Antara Monas dan Gambir
Anda tentu tahu Monas, bagi orang Jakarta Monas bukanlah tempat asing. Setiap hari, salah satu monumen kebanggaan bangsa Indonesia yang kini lebih "aman" itu kerap dikunjungi wislok alias wisatawan lokal. Kalau boleh saya bilang, kadar lokalnya tuh, LOKBANG, lokal banget, karena emang kebanyakan warga yang tinggalnya gak jauh dari kota Jakarta saja yang mengunjunginya.
Secara geografis, Monumen yang katanya berhias emas di bagian paling ujungnya itu bersebelahan dengan Stasiun Gambir. Stasiun internasional milik bangsa Indonesia. Dan lagi-lagi, sebagian Anda juga pasti tak asing dengan Stasiun yang satu ini. Terutama bagi Anda yang sering menggunakan jasa transportasi Kereta Api untuk melancong ke luar kota dengan tujuan pulau Jawa.
Nah, di antara Stasiun Gambir dan komplek Monas itu ada sebuah lahan parkir yang juga jadi tempat para tentara menyimpan pagar kawat berduri untuk berjaga-jaga jika suatu waktu Kedubes AS -yang letaknya juga tak jauh dari Monas- dan Kantor Gubernur DKI Jakarta diserbu para demonstran. Disisi mobil kawat berduri itu, di bawah pohon yang tak seberapa rindang, Maliki (2 tahun), Adam (3 tahun), Diana (7 tahun), Tommy (3 tahun) belajar menulis dan membaca.
Saya amat tertarik dengan kegiatan yang dilakukan dua wanita luar biasa, Susi Sebayang -Master dari IPB- dan seorang rekannya, Nita Pramono yang memberikan pelajaran baca tulis untuk anak-anak jalanan di Stasiun Gambir. Sementara rekan-rekan relawan lainnya tak kalah gigihnya melakukan hal yang sama di pemukiman pemulung di Kampung Melayu.
Sore itu, saya bergabung dengan Susi dan Nita dan berkenalan dengan Maliki, Adam, Diana dan Tommy. Dengan membagi-bagikan masing-masing sebuah jeruk kepada mereka saya mencoba mengakrabkan diri dengan wajah-wajah kumal, kotor, bau matahari, lengkap dengan ingus yang keluar masuk dari hidung mereka.
Tak ada wajah curiga dari mereka dengan kehadiran "orang baru", begitu juga dengan ibu mereka yang ikut memperhatikan proses belajar mengajar anak-anaknya. Sayang, saya tak berkesempatan bertemu lebih banyak anak-anak yang biasanya berjumlah tak kurang dari 20 orang. Karena sebagian mereka sedang berenang, entah dimana.
Yang unik, proses belajar mereka tidak hanya sering terganggu oleh kejaran tramtib yang sering bertingkah sangar mengoprak-oprak "kelas" belajar mereka. Tapi, juga terganggu oleh 'kewajiban' mereka mencari uang. Maliki misalnya, ketika sedang asyiknya Nita membacakan cerita dari sebuah majalah, ia malah ngeloyor sambil berujar ringan, "cari duit dulu ah,..."
Atau Adam, yang terlihat paling akrab dengan saya berkata, "ntar diterusin ya, Adam mau cari duit dulu..." sambil memperlihatkan tiga lembar ribuan hasil pencariannya sebelumnya. "Baru segini nih..."
Tommy, yang datang belakangan, langsung menyambar jeruk yang saya tawarkan tanpa peduli tangannya yang sangat kotor. Ia tak suka menulis seperti Adam, ia lebih suka membolak-balik halaman majalah yang bergambar.
Sungguh, ingin saya menangis melihat keinginan kuat mereka untuk belajar. Diana misalnya, ia tekun belajar matematika bersama Susi, dan ternyata ia amat cerdas. "Saya senang membaca, tapi saya nggak punya buku..." aku Diana yang hingga usianya tujuh tahun belum juga bersekolah.
Menurut Nita, anak-anak di Stasiun Gambir sangat semangat belajar, tapi mereka selalu kekurangan buku. Kadang, buku-buku dan alat tulis sering hilang bersamaan dengan paniknya mereka saat petugas tramtib membubarkan prosesi mereka. "Anak-anak ini mau sekolah, tapi sulit mendapatkan sekolah yang mau menerima mereka..." tambah Susi.
Hari berangsur sore, saat anak-anak itu satu persatu pamit untuk meneruskan "pekerjaan" mereka. Kami bertiga pun segera merapikan 'kelas' belajar itu untuk pamit pulang. Tentu, kami akan kembali ke tempat itu, sebuah tempat parkir antara Komplek Monas dan Stasiun Gambir.
hmm, Gubernur DKI pernah mampir ke 'kelas' mereka nggak ya?
Bayu Gautama
sore, 19 Desember 2004
No comments:
Post a Comment