Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, May 24, 2006

Airmata untuk Abang

Entah sudah berapa tahun tak pernah terlihat ia menangis. Tapi sore itu, ia menjadi seperti karang yang rapuh. Badannya yang tegap dan tinggi tak ubahnya lelaki renta yang lemah. Ia terus sesenggukkan di sudut ruang jeruji besi di atas sajadahnya. Tak pernah terbayang dalam benaknya harus mendekam di ruang sempit itu, berkali-kali mulutnya bergumam, “Ya Allah, kenapa Kau berikan cobaan ini kepadaku?”

Tak henti tangisnya meski tangan lembut ibu berulang membasuh air matanya. Tangan lembut yang sudah lama ia rindui kehangatannya itu tak juga menghentikan gemetar tubuhnya. “Abang berdosa bu, abang berdosa,” tangis ia sambil membenamkan wajah tampannya di dada ibu.

Abang hanyalah seorang pengemudi bis jalur khusus atau Busway. Minggu siang itu, adalah hari kelabu baginya. Setelah berpesan singkat kepada teman-temannya, “Selamat bertugas, hati-hati di jalan dan utamakan keselamatan penumpang,” kendaraan besar itu pun melaju. Adalah seorang pedagang asongan bersepeda berada di jalur terlarang –jalur cepat yang hanya diperuntukkan bagi Busway- terlihat dari kejauhan. Abang memperlambat laju kendaraannya sambil memperhatikan pedagang tersebut. Ketika ia yakin pedagang tersebut hanya di tepi jalan, ia pun menancap gas sambil terus memperhatikan pedagang asongan di depannya. Betapa kagetnya ia ketika pedagang itu tiba-tiba menyeberang jalan sambil mengendarai sepedanya, padahal jarak bis hanya sekitar empat meter.

Langit mendung, awan pun kelabu, aspal panas berwarna merah. Abang turun berharap orang yang ditabraknya segera keluar dari kolong bis. Namun yang diharap tak juga muncul, lemaslah ia. Tak digubrisnya tembakan kamera wartawan yang mengelilinginya, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia kehilangan seluruh tenaganya saat mengetahui pedagang asongan yang ditabraknya tak lagi bernyawa.

Jeruji besi pun menjadi tempat persinggahannya kini. Ia lebih banyak diam dan terpekur sambil menutup wajahnya di atas sajadah. Lagi-lagi kalimat, “Ya Allah, kenapa Kau berikan cobaan ini kepadaku,” yang terucap. Ia berupaya menjelaskan kepada siapa pun yang menjenguknya bahwa ia tak bersalah lantaran pedagang asongan itu berada di jalur khusus Busway yang terlarang bagi siapa pun. Ia juga telah memberikan peringatan dengan klakson dari jauh agar orang tersebut berhati-hati. Tetapi Allah berkehendak lain, Minggu siang yang nahas itu pun terjadi.

Air mata ini tak terbendung lagi, saya menangis untuk Abang. Bukan karena ia harus mendekam di penjaran demi mempertanggungjawabkan peristiwa yang kini harus dipikulnya. Bukan juga lantaran uang sebesar lima puluh juta rupiah yang dituntut pihak keluarga kepadanya, meski itu teramat berat untuk kami memikulnya. Tangis itu, lebih karena ucapannya saat saya memeluknya, “Seberat inikah ujian bagi orang beriman?”

Ya, kami sekeluarga baru saja bersyukur atas perubahan yang terjadi padanya. Belum lama ia menikmati hari-hari dengan ibadah yang rajin, belum terlalu lama ia menghiasi bibirnya dengan senantiasa membaca Al Quran. Sekian tahun lamanya Abang meninggalkan berbagai kewajibannya kepada Allah. Ibu yang tak pernah henti berdoa agar Allah mengabulkan mimpinya melihat putra sulungnya mau bertaubat dan rajin sholat. Ibu yang di setiap pertengahan malamnya lebih banyak menyebut nama Abang dalam doanya, ibu juga yang selalu merindukan melihatnya bersujud di atas sajadah. Setelah lama tak bertemu, rindu ibu terbayar sudah. Walau harus melihatnya di dalam ruang jeruji besi.

Semoga Abang tahu, bahwa setiap orang beriman akan selalu mendapat ujian. Dan semoga ia tegar menghadapinya. Harapan kami terjawab sudah, ketika ia mengungkapkan hal yang membuatnya menangis sepanjang hari, “Abang telah membuat seorang isteri menjanda, dan anak-anak kehilangan Ayahnya.”

Bayu Gawtama
adik yang menangis
0852 190 68581 - 0888 190 2214

Thursday, May 18, 2006

Rekah Senyum Bidadari Kecil

“Retno…” tersebutlah namanya. Mulanya ia ketakutan saat didekati, berlari cepat dan menelusupkan wajahnya di ketiak bunda. Namun, tak lebih dari tiga menit matanya mulai melirik meski separuh wajahnya masih dalam himpitan kehangatan bunda, ia mencoba mencari tahu siapa gerangan yang mendekatinya. Oops, kembali wajahnya menabrak dada sang bunda menghindari tatapan langsung dengan sosok asing yang kini semakin mendekat kepadanya.

Beberapa butir permen rupanya menarik perhatiannya, seketika ia berbalik dan “mau…” Ah, permen-permen ini memang masih menjadi senjata ampuh untuk memancing simpati para bocah sekaligus mengundang rekah senyum mereka. Awal persahabatan pun tercipta sudah.

Anak-anak pengungsi tetaplah anak-anak, mereka tetap ceria di mana pun berada meski pun binar mata mereka menyimpan segunung pertanyaan, tentang kenapa harus berada di tempat yang jauh dari rumah mereka, bagaimana dengan boneka dan mobil-mobilan kayu yang tak sempat mereka bawa, atau sejuta tanya soal teman-teman mereka yang tak turut bersama mereka di tempat pengungsi. Soal kenapa mereka ada di lokasi yang baru, “Gunungnya mau meletus,” riangnya mereka menjawab seolah gunung meletus itu tak ubahnya dengan letusan balon warna-warna di sebuah acara ulang tahun.

“Enak tinggal di sini?” tanya yang sebenarnya tak ingin terlontar karena siapa pun tahu tempat tingga ternyaman di dunia adalah rumah sendiri. Tak peduli seberapa buruk kondisinya, tanpa penerangan dan televisi, rumah sendiri adalah surga yang tak boleh tergantikan oleh apa pun. Di situ mereka lahir, di situ mereka besar bersama-sama, dan di situ pula anak-anak itu menyapa harapan mereka.

Tak diduga jawaban yang tak diharapkan pun terucap, “Enaakk….”. Retno pun tersenyum, begitu juga Wasilah, Adi, Rahman, Dani, Sholeh, Wati dan ratusan anak-anak lainnya di pengungsian. Keceriaan pun dimulai, ketika kelinci besar menangis meminta ampun kepada Pak Tani atas kesalahannya mencuri wortel di ladang, ketika seekor katak yang terkilir diselamatkan kuda sahabatnya dari terkaman beruang jahat. Atau saat mereka bernyanyi riang menjadi teko, pun dalam alunan nada syukur atas semua nikmat dan sayang yang Allah berikan.

Mulanya mereka ketakutan, binar matanya menyimpan sejuta tanya tentang orang asing yang mendekat kepadanya. Tak lebih satu jam berikutnya, satelah permen terkulum di mulut, setelah riang bernyanyi, bermain dan aneka gelak serta mimik dalam beberapa dongeng, justru mereka yang melekat. “Mas cerita lagi, bermain lagi…” beberapa tangan kecil menarik-narik ujung baju tak ingin sahabat baru ini pergi.

Rekah senyum itu yang tetap harus terjaga. Mereka adalah bidadari dan malaikat kecil yang tak boleh bersedih, apalah lagi menangis. Tak boleh ada mendung di wajah mereka. Sahabat-sahabat baru yang mampu mengubah ketakutan menjadi cinta, yang telah menciptakan keceriaan, dan menjadikan mimpi-mimpi indah mereka di malam hari berharap segera bertemu esok. Karena esok berarti ada ceria baru yang kan terulang, karena esok hari adalah harapan sesungguhnya. Sahabat-sahabat baru inilah yang selalu dinanti mereka.

Bagi mereka dan para sahabat baru itu, ada saat-saat yang teramat manis untuk selalu dikenang. Sampai kapan pun…

Bayu Gawtama
Senin sore di lereng Merapi
0852 190 68581 - 0888 190 2214

Tuesday, May 16, 2006

Relawan Roti Bakar itu…

Nafasnya masih tersengal-sengal sambil berlari kecil menghampiri, “dari ACT ya?” lelaki berambut merah itu pun memperkenalkan dirinya. Ading (28) bersama temannya Irfan (22) datang dari Jakarta untuk menjadi relawan Merapi dengan berbekal pengalaman sebagai tenaga relawan pada saat bencana tsunami Aceh. Adalah Jogyakarta, tempat yang mereka tuju untuk mengabdikan dirinya bagi para korban bencana. “Kami terpanggil untuk segera ke Merapi. Walaupun hanya tenaga ini yang kami miliki,” ujar Irfan bersemangat.

Ada semangat yang terus memancar dari kedua wajah Jakarta itu. Pakaiannya memang sedikit berbeda dari kebanyakan relawan yang berada di Jogyakarta, Klaten, Boyolali atau Magelang. Cat merah pada rambut yang menghiasi kepala Ading, dan stelan ala pendaki yang menjadi kebanggaan Irfan semakin menambah keyakinan siapa pun yang bertemunya bahwa mereka bukan asli Jogyakarta.

Kerelawanan dan kepedulian bukanlah sesuatu yang luar biasa di negeri ini. Semakin banyak bencana yang terjadi, fenomena individu dan masyarakat yang mendedikasikan diri menjadi relawan untuk berbagi kepada para korban bencana boleh dikata sesuatu yang lumrah, bahkan semestinya demikian. Tetapi bicara tentang Ading dan Irfan, tentu menjadi kisah menarik yang patut diacungi empat jempol.

“Kami pedagang roti bakar di Jakarta,” terang Ading, si rambut merah ala buceri –bule cet sendiri- itu. Menurutnya, setelah kondisi Gunung Merapi yang terus menerus mereka lihat di televisi semakin membahayakan, mereka memutuskan untuk berangkat ke Jogyakarta. “Bekal kami cuma semangat, kami rela walau sementara harus meninggalkan dagangan,” tambah Irfan.

Dua penjual roti bakar itu, membuat saya tak henti mengembangkan senyum. Terlebih ketika bercerita tentang pengalamannya selama enam hari di Jogyakarta. Memberanikan diri dengan ongkos seadanya, mereka membeli tiket tujuan Jogyakarta tanpa tujuan yang jelas akan bergabung dengan siapa atau lembaga apa di lokasi nanti. “Kami sempat ngegembel sehari di sini, karena kami ditolak di Satkorlak,” aku Irfan.

Keduanya tak menjelaskan bagaimana cerita selanjutnya kini lima hari sudah mereka berada di posko pengungsian di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Jogyakarta. Yang pasti mereka mengaku senang bisa menjadi relawan di Posko Merapi. “Peduli itu nikmat, dan menjadi relawan itu selalu menjadi impian kami,” keduanya berpadu suara.

Ading dan Irfan, tukang roti bakar dari Jakarta yang meninggalkan dagangan mereka dan memilih menjadi relawan. Sampai kapan mereka akan bertahan di posko pengungsian? “Sampai semua ini selesai, dan selama tenaga kami masih dibutuhkan,” seru Irfan yang mendapat persetujuan dari rekannya.

Sungguh, nilai hidup seseorang tidak ditentukan dari status sosial, titel, pangkat atau jabatan yang disandangnya. Nilai hidup jauh lebih ditentukan oleh seberapa besar perannya terhadap orang lain, dan seberapa banyak orang yang tersentuh oleh keberadaannya. Bahkan tukang roti bakar sekali pun peduli…

Bayu Gawtama

Monday, May 15, 2006

Mujahadah dan Doa di Lereng Merapi

Kilatan lava pijar nampak memerah menghiasi punggung Merapi. Gemuruh bebatuan gunung dan material padat lainnya yang menggelinding deras kemudian disusul gumpalan awan panas membuat panik sebagian besar warga yang tinggal di lereng Merapi. Sementara di tengah kota, pemandangan Merapi yang luar biasa indah saat menumpahkan lahar panas malam itu menjadi tontonan gratis nan memuaskan bagi masyarakat di bawah. Bahkan tak sedikit warga yang menggelar tikar di tepi jalan rela menunggu sang Merapi meletup-letup sembari menyemburkan warna kemerahan.

Ada yang panik, ada yang bersuka ria mendapat tontonan indah, namun ada yang tengah khusyuk di Minggu malam itu (14/5). Lantunan ayat Allah mengalun syahdu memecah udara dingin Dusun Kinahrejo. Ada ketenangan yang merasuki sekitar lima puluh jamaah yang bersila kaki di Masjid Al Amin, beberapa sudut mata tak sanggup menahan gelombang air mata yang mendesak keluar. Seiring tumpahnya lahar panas dari puncak Merapi, leleh air mata dari puluhan sudut mata dalam masjid itu jauh lebih menghangatkan. Gemuruh yang tercipta di dalamnya dalam sebutan nama Allah nan agung mampu meredupkan gumpalan awan panas sehingga tak mampu membuat hati-hati yang berkumpul malam itu gentar akan apa pun kehendak Allah.

KH. Wilibordus Lasiman, pimpinan pondok pesantren Al Hawariyyun, Cangkringan, memberikan wejangan yang meneduhkan hati tentang bagaimana cara Allah memberi peringatan kepada hambanya. "Merapi tak sedang marah, apalagi mengancam. Merapi tengah bertakbir, lantaran kita sudah sering lupa untuk mengucap nama Allah". Sebelumnya, Mbah Maridjan yang menjadi tokoh utama dalam acara tersebut terlihat sedih dalam tuturnya. Sebutir air bening mendorong-dorong untuk keluar dari sudutnya meski berusaha ditahan oleh si pemilik. "Jangan sebut awan panas itu sebagai wedus gembel, itu penghinaan terhadap Allah dan ciptaan-Nya. Jangan bilang Merapi mbledos, kata-kata seperti itu hanya akan membuat Allah semakin tak senang," ujarnya lembut.

Dzikir pun dipimpin oleh KH. Masrur yang semakin merontokkan semua keangkuhan diri, air mata yang mengambang di sudut pun tertumpah semua. KH. Mu'tashimbillah, Pimpinan Pondok Pesantren Pandanaran dengan suara lembutnya mengajak para jamaah untuk terus berdoa dan meminta keselamatan dari Allah sang pemilik alam semesta. Malam mujahadah dan doa itu diwarnai dengan jutaan kalimat Allah yang tersebut berulang-ulang dan ribuan tetes air mata yang mengalir deras.

Di luar masjid, Merapi terus memuntahkan lahar panasnya yang menjadi tontonan jutaan penduduk di empat kota, Yogyakarta, Magelang, Boyolali dan Klaten. Di luar masjid, mereka bersuka cita bertepuk saat sang Merapi memerah, padahal ada gemuruh yang semestinya mereka ikuti di Masjid Al Amin di Dusun Kinaherjo. Atau setidaknya menciptakan irama dzikir yang sama dari rumah mereka masing-masing. Tidakkah Allah akan semakin tak senang jika kita tak menjadikan peristiwa ini sebagai peringatan? wallaahu a'lam

***
ACT-Aksi Cepat Tanggap dan Lazis UII memprakarsai acara mujahadah dan doa di lereng Merapi. Semoga Allah berkenan memberi ampunan-Nya. Senin pagi terjadi letusan kecil beberapa kali di puncak Merapi. Awan panas pun turun dan merayapi dusun-dusun di wilayah Magelang, Klaten, Turgo dan sebagian kecil di Pakem. "Mbah Maridjan sehat?" tanya kami. "Alhamdulillah... ," suara di seberang pun menyahut tenang.

Bayu Gawtama
Ahad malam (15/5)yang mengagumkan di lereng Merapi, pukul 22.20 Waktu Merapi

Sunday, May 14, 2006

Mbah Marijan yang Terdzalimi

Semalam Mbah Marijan sakit. Tubuh rentanya terlihat sangat letih, gemetar ia menahan dinginnya udara malam. Namun bukan cuaca yang tak menentu di Dusun Kinahrejo yang membuat juru kunci Merapi itu jatuh sakit, karena sedahsyat apa pun cuaca yang terus berubah menjelang meletusnya Merapi sudah puluhan tahun dirasakannya. "Mbah sakit karena terlalu lelah," ujar salah seorang anaknya.

Ya, betapa melelahkannya menjadi Mbah Marijan. Tugas yang diembannya sebagai juru kunci Merapi membuatnya harus meladeni semua tamu, termasuk wartawan yang datang terus menerus dan kadang tak kenal waktu. Orang seusianya, seharusnya lebih banyak beristirahat, namun semenjak Merapi dinyatakan `waspada` hingga meningkat menjadi `Awas` pada Sabtu (13/5), lelaki tua ini nyaris tak memiliki cukup waktu untuk beristirahat.

Sabtu malam (13/5) Mbah Marijan sakit lantaran menerima sekian banyak wartawan dan tamu yang datang ke rumahnya. Ia teramat sederhana dan ramah, sehingga tak satu pun tamu tak diladeninya. Kalau pun ada yang diminta menunggu, itu lantaran para tamu datang pada saat waktu sholat. Hingga larut malam, para tamu dengan berbagai kepentingan silih berganti bertandang ke rumahnya. Dari para kuli tinta, pemerintah setempat, LSM, hingga para wisatawan yang penasaran ingin kenal lebih dekat sosok kuncen Merapi itu.

Nampaknya Mbah Marijan sudah terdzalimi. Ia jatuh sakit lantaran sibuk melayani tamu sehingga hanya sempat satu kali untuk makan. Tak banyak asupan makanan, sementara energinya teramat banyak keluar. Mbah Marijan pun merinding, mengeluh tubuhnya tak sehat. Dokter pun dipanggil untuk memeriksa kondisinya. Tim ACT dan Lazis UII yang membawa dokter tersebut ke rumahnya sempat berpikir, kondisi sakit Mbah Marijan ini bisa menjadi `skenario` untuk membawa Mbah Marijan turun gunung. "Kondisinya sudah membaik, tak perlu dibawa ke bawah," ujar dokter yang memeriksa. Skenario pun dibatalkan, tak manusiawi memaksakan kehendak dengan memenggal keyakinan seseorang.

Secara fisik Mbah Marijan memang sudah membaik. Tapi ada yang belum terehabilitasi di diri lelaki tua yang sangat religius itu. Adalah pemberitaan berbagai media tentang sosok juru kunci Merapi ini. Hampir semua stasiun televisi dan media cetak tak henti memberitakan sosok Mbah Marijan sebagai tokoh klenik, memiliki ilmu sakti, tak bedanya dengan dukun dan paranormal, dan embel-embel mistik lainnya. Tentang keteguhannya tak ingin turun pun dijadikan sasaran berita hangat para kuli tinta. Yang diberitakan bukan sisi manusiawinya, bukan pula tentang keteguhannya memegang amanah dari Sri Sultan HB ke-IX untuk menjaga Merapi sebaik-baiknya. Berita tentang dirinya, seringkali bernada minor.

Tayangan demi tayangan tentang Mbah Marijan yang negatif di berbagai media, memicu ‘wisatawan’ untuk berkunjung ke rumah kuncen Merapi itu. Setiap hari rumahnya tak pernah sepi dari kunjungan ‘orang-orang mau tahu’ dan dengan polosnya bertanya, “Mbah sebenarnya Merapi kapan akan meletus?” sebuah pertanyaan dari orang-orang yang mengaku berpendidikan. Berbekal pendekatannya kepada Sang Penguasa langit dan bumi, lelaki bertubuh pendek yang lucu itu pun berucap, “jangan tanya saya, tanyakan kepada Allah. Dia yang mengatur semua, Gusti Allah yang punya kehendak”.

Kasihan sekali Mbah Marijan. Lelaki renta berusia 80an itu kerap dikenal sebagai orang sakti yang selalu berhubungan dengan para penguasa Gunung Merapi sehingga dianggap tahu kapan waktunya Merapi meletus. Keteguhannya untuk tidak mau turun gunung seringkali ditulis sebagai salah satu bentuk kesaktiannya, dan parahnya tak jarang dia dituduh mempengaruhi warga sekitar lereng Merapi untuk tak mengungsi. “Warga kalau mau ngungsi ya ngungsi saja, saya tak pernah melarangnya,” aku Mbah Marijan.

Sesungguhnya, ia lelaki shalih yang terus menerus mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Datanglah kepadanya, dan lihat langsung sosok sebenarnya. Jangan pernah percaya berita yang menggambarkan profilnya yang aneh dan jauh dari kesan agamis. Sungguh, kami memang baru mengenalnya. Tapi yang kami dapatkan tentang Mbah Marijan hanya satu hal; ia lelaki shalih yang teramat sederhana.

Seorang teman pun mendapat nasihat darinya, “Kamu itu harus sering melihat ke bawah, jangan ke atas. LIhat nih Mbah, hidupnya seperti ini. Kasih tahu teman-teman yang hidupnya berlebih, contoh Mbah yang sederhana ini,” sambil memperlihatkan gajinya dari Keraton yang cuma Rp. 5.800,-

Doa kami pun terpanjat, semoga Merapi tak membuatnya semakin terdzalimi. Ia memang sakit lantaran terlalu lelah. Tetapi sebenarnya ia lebih sakit dengan pemberitaan tak benar tentang dirinya.

Bayu Gawtama
Public Relation ACT-Aksi Cepat Tanggap
0852 190 68581 - 0888 190 2214

Saturday, May 13, 2006

Berat Langkah Si Tukang Siomay

Kepulangan ke rumah harus tertunda, ketika pimpinan kantor meminta seluruh tim rapat mendadak. Berbagai bencana yang terjadi di negeri ini, juga gejolak yang tengah bergemuruh di Palestina meski disikapi secara cepat. Sebagai sebuah lembaga kemanusiaan yang memseriusi programnya dalam penanganan bencana, menjadi keharusan tersendiri untuk merespon secara cepat setiap bencana yang terjadi.

Namun bukan pentingnya rapat ini yang ingin saya ceritakan, bukan pula isi dan serunya rapat yang memakan waktu cukup lama hingga larut. Adalah sepuluh menit menjelang rapat dimulai, saat saya memesan sepiring siomay kepada tukang siomay langganan di depan kantor. Sesaat menjelang rapat, perut ini terasa berdendang minta diisi. Makanan ringan itulah yang menjadi pilihan, satu porsi pun terpesan.

Panggilan pun datang, rapat dimulai. Rapat dilanjutkan usai sholat Maghrib, dan terus berlangsung. Ada yang resah di bawah, ada yang bolak-balik masuk ruang kantor. Ianya hanya menemukan piring kosong di bawah meja saya. Setiap lima menit kembali balik ke dalam kantor berharap orang yang tadi memesan siomay nya sudah ada di tempat. Ternyata yang ditunggu masih di atas, terlupa oleh riuh rendah suasana rapat yang bersemangat.

Waktu terus bertambah, hingga seorang teman yang baru saja dari lantai dasar berbisik, "Sudah bayar siomay belum?" astaghfirullah...

Tak menunggu rapat selesai, acung tangan langsung bergegas ke bawah. Terhenti nafas ini tak mendapatkan orang yang dicari; si tukang siomay. Melirik sedikit ke bawah meja, piring kosongnya sudah tak ada. Mungkin ia pulang, tapi saya tak bisa berkata apa-apa sambil terus menggenggam empat lembar ribuan di tangan.

Cuma empat ribu memang. Tapi ia sebegitu pentingnya untuk bolak-balik ke dalam kantor berharap saya akan membayarnya. Terbayang saya betapa berat langkah si tukang siomay mendorong gerobaknya. Berpikir ia tentang uang belanja yang dinanti sang istri, resah hatinya tak membawa mainan yang dipesan anak tercintanya. Mungkin semua karena empat ribu yang belum saya bayarkan. Dan boleh jadi, empat ribu itulah keuntungan hasil jualannya setelah disisihkan untuk setoran.

Berat langkah si tukang siomay. Itu terus tergambar dalam benak saya, sambil terus menggenggam empat lembar ribuan dan sesekali melirik ke bawah meja tempat piring bekas makan. Terbayang sedihnya sang isteri lantaran suaminya tak membawa uang belanja untuk esok, “mau makan apa besok pak?”. Terlintas tangisan si anak yang mendapati bapaknya tak membawa serta mobil mainan plastik yang dipesannya. Bagaimana jika besok ia tak bisa berdagang karena uang setorannya kurang malam itu? Tuhan, berdosa lah hamba…

Tak lebih dari setengah jam, seseorang masuk ke dalam kantor. Senyumnya yang khas menyapa lembut. Saya tahu yang dinantinya. Sudah semalam ini, duh… ternyata betapa pentingnya empat lembar ribuan itu baginya. “Maafkan saya mas,” nyaris bibir ini tak mampu berucap apa pun.

Bayu Gawtama

Thursday, May 11, 2006

Tetaplah Tersenyum Palestina

Suara tangis bayi melengking dari sebuah kamar, dekapan hangat dada sang ibu tak mampu membuatnya nyaman. Semakin keras tangis itu terdengar, seiring runtuhnya dinding ruang tamu rumah tak berpagar itu. Keras, begitu keras tangis itu terdengar mengalahkan dentuman mortir yang terus menerus menderu jalur terpanas di Timur Tengah itu. Sebuah rumah, tak lagi layak berpredikat rumah. Seluruh kaca hancur, dinding pun runtuh, pintu tak lagi berdaun, jendela pun tak lagi membingkai.

Namun suara itu masih saja terdengar, tangis bayi yang didekap ibunya seolah mengikuti irama desingan peluru serdadu Israel yang terus memberondong rumah-rumah tak bersenjata. Yang dicari adalah para pejuang, yang diberondong justru anak-anak dan wanita. Betapa pengecutnya mereka. Yang diincar adalah para pelembar batu, namun yang terbidik adalah mereka yang tak bersenjata. Sungguh tak bernyali para serdadu itu.

Tangis anak itu, kini tak hanya terdengar dari balik kamar yang sebagian rumahnya sudah hancur itu. Di seberang rumah yang jauh lebih hancur, suara tangis lainnya pun terdengar. Di sudut kiri beberapa blok dari rumah yang lebih hancur itu, tangis lainnya tak kalah kuatnya. Jauh dari rumah-rumah yang hancur oleh bombardir mortir dan peluru pasukan Israel itu, ribuan tangis pun terdengar. Kali ini beragam, tak hanya bayi-bayi, bahkan anak-anak dan tangis wanita pun membelah awan kelabu negeri Palestina.

Hari ini, satu persatu tangis itu mereda. Bukan karena peluru dan mortir Israel berhenti, tak juga lantaran serdadu-serdadu kejam itu tak lagi mengarahkan moncong senjatanya ke rumah-rumah mereka. Bayi-bayi Palestina penerus negeri suci itu kehabisan air mata, tak lagi bertenaga untuk sekadar menangis. Seluruh energi yang dipunya telah habis, seiring dengan habisnya persediaan makanan di rumah itu. Amerika dan Eropa mengembargo negeri para pejuang itu, sehingga tak sedikit pun bantuan makanan dan keuangan bisa masuk ke Palestina. Satu persatu, tangis mereda, satu persatu bocah-bocah kecil tak berdosa itu menggelepar tak berenergi. Satu persatu mereka menyusul Ayah, Paman, Saudara dan Abang-Abang mereka yang bertarung berbekal batu di tangan melawan senjatan mesin. Satu per satu, mereka pun pergi...

Esok, boleh jadi tangis-tangis itu semakin tak terdengar...
Lusa, mungkin tlah hilang...

Tak tergerakkah hati ini menyaksikan episode kelam sebuah bangsa yang kini berada di ujung kehancuran? Masihkah kita berdiam diri tatkala menonton tayangan menyedihkan ini di layar kaca? Sebuah negeri plihan Allah terancam musnah tanpa kita bisa berbuat apa pun, bahkan sekadar melantunkan sebait doa untuk mereka.

Semestinya kita tak diam, seharusnya kita bergerak. Tangan-tangan kita masih mampu berbuat, semampu dan sekuat yang kita bisa. Mungkin kita takkan ikut berperang di negeri itu, tak turut memasang dada untuk menjadi sasaran tembak tentara Israel, tak serta menjadi tameng hidup roket yang meluncur deras ke arah pemukiman muslim. Dengan harta yang kita punya, dengan doa yang terus menerus kita pinta kepada Allah. Agar mereka, saudara-saudara kita di Palestina tetap tersenyum.

Mari bantu Palestina, dan sampaikanlah kalimat ini untuk mereka, "Tetaplah tersenyum Palestina, karena kami membantumu" (Bayu Gawtama)


“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, menyayangi dan bertolong-tolongan di kalangan mereka, umpama satu tubuh, apabila sakit satu anggota tubuhnya akan terasa pula anggota yang lain sehingga tidak dapat tidur malam dan demam” HR. Bukhari dan Muslim

---

ACT-Aksi Cepat Tanggap, sebuah lembaga kemanusiaan yang Insya Allah amanah dalam penanganan bencana di Indonesia dan internasional. Melalui Program SOS (Simpaty of Solidarity) Palestina, ACT menggalang dana bantuan kemanusiaan bagi rakyat dan negeri Palestina. ACT menganggap embargo Amerika dan Eropa terhadap negeri Palestina adalah bencana kemanusiaan.

Bantuan kemanusiaan Anda bisa disalurkan melalui rekening: Bank BNI Syariah No. Rek. 96110239, Bank Syariah Mandiri No. Rek. 0040119999, Bank Mandiri No. Rek. 1280004555808, Bank Muamalat Indonesia No. Rek. 3040022915, Bank Central Asia No. Rek. 6760303133 (kode: SOS)

Informasi:
Bayu Gawtama
Public Relation ACT-Aksi Cepat Tanggap
021-7414482 ext 117
0852 190 68581 - 0888 190 2214

Saturday, May 06, 2006

Kesabaran Made In Jogya

Alon-alon waton kelakon, nampaknya ungkapan ini masih melekat dalam kehidupan sehari-hari orang Jogyakarta. Setidaknya hal itu tercermin dalam sikap orang-orang yang berkendara di jalan raya, terutama para pengguna mobil. Sepekan berada di Jogyakarta, ternyata orang Jakarta harus banyak belajar bersabar di jalan raya. Betapa tidak, nyaris semua pengendara mobil di Kota Pelajar ini lumayan tertib dengan kecepatan laju yang tak lebih dari 80 km/jam. Tak hanya itu, bisa dibilang hampir tak ada kendaraan saling salip di jalan raya, termasuk angkutan umum.

Sungguh, ini seperti di dalam mimpi saja. Kemana pun kami pergi hampir selalu menemui masalah di jalan raya yang berkenaan dengan persoalan ugal-ugalan, hingar bingar klakson dan aksi sok jagoan saling salip antar pengemudi. Sehingga kenyataan itu sempat menciptakan sebuah gumam, "Kota mana di Indonesia yang tak dihiasi aksi ugal-ugalan?"

Ternyata masih ada. Jawaban itu pun menyeruak sudah di Jogyakarta. Bayangkan, kami yang terbiasa membawa kendaraan di atas kecepatan rata-rata 150 km/jam harus menunggu kendaraan di depan yang berjalan santai seolah jalan miliknya sendiri. Awalnya lumayan kesal dibuat menunggu karena jalan sepanjang Kaliurang tak terlalu lebar untuk menyalip. Sekali berniat menyalip, kendaraan dari arah berlawanan langsung menghidupnya lampu dim tanda mereka tak mengizinkan. Ah, setelah dua hari di Kaliurang barulah kami sadar, "ini Jogyakarta bung, punya aturan main sendiri". Dan sebagai pendatang, sudah semestinya mengikuti roll of play yang berlaku.

Nyatanya, nikmat juga bersabar dalam berkendara. Lebih rileks, lebih santai, tidak stress dan meminimalisir kecelakaan. Kalau pun ada kecelakaan di sepanjang jalan Kaliurang, itu pun lebih banyak dialami oleh pengguna motor. Bisa dimaklumi, lantara kebanyakan pengguna motor adalah mahasiswa dan berlatar belakang berbagai daerah. Boleh jadi, mahasiswa yang asal Kota lain selain Jogyakarta, masih menyimpan kebiasaan lamanya berkebut di jalan. Meski sudah di wilayah "orang sabar" pun tetap saja ngebut-ngebutan.

Satu lagi. Jangan aneh kalau model 'kesabaran' made in Jogyakarta ini pun jadi pegangan para sopir angkot. Kalau Anda ingin merasakan nikmatnya berangkot, tanpa berhenti sembarangan, tanpa ugal-ugalan, saling salip dan kebut, boleh jadi di Jogyakarta lah Anda bisa mendapatkannya. Seringkali bisa didapat pemandangan yang tak pernah Anda dapatkan di Jakarta, dua hingga tiga angkot berjalan beriringan dan tak ada yang saling menyusul. Kecuali angkot di depan mendapatkan penumpang. Ooh, sungguh seperti sedang berada di sebuah negeri di awan.

Jadi, jangan heran kalau di tengah ancaman meletusnya Gunung Merapi pun sebagian besar warga tetap sabar dan tenang. "Sepertinya yang mau meletus itu kepalanya orang-orang di bawah," ujar Mbah Marijan sewaktu kami mengunjunginya Sabtu (29/4). Seperti halnya Mbah Marijan, warga lainnya pun nampak tenang dan tak tegang menghadapi bencana yang menjelang. "Yang penting sekarang banyak berdzikir, menyebut asma Allah dan meminta keselamatan kepada-Nya," pesan Mbah Marijan lagi.

Sempurna sudah. Ternyata, tak hanya Malioboro, Dagadu, Bakpia Pathuk dan Lumpia yang asli Jogyakarta. Kesabaran made in Kota Pelajar ini pun teramat indah untuk dinikmati bahkan dijadikan oleh-oleh pulang ke Jakarta. Pasti nikmat. Semoga.

Bayu Gawtama
0852 190 68581 - 0888 190 2214
www.aksicepattanggap.com

Friday, May 05, 2006

Para Pejuang Kehidupan dari Lereng Merapi

Siapa pun kita akan selalu bertanya, "kenapa orang-orang di lereng Merapi tak mau mengungsi, padahal gejala letusan Merapi semakin terlihat," atau "Apa mereka sudah bosan hidup?" Lainnya, "Kenapa ahrus mati bersama mbah Marijan? biarkan saja kuncen itu mati terkena lahar bersama keyakinannya. Tidak perlu mengajak warga lainnya".

Apa yang kami dapatkan saat mengunjungi para warga di lereng-lereng Merapi sepakan terakhir, pertanyaan-pertanyaan itu terjawab sudah. Tak sedikit pun terbersit di pikiran mereka untuk berani menantang lava yang panasnya mencapai 6000 derajat celcius. Tak satu pun dari warga yang sok jagoan mau melawan gerusan awan panas -mereka menyebutnya Wedus Gembel- yang mencapai titik panas 300 derajat celcius. Mereka sudah pernah melihat keluarga, sahabat, rekan dan tetangga mereka yang pernah terkena wedus gembel, sungguh mengerikan. Batok kepala pecah, perut meletus, kulit hangus terbakar dan sudah pasti para korban itu mati meregang nyawa dalam kepanasan yang luar biasa.

Bukan. Bukan itu alasan mereka tetap bertahan di rumah-rumah mereka di lereng Merapi. Adalah harta kekayaan -yang tak layak disebut kekayaan- dan hewan peliharaan yang tak rela ditinggalkan begitu saja. Bertahun-tahun mereka membanting tulang, memeras keringat, menggantang matahari dan menadah hujan dengan kepala dan tubuh mereka demi sesuap nasi dan seperak tabungan yang mereka kumpulkan setiap hari. Hari demi hari, waktu yang terus berjalan, tiap keping itu pun berbuah menjadi seekor kambing. Kambing yang beranak pinak, melahirkan seekor sapi. Lama kelamaan, tak hanya seekor, bahkan empat hingga lima ekor sapi kini menghuni halaman samping rumah mereka. Tak hanya hewan, warga yang dulu tidur di rumah berdinding bilik bambu dan beratap jerami, telah mampu hidup lebih nyaman di rumah yang telah berdinding batako dan beratap genteng terbuat dari tanah. Semua itu hasil dari perjalanan panjang melelahkan, pengorbanan yang tak terukur, serta tetes peluh dan darah yang tak terbilang. Siapakah yang rela meninggalkan itu semua?

"Kami hidup di sini, mati pun akan di sini" kalimat itu bukan kalimat menantang gagahnya Merapi, terlebih sebagai jawaban untuk menjemput kematian. Bukan, sungguh bukan itu. Mereka telah lama bersahabat dengan Merapi, mereka tahu Merapi tak pernah jahat kepada sahabatnya. Justru ketika Merapi pernah mengambil sebagian saudara dan kerabat mereka, itulah bagian dari pengorbanan sebuah persahabatan. Bukankah persahabatan harus dibingkai oleh cinta dan pengorbanan? Bukankah persahabatan semestinya diwarnai dengan saling memberi?

Ya. Merapi telah banyak memberi kepada warga di lereng Merapi. Alam dan sekitarnya telah memberi mereka kehidupan sepanjang hayat. Bertahun-tahun warga di lereng Merapi hidup dari pemberian Allah di alam sekitarnya, termasuk Merapi. Keberadaan Merapi di tengah-tengah mereka adalah sumber kehidupan. Dan selama bertahun-tahun itu pula mereka bisa mendapatkan segala apa yang mereka mampu kumpulkan saat ini. Isteri, anak-anak, kerabat, rumah, dan hewan ternak. Semuanya hasil jerih payah bersahabat dengan Merapi. Akankah mereka rela meninggalkan itu semua?

Bayangkan bila Anda yang menjadi mereka. Atau tak perlu jauh-jauh menjadi seperti mereka. Siapa pun, termasuk kita akan mempertahankan harta kekayaan kita ketika ada yang hendak mengambilnya. Karena kita tahu betapa berharganya harta itu, bukan karena harganya, melainkan jalan panjang berliku serta pengorbanan yang pernah kita lakukan untuk mendapatkan semua harta miliki kita. Sebuah proses panjang yang tak terbayar oleh apapun, sehingga sekian banyak orang rela mati demi mempertahankan hartanya. Padahal, banyak orang berpikir, lepaskan saja dan biarkan rampok mengambil harta kita dari pada harus mati. Toh, harta bisa dicari lagi. Mudah bicara bagi yang tidak mengalaminya langsung, tapi tidak bagi mereka yang berhadapan dengan kondisi itu.

Seperti halnya mereka yang tetap bersikeras menetap di lereng Merapi. Bahkan ratusan pengungsi pun berani kembali ke dusun-dusun mereka yang berada di kawasan rawan bahaya (KRB) Merapi. "Siapa yang mengurus hewan ternak kami pak," ujar Mbah Wigyo, salah seorang pengungsi yang kembali ke Dusun Jambu, Kepuharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Hidup adalah pengorbanan. Siapa pun akan berkorban untuk menjalani dan mempertahankan kehidupan. Tetapi terkadang tidak sedikit orang yang rela mengorbankan kehidupan untuk sesuatu yang sangat berharga yang dimilikinya. Mempertahankan harta benda yang dimilikinya dari hasil memeras keringat selama puluhan tahun, akan dilakukannya meski harus dibayar dengan kematian.

Jadi, sungguh. Mereka tak sedang menentang maut. Yang mereka lakukan adalah mempertahankan hak mereka, yang tak kan terbayarkan oleh apa pun. Mereka rela menebusnya dengan kematian. Semangat ini yang tak banyak dimiliki oleh orang-orang kaya dan berlimpah harta, yang bisa membayar siapa pun untuk menjaga harta mereka asalkan tidak dengan kehidupannya. Warga di lereng Merapi, adalah potret pejuang kehidupan. Apa yang mereka lakukan bukanlah aksi heroik menentang maut, tetapi sebuah jihad mempertahankan hak mereka. Salahkah mereka melakukan itu? Wallaahu 'a'lam

Bayu Gawtama
Public Relation
ACT-Aksi Cepat Tanggap