahabat maupun kerabat dekat kakek. Ratusan anak yatim piatu dari beberapa panti asuhan ikut berjejal dan berebut untuk mencium wajah bersih kakek saya dan menghantarkan jasadnya ke tempat terakhir.

Teramat banyak daftar orang-orang yang telah menciptakan perbedaan dan membubuhkan nilai untuk hidupnya. Sehingga pada saat hidupnya berakhir, kenangan tentang dirinya takkan pernah berakhir, sampai kapan pun. Itu bisa dibuktikan dengan seberapa banyak orang yang antri untuk ikut sholat jenazah.

Inilah yang menjadi cita-cita terakhir saya, semoga.

Bayu Gautama

Monday, December 20, 2004

Antara Monas dan Gambir

Anda tentu tahu Monas, bagi orang Jakarta Monas bukanlah tempat asing. Setiap hari, salah satu monumen kebanggaan bangsa Indonesia yang kini lebih "aman" itu kerap dikunjungi wislok alias wisatawan lokal. Kalau boleh saya bilang, kadar lokalnya tuh, LOKBANG, lokal banget, karena emang kebanyakan warga yang tinggalnya gak jauh dari kota Jakarta saja yang mengunjunginya.

Secara geografis, Monumen yang katanya berhias emas di bagian paling ujungnya itu bersebelahan dengan Stasiun Gambir. Stasiun internasional milik bangsa Indonesia. Dan lagi-lagi, sebagian Anda juga pasti tak asing dengan Stasiun yang satu ini. Terutama bagi Anda yang sering menggunakan jasa transportasi Kereta Api untuk melancong ke luar kota dengan tujuan pulau Jawa.

Nah, di antara Stasiun Gambir dan komplek Monas itu ada sebuah lahan parkir yang juga jadi tempat para tentara menyimpan pagar kawat berduri untuk berjaga-jaga jika suatu waktu Kedubes AS -yang letaknya juga tak jauh dari Monas- dan Kantor Gubernur DKI Jakarta diserbu para demonstran. Disisi mobil kawat berduri itu, di bawah pohon yang tak seberapa rindang, Maliki (2 tahun), Adam (3 tahun), Diana (7 tahun), Tommy (3 tahun) belajar menulis dan membaca.

Saya amat tertarik dengan kegiatan yang dilakukan dua wanita luar biasa, Susi Sebayang -Master dari IPB- dan seorang rekannya, Nita Pramono yang memberikan pelajaran baca tulis untuk anak-anak jalanan di Stasiun Gambir. Sementara rekan-rekan relawan lainnya tak kalah gigihnya melakukan hal yang sama di pemukiman pemulung di Kampung Melayu.

Sore itu, saya bergabung dengan Susi dan Nita dan berkenalan dengan Maliki, Adam, Diana dan Tommy. Dengan membagi-bagikan masing-masing sebuah jeruk kepada mereka saya mencoba mengakrabkan diri dengan wajah-wajah kumal, kotor, bau matahari, lengkap dengan ingus yang keluar masuk dari hidung mereka.

Tak ada wajah curiga dari mereka dengan kehadiran "orang baru", begitu juga dengan ibu mereka yang ikut memperhatikan proses belajar mengajar anak-anaknya. Sayang, saya tak berkesempatan bertemu lebih banyak anak-anak yang biasanya berjumlah tak kurang dari 20 orang. Karena sebagian mereka sedang berenang, entah dimana.

Yang unik, proses belajar mereka tidak hanya sering terganggu oleh kejaran tramtib yang sering bertingkah sangar mengoprak-oprak "kelas" belajar mereka. Tapi, juga terganggu oleh 'kewajiban' mereka mencari uang. Maliki misalnya, ketika sedang asyiknya Nita membacakan cerita dari sebuah majalah, ia malah ngeloyor sambil berujar ringan, "cari duit dulu ah,..."

Atau Adam, yang terlihat paling akrab dengan saya berkata, "ntar diterusin ya, Adam mau cari duit dulu..." sambil memperlihatkan tiga lembar ribuan hasil pencariannya sebelumnya. "Baru segini nih..."

Tommy, yang datang belakangan, langsung menyambar jeruk yang saya tawarkan tanpa peduli tangannya yang sangat kotor. Ia tak suka menulis seperti Adam, ia lebih suka membolak-balik halaman majalah yang bergambar.

Sungguh, ingin saya menangis melihat keinginan kuat mereka untuk belajar. Diana misalnya, ia tekun belajar matematika bersama Susi, dan ternyata ia amat cerdas. "Saya senang membaca, tapi saya nggak punya buku..." aku Diana yang hingga usianya tujuh tahun belum juga bersekolah.

Menurut Nita, anak-anak di Stasiun Gambir sangat semangat belajar, tapi mereka selalu kekurangan buku. Kadang, buku-buku dan alat tulis sering hilang bersamaan dengan paniknya mereka saat petugas tramtib membubarkan prosesi mereka. "Anak-anak ini mau sekolah, tapi sulit mendapatkan sekolah yang mau menerima mereka..." tambah Susi.

Hari berangsur sore, saat anak-anak itu satu persatu pamit untuk meneruskan "pekerjaan" mereka. Kami bertiga pun segera merapikan 'kelas' belajar itu untuk pamit pulang. Tentu, kami akan kembali ke tempat itu, sebuah tempat parkir antara Komplek Monas dan Stasiun Gambir.

hmm, Gubernur DKI pernah mampir ke 'kelas' mereka nggak ya?

Bayu Gautama
sore, 19 Desember 2004

Wednesday, December 15, 2004

Energi Positif

Beberapa pekan lalu, saya berkesempatan mengunjungi seorang sahabat di rumah sakit. Tak ada yang aneh dengan orang sakit, dinding putih teman setia, selimut bergaris biru muda, senampan buah segar bawaan penjenguk yang datang silih berganti, dan sisa makanan pagi yang belum sempat diangkat petugas.

Ya, tak ada yang aneh dengan sahabat saya yang sakit kecuali pasien yang satu kamar dengannya. Seorang bapak berusia 60-an tampak iri dengan kehadiran saya beserta beberapa sahabat lain saat menjenguk sahabat saya, pasien sekamarnya. Binar matanya menyiratkan kerinduan akan seseorang seperti halnya sahabat saya yang tak hentinya dijenguk keluarga, kerabat maupun sahabat.

Segera saya hampiri ia dan menyapanya. Belum satu kata keluar dari mulut saya ketika tiba-tiba ia menangkap tangan saya dan menariknya perlahan ke dadanya. Sebulir air jatuh dari sudut matanya yang memendam sepi, beberapa kata pun mengalir dengan paraunya. Kepada saya ia bercerita, sudah tiga hari anaknya tidak menjenguknya karena anak tunggalnya itu harus berdagang lebih giat untuk mengumpulkan biaya berobat. Isterinya telah lama meninggal sehingga ia hanya hidup berdua dengan anaknya.

Tidak ada keluarganya di
Jakarta, kerabat pun tak ada yang menjenguknya. Sahabat? Mungkin sudah terlalu lama ia tak lagi mengenal arti sahabat. Setidaknya, dalam tiga hari ini. Selain anaknya tak ada lagi yang diharapkannya untuk sekadar tahu keadaannya di rumah sakit.

Saya teringat saat ikut serta salah satu kegiatan Kelompok Kerja Sosial (KKS) Melati di RS Fatmawati. Atas seizin pihak rumah sakit, kami, para relawan Melati mengunjungi paviliun anak dan mendongeng untuk anak-anak yang tengah menjalani masa perawatan.
Ada ceria, dan tawa, juga tangis selama acara itu berlangsung. Betapa anak-anak yang mulai bosan dengan suasana rumah sakit, jenuh dengan perawat-perawat yang serba putih, atau bahkan wajah orang tua mereka yang tampak muram, hari itu terceriakan. Satu persatu para relawan mendatangi anak-anak yang tidak bisa turun dari pembaringannya, sementara beberapa relawan mengumpulkan anak-anak lainnya di aula untuk diajak bermain dan mendongeng.

Ada
bening air yang siap tumpah di setiap pelupuk mata para relawan, menyaksikan wajah-wajah muram orang tua yang berhari-hari menunggu anaknya yang tak kunjung sembuh. Tak sedikit yang menangis ikut meresapi penderitaan anak-anak itu, sangat tergambar betapa menderitanya mereka, dari tangisnya, dari sorot matanya yang polos, dari keluh rintihnya menahan sakit, juga dari lunglai tubuhnya.

Saya dan juga rekan-rekan relawan lain sangat yakin, bahwa kesembuhan seseorang disebabkan oleh tiga faktor, Allah, dokter yang merawatnya, dan satu lagi yang tak kalah pentingnya adalah semangat untuk sembuh dari si pasien. Dan hal kecil yang kami lakukan pada hari itu hanyalah sedikit energi positif untuk menyalakan semangat hidup anak-anak itu. Setidaknya, semangat untuk sembuh.

Kepada bapak tua teman sekamar sahabat saya itu, saya terus merapatkan diri untuk bisa lebih dekat mendengarkan suaranya yang makin parau. Harap saya, semoga hal kecil yang saya lakukan itu bisa memberikan energi positif baginya. Terlebih ketika serombongan sahabat saya memberinya salam dan doa sebelum kami meninggalkan kamar tersebut. Tak lupa, buah tangan yang kami niatkan untuk sahabat kami, dialihkan kepada ‘sahabat’ baru kami.

Dalam banyak kesempatan, tentu kita bisa memberikan energi positif kepada siapapun di lingkungan kita. Seperti halnya saya berharap, tulisan ini pun bisa memberikan energi positif bagi yang membacanya.

Bayu Gautama
Teriring doa untuk Kayyis Razhes Fadgham Jihady

Wednesday, December 08, 2004

Mendengarkan Dengan Hati

Pekan lalu, satu lagi sahabat saya menikah. Setelah melalui berbagai pertimbangan yang sempat memberatkannya, dengan penuh keyakinan ia jalani dengan mantap tekadnya untuk mengakhiri masa sendirinya.

Sore hari beberapa bulan yang lalu, saya menemuinya dalam keadaan tak bersemangat. Pasalnya, orang tua, kakak, adik, tante dan nyaris semua orang yang sejak awal diharapkan memberikan dukungan dan restunya atas rencana pernikahannya justru menentang dengan berbagai alasan.


“Dengan penghasilan yang masih pas-pasan, mau dikasih makan apa isteri kamu nanti …” satu pertanyaan pamungkas dari ibunya. Sebelumnya, ayahnya menilai sahabat saya itu belum waktunya menikah, masih ada beberapa adiknya yang membutuhkan bantuan biaya pendidikan. Belum lagi alasan lain yang terlontar dari anggota keluarga yang lain. Semua itu membuatnya semakin bingung, resah sekaligus merasa tertekan, sementara di sisi lain hasratnya untuk menikah semakin kuat.

Tidak hanya pada saat seperti yang dialami sahabat saya tersebut. Setiap orang, sebagian dari mereka bahkan orang-orang terdekat kita, pernah mengalami satu posisi dimana ia berdiri di bibir jurang sementara di belakangnya juga terdapat bibir jurang yang tak kalah lebar ternganganya. Segunung keraguan bertengger di pundaknya. Segunung keraguan yang sebagian kecil datang dari dalam dirinya, sebagian besarnya justru ia dapati dari orang-orang maupun keadaan sekitarnya.


Bayang-bayang kegagalan dari sejarah masa lalu yang pernah tercatat, yang terus menerus ia dapati dari seluruh referensi, cemoohan dan setumpuk kata juga alasan negatif dari orang-orang yang semestinya memberikan dukungan, seperti merantai kuat kedua kakinya sehingga tak mampu melangkah sedikit pun untuk maju. Di saat seperti itu, ada dua kemungkinan yang akan dipilih, mundur –yang artinya ia mungkin akan jatuh lebih dalam dari jurang yang ada di depannya- atau mengurungkan niatnya, duduk terdiam dan menunggu mukjizat datang menghampirinya. Sementara kekuatan untuk melangkah lebih jauh tak berani dicobanya.


Saya pernah mengalami masa seperti itu, dan dalam hati terbersih saya, saya yakin sebagian besar orang di atas bumi ini juga pernah menghadapi situasi yang demikian. Tak berani maju karena jurang menganga, mundur pun berarti terjerumus lebih dalam. Di detik-detik terakhir sebelum akhirnya setiap kita kehabisan energi di ambang putus asa, di saat itulah kita berpasrah kepada Allah berharap ia mengirimkan seseorang yang bisa membantunya keluar dari masalah.

Di detik terakhir, seorang sahabat menepuk pundak saya dan meminta saya duduk menenangkan diri menceritakan semua yang saya alami. Tidak ada yang ia lakukan kecuali mendengarkan setiap huruf yang keluar dari mulut saya. Tak ada bantahan, tak ada selaan, tak ada kernyit dahi, juga mata yang melengah darinya. Yang ada hanya tatapan mata penuh perhatian, telinga yang terbuka seluas langit dan senyum yang menyiratkan kasih.


Tahukah Anda apa yang terjadi setelah itu? Sebuah jembatan seperti terbentang antara bibir jurang di sedepa langkah saya dengan tanah pijakan di seberang yang sebelumnya tak mampu tertangkap oleh mata. Ya, ternyata yang saya butuhkan hanyalah seseorang yang mau mendengarkan –sekali lagi, mendengarkan- dengan hatinya. Dan saya yakin, dia lah sahabat yang dikirimkan Allah dari sepenggal doa saya di ambang keputusasaan.

Kepada sahabat saya yang tampak murung menghadapi kesulitan dengan rencana pernikahannya, saya hanya menyediakan hati saya untuk mendengarkannya. Saya ingin membangun sebuah jembatan baginya. Sungguh, saya hanya menepuk pundaknya dan mendengarkan apa pun yang keluar dari mulutnya hingga tak satu pun huruf tersisa. Wallaahu ‘a’lam.

Bayu Gautama

Tuesday, December 07, 2004

Kekuatan Cinta

Entah kenapa tiba-tiba saya menekan salah satu tombol ponsel sehingga keluar sebuah nama seorang sahabat yang sudah sekian pekan tak bersua, juga tak saling berkabar. Ada gerakan yang tanpa menunggu instruksi untuk kemudian menekan tombol "yes" untuk memanggil nama tersebut. Setelah sekian lama bercuap, tertawa dan melepas rindu, kami berjanji untuk bertemu keesokan harinya.

Apa yang kita pikirkan kadang jauh meleset dari kenyataan yang sesungguhnya tengah terjadi. Adakalanya sesuatu yang kita anggap berjalan biasa-biasa saja, tanpa sepengetahuan kita ternyata telah terjadi perubahan yang sedemikian cepat karena berjalan tidak biasa, atau bahkan luar biasa. Suatu hal sering kali kita anggap remeh dan bukan hal penting untuk dilakukan, seperti menelepon seorang sahabat, misalnya. Namun ternyata, kita sering terperangah saat sadar kekuatan dari yang kita anggap ‘hal biasa’ itu.

"Jangan lupa bawa isteri dan anakmu ya ..." satu kalimat menutup pembicaraan kami.

Sampai hari ketika kami bertemu, saya masih menganggap semuanya berlangsung biasa saja. Sahabat saya tetap masih seperti dulu dengan potongan rambutnya sedikit menjuntai di bagian depan, mata sayunya yang terlihat mengantuk dan juga kaos lengan panjang yang menjadi ciri khas penampilannya. Begitu pula isterinya, seorang wanita sederhana bersahaja yang sangat menghormati suaminya.

Tapi, sepuluh menit kemudian semuanya baru terungkap. Ya, yang selama ini saya anggap berlangsung apa adanya dan biasa-biasa saja terbantahkan. Sahabat saya mengaku, kalau saja saya tak meneleponnya pagi itu untuk berjanji bertemu, mungkin akan lain ceritanya. Ia, lanjutnya, pagi itu bersama isterinya tengah dalam perjalanan menuju Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mengurus perceraian mereka. Mereka menganggap pernikahan yang sudah dijalani selama hampir empat tahun tak perlu dipertahankan lagi. Terlalu banyak perbedaan dan perselisihan yang terjadi selama mengarungi bahtera rumah tangga, demikian seterusnya.

Dan, lagi-lagi menurutnya, telepon dari saya membuat mereka membatalkan rencana perceraian dan kembali ke rumah. Satu alasan hingga keputusan itu begitu cepat diambil adalah ucapan saya, "jangan lupa bawa isteri dan anakmu ya ..."

Mereka saling celingukan sesaat sebelum akhirnya sepakat menunda rencana perceraian demi menghormati pertemuan dengan saya. Maklum mereka merasa mendapatkan satu harapan saat akan bertemu dengan saya, mengingat pertemuan mereka hingga ke jenjang pernikahan pun di-rekayasa oleh saya, atas izin Allah tentunya. Saya lah yang memperkenalkan mereka berdua.

Sekali lagi. Tak ada yang bakal menyangka bahwa satu tindakan sederhana, apakah itu silaturahim untuk saling berkunjung, atau sekadar menelepon sahabat yang lama tak kita dengar kabarnya, mungkin bisa menyelamatkan mereka dari kehancuran, apa pun itu. Setidaknya, hingga hari ini pernikahan sahabat saya itu masih bertahan.

Seperti juga ketika dua pekan lalu, tanpa memberi tahu, tanpa konfirmasi, serombongan sahabat-sahabat saya lengkap dengan isteri dan anak-anak mereka tiba-tiba datang ke rumah saya. Sebuah kejutan silaturahim yang tak pernah saya bayangkan, betapa kami masih memiliki cinta yang dengan cinta itu semakin menguatkan ikatan persaudaraan.

Percayakah Anda dengan kekuatan cinta itu? Cobalah, jika bukan Anda, sahabat Anda yang akan merasainya.

Bayu Gautama

Thursday, December 02, 2004

Andai Ia Anakku ...

Bis yang saya tumpangi dari terminal Blok M melaju di depan Ratu Plaza Senayan, Jakarta, ketika seorang anak kecil berpostur mungil membagi-bagikan amplop lusuh kepada para penumpang.

Anak-anak jalanan, pengamen bis kota, dan amplop lusuh bertuliskan "Kepada Yth, para penumpang, mohon bantuan untuk biaya sekolah kami, anak-anak jalanan...", adalah hal lazim diterima setiap penumpang angkutan umum di Jakarta. Dan karena sudah biasa, saya tak merasa risih, atau terganggu dengan kehadiran mereka. Justru yang membuat saya terganggu malam itu, karena perempuan kecil yang baru saja membagikan amplop-amplop lusuh itu ... benar-benar anak kecil!

Dari cara ia menyanyi dan caranya berusaha mengucapkan kata demi kata dari lagu yang ia bawakan, saya bisa taksir usianya baru 4 tahun. Dan jika memang benar, berarti usianya sama dengan usia anak saya, Hufha.

Saya benar-benar merinding sesaat terbayang wajah lucu yang tengah menyanyi di atas bis itu sesekali berubah menjadi wajah anak saya. Dan tanpa diperintah, setetes air mengalir dari sudut mata ini, bukan karena anak itu, bukan karena lagu yang dibawakannya, bukan karena baju dan tubuh kumalnya, dan juga bukan karena amplop lusuhnya. Tapi bayangan saya menerawang seandainya Allah menentukan hari itu adalah hari terakhir saya, akankah anak-anak saya akan seperti mereka?

Saya tak lagi mempedulikan omelan beberapa penumpang bis yang mengutuk-ngutuk orang tua si anak sebagai orang tua tak bertanggungjawab, "Kalau saya jadi ibunya, apa pun akan saya lakukan asal bukan anak saya yang mengamen seperti itu...," ujar seorang ibu di sebelah saya.

Mata saya terus membayangkan, andai yang ada di depan itu adalah anak saya... "Ya Allah, berikan kesempatan hamba untuk hidup lebih lama agar anak-anak saya tumbuh dan besar sesuai dengan yang hamba cita-citakan...," doaku.

Bayu Gautama