Dibalik H-1
Ribuan orang tumpah ruah di jalan-jalan kota, ribuan orang memadati pertokoan, ribuan orang menyambangi mal dan pusat perbelanjaan, dan ribuan orang menghamburkan uangnya untuk satu hal: Menyambut Idul Fitri
Ribuan anak bersuka cita sambil menenteng pakaian, sepatu dan berbagai hal baru lainnya yang baru saja dibelikan ayah mereka. Ribuan mata bersuka cita di hari terakhir ramadhan karena esok pagi fajar Id menjelang.
Ada ribuan mata juga yang menitikkan air mata, sang kekasih akan pergi meninggalkan mereka, sementara tak satu pun dari mereka bisa mengira akankah bertemu dengan ramadhan di tahun depan. Hanya doa dan asa yang tersisa, semoga Allah berkenan menambah satu kesempatan lagi.
Ribuan tubuh meringsek bersimbah peluh di gerbong-gerbong kereta, ribuan mata terlelap lelah setelah berjuang berebut tempat di bis-bis yang mengantarkan mereka ke kampung halaman. Segerbong rindu mereka bawa dari kota, sejumput harap kan bertemu sanak famili, tak peduli berapa besar ongkos yang mereka korbankan; uang, keringat, letih, kantuk, bahkan juga darah.
Ribuan suara melengking, merobek langit mengagungkan nama Allah dari ribuan corong mikropon masjid, dari kota sampai ke desa, dari masjid besar, hingga langgar-langgar dan surau di kampung. Semakin malam semakin keras takbir mereka, sesemangat malam menyongsong sang Aidil.
Andai tangan tak kuasa berjabat, saat jasad tak sempat bersua, jutaan SMS terkirim sebagai pengganti diri tanda ingatan tak layu di hati.
Tapi,
Ada yang ingin saya ceritakan di balik riuh rendah ribuan orang-orang di atas,
Bi Iyoh, pembantu rumah tetangga saya, tak pulang ke kampung. Hingga malam ia masih harus berbenah rumah majikannya, agar esok tamu yang hadir tak mendapati sedikit pun noda di lantai, kusen, buffet, dan setiap sudut ruangan. Padahal siangnya, peluhnya belum lagi mengering seiring dengan selesainya kue-kue yang dibuatnya bersama majikan. Untuk semua itu, ia rela menggadaikan rindunya pada anak-anak, suami, juga orang tua di kampung halaman.
Mas Darmo, supir pribadi tetangga saya yang rumahnya di ujung gang, hanya delapan rumah dari rumah saya, hingga malam menjelang masih mengantar majikan dan anak-anaknya mencari pakaian baru, sepatu baru. Sementara pikirannya jauh menerawang hingga ke kampung, di pelupuknya terus membayang wajah sang buah hati, terngiang celoteh lucunya, "bapak pulang ya, jangan lupa bawa baju baru"
Hari terakhir ramadhan, saya sempat bingung dengan pemandangan kota. Entah dari mana datangnya, ribuan pengemis memadati kota seperti lebah-lebah saat menyembah ratunya, seperti sekelompok semut yang berebut secuil kue di lantai.
Saya sempat dibuat jengah dengan pemandangan satu ini, pikiran saya pun mulai nakal bahwa mereka sengaja di-drop oleh orang-orang tertentu khusus di hari Raya, hari Natal, dan tahun baru. Saya juga sempat protes dalam hati ketika saat hari raya tiba, tiap lima menit satu pengemis mampir di balik pagar rumah.
Aneh, kenapa saya harus jengah, kenapa juga harus protes? Memangnya lebaran cuma milik orang-orang kaya? atau memang begitu? tapi kenapa bi Iyoh dan mas Darmo tidak ikut lebaran bersama keluarga mereka?
Wallaahu 'a'lam deh ...
Bayu Gawtama
No comments:
Post a Comment