Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Tuesday, December 19, 2006

14 Tahun Menanti untuk Berqurban

Dadang, 33 tahun, seorang buruh pabrik di Bandung, Jawa Barat. Sebagai buruh pabrik hanya hanya lulusan SLTA, gaji yang diterimanya pun pas-pasan. “Hanya bertahan di sepekan pertama setelah gajian,” terangnya tentang seberapa cukup gaji yang diterimanya untuk menopang hidup. Hari-hari selanjutnya setelah pekan pertama itu, ia jalani dengan penuh keprihatinan. Beruntung ia masih memiliki sepeda untuk ke tempat kerjanya, sementara isterinya mencari penghasilan tambahan dengan mencuci pakaian tetangganya.

Namun, keterbatasan dan kekurangan tak pernah menyurutkan niatnya untuk bisa berqurban. “Malu saya jika setiap tahun hanya menjadi penerima daging qurban. Saya kira jauh lebih nikmat jika kita sendiri yang berqurban,” semangatnya tak pernah padam jika bicara tentang dua impiannya, berqurban dan pergi ke tanah suci. Tetapi menurutnya, tahap pertama dan yang paling mungkin ia lakukan adalah berqurban.

Ternyata, berqurban bagi seorang Dadang bukanlah hal mudah. Tahun 1991, ketika baru lulus SLTA dan mendapatkan pekerjaan, ia langsung bertekad, “Saya ingin berhaji suatu saat, semoga cita-cita yang terkabul,” sembari menambahkan, target pertama sebelum berhaji adalah membeli seekor kambing untuk diqurbankan. Saat itu ia belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, ia merasa berkewajiban untuk membantu meringankan beban orangtuanya dengan memberi sebagian penghasilannya untuk biaya sekolah adik-adiknya. “Gaji saya waktu itu cuma dua ratusan ribu, sebagian untuk biaya sekolah adik, sebagian lainnya disimpan untuk pegangan”.

Lima ribu rupiah, nilai yang bisa ditabungnya setiap bulan untuk meraih impiannya berqurban. “Tidak peduli perlu waktu berapa tahun untuk bisa terkumpul uang seharga seekor kambing, yang penting tekad saya harus seratus persen,” tegasnya bersemangat. Tentang tekadnya ini, ia tak pernah berkompromi untuk urusan dan kebutuhan apa pun, yang pasti lima ribu rupiah harus ditabung setiap bulannya.

Tekad seratus persen memang semestinya tak boleh terkalahkan oleh apa pun. Empat tahun bekerja mengumpulkan uang antara lima sampai sepuluh ribu setiap bulannya, Dadang mengantongi cukup uang untuk membeli seekor kambing untuk berqurban. Bahkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah di tahun 1995 ia redam demi seekor hewan qurban. Pekan ketiga di bulan Ramadhan 1416 H, berbinar mata Dadang menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Bukan karena ia bisa membeli baju baru, tetapi karena ia merasa punya tambahan untuk membeli seekor kambing untuk qurban di hari raya Idul Adha.

Tetapi di tahun itu juga, saat wajahnya berseri menjelang terwujudnya impian untuk berqurban, Dadang harus ikhlas merelakan uang untuk membeli seekor kambing dipakai untuk biaya masuk sekolah adiknya. “Saya ikhlas. Pasti Allah yang mengatur semua ini, dan saya percaya masih ada kesempatan saya di tahun-tahun depan,” sebuah pemelajaran berharga tentang makna berqurban sesungguhnya.

Dadang tak putus asa. Ia kembali merajut hari, menghitung penghasilannya sebagai buruh pabrik serta menyisihkan sebagian kecil untuk ditabung. “Untuk hewan qurban impian saya,” jelasnya. Setelah sekitar tiga tahun menabung, cobaan atas tekadnya itu kembali datang, kali ini cobaannya berupa keinginan Dadang untuk menikah. “Usia saya sudah pantas untuk menikah, lagi pula sudah ada calonnya. Saya tidak ingin berlama-lama punya hubungan tanpa status, takut dosa,” lagi-lagi uang tabungannya terpakai untuk menikah. Saat itu, Dadang sedikit berkilah, “Toh sama-sama ibadah”.

Hari-hari setelah menikah dibayangkan Dadang akan semakin mudah baginya untuk menabung demi hewan qurban impiannya. Sebab, pikir Dadang, kini ia tak sendirian menabung. Ia bisa mengajak isterinya yang juga bekerja untuk ikut menabung agar di tahun depan bisa membeli hewan qurban.

Konon, kenyataan hidup tak pernah seindah mimpi. Begitu pula yang dialami Dadang selama bertahun-tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama isterinya, Yenni. Terlebih setelah melahirkan putra pertama mereka satu tahun setelah menikah, Yenni tak lagi bekerja. Dadang pun harus sendirian membanting tulang menafkahi keluarga, belum lagi permintaan orang tuanya untuk ikut membantu biaya pendidikan adik bungsunya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, Dadang selalu teringat niatnya beberapa tahun lalu untuk bisa berqurban. “Semoga tak hanya tinggal impian, saya masih bertekad mewujudkannya,” kalimat ini menutup lamunannya.

Meski sedikit, ia paksakan diri untuk terus menabung. Kadang, tabungan yang terkumpul terganggu oleh kebutuhan dapur atau susu si kecil. Kebutuhannya bertambah besar, dengan bertambahnya anggota keluarga di rumah Dadang. Dengan dua anak, si sulung butuh biaya sekolah, sedangkan si kecil perlu susu dan makanan bergizi, nampaknya Dadang harus mengubur dalam-dalam mimpinya untuk berqurban, apalagi pergi haji ke tanah suci.

Dadang, lelaki berbadan kurus itu tetap menggenggam tekad berqurbannya dalam genggamannya. Ia tak pernah melepaskan dan membiarkan mimpinya terbang tak berwujud. Setelah empat belas tahun menunggu, tahun 1426 H, impiannya untuk berqurban terwujud sudah. Sebuah perjuangan maha berat selama bertahun-tahun yang dilewatinya terasa begitu ringan setelah ia melunasi mimpinya menyembelih hewan qurbannya dengan tangannya sendiri.

Cermin kepuasan tersirat di wajahnya. Empat belas tahun, waktu yang takkan pernah dilupakan sepanjang hidupnya untuk sebuah mimpi. “Target saya berikutnya adalah berhaji, entah berapa lama waktu saya untuk mewujudkannya. Saya tak peduli,” ujarnya sambil tersenyum.

***

Seberapa berat perjuangan dan pengorbanan kita untuk melakukan sesuatu?

Gaw

Monday, December 18, 2006

Merajut Cinta

Abah, demikian orang memanggilnya. Puluhan tahun ia mengabdikan hidupnya di masjid sebagai marbot, alias pemelihara masjid. Sebelum pindah ke Tangerang kira-kira belasan tahun lalu, ia juga menjalani hidupnya sebagai marbot di Barat Jakarta. Posisinya tergantikan oleh petugas yang lebih muda dan lebih berenergi sehingga mengharuskannya pindah ke Tangerang. Beruntung ia, salah seorang keponakannya di Tangerang menjabat sebagai salah satu pengurus masjid. Maka, Abah pun menetap di masjid itu bersama keluarganya. Tugasnya tetap sama, sebagai pemelihara masjid.

“Ini tugas yang mulia. Saya sangat senang menjalani tugas ini,” ujarnya suatu kali.

Ada saat-saat yang selalu membuatnya gembira, seperti ketika masjid ramai dengan anak-anak yang belajar mengaji. Meski ia harus dibuat lelah dengan polah anak-anak yang mengotori masjid dengan kaki-kaki kotor mereka, namun Abah justru bertambah senang. “Masjid sepi kalau tidak ada mereka. Soal masjid yang kotor, itu sudah menjadi kewajiban Abah. Justru Abah tambah senang, artinya amal Abah tambah banyak” Jelas, tak semua orang mampu berhati lapang sepertinya.

Demikian pula, ada saat-saat yang kadang membuatnya menitikkan airmata. Salah satu agenda tahunan yang kerap membuatnya sedih adalah hari raya Idul Adha, tatkala banyak kaum muslim yang berqurban untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Qurban, hakikatnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara menunjukkan wujud cinta berbentuk sebuah pengorbanan. Adalah Ayahanda Ibrahim yang mengajarkan hakikat cinta seperti ini bersama Ananda Ismail dan ibunya Siti Hajar.

“Abah ingin sekali suatu saat bisa berqurban seperti jamaah lainnya,” ungkapnya tentang sebuah cita-cita yang selama ini baru sebatas mimpi bagi Abah. Ya, Abah tahu persis honornya sebagai pemelihara masjid membuatnya merasa hampir mustahil bisa membeli seekor domba untuk dikurbankan. “Berapa harga seekor kambing sekarang nak?” suatu kali Abah bertanya. Setelah tahu harga yang dimaksud, Abah pun tertunduk lesu. “Entah kapan Abah bisa berqurban seperti orang lain…” lirihnya.

Abah mengaku, ia selalu iri dengan orang-orang yang bisa berqurban setiap tahun. “Orang yang berqurban berarti orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Mereka telah membuktikan sebentuk cinta kepada Tuhan dengan cara berqurban. Ini yang membuat Abah iri, Abah belum bisa mempersembahkan seekor pun untuk dikurbankan,” katanya.

Tetapi Abah bukanlah sosok pemurung yang mudah putus asa. Begitu ia tahu tak mungkin membeli seekor domba, maka bertahun-tahun ia menjalani peran sebagai panitia qurban. Setiap kali penyelenggaraan pemotongan hewan qurban, Abah tak pernah absen berdiri paling depan sebagai panitia. Meski kadang ia mendapat tugas khusus, yakni membersihkan kotoran hewan-hewan yang sudah disembelih. Tak hanya itu, setiap sore saat petugas dan panitia lainnya sudah kembali ke rumah masing-masing, Abah masih harus membersihkan halaman masjid dari kotoran dan bercak darah yang menempel di lantai masjid.

“Kalau pun saya tidak bisa berqurban langsung, setidaknya Allah tahu Abah berada di tengah-tengah orang yang berqurban. Artinya Allah melihat Abah bersama orang-orang yang mendekatkan diri dan menunjukkan cinta kepada Allah,” terangnya bahagia.

Abah, usianya sudah menginjak tujuh puluh. Ia pun tak lagi bertugas memelihara masjid, namun tak pernah redup semangatnya untuk hadir di hari pemotongan hewan qurban. Tangannya sudah lemah, tenaganya pun sudah berkurang. Tahun lalu, tangan gemetarnya masih memegang sebilah pisau untuk membantu memotong-motong daging qurban. Sesekali ia bersandar di tembok masjid untuk melepas lelah, tak lama ia kembali bergumul dengan daging-daging qurban itu.

Lama sosoknya tak lagi terlihat, mungkin di hari pemotongan hewan qurban tahun ini ia akan muncul lagi. Lengkap dengan sebilah pisau di tangan gemetarnya. Abah, lelaki renta di penghujung usianya terus berjuang merajut cinta, di saat sebagian besar orang mampu membeli cinta Allah dengan berqurban.

Gaw

Friday, December 15, 2006

Menembus Malam Demi Sepuluh Ribu

Motor yang saya tumpangi merambat pelan di tepi jalan Pasar Ciputat, Tangerang, Banten. Waktu menunjukkan hampir pukul dua belas malam ketika sorot lampu motor saya menembak seraut wajah mematung berdiri hanya beberapa meter di depan. Matanya terpejam, padahal ia dalam keadaan berdiri, sementara di pundaknya menyangkut sehelai tali yang tersambung ke sebuah kotak seukuran kardus air mineral.

Yanto nama pemuda itu, ia salah satu dari belasan penjual rokok ketengan di Pasar Ciputat. Beberapa detik kemudian, tak sengaja jari tangan kiri ini menekan klakson motor, dan... Yanto pun terkaget. Saya merasa bersalah telah membangunkannya dari 'mimpi'. Boleh jadi, saat tertidur dalam keadaan berdiri itu ia tengah bermimpi melayani serbuan pembeli rokok hingga barang dagangannya malam itu habis terjual. Atau bahkan, ia sedang menikmati indahnya menjadi juragan rokok di kampungnya. Tetapi bunyi klakson saya barusan membuyarkan mimpi indahnya.

“Maaf mas,…” Saya jadi kikuk sendirian merasa bersalah telah mengagetkannya. Akhirnya saya menghampirinya untuk membeli beberapa butir permen. “Rokoknya nggak mas?” tanya Yanto berharap. Saya harus meminta maaf untuk kedua kali lantaran memupuskan harapannya, lantaran saya tidak merokok. “Kalau permen untungnya kecil pak, lagi pula permen ya cuma pelengkap saja. Siapa tahu ketemu pelanggan seperti bapak yang tidak merokok,” jelasnya.

Saya tertarik dengan keterangannya tentang ‘untung yang kecil’ dari jualan permen. Tapi bukan untung permen yang saya tanya, melainkan untung dari jualan rokoknya. “Seribu, paling besar seribu lima ratus untuk sebungkus rokok,” terangnya. Padahal, sering terlihat para pedagang rokok ketengan itu menjual rokoknya tidak bungkusan, melainkan ketengan lantaran pembeli rokok mereka pun bukan dari kalangan menengah ke atas. Pelanggannya biasanya membeli rokok satu atau dua batang saja, dan tak jarang untuk meladeni pembeli dua batang rokok itu harus sambil berlari mengejar angkot atau bis yang melaju.

Pernah satu kali saya melihat seorang pedagang rokok terjatuh saat mengejar angkutan umum, padahal ia hanya melayani seorang pelanggan yang hanya membeli sebatang rokok. Berapa sih untungnya? Kalau sebungkus rokok isi 24 hanya seribu rupiah, berapa untung dari sebatang rokok? Itu harus dibayar mahal tatkala ia tersungkur di jalan raya, hingga semua rokok dagangannya berantakan. Sebagian masih diselamatkan, tapi jauh lebih banyak yang patah dan tak bisa terjual lagi.

Yanto, seorang pedagang rokok ketengan di pinggir jalan kecewa karena saya hanya membeli permen lantaran untung yang didapat dari menjual permen itu kecil. Jika demikian asumsinya menjual rokok itu untungnya besar. Tetapi nyatanya, ‘besar’ yang dimaksud hanyalah seribu atau seribu lima ratus rupiah untuk sebungkus rokok?

“Berapa bungkus rokok terjual setiap malam?”

Yanto sumringah, senyumnya tak menampakkan satu pun masalah dengan jumlah rokok yang berhasil dijualnya setiap malam. “Alhamdulillah pak, sekitar sepuluh sampai lima belas bungkus”, kembali ia menutup kalimatnya dengan senyum.

Seketika hati ini berteriak keras, “Hey, dia begitu bahagia!”, padahal hanya sekitar sepuluh ribu atau dua puluh ribu yang dibawanya pulang untuk makan anak dan isterinya. Tetapi aura kesyukuran atas rezeki yang didapatkan hari itu yang membuatnya tetap tersenyum. Bandingkan dengan kita, kadang masih terkecut setiap kali menerima transferan gaji di rekening dan berujar, “Gaji segini, mana cukup?”

Yanto dan belasan pedagang rokok ketengan lainnya, setia menemani malam hingga pagi menjelang, hanya untuk mendapatkan sepuluh ribu rupiah. Namun wajah dan senyumnya menyiratkan rasa syukur yang tak bertepi atas nikmat dan rezeki yang masih bisa didapatnya. Ternyata benar, kebahagiaan tak mengenal status. Sebab kebahagiaan bukan terletak pada apa yang dimiliki seseorang, melainkan tertanam jauh di dalam hati orang-orang yang senantiasa bersyukur atas yang diperolehnya.

Gaw

Thursday, December 14, 2006

Antara Seniman dan Tukang Gambar

Beberapa tahun lalu, saya mengenal Mas Ben, sebut saja begitu, seorang tukang gambar di sekitar Pasar Baru, Senen, Jakarta Pusat. Mas Ben, lelaki berkumis tipis dengan perawakan yang kurus senantiasa siap sedia di pinggir jalan di depan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), untuk melayani para pelanggan yang memesan gambar kepadanya. Lelaki itu sangat mahir menggambar wajah seseorang, dan biasanya memang gambar-gambar wajahlah yang lebih sering dipesan pelanggan.

Tak butuh waktu lama, hanya beberapa goresan singkat sebuah sketsa wajah sudah terlihat di kanvasnya. Hanya saja, memang itu belum selesai karena harus dipoles dan dirapihkan. “Belum… ini kan cuma sketsanya saja,” ujar Mas Ben singkat sambil tangannya terus asik memainkan pensil gambarnya.

Saat itu, saya pernah iseng bertanya satu hal yang mungkin saja akan membuatnya tersinggung. Tapi karena saya sudah kadung penasaran, maka pertanyaan itu pun terlontar, “Menurut Mas, apa bedanya tukang gambar dengan seniman?” sambil memperhatikan wajahnya, berubah merah atau …

Ternyata Mas Ben hanya tersenyum, sesekali memandang saya, kemudian kembali asik menggoreskan alat-alat gambarnya. Raut wajah di atas kanvasnya mulai terlihat rapih. “Ya tentu saja banyak bedanya,” tuturnya tanpa merinci perbedaan yang dimaksud. Jelas membuat saya tambah penasaran dan kemudian melontarkan pertanyaan lanjutan.

“Jadi, bedanya apa?”

Mas Ben pun meletakkan alat gambarnya, dan membetulkan posisi duduknya ke arah saya. Nampaknya ada hal serius yang ingin disampaikan lelaki itu.

“Tukang gambar itu, melakukan pekerjaannya demi uang. Seniman tidak, ia tidak peduli apakah karyanya itu akan menghasilkan uang atau tidak. Itu pertama. Yang kedua, tukang gambar bekerja sesuai pesanan, alias by order. Jadi kadang tukang gambar itu takut kalau hasil karyanya tidak sesuai pesanan. Sedangkan seniman, ia berkarya kapan pun ia mau, tidak peduli ada yang memesannya atau tidak. Nah yang ketiga, seniman sangat menjiwai pekerjaannya, ia bekerja by soul, karenanya hasil karyanya pun bernilai sangat tinggi. Coba lihat tukang gambar, hasil gambarnya paling-paling berkisar puluhan atau ratusan ribu,” jelasnya.

Saya sempat terkesima, namun sesaat kemudian bertanya kembali, “kalau Mas Ben, seniman atau tukang gambar?”

Lelaki dengan kumis tipis itu pun tersenyum, “Inilah kendalanya, kadang saya ini seniman yang melukis sesuatu tanpa peduli apakah karya saya ini akan dihargai orang atau tidak. Tetapi sesekali orang lain membuat saya ini tak lebih sekadar tukang gambar. Contohnya ini, seseorang yang minta dibuatkan lukisan wajahnya.

Jadi, menurut Mas Ben, orang di luar dirinya yang kadang memposisikannya hanya sebatas tukang gambar, misalnya dengan minta dibuatkan gambar tertentu, tetapi instruksinya terlalu berlebihan seolah si pemesan itu seorang maestro. “Padahal saya lebih tahu bagaimana menghasilkan sebuah karya yang baik,” tukasnya.

“Lalu kenapa Mas Ben masih mau terima order melukis wajah orang?” Mendengar pertanyaan ini, lelaki itu tertawa ringan dan, “Ini sih soal lain, seniman juga butuh makan”

Oalaah Mas, ternyata disinilah letak kelemahan setiap manusia. Kalau sudah berurusan dengan perut, kadang lupa sama idealisme. Padahal saya sempat salut dengan konsepnya tentang sebuah profesi dan pekerjaan. Bahwa apapun profesi seseorang, semestinya dikerjakan layaknya seorang seniman. Bekerja tanpa paksaan, tanpa mengharapkan pujian dan penghargaan, juga tanpa ketakutan melakukan kesalahan.

Gaw
Semoga menjadi seniman

Wednesday, December 13, 2006

Berdebu? Basuhlah!

Perjalanan ke kantor dari rumah, sebenarnya hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Tetapi beberapa menit itu mampu membuat wajah ini berdebu dan lumayan kotor. Debu yang dihempas angin, atau asap knalpot yang tak ramah menempel di wajah dan tubuh. Sehingga mau tak mau ada aktivitas rutin ketika tiba di kantor, yakni mencuci wajah.

Ya, tidak betah rasanya bekerja dengan wajah kusam dan berdebu. Begitu pun setelah makan siang di luar kantor. Meski sebelum makan siang wajah ini sudah terbasuh oleh air wudhu, namun terasa kotor lagi setelah keluar kantor. Maka, wajah pun harus dibasuh lagi sebelum melanjutkan aktivitas kantor. Begitu seterusnya setiap kali keluar kantor, tetap saja merasa ada debu-debu yang melekat di wajah.

Bahkan pernah sesekali, saking kotornya setelah perjalanan jauh dan setibanya di kantor langsung mandi. Ini lantaran tak hanya debu yang melekat di wajah, sesaat setelah cium sisi kiri kanan tubuh, wuihh… bau matahari! Jadilah saat itu juga menyegarkan diri dengan mandi.

Meski sudah mandi di kantor. Nanti setibanya di rumah, biasanya tetap mandi lagi. Maklum perjalanan dari kantor hingga ke rumah pasti membawa debu dan aroma jalan raya yang tak semestinya ikut bersemayam di tempat tidur. Bercengkerama dengan anak-anak dan isteri di rumah pun pasti tak nyaman bila tubuh ini masih kotor. Setelah segar, keluarga pun tak ragu untuk memeluk dan mencium. Jelas, karena aroma jalan raya sudah luntur terbasuh air segar.

Begitulah sehari-hari, selalu tak nyaman bila wajah ini berdebu. Selalu dan melulu berusaha untuk membersihkannya agar nampak segar dan berseri. Wajah yang bersih, selain sedap dipandang juga menyenangkan.

***

Kalau lah kita sering merasa terganggu dengan debu yang kerap menempel di wajah, kotoran yang melekat di tubuh, serta aroma jalanan yang hinggap menyertai. Sehingga merasa perlu untuk membasuhnya dengan air yang segar. Bahkan jika merasa terlalu kotor, tak cukup hanya membasuh wajah, kita pun segera mandi untuk menghilangkan semua noda di tubuh. Hal ini setiap hari dan setiap kali kita kerjakan, dan telah menjadi kebiasaan.

Jika demikian, semestinya perasaan tak nyaman seperti ini kita terapkan pula berkenaan dengan noda lain yang tak nampak. Wajah kita memang tak kusam terkena noda ini, tubuh pun tak terlihat kotor karena orang lain memang tak akan melihatnya. Lantaran hati ini yang sering ternoda, dan hanya kita yang bisa melihat dan merasainya. Sudahkah kita terus menerus membasuhnya? Atau jika terlalu pekat noda itu, tentu tak cukup hanya membasuh. Kita perlu air yang lebih banyak untuk membersihkannya.

Ini nasihat untuk diri pribadi, agar selalu ingat untuk membasuh hati tatkala ternoda. Seingat ketika wajah ini tak nyaman setiap kali banyak debu melekat. Astaghfirullah wa’atuubu ilaih…

Gaw

Saturday, December 09, 2006

Dialog Dua Diri

Pengalaman pahit masa lalu, sakit hati yang tak kunjung hilang, atau rasa kecewa yang tak pernah bisa kompromi untuk menyingkir dari bilik hati, senantiasa menjadi beban dalam hidup ini. Bahkan, tak jarang seseorang membawa-bawa beban ini sepanjang hidupnya, kemana pun ia pergi, saat terpejam terlebih di saat sadar. Bayang-bayang orang-orang dari masa lalu yang pernah membuat hati tertusuk, tak pernah lenyap. Padahal segala upaya sudah dicoba untuk melupakannya, tetapi masih saja terus menggerayangi dan begitu dekat.

Benarkah? benarkah telah benar-benar ingin melupakannya? Sudahkah kita melakukan cara yang benar untuk mengusir bayang-bayang masa lalu, sakit hati dan kekecewaan yang tak pernah bisa terlupakan? Jangan-jangan kita hanya berteriak "pergiii hai sakit hati..." Tetapi sesungguhnya kita tak mengizinkannya pergi. Kok bisa? ya karena yang meminta pergi hanya mulut ini, dan bukan hati.

Tahukah kawan, sakit hati, kecewa, perasaan bersalah, iri, kesal, benci, dan lain sebagainya itu muncul lantaran ego menstimulus otak ini untuk kemudian menyimpulkan bahwa keadaan ini sebagai masalah. Persepsi yang muncul setelah dipengaruhi ego jelas-jelas menyatakan, bahwa keadaan yang tengah menimpa diri kita adalah masalah besar. Sehingga terus menerus pikiran ini terfokus pada dua hal; menghadapi masalah dan orang yang kita anggap telah menimbulkan masalah tersebut.

Padahal, boleh jadi kesimpulan yang diambil oleh otak -setelah dipengaruhi ego- itu hasil pembelajaran alam bawah sadar kita, berdasarkan pengetahuan yang keliru, kebiasaan lama yang salah namun terus menerus diulangi, lingkungan yang salah, bahkan bentuk kewajaran publik dan sejarah. Misalnya, kita kerap menganggap sesuatu pantas dikerjakan lantaran banyak orang mengerjakannya, atau melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman dan kebiasaan. Boleh jadi kebiasaan lama itu tak tepat, namun karena sudah biasa dan terus menerus dilakukan, maka terciptalah sebuah pembenaran. Dan seringkali kondisi semacam ini dijadikan referensi untuk mengambil kesimpulan, bahkan keputusan. Termasuk kesimpulan yang diambil oleh otak ini untuk mengatakan suatu keadaan itu sebuah masalah atau bukan.

Sadarilah, kita tidak sendirian menjalani kehidupan. Dalam diri juga masih terdapat sesosok yang bernama 'hati nurani' Jadi, lakukanlah dialog dua diri, Antara 'AKU' dan hati nurani. Aku yang dimaksud disini lebih diartikan sebagai ego, dan ego inilah yang sering mengklaim paling memiliki diri kita. Padahal, hati nurani jauh lebih dalam bersemayam dalam diri dan semestinya hati nuranilah yang lebih dominan menjalani hidup kita. Atau lebih tepatnya, kita mengizinkan hati nurani mengambil peran lebih dalam diri kita, untuk merencana, mengambil sikap, membuat keputusan, dan menentukan kemana arah akhir hidup kita.

Masalahnya, selama ini ego-lah yang terus menerus mendominasi diri. Hati nurani biasanya lebih berperan layaknya pahlawan kesiangan yang muncul belakangan, tepat satu langkah di belakang penyesalan. Coba ingat lagi, biasanya kebenaran dan kesadaran dari nurani baru muncul setelah kita menyesal telah melakukan sebuah kesalahan. Dimana ego pada saat itu? ia bersembunyi, menciut dan malu menampakkan dirinya. Setelah itu, barulah mulut ini berkata, "bodohnya..."

Melakukan dialog dua diri, antara ego dan hati nurani tidak sedang bicara kalah atau menang. Sebab, seringkali hati nurani begitu mudah terkalahkan. Karena ego tidak datang sendirian, ia seringkali ditemani oleh kawan-kawannya antara lain, nafsu, ambisi, keserakahan, dan ketidakpuasan. Karenanya, dialognya hanya berupa penyelarasan mana yang lebih baik untuk diri ini.

Tetapi, sungguh sulit nian melakukannya. Sekali lagi, bahkan barusan saja hati nurani ini terkalahkan oleh ego. Saat seperti ini -dan kita akan selalu menemui kondisi ini- yang kita butuhkan adalah Allah. Agar Dia senantiasa menunjukkan jalan yang lurus, jalan yang pernah ditunjukkan kepada orang-orang yang telah diberi-Nya nikmat dan bukan jalan orang-orang yang sesat.

Gaw

Monday, December 04, 2006

Dua Tahun Tsunami Aceh. Apa Kabar Recovery Aceh?

Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah istimewa Nangroe Aceh Darussalam berencana menghentikan bantuan berupa sembako kepada para pengungsi korban tsunami Aceh. Rencananya, penghentian bantuan itu akan diberlakukan awal tahun 2007. Kabar tentang rencana pemerintah tersebut membuat resah para pengungsi tsunami di beberapa wilayah seperti Meulaboh, Lhok Nga, dan juga Banda Aceh.

Dua tahun sudah tsunami Aceh berlalu, namun sedikitnya 150 ribu pengungsi masih hidup dalam kekurangan. Bahkan sebagian masih tinggal di tenda darurat atau rumah darurat seadanya. Selama dua tahun ini pula, para pengungsi mendapatkan bantuan pangan berupa sembako dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Alhasil, boleh dibilang selama rentang waktu tersebut para pengungsi itu berada dalam posisi lemah yang selalu menerima.

Wajar jika kemudian rencana penghentian bantuan sembako bagi para pengungsi itu menimbulkan keresahan. Karena secara tidak langsung bantuan instan itu telah membentuk satu kondisi di masyarakat pengungsi, bahwa para pengungsi sudah terbiasa menjadi masyarakat penerima tanpa perlu berusaha mencarinya. Memberi bantuan langsung tanpa pertimbangan kemandirian, tentu sangat berbahaya bagi para pengungsi. Ironisnya, praktek ini sudah berlangsung selama hampir dua tahun di Aceh.

Masyarakat Indonesia, termasuk warga Aceh, adalah masyarakat yang dikenal mandiri. Jauh sebelum tsunami Aceh memporak-porandakan negeri makmur itu, rakyat Aceh sangat mandiri dan pantang meminta. Namun tsunami Desember 2004 silam tak hanya menghancurkan negeri, sekaligus meluluhlantakkan tatanah sosial dan budaya rakyat Aceh. Seketika mereka menjadi peminta-minta lantaran kondisi mereka yang sangat memprihatinkan.

Yang membuat kondisi masyarakat Aceh lebih menyedihkan, mungkin karena tidak tepatnya konsep recovery yang diterapkan bagi para pengungsi. Banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, dalam negeri dan luar negeri di Aceh sejak pasca tsunami tidak membuat Aceh segera bangkit. Bantuan yang mengalir tak henti pun tak memberikan banyak perubahan berarti. Boleh jadi lantaran pemerintah tidak menetapkan standard recovery kepada seluruh komponen peduli di Aceh tersebut, sehingga banyak bentuk bantuan dan recovery yang tidak sejalan dengan budaya dan tatanan sosial masyarakat Aceh.

Yang paling mudah dilihat adalah cara pemberian bantuan secara instan tanpa pendampingan, padahal masyarakat Aceh sangat mungkin diberdayakan agar mereka bisa bangkit dengan tangan dan kaki mereka sendiri. Satu tahun pasca Aceh, sekitar awal Januari 2006, orang di luar Aceh akan sedikit tercengang dengan cara anak-anak Aceh menyambut orang non Aceh yang mengunjungi mereka dengan kalimat, "Tidak ada uang jangan datang". Bagaimana mungkin Aceh yang dikenal mandiri, kemudian berubah menjadi peminta-minta? adakah yang salah dalam praktek pemberian bantuan selama ini?

Kini, ketika rencana penghentian bantuan pangan digulirkan oleh pemerintah pusat dan daerah, keresahan menyeruak di sebagian besar pengungsi. Sanggupkah mereka bertahan tanpa bantuan itu, lantaran selama ini mereka sudah terlena dengan cara-cara pemberian bantuan langsung dan instan. Padahal, selama ini tak sedikit dari mereka yang tidak mendapatkan pendampingan untuk bangkit kembali. Setelah dua tahun dalam masa "tangan di bawah", kini mereka harus bersiap menghadapi keadaan baru, hidup tanpa bantuan.

----

Kilas balik Aceh pasca tsunami Aceh, ACT - Aksi Cepat Tanggap melakukan recovery di Aceh, tepatnya di Sigli, Kabupaten Pidie dengan melakukan beberapa program masterpiece seperti WAKALA (Wanita Kepala Keluarga). Sebuah program untuk para wanita janda korban tsunami agar bisa mandiri meski tak lagi ada kepala keluarga. Program berupa bimbingan dan pendampingan dengan mengajari mereka berbagai keterampilan seperti konveksi dan anyaman tikar. Para wanita janda yang mengikuti program WAKALA pun semakin bersemangat dengan berdirinya Balai Wakala, tempat mereka melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Alhasil, hasil kerajinan mereka yang terbuat dari pandan antara lain berupa anyaman tikar, sudah diekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Australia.

Tercatat, Aktris Zaskia Adya Mecca selaku Duta Kemanusiaan ACT serta Sahrul Gunawan pernah mengunjungi Balai Wakala ini pada Desember 2005. Satu tahun setelah bencana tsunami. Sebelumnya, Cut Keke pun pernah mengunjungi dan melihat langsung program Wakala ini pada April 2005.

Selain Balai Wakala, ACT juga melakukan recovery untuk para nelayan dengan membantu Balai Nelayan. Dengan bantuan donatur, para nelayan sudah kembali menjalani pekerjaannya melaut hanya beberapa minggu setelah tsunami. Dana bantuan donatur ACT diberdayakan untuk membuat perahu baru atau memperbaiki perahu-perahu yang rusak. Yang menarik, proses pembuatan dan perbaikan perahu dilakukan sendiri oleh para nelayan tersebut. Ini salah satu keunggulan program recovery ACT, yakni dengan memberdayakan para korban tsunami untuk bangkit dengan tangan mereka sendiri. Konsep kemandirian selalu dikedepankan dalam setiap program recovery.

Banyak lagi program recovery di Aceh, antara lain Children Care Program, berupa bantuan beasiswa bagi anak-anak korban tsunami, terutama anak-anak yatim yang orangtuanya meninggal karena bencana. Program ini sangat terkait dengan Balai Wakala, mengingat pemberdayaan wanita janda korban tsunami juga berkenaan dengan pemberdayaan ekonomi para janda tersebut agar juga bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Mereka yang sudah mandiri, berarti hanya diberikan bimbingan, sementara bantuan bisa diluaskan kepada pihak lainnya.

ACT memang tidak sendiri di Aceh. Bersama para donatur, ACT masih terus melakukan program recovery hingga hari ini. Namun, semakin lama semakin berkurang bantuan yang datang khususnya untuk program recovery Aceh. Semoga, masyrakat luar Aceh belum melupakan saudara-saudara mereka, para korban tsunami Aceh. (Gaw)

Friday, December 01, 2006

Siapa yang Menikmati Qurban Anda?

Zaid bin Arqam ra berkata: suatu saat beberapa sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, untuk apa kita berqurban?”. “Untuk mengikuti sunnah Bapak kamu Ibrahim”, jawab Nabi Saw. “Mengapa kita harus mengikuti sunnah ini?”, tanya para sahabat. “Setiap helai rambut dari hewan qurban akan menjadi amal kebaikan”, kata Nabi Saw. (HR. Ibn Majah dan Ahmad).

Menurut ulama fiqh, ibadah dengan penyembelihan hewan qurban merupakan amalan yang paling utama pada Hari Raya Idul Adha. Amalan dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Allah Swt atas segala karunia yang diberikan, menghapus segala dosa yang dilakukan, di samping untuk membuka kesempatan kepada kaum lemah (dhuafa) menikmati karunia yang ada.

Jika setiap helai rambut dari hewan qurban akan menjadi amal kebaikan, maka upayakanlah manfaat hewan qurban kita dapat dirasakan oleh orang-orang yang lebih tepat mendapatkannya. Coba perhatikan di setiap kali penyelenggaraan qurban, terutama pada saat distribusi daging, masih ada orang-orang yang sebenarnya tak lebih berhak mendapatkannya namun tetap masuk dalam daftar penerima. Sayang sekali, karena kondisi yang demikian selalu terulang-ulang setiap tahun. Berapa banyak kaum lemah yang semestinya masuk dalam daftar penerima, namun hanya memandang kosong harapan mereka untuk bisa menikmati daging qurban. Sementara itu, berapa banyak pula orang-orang yang tak bosan-bosannya terus menerus menjadi penikmat hewan qurban, padahal di tempat lain masih banyak yang lebih berhak darinya.

Bahwa hakikat qurban merupakan wujud pengorbanan seseorang untuk menunjukkan nilai cinta kepada Allah yang tak pernah terbiaskan oleh cintanya kepada harta yang dimilikinya, maka seharusnya arah cinta itu tetap terjaga dengan memperhatikan kepada siapa hewan qurban kita terbagi. Setiap pequrban boleh menentukan siapa saja yang bakal menikmati hewan qurbannya.

Pequrban, adalah mereka yang memiliki kelebihan harta, yang dengan hartanya itu ia bermaksud berbagi nikmat kepada orang lain. Karenanya ia pun boleh mengarahkan sesiapa yang boleh menikmati daging qurbannya. Fakir miskin, anak-anak yatim, orang-orang yang masuk dalam kategori dhuafa (lemah), juga mereka yang tengah berada dalam kesulitan, semestinya lebih menjadi perhatian para pequrban. Dengan demikian, niat berbagi nikmat kepada orang-orang yang lebih berhak tetap terjaga.

Nyatanya, masih banyak pequrban yang tak terlalu perhatian siapa saja yang telah menikmati hewan qurbannya. Tidak sedikit yang peduli, kepada siapa seharusnya daging qurbannya terdistribusi. Kini, saatnya pequrban lebih cermat dalam berqurban, agar niat serta tujuan beribadahnya terjaga dengan baik. Sebab, berqurban tak semata mengikuti sunnah Nabi Ibrahim, melainkan juga wujud cinta kepada sesama. Maka, arahkanlah cinta itu kepada yang lebih tepat menerimanya.

-------

Qurban for Survivor, berbagi nikmat qurban
Ketentuan harga hewan Qurban for Survivor:

Kambing/Domba Rp. 725.000,-/ekor
Sapi Rp. 5.525.000,-/ekor

Rekening Qurban for Survivor :

Bank Central Asia Acc. No. 676 030 3133 (Swift Code: Cenaidja)
Bank Syariah Mandiri Acc. No. 004 011 9999
Bank Mandiri Acc. No. 128 000 4555 808
Bank Muamalat Indonesia Acc. No. 304 0022 915
Bank Negara Indonesia Syariah Acc. No. 009 611 0239

(setiap transfer beri keterangan : "Qurban")

Info lebih lanjut:
Bayu Gawtama (Communication) - 021-741 4482 ext 121
Email : Qurban@aksicepattanggap.com

Thursday, November 23, 2006

Bunda Hajar, Sang Guru Cinta

Ber-qurban, maknanya tak jauh berbeda dengan berkorban. Setiap kita tentu pernah dan sering berkorban untuk segala kepentingan. Misalnya, untuk bisa meraih predikat mahasiswa teladan dengan indeks prestasi tertinggi, seorang mahasiswa rela mengorbankan waktu 'santai'nya dan diganti dengan hari-hari sibuk berkutat dengan buku. Seorang suami berkorban membanting tulang siang dan malam demi sebungkus nasi yang dibawa pulang untuk anak dan isterinya. Masih banyak lagi contoh pengorbanan yang dilakoni setiap orang.

Beragam pula alasan orang melakukan pengorbanan tersebut. Harga diri, keyakinan, kepuasan, dan yang paling banyak mendasari sebuah pengorbanan adalah cinta dan kasih sayang. Semua alasan itu menjadi penyemangat seseorang untuk berkorban, apa pun bentuknya. Apa pun akan dilakukannya untuk meraih apa yang diinginkannya.

Adalah Siti Hajar, ibunda Ismail, salah satu guru cinta terbaik sepanjang masa. Ketika Ismail masih dalam susuannya, Ibrahim alaihi salam mengajak Hajar dan Ismail berpindah dari Palestina ke Makkah yang saat itu tandus dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kemudian keduanya ditempatkan di suatu tempat, yang sekarang dekat dengan Ka'bah, dan saat itu tidak ada seorang pun yang menetap di tempat tersebut. Siti Hajar dan Ismail hanya berdua, dengan dibekali satu kantong berisi kurma dan sekantong air. Sementara Ibrahim bergegas kembali ke Palestina.

"Wahai Ibrahim, mengapa meninggalkan kami berdua di negeri yang tandus dan tak ada teman seorang pun?" tanya Siti Hajar. Nabi Ibrahim tidak menoleh, pun tidak menjawab. Siti Hajar terus membuntuti langkah Ibrahim dan mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Ibrahim tetap tidak menoleh dan membungkam.

"Apakah Allah menyuruhmu berbuat demikian?" tanya Siti Hajar. "Ya", jawab Nabi Ibrahim singkat.
"Kalau begitu, kami yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan kami berdua," yakin Siti Hajar. Ibrahim pun bergegas meninggalkan isteri dan anak tercintanya, tanpa memberi bekal yang lebih untuk hidup barang sehari atau dua hari saja.

Atas nama cinta, kekuatan, ketabahan dan keyakinannya akan pertolongan Allah, Siti Hajar membesarkan dan mendidik Ismail yang kelak menjadi anak yang baik, bijaksana dan sabar. Setelah Ismail beranjak remaja, sang Ayah pernah dua kali menjenguk isteri dan anaknya.

Dalam Surat Ash Shaffat ayat 104-107, bahwa ibadah qurban berawal dari sebuah mimpi Nabi Ibrahim alaihi salam yang menggambarkan dirinya menyembelih putra tercintanya, Ismail sebagai bentuk persembahan dan bukti cinta kepada Allah SWT. Ibrahim sangat cemas, tetapi sang putra justru sangat bersemangat dan ikhlas bersedia menjadi qurban untuk disembelih. Meski pada akhirnya Allah tidak memperkenankan pengorbanan manusia, dan Ismail diganti dengan seekor domba yang dibawa langsung oleh malaikat Jibril.

Dialog tentang cinta dan ketabahan pengorbanan Ismail yang direkam surat Ash Shaffat tersebut, tak lepas dari peran ajaran cinta dari Bunda Hajar. Bukan Ibrahim yang mengajarkan tentang cinta dan pengorbanan terhadap Ismail, melainkan sang bunda, karena Ibrahim tak bersama mereka sepanjang masa anak-anak hingga masa remaja putranya.

Kini, masih adakah semangat cinta dan pengorbanan itu menjadi milik kita? Sudahkah kita menjadikan Bunda Hajar guru cinta, yang mengajarkan makna cinta sebenarnya. Akankah anak-anak kita memiliki ruang cinta di jiwanya seluas ruang yang dimiliki Ismail? yang menjadikan pengorbanan adalah bentuk paling nyata menunjukkan cinta ketimbang untaian sejuta kata?

Terima kasih Bunda Hajar, atas pengajaran cintamu.

Monday, November 20, 2006

School of Life, Chapter 2: Berjiwa Besar

Seorang anak mendatangi Ayahnya dan bertanya, bagaimana Ayahnya bisa bersikap tenang dan selalu tersenyum padahal begitu banyak orang yang sering membuatnya kecewa.

Sang Ayah pun tersenyum dan menunjukkan sebuah batu seukuran kepalan tangan. “Kantongi sebuah batu sebesar ini setiap kali kamu bertemu dengan orang yang mengecewakanmu. Kembali lagi ke Ayah dalam beberapa hari” pinta sang Ayah.

Kemudian, baru setengah hari si anak berjalan ia sudah mengantongi beberapa batu. Satu hari terlalui, semakin banyak batu yang membebani anak tersebut dan memberatkan langkahnya. Dengan tertatih ia mendatangi Ayahnya dan berkata, “berat sekali Ayah, saya tak sanggup melakukannya. Ini pun baru satu hari, bagaimana dengan esok dan hari-hari selanjutnya?”

Lagi-lagi Ayahnya tersenyum dan membasuh peluh di kening anaknya. “Begitulah yang kita rasakan jika setiap hari harus menanam sakit hati, iri, dengki, dan berbagai perasaan menderita lainnya di dalam hati. Berat nak, berat rasanya. Apalagi jika harus terus menerus membawa beban berat itu sepanjang hidup kita…”

Kini, giliran sang anak yang tersenyum. Tentu setelah ia membuang semua batu yang seharian membebani pundaknya.

-------

Ada orang yang betah bertahun-tahun bermusuhan, ada lagi yang mengaku sulit memaafkan orang yang telah pernah menyakitinya. Selain itu, ada orang-orang yang tak pernah dalam sehari tak iri, tak dengki terhadap tetangga, sahabat, atau bahkan saudaranya sendiri.

Sulitkah memaafkan? bukankah hidup akan lebih ringan hanya jika tak banyak yang membebani ruang jiwa ini?

School of Life, Chapter 2: Berjiwa Besar
MP Book Point, Jl. Puri Mutiara Raya No. 72, Jakarta Selatan
Minggu, 10 Desember 2006, pukul 13.30 WIB s/d 16.30 WIB

Persyaratan:
1. Register ke: school.of.life@hotmail.com , peserta hanya 20 orang/kelas
2. infak Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah), transfer ke rek. 1260004272786 Bank Mandiri atas nama Ahmad Bayu Gautama (bukti transfer attach ke email : school.of.life@hotmail.com)
3. Registrasi paling lambat tanggal 6 Desember 2006.

Info lebih lanjut:
Andhika P Swasono (02168545401)
http://schooloflife.multiply.com

Tuesday, November 14, 2006

Kisah Etty Karyati tentang School of Life, Chapter 1: Mind Power

Assalaamu'alaikum wr.wb. Rekan-rekan member SOL yang saya cintai, Pertemuan kita selama kurang lebih 3 jam kemarin memang terasa singkat tapi saya yakin ada hal-hal yang dapat kita petik dan bawa pulang dari perjumpaan pertama kita.

Bagi saya, idea tentang orbit dan cakrawala merupakan hal baru yang tidak saya sadari sebelumnya. Bisa dikatakan terlalu banyak cakrawala dalam kehidupan saya sehari-hari dan saya sangat kurang memaksimalkan orbit saya.

Hari ini Alhamdulillah, saya telah berusaha memperbaiki satu hal yang menjadi orbit saya ( yang kemarin saya tulis dalam catatan saya, yaitu hadir di Majelis Taklim ). Lebih dari 2 tahun sudah saya meninggalkan dunia kantoran, karena pekerjaan dapat saya lakukan dari rumah. Tapi tak pernah ada sedikitpun keinginan untuk datang ke majelis taklim ibu-ibu yang cuma berjarak 100 meter dari rumah saya. Ibu saya, yang tergolong paling aktif mengaji di kampung, berulang kali mengajak saya untuk datang ke majelis taklim tapi saya selalu beralasan mau pergi kesana, mau pergi kesitu, banyak kerjaanlah dsb-dsbnya. Alhasil selama 2 tahun sejak berhenti kerja kantoran saya belum pernah datang ke pengajian tsb. Padahal saya sudah mengoleksi banyak baju-baju muslim, jilbab dan kerudung pun sudah memenuhi lemari saya, tetap saja belum ada keinginan untuk datang ke majelis taklim. Tapi pagi ini, dengan membaca Bismillah, saya datang berdua dengan ibu ke pengajian kebetulan hari ini adalah acara pembukaan kembali majelis taklim setelah vakum selama bulan ramadhan dan juga acara halal bi halal. Alhamdulillah saya disambut dengan gembira oleh semua yang hadir, beberapa diantaranya adalah teman-teman sepengajian saya sewaktu kecil kira-kira 25 tahun yang lalu, selebihnya adalah ibu-ibu lanjut usia dan kerabat dekat keluarga saya. Ketika berada di pengajian baru saya sadar mestinya saya sudah datang kesini setidaknya sejak 2 tahun yang lalu.... Hari ini saya bersyukur atas rahmat yang telah diberikan Allah kepada saya, atas penerimaan yang tulus dari Ibu-Ibu dan teman-teman saya di majelis taklim tsb. Insya Allah besok pagi saya akan datang kembali di Majelis Taklim yang lain dalam acara yang sama.

Masih banyak orbit-orbit lain yang harus saya jalankan, perbaiki dan maksimalkan. Saya menyadari semuanya pastilah memerlukan proses. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-NYA kepada kita semua. Amiin.

Wassalaam,
etty
salah seorang peserta School of Life, Chapter 1; Mind Power

kisah lainnya bisa didapat di http://schooloflife.multiply.com

Monday, November 13, 2006

Kisah Danie tentang School of Life

Bismillahirrahmaanirrahiim

Ya Allah, aku mohon Engkau menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin karena aku ingin menjadi hamba-Mu yang beruntung dan meraih kemenangan. Dan yang penting buka hati ini selalu berbuat baik, tidak hanya niat tapi amal nyata, Insya Allah.

Alhamdulillah hari ini aku diizinkan Allah untuk datang ke acara pelatihan Mind Power yang diadakan oleh School of Life yang dimotori Mas Gaw (Bayu Gautama) and friends. Padahal paginya, kepalaku sakit, perutku nggak enak, kenapa ya?, tapi aku cepat-cepat berdzikir: Yaa Syifa Yaa Syafii (Yaa Maha Mengobati, Yaa Maha Menyembuhkan).

Jam 08.30 aku berangkat dengan Aji. Sampai di lokasi, terlihat oleh Aji peserta yang tidak seumuran, dan sempat ngambeg di mobil, tapi aku bilang, lihat dulu, pasti ada manfaatnya. Maklum yang ikut usianya diatas 20 tahun, dan sudah bekerja.

Selama acara berlangsung, Aji memang tampak tidak nyaman, tapi aku mohon Allah untuk membuat dia tetap duduk dan mendengarkan, karena aku yakin, pasti ada yang nempel di pikirannya, walau hanya beberapa persen.

Alhamdulillah acara 3 jam berlalu dengan sangat cepat, aku banyak mendapatkan ilmu dari sharing para peserta, dan Insya Allah akan aku tulis di edisi rahmat, aku mendapat teman baru yang baik dimana aku bisa belajar, karena usia bukan jaminan untuk mengetahui semua ilmu, dan aku bersyukur Aji bertemu dengan salah seorang team SOL yang jago design grafis, yang cocok sama bidang yang sedang digeluti Aji (hari-hari di depan komputer bikin design).

Pas pulang aku bilang ke Aji, bahwa jangan berpersepsi jelek dulu kalau ikut acara yang terkadang pesertanya tidak seumur, tapi ambil manfaat dari orang-orang yang nggak seusia dengan kita, baik lebih tua maupun lebih muda.

Insya Allah, Aji mengerti dan dia nyaman setelah aku jelaskan, karena di dalam pelatihan ada istilah yang bisa membuat aku untuk mengingatkan Aji setiap pagi, afirmasi, orbit dan cakrawala.

Terima kasih untuk team School of Life, Mas Bayu Gautama, Mas Andhika, semoga kita dapat berbagi di kesempatan berikutnya, Power of Sharing atau Miracle of Sharing.

Miracle of Sharing, it is beautiful word, it is really meaningful, only for those who want to get the lessons from others.

Wass,
Danie

catatan: Danie, nama lengkapnya, Ismiradani Setiawan, adalah satu dari 17 peserta dalam School of Life, chapter 1: Mind Power

Wednesday, November 08, 2006

Mimpi Konsumen: Murah, Cepat, dan Bagus

Hujan deras membasahi bumi, aroma tanah yang diguyur air langit menyeruak seiring hembusan angin dingin yang lumayan kencang menerpa tubuh. Udara dingin memaksa mata ini lirik kanan kiri mencari kehangatan. Kemudian, tatapan pun tertuju ke sebuah kedai pisang goreng. Hmm, pasti nikmat sekali dingin-dingin menyantap pisang goreng panas, cocok untuk menghangatkan tubuh.

Begitu mendekati, "4000 rupiah?" Seorang teman langsung terbelalak dan berbalik arah, "Masak hanya sekadar pisang goreng saja semahal itu?" gerutunya.

Dia mungkin belum tahu tentang pisang goreng yang terkenal itu, meski pun mahal tapi rasanya memang sangat lezat. Siang itu, ia memilih untuk menghentikan tukang gorengan yang melintas di depannya. Namun, "Ah, pisang goreng apa nih? Dingin, tidak enak pula..."

***

Nuning bermimpi memakai pakaian baru di hari lebaran lalu. Tetapi mimpi itu tetaplah menjadi mimpi ketika baju baru yang dipesannya tidak selesai dijahit Mang Ujang, penjahit langganannya. Kain yang diserahkan Nuning sepekan pertama bulan ramadhan hingga sepekan setelah hari raya Idul Fitri tetap masih berbentuk selembar kain. Alasan Nuning menitipkan jahitannya ke Mang Ujang langganannya itu, selain bagus dan rapih jahitannya, juga murah.

Murah, bagus, tapi lama? Ya, bahkan Nuning tak kesampaian memakai baju baru yang diidamkannya hanya karena ingin mencari yang murah.

***

Banyak cerita yang bisa dihimpun berkenaan dengan nasib konsumen di negeri ini. Konon, semua konsumen memiliki tiga pilihan untuk segala hal yang dibeli; Murah, Cepat, dan Bagus. Tetapi, dari tiga pilihan itu hanya dua yang bisa diperoleh. Misalnya, mau bagus dan cepat, berarti harganya tidak murah. Ingin yang murah dan cepat, pasti tidak bagus. Ada yang bagus dan murah, biasanya pengerjaannya lambat.

Seperti teman yang ingin makan pisang goreng hangat dan nikmat tadi, harga satuannya empat ribu rupiah. Ketika dia akhirnya memilih pisang goreng yang seribu tiga, rasanya dingin dan tidak enak.

Seorang teman lainnya, pagi-pagi sudah menggerutu dan ngomel-ngomel. Ternyata, kemarin sore ia menumpang pesawat dengan pelayanan yang buruk. "Delay-nya saja dua jam, landingnya buruk, pramugarinya tidak ramah..." Kenapa pilih maskapai penerbangan tersebut? "Ya, karena murah..."

Begitulah teman...

Tuesday, November 07, 2006

Kulit Buah Pun Jadi Rebutan

Entah untuk keberapa kalinya diri ini mengurut dada. Miris rasanya ketika Sabtu lalu kembali mata ini menangkap pemandangan memilukan. Empat anak-anak berusia rata-rata lima tahun membuat mata ini menitikkan bulir bening seraya berucap, "Ya Allah, benarkah hamba berada di negeri yang kaya?"

Sabtu lalu, anak-anak meminta dibelikan buah segar yang biasa dijual keliling. Seperti diketahui, beberapa buah tersedia seperti semangka, melon, nanas, dan pepaya sudah dipotong panjang-panjang dan dibungkus dalam plastik. Jika ada yang membeli, buah itu dipotong-potong kecil dan dipisahkan dari kulitnya. Segar, dingin, dan manis, tentu saja anak-anak sangat menyukai buah tersebut. Saya yang tak ikut menikmatinya pun seolah bisa ikut merasakan kesegarannya hanya dengan melihat lahapnya anak-anak menyantap buah.

Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, setelah secara tak sengaja mata ini menangkap empat anak kecil berebut kulit buah yang telah dipisahkan, yang buahnya disantap oleh anak-anak saya. Setiap kali ada pembeli, mereka berkerumun di samping penjual buah dengan tangan siaga menangkap kulit buah yang akan dibuang. Berhasil mendapatkan kulit buah, maka mulut dan gigi mereka segera menggerus kulit yang masih menyisakan sisa tipis buah itu. Setelah itu, berganti lidah mereka menjilatinya. "Ya Allah... "

Tasya, Ricky, Ryan dan Erfin. Jangan tertipu dengan nama-nama bagus mereka. Anak-anak berusia lima tahun itu tidak sekolah, pakaian mereka pun lusuh. Entah kapan terakhir mereka makan buah-buahan, atau jangan-jangan hari itu mereka belum sarapan dan makan siang sehingga keempatnya harus berebut kulit buah dan menjilatinya.

Tak tega terus menerus menyaksikan pemandangan seperti itu. Saya minta penjual buah memberikan beberapa buah segar kepada anak-anak tersebut, agar mereka tak hanya menggerogoti kulitnya saja. Nikmat sekali melihat mereka bahagia, walau hanya sepotong buah yang entah sudah berapa lama tak mereka nikmati.

Empat anak-anak berusia lima tahun itu, bukan saya temui di Bangladesh, salah satu negeri paling miskin di dunia. Bukan juga di Ethiopia atau beberapa negara di benua Afrika lainnya yang selama ini terkenal dengan kelaparannya. Tetapi, mereka ada di Serpong, sebuah kota kecil di Provinsi Banten, hanya beberapa puluh kilometer dari pusat pemerintahan negeri ini.

Bayu Gawtama

Friday, November 03, 2006

Tentang School of Life

“Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru”
Orang bijak bilang, sering kali masalah timbul dari diri sendiri. Karenanya, sesungguhnya yang paling mengerti bagaimana menyelesaikannya, adalah si pembuat masalah itu sendiri. Namun, kadang seseorang membutukan orang lainnya untuk menyelesaikan masalahnya. Bukan untuk meminta tolong, melainkan untuk sama-sama belajar kepada orang lain, mengingat hampir setiap orang memiliki masalah yang sama, hanya waktu, bentuk, tempat, dan tingkatannya saja yang berbeda. Atas dasar itulah, School of Life diselenggarakan. Anda berminat? Bergabunglah bersama kami di sekolah yang menerapkan sistem andragogi plus (pendidikan untuk orang dewasa yang mendewasakan)

Tentang School of Life
School of Life –sekolah kehidupan- adalah sebuah program yang menawarkan ruang bagi masyarakat yang membutuhkannya, ruang untuk berbagi, tempat untuk belajar dari orang lain, dan ruang yang terbuka luas tempat Anda mencurahkan segala yang selama ini terpendam. Jika selama ini Anda tak menemukan satu ruang dan kesempatan untuk didengarkan, School of Life-lah ruang yang kami sediakan untuk Anda.

School of Life menyajikan materi yang sangat luas, tak butuh kurikulum, modul atau pun buku panduan. Karena semuanya sudah disediakan oleh kehidupan ini, kita hanya tinggal memilihnya saja. Sebab itu, tidak ada materi yang baku di setiap chapter, para peserta lah yang menentukan materinya sesuai dengan kebutuhan mereka. Jelas karena kami yakin, para peserta sendiri yang lebih tahu kebutuhan belajar mereka.

School of Life tidak punya ruang belajar dan gedung sekolah. Sesuai dengan motto kami, “Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru”. Jadi, ruang belajar bisa dimana saja, sesuai kesepakatan peserta. Dimana peserta merasa nyaman untuk belajar bersama, disitu kita jadikan ruang belajar. Dimungkinkan selalu berubah lokasi belajarnya, dan sangat dimungkinkan untuk dibuka di banyak tempat dan daerah, termasuk di luar kota dan dan luar negeri.

• Sekolah yang tidak ada alumninya, sebab belajar tentang kehidupan hanya akan berakhir bersamaan dengan saat kita mengakhiri kehidupan ini
• Semua peserta adalah guru, begitu pun semua peserta adalah muridnya
• Tidak ada gedung sekolah, ruang kelas tetap, seragam, apalagi peraturan.
• Persaratannya hanya satu, yakni: tidak ada persaratan
• Tidak ada kurikulum, modul, kertas kerja, dan buku panduan, karena semuanya sudah tersedia oleh kehidupan ini. Peserta cukup mempersiapkan untuk berbagi (share) kepada sesama tentang pelajaran yang akan dibahas.
• Pelajaran yang didapat dari sekolah ini semuanya tentang kehidupan sehari-hari
• Tujuan dari sekolah ini hanya satu; untuk hidup lebih baik

Metode belajar
• Dynamic Group
• Brainstorming and share story
• Simulation and role play

Kelas School of Life
• Kelas akan terbagi-bagi menjadi 3 kategori; kelas umum (reguler), kelas remaja (SOL for Teens) dan kelas anak-anak (SOL for Children). (sementara baru kelas umum yang terselenggara)
• 20 peserta perkelas, demi terselenggaranya dinamika kelas yang efektif
• 20 peserta berikutnya akan dibuat dalam kelas berikutnya, dan seterusnya
• Dimungkinkan membuka kelas baru di berbagai daerah dan luar kota, termasuk luar negeri. Misalnya, di Denpasar terdapat 40 peminat, maka akan dibuka dua kelas baru.

Pengelola kelas School of Life
1. Bayu Gawtama, penggagas, fasiliator, penulis buku School of Life
2. Bobby Herwibowo, Inspirator
3. Tim Manajemen School of Life (SOL)

School of Life, for better life
"Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru"
info: school.of.life@hotmail.com
0852 190 68581 - 0888 190 2214

Thursday, November 02, 2006

Catatan Lebaran III : Khutbah Id, Diantara Pesan Moral dan Belah Ketupat

Ada yang menarik jika kita mau memperhatikan pelaksanaan sholad Id. Di banyak tempat, seiring dengan bertahun-tahun kita mengikuti sholat Id di berbagai tempat maupun di tempat yang itu-itu saja, cobalah perhatikan satu acara inti dari rangkaian sholat Idul Fitri. Yang dimaksud yakni pada saat khutbah Id, sesaat seusai sholat Id dilaksanakan.

Ketika khatib naik mimbar, seketika itu pula sebagian kecil jamaah meninggalkan lapangan/tempat pelaksanaan sholat. Ada sebagian ibu-ibu beralasan menyiapkan makanan bagi anggota keluarganya, agar jika sepulang mereka dari sholat Id, makanan sudah tersaji. Entah apa pun alasannya, sangat menarik untuk mengkaji hal ini lebih lanjut.

Bisa dibayangkan perasaan semua khatib yang naik mimbar usai sholat Id, itu pun andai mereka memahami. Tapi sebagai seorang yang senantiasa berhadapan dengan khalayak manusia, tentu saja para khatib ini tahu persis semua masalah yang kerap terjadi pada saat pesan moral dan ceramah tengah disampaikan. Salah satunya, ditinggalkan jamaah. Bedanya, jika di moment yang lain jamaah meninggalkan arena tabligh lantaran beberapa sebab, misalnya, penceramahnya tidak bagus, materinya kurang mengena, atau acaranya terlalu malam dan lain sebagainya. Namun semoga bisa disimpulkan, jamaah sholat Id yang meninggalkan lapangan sesaat ketika sang khatib baru saja berucap, “Assalaamu’alaikum…” mungkin karena mereka menganggap khutbah Idul Fitri tak lebih penting dari ketupat dan kue lebaran yang menanti di rumah.

Mari kita bayangkan sejenak. Khatib sholat Id harus berdiri diantara dua hal penting, kepentingan untuk menyampaikan pesan moralnya dan kepentingan para jamaah yang berharap khatib tak berlama-lama menyampaikan ceramahnya, lantaran mereka ingin segera ‘berlebaran’. Singkatnya, khatib berdiri diantara pesan moral dan belah ketupat. Benarkah?

Sesekali –mungkin saat sholat Id tahun depan- jangan terlalu serius dan khusyuk menyimak ceramah khatib. Coba sedikit celingak-celinguk ke kanan, kiri, depan, dan belakang, perhatikan para jamaah lainnya. Ada yang terpejam, namun telinga masih mendengar. Sebagian bahkan sudah tertidur pulas, nampak dari ayunan kepalanya. Sebagian yang tidak tidur terbagi dua, yang serius menyimak ceramah dan satu lagi yang terlihat sedikit gusar berharap tak lebih dari lima menit khatib berdiri di mimbar.

Lima menit ceramah berlangsung, yang terpejam sudah tertidur, yang tertidur sudah bermimpi, yang gusar makin gelisah. Satu persatu perangkat sholat mulai dikemas, peci, mukena, sajadah mulai dilipat. Ada yang berselonjor kaki, menekuk lutut sambil membenamkan wajah diantara kedua lututnya. Beberapa orang nampak mengubah posisi duduknya, miring ke kanan, ke kiri, ada pula yang jomplang ke belakang dengan menjadikan dua lengan sebagai penyanggah tubuh. Lihat lebih jauh ke belakang, ada yang saling ‘berceramah’, tandingan ceramah sang khatib. Ngobrol, membuat topik lain yang dianggap lebih seru ketimbang tema yang disodorkan khatib.

Kasihan sekali nasib khatib di atas mimbar. Berapa persen yang benar-benar menyimak pesan moral yang disampaikannya? Atau jangan-jangan ada khatib yang tidak peduli dengan hal demikian dan terus saja menyelesaikan baca teks ceramah di tangannya. Suka tidak suka, ada yang menyimak atau lebih suka tertidur, yang penting tugas selesai.

Lima belas menit belum juga selesai ceramah sang khatib. Padahal belah ketupat sudah menari-nari di pelupuk mata jamaah. Beberapa tempat sudah lowong, menyisakan koran-koran lusuh yang ditinggalkan begitu saja, sekaligus menjadi pekerjaan tambahan panitia penyelenggara sholat Id untuk membersihkannya. Boleh ditebak, sebagian jamaah yang bertahan mungkin hanya tidak enak meninggalkan tempat sholat. Mungkin karena orang tuanya masih bertahan, suaminya masih serius menyimak, temannya belum beranjak. Sebagian lainnya justru malu jika sendirian melenggang, sambil lirik kanan kiri andai ada jamaah lain yang beranjak pergi dan bisa dijadikan teman menanggung malu. Jamaah lainnya menanti-nanti kalimat, “demikian khutbah yang bisa saya sampaikan…” dari sang khatib.

Ada yang salah dengan pelaksanaan sholat Id kita? Semoga bisa menjadi koreksi tersendiri. Bagi kita para jamaah, juga para khatib yang bertugas menyampaikan pesan moral nan religius. Tentu saja tidak semua khatib mengalami nasib seperti ini, berdiri diantara pesan moral dan belah ketupat. Sama halnya dengan tidak semua jamaah mementingkan belah ketupat tinimbang menyelesaikan seluruh rangkaian sholat Id dengan penuh khidmat dan khusyuk. Wallaahu ‘a’lam.

Bayu Gawtama
Kelas SCHOOL of LIFE sudah dibuka, 90 orang sudah mendaftar. Cari infonya di school.of.life@hotmail.com

Tuesday, October 31, 2006

Catatan Lebaran II : Dari Saltum Hingga Supermodel

Hari Raya Idul Fitri, atau lazim orang Indonesia menyebutnya dengan lebaran, layaknya panggung catwalk tempat para model memamerkan desain terbaru dari para perancang ternama. Dan catwalk lebaran, adalah panggung terbesar di dunia yang tidak ada bandingannya. Tak hanya panggung terbesar, perancangnya yang berpartisipasi pun terbanyak, pakaian yang ditampilkan terbanyak ragamnya, dan para modelnya pun tak terhingga.

Dimulai sejak sekitar pukul 06.00, saat takbir berkumandang membelah fajar memanggil orang-orang untuk datang ke lapangan untuk sholat Id. Nyaris semua yang datang mengenakan pakaian baru, setidaknya yang terbaik yang mereka miliki. Sebagian besar jamaah laki-laki tak berbeda, semua terlihat sama dengan pakaian gamis, kain sarung, kopiah dan berselendang sajadah. Sebagian kecilnya, tetap berupaya menampilkan pakaian barunya, mungkin karena ia tak membeli gamis untuk sholat Id. Sementara yang wanita, ini yang sangat menarik perhatian. Sebagian wanita cukup sederhana dengan mengenakan mukena, namun sebagian lainnya terlihat melipat dan menjinjing mukenanya. Mungkin ia tak ingin baju barunya tertutupi oleh mukena. Ada juga yang sudah memakai mukena saat menuju masjid atau lapangan, tetapi tetap menyibakkan sebagian mukenanya agar baju barunya tetap terlihat.

Yang menarik, ketika seorang gadis berlenggak menuju lapangan dengan pakaian ketat melekat di tubuhnya. Karuan saja ia menjadi pusat perhatian sejenak para jamaah yang sudah hadir lebih dulu. Saltum –salah kostum-? Bisa jadi. Padahal yang dituju adalah masjid atau lapangan tempat sholat Id, tapi pakaiannya lebih pantas dipakai ke tempat hiburan. Padahal lengannya anggun menjinjing tas mukena, yang itu bisa dipakai untuk menutupi tubuhnya.

Sholat Id pun usai. Wajah-wajah ceria bercahaya terlihat dari semua jamaah. Saling berpelukan dan memohon maaf satu sama lain. Kembali ke rumah, seolah sedang memasuki ruang ganti panggung catwalk. Sebab, sejurus kemudian, seperti mendapat aba-aba, serempak para model berganti kostum. Jika saat sholat tadi mereka berpakaian religius, kini giliran pakaian lainnya yang dikenakan. Bak pentas peragaan busana pada umumnya yang kerap berganti-ganti pakaian, tidak sedikit dari orang-orang berlebaran memiliki sejumlah pakaian baru. Satu untuk sholat Id, satu lagi untuk hari pertama, satu lagi untuk hari kedua. Atau pertimbangannya begini, satu untuk di rumah saat menerima tamu dan keluarga yang datang, satu stel untuk bertandang ke rumah-rumah keluarga, satu lagi disiapkan untuk ke rumah mertua atau calon mertua, dan seterusnya.

Beragam jenis pakaian yang ditampilkan para model lebaran ini, dari yang sederhana seperti baju gamis hingga yang mirip artis idola dan model sungguhan. Bahkan, saking ingin menyerupai sang idola, penampilan mereka lebih mirip disebut supermodel. Ya, di hari raya mereka tampil spesial layaknya seorang mega bintang, lebih ngartis dari artis sebenarnya.

Jikalah lebaran merupakan panggung catwalk, lalu siapa penontonnya? Jelas, yang menonton adalah mereka yang hanya menangis di hari raya tanpa baju baru. Mereka adalah fakir miskin dan anak-anak yatim, yang sesungguhnya sudah sangat bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani ramadhan sebulan penuh dan mencicipi kebahagiaan hari raya. Namun, polah tingkah kita yang bak supermodel dengan pameran beragam baju baru telah secara nyata melukai kebahagiaan mereka. Membuat mereka menitikkan air mata lantaran tak sanggup membeli baju baru.

Di sudut sebuah rumah yatim, seorang anak berusia enam tahun menatap sedih orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahnya. “Saya rindu Ayah,” terbayang di wajahnya kenangan tahun lalu ketika Ayahnya masih membelikannya baju baru.

Bayu Gawtama

Monday, October 30, 2006

Catatan Lebaran 1: Banyak Pengemis di Hari Raya, Tanya Kenapa?

Jika Anda cukup jeli, cobalah perhatikan berapa banyak pengemis yang datang ke rumah Anda pada saat hari raya Idul Fitri. Sejak beberapa hari sebelum hari Raya, hingga mencapai puncaknya usai sholat Id, para pengemis datang silih berganti berharap keberkahan hari Raya dari segenap muslim yang tengah merayakan hari kemenangan.

Sebagian Anda tak hanya jeli, bahkan merasa terganggu dengan kedatangan pengemis yang seolah tak ada habisnya itu. Baru saja memberi ke satu pengemis, tak sampai dua menit datang lagi pengemis lainnya, begitu seterusnya. Boleh jadi, dalam satu hari, mencapai dua puluhan pengemis yang datang. Terganggu? Tunggu dulu

Mari kita bicara soal kenapa mereka ada dan sangat ramai di hari raya. Apakah mereka tak ikut berlebaran seperti kita? Untuk sementara lupakan anggapan dan berita yang mensinyalir kehadiran mereka di lingkungan kita lantaran ada yang ‘memasok’nya dari berbagai daerah. Setiap pagi usai shubuh mereka dibawa dengan sebuah truk, diturunkan di tempat-tempat strategis dan komplek perumahan. Sebagian besar adalah wanita, plus dengan membawa serta anak-anak kecil yang berpakaian lusuh dan kumal.

Sebelum Anda mengeluh dan menganggap parade pengemis itu ada yang mengkoordinirnya, mari kita berkaca pada diri sendiri. Ada pertanyaan menarik, pengemis ada karena ada yang memberi atau karena tidak ada yang memberi? Dalam arti kata, ada dermawan yang mengasihani seraya merogoh kocek atau sebaliknya, karena tidak ada yang mengasihani mereka? Kemudian, karena ada yang selalu memberi maka si pengemis merasa apa yang dilakukannya adalah cara mudah mendapatkan uang. Jadilah ia pengemis terus menerus. Melihat rekannya ‘sukses’ mendapatkan uang hanya dengan menadahkan tangan, yang lain pun tak mau kalah. Mengubah penampilan layaknya pengemis, meski tubuh masih nampak segar bugar, semakin banyaklah jumlah pengemis di negeri ini.

Nampaknya, para pengemis itu tahu persis watak dan karakter kebanyakan orang Indonesia. Baik hati dan tidak tega. Alhasil, mereka pun berhasil meraup rezeki hanya dengan menadahkan tangan bermodal keyakinan bahwa orang Indonesia itu baik hati dan tidak tega. Untuk memuluskan program mencari rezekinya itu, sebagian pengemis bahkan berpura-pura cacat dengan membalutkan perban bernoda darah di kaki mereka. Bertambah miris lah hati yang melihatnya, keluarkan beberapa receh dari kantong lantaran iba.

Kembali ke soal bertambah banyaknya pengemis di hari raya, yang sangat mungkin jumlahnya meningkat beberapa kali dari biasanya. Sekali lagi, sebelum Anda merasa terganggu dengan kehadiran mereka, ada yang menarik untuk kita bicarakan. Di bulan ramadhan hampir seluruh ummat Islam menunaikan zakat, bahkan sebagian lainnya membayarkan zakat harta mereka juga di bulan suci, dengan pertimbangan akan meraih pahala lebih banyak. Khusus untuk zakat harta, di bulan sebelum ramadhan pun tidak sedikit orang-orang yang membayarkannya untuk menjaga kesucian hartanya. Tentu karena para muzakki ini mengerti, bahwa di sebagian hartanya terdapat hak bagi kaum dhuafa (lemah).

Jika pada hari raya, masih banyak pengemis yang datang, tentu ini jadi fenomena menarik. Pertanyaannya, apakah distribusi zakat yang tidak merata atau justru kita yang tidak maksimal dalam berzakat? Atau jangan-jangan sebagian dari kita belum menunaikan zakat? Atau, memang para pengemis itu yang bandel, tetap mengandalkan cara termudah mendapatkan rezeki dengan menadahkan tangan? Wallaahu ‘a’lam

Bayu Gawtama

Friday, October 20, 2006

Seindah Ramadhan, Sebagus Syawal

Kalaulah ada yang harus disebut terindah
Pastilah rembulan malam ramadhan
Yang dipandang tercantik
Pastilah senja ramadhan

Jikalah ada yang paling dinanti
Pastilah hari-hari ramadhan
Yang selalu dirindui
Adalah masa-masa sebulan penuh ramadhan

Andai ada yang harus dikenang sepanjang hayat
Tentulah keceriaan ramadhan
Yang takkan mungkin terlupakan
Ialah kenikmatan beribadah di ramadhan
Dan yang pasti ditangisi kepergiannya
Pasti pula si mulia ramadhan

Ampunan
Berkah
dan Rahmat
adalah yang diharap dari usainya ramadhan
seraya berdoa,
Dia berkenan kita bertemu lagi ramadhan
Walau satu tahun lagi…

Seindah ramadhan, sebagus Syawal
Begitulah persaudaraan ini terus terjalin

Minal aidin wal faidzin
Taqobbalallahu minna wa minkum
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H

Bayu Gawtama
Ida Aryani
Hufha Alifatul Azka
Iqna Haya Adzakya

Wednesday, October 18, 2006

Bunda, Luar Biasa!

Seorang anak terlahir normal, tanpa cacat sedikit pun. Proses kelahirannya berlangsung normal, tanpa operasi caesar. Tetapi proses panjang selama sembilan bulan sebelum melahirkan itulah yang tidak normal. Bahkan, jika bukan karena kuasa Allah, takkan pernah terjadi sebuah kelahiran yang menakjubkan ini. Selain faktor Allah, tentu saja ada sang bunda yang teramat luar biasa...

Pekan pertama setelah mengetahui bahwa dirinya positif hamil, Sinta mengaku kaget bercampur haru. Perasaan yang luar biasa menghinggapi seisi hidupnya, sepanjang hari-harinya setelah itu. Betapa tidak, sekian tahun lamanya ia menunggu kehamilan, ia teramat merindui kehadiran buah hati penyejuk jiwa di rumah tangganya. Dan kenyataannya, Allah menanamkan sebentuk amanah dalam rahimnya. Sinta pun tersenyum gembira.

Namun kebahagiaan Sinta hanya berlangsung sesaat, tak lebih dari dua pekan ia menikmati hari-hari indahnya, ia jatuh sakit. Dokter yang merawatnya tak bisa mendiagnosa sakit yang diderita Sinta. Makin lama, sakitnya bertambah parah, sementara janin yang berada dalam kandungannya pun ikut berpengaruh. Satu bulan kemudian, Sinta tak kunjung sembuh, bahkan kondisinya bertambah parah. Dokter mengatakan, pasiennya belum kuat untuk hamil sehingga ada kemungkinan jalan untuk kesembuhan dengan cara menggugurkan kandungannya.

Sinta yang mendengar rencana dokter, langsung berkata "tidak". Ia rela melakukan apa pun untuk kelahiran bayinya, meski pun harus mati. "bukankah seorang ibu yang meninggal saat melahirkan sama dengan mati syahid?" ujarnya menguatkan tekad.

Suaminya dan dokter pun sepakat menyerah dengan keputusan Sinta. Walau mereka sudah membujuknya dengan kalimat, "kalau kamu sehat, kamu bisa hamil lagi nanti dan melahirkan anak sebanyak kamu mau". Namun Santi tak bergeming. Janin itu pun tetap bersemayam di rahimnya.

Waktu terus berjalan, memasuki bulan ketiga, Sinta mengalami penurunan stamina. Keluarga sudah menangis melihat kondisinya, tak sanggup melihat penderitaan Sinta. Tak lama kemudian, dokter menyatakan Sinta dalam keadaan kritis. Tidak ada jalan lain, janin yang sudah berusia hampir empat bulan pun harus segera dikeluarkan demi menyelamatkan sang bunda.

Dalam keadaan kritis, rupanya Sinta tahu rencana dokter dan keluarganya. Ia pun bersikeras mempertahankan bayinya. "Ia berhak hidup, biar saya saja yang mati untuknya". Santi pun memohon kepada suaminya untuk mengabulkan keinginannya ini. "Mungkin saja ini permintaan terakhir saya Mas, biarkan saya meninggal dengan tenang setelah melahirkan nanti. Yang penting saya bisa melihatnya terlahir ke dunia," luluhlah sang suami. Pengguguran kandungan pun batal.

Bulan berikutnya, kesehatan Sinta tak berangsur pulih. Di bulan ke enam kehamilannya, ia drop, dan dinyatakan koma. Satu rumah dan dua mobil sudah habis terjual untuk biaya rumah sakit Sinta selama sekian bulan. Saat itu, suami dan keluarganya sudah nyaris menyerah. Dokter dan pihak rumah sakit sudah menyodorkan surat untuk ditandatangani suami Sinta, berupa surat izin untuk menggugurkan kandungan. Seluruh keluarga sudah setuju, bahkan mereka sudah ikhlas jika Allah berkehendak terbaik untuk Sinta dan bayinya.

Seorang bunda memang selalu luar biasa. Tidak ada yang mampu menandingi cintanya, dan kekuatan cinta itu yang membuatnya bertahan selama enam bulan masa kehamilannya. Maha Suci Allah yang berkenan menunjukkan kekuatan cinta sang bunda melalui Sinta, menjelang sang suami menandatangani surat izin pengguguran, Santi mengigau dalam komanya. "Jangan, jangan gugurkan bayi saya. Ia akan hidup, begitu juga saya" Kemudian ia tertidur lagi dalam komanya.

Air mata meleleh dari pelupuk mata sang suami. Ia sangat menyayangi isteri dan calon anaknya. Surat pun urung ditandatanganinya, karena jauh dari rasa iba melihat penderitaan isterinya, ia pun sangat memimpikan bisa segera menggendong buah hatinya. Boleh jadi, kekuatan cinta dari suami dan isteri ini kepada calon anaknya yang membuat Allah tersenyum.

Allah Maha Kuasa. Ia berkehendak tetap membuat hidup bayi dalam kandungan Sinta meski sang bunda dalam keadaan koma. Bahkan, setelah hampir tiga bulan, Sinta tersadar dari komanya. Hanya beberapa hari menjelang waktu melahirkan yang dijadwalkan. Ada kekuatan luar biasa yang bermain dalam episode cinta seorang Sinta. Kekuatan Allah dan kekuatan cinta sang bunda.

Bayi itu pun terlahir dengan selamat dan normal, tanpa cacat, tanpa operasi caesar. "Mungkin ini bayi termahal yang pernah dilahirkan. Terima kasih Allah, saya tak pernah membayangkan bisa melewati semua ini," ujar Sinta menutup kisahnya.

Adakah alasan untuk tak berbakti kepada bunda?

Bayu Gawtama
amazing buat Sinta, bunda yang mengagumkan. Maha Suci Allah

Monday, October 16, 2006

Niat Saja Tak Cukup, Berbuatlah…

Sore kemarin sebuah pelajaran kembali saya dapatkan. Kali ini dari Ayahanda sahabat saya yang tahun lalu baru saja menunaikan ibadah haji. Ia nampak bahagia bisa menjalankan ibadah ke tanah suci, sebahagia semua orang yang pernah berhaji. Bercerita ia tentang berbagai pengalamannya selama menjadi tamu Allah, tentang makam Rasulullah dan semua hal menakjubkan di tanah suci.

Namun dari semua cerita itu, ada satu bagian yang benar-benar menarik perhatian. Yakni ketika sampai pada cerita tentang, bagaimana ia bisa berangkat pergi haji, padahal uang tabungannya belumlah mencukupi. Kisah-kisah unik dan ajaib tentang orang-orang yang pergi haji pun berlanjut, dan kisah dari Ayahanda sahabat saya ini menambah daftar panjangnya. Kita pernah mendengar ada seorang pengemis yang bisa berangkat haji lantaran ia senantiasa menjaga mulutnya dari kata-kata yang sia-sia. Begitu pun kisah tentang tukang sol sepatu yang bisa berhaji karena kebaikannya terhadap tetangganya.

Kisah Ayahanda sahabat saya ini, mungkin tak sedramatis kisah-kisah mengagumkan sebelumnya. Namun cukuplah untuk memberi semangat baru, terutama bagi orang-orang seperti saya yang kebanyakan keinginan namun sering hanya berujung di bab niat saja. “Pergi haji, jangan cuma niat. Jangan hanya punya keinginan, sebab semua orang pun punya keinginan itu. Tapi tidak semua orang mau merealisasikan kenginannya itu”.

Beliau tidak sedang bicara tentang orang-orang kaya harta yang sebenarnya mampu berkali-kali pergi haji, namun tak juga berangkat. Yang dimaksud beliau, adalah orang-orang yang punya keinginan kuat, namun tak pernah menunjukkan keinginannya itu dengan satu perbuatan. “Saya orang yang tidak punya, tetapi saya sangat ingin pergi berhaji, karenanya saya menabung sedikit demi sedikit. Ketika tahun kemarin saya pergi haji, apakah tabungan saya sudah cukup? Tentu saja belum! Tapi Allah melihat niat yang saya iringi dengan usaha untuk mewujudkannya dengan cara menabung. Inilah cara Allah memudahkan jalan orang-orang yang mau berusaha,” terangnya bersemangat.

Kalimat-kalimat yang mengalir darinya, sangat menyejukkan sekaligus mencerahkan. Tertohok diri ini mendengarnya, namun juga menyenangkan bisa mendapat nasihat yang bermanfaat. Betapa sering dan mudahnya kita berucap, “Yang penting niat dulu, niat baik saja kan sudah dicatat malaikat”.

Boleh jadi betul bahwa niat baik itu tercatat, tapi jangan-jangan malaikat bosan melihat catatan harian kita hanya dipenuhi kumpulan dan daftar niat. Namun tak sekali pun pernah menunjukkan i’tikad untuk mewujudkannya. Sangat mungkin saat ini Allah menunggu-nunggu kapan kita bekerja merealisasikan kumpulan niat itu, sementara kita tetap asik menggantang niat yang tak pernah terwujud itu. Seperti kisah Ayahanda sahabat saya itu, mungkin Allah tak perlu menunggunya sampai ia mampu mencukupi biaya haji. Tapi Allah hanya mau melihat –sekali lagi, hanya mau melihat- adakah hal yang diperbuat untuk merealisasikan niat tersebut. Akhirnya, tak perlu sampai mencukupi biaya haji, beliau bisa berangkat ke tanah suci menjadi tamu Allah. Maha Suci Allah.

Begitu pun dengan kita. Mari lihat kembali daftar niat yang pernah kita tuliskan, kemudian satu persatu kita upayakan untuk merealisasikannya. Insya Allah, Allah bersama malaikat dan rasul akan melihat apa yang kita kerjakan. Soal hasil akhir, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. (Bayu Gawtama)

Sunday, October 15, 2006

School of Life, Chapter 1: Mind Power (terbatas!)

School of Life, Chapter 1: Mind Power

Tahukah Anda bahwa kekuatan pikiran mampu mengendalikan semua tingkah, sikap dan perilaku manusia? Benarkah bahwa perilaku baik dan jahat seseorang disebabkan oleh pikirannya? Bagaimana mengubah kebiasaan negatif menjadi positif hanya dalam sekejap, yakni hanya dengan mengubah cara berpikir Anda tentang diri sendiri? Tahukah Anda bahwa 70% kegiatan sehari-hari Anda berjalan hanya berdasar kebiasaan dan merupakan perintah alam bawah sadar? Temukan jawabannya di School of Life.

Kelas pertama (A) School of Life dibuka. Chapter 1, mengambil tema tentang Mind Power (kekuatan pikiran).

Hari/Tanggal : Minggu/12 November 2006
Waktu : Pukul 09.00 s/d 12.00 WIB
Tempat : Taman Kota BSD-Bumi Serpong Damai, Tangerang (tentatif)
Peserta : 20 orang (per kelas, dan saat ini baru dibuka untuk satu kelas)
Infak : Tidak ditentukan (untuk biaya konsumsi tiap pertemuan, dan sebagian dikumpulkan untuk kegiatan sosial members SOL)

Persaratan : Tidak ada persaratan (siapapun boleh menjadi peserta)
Registrasi : kirim email ke bayugautama@yahoo.com (registrasi ditutup 8 November 2006)
Informasi : 0852 190 68581 – 0888 190 2214

---
“Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru”
Orang bijak bilang, sering kali masalah timbul dari diri sendiri. Karenanya, sesungguhnya yang paling mengerti bagaimana menyelesaikannya, adalah si pembuat masalah itu sendiri. Namun, kadang seseorang membutukan orang lainnya untuk menyelesaikan masalahnya. Bukan untuk meminta tolong, melainkan untuk sama-sama belajar kepada orang lain, mengingat hampir setiap orang memiliki masalah yang sama, hanya waktu, bentuk, tempat, dan tingkatannya saja yang berbeda. Atas dasar itulah, School of Life diselenggarakan. Anda berminat? Bergabunglah bersama kami di sekolah yang menerapkan sistem andragogi plus (pendidikan untuk orang dewasa yang mendewasakan)

Tentang School of Life
• Sekolah yang tidak ada alumninya, sebab belajar tentang kehidupan hanya akan berakhir bersamaan dengan saat kita mengakhiri kehidupan ini
• Semua peserta adalah guru, begitu pun semua peserta adalah muridnya
• Tidak ada gedung sekolah, ruang kelas tetap, seragam, apalagi peraturan.
• Persaratannya hanya satu, yakni: tidak ada persaratan
• Tidak ada kurikulum, modul, kertas kerja, dan buku panduan, karena semuanya sudah tersedia oleh kehidupan ini. Peserta cukup mempersiapkan untuk berbagi (share) kepada sesama tentang pelajaran yang akan dibahas.
• Pelajaran yang didapat dari sekolah ini semuanya tentang kehidupan sehari-hari
• Tujuan dari sekolah ini hanya satu; untuk hidup lebih baik

Metode belajar:
• Dynamic Group
• Brainstorming and share story
• Simulation and role play

Next Chapter: ditentukan kemudian oleh peserta di kelas

Friday, October 13, 2006

Bang Dollie dan Pelajaran Tentang Kejujuran

Ada yang bilang, kepercayaan dan kejujuran bagai dua sisi mata uang, satu sisi kepercayaan, sisi lainnya berupa kejujuran. Maksudnya, jika seseorang menanamkan sebuah kepercayaan kepada orang lain, maka yang diberi kepercayaan itu semestinya senantiasa bersikap jujur. Namun nyatanya, seringkali kepercayaan dibalas dengan ketidakjujuran. Atau sebaliknya, ada saja orang yang sudah mati-matian jujur, tetap saja tidak mendapat kepercayaan.

Bicara soal kepercayaan dan kejujuran. Sebuah pelajaran menarik justru ditunjukkan oleh Bang Dollie, sebut saja begitu namanya. Dia seorang kondektur Metro Mini -sebuah angkutan umum dalam kota Jakarta- yang selain bertugas berkoar-koar memanggil penumpang, juga mendapat kepercayaan memegang uang ongkos para penumpang.

Sepanjang hari, sejak keluar jam 05.00 WIB sampai tengah malam hingga waktunya menghitung setoran dan laba. Uang yang terkumpul pun dihitung, kemudian ada kewajiban untuk membayar setoran ke pemilik angkutan umum. Namun, diakui Bang Dollie, tak sekali pun ia pernah berniat untuk menilep -menyembunyikan uang untuk keuntungan pribadi- beberapa lembar uang dari setumpuk uang ongkos penumpang digenggamannya. Padahal, kalau ia mau, tentu saja ia bisa. Meski jika ia nakal, sangat mungkin baginya melakukannya.

Tapi ia tak melakukannya. Bukan karena takut kepada Allah, bukan pula lantaran ia tak tertarik. Dalam logat bataknya yang kental, "Mana mungkin aku bisa nilep, jangankan Tuhan, sopirku pun pasti tahu kalau aku nilep".

Obrolan pun mengalir. Menurut Bang Dollie, rekannya yang menjadi sopir memang tak akan pernah tahu kapan dan berapa yang bisa ditilep olehnya. Tapi secara umum si sopir bisa tahu, sebab pekerjaan mereka berdua selain menuntut saling percaya, juga didasari atas pengalaman. Pertama, sebelum naik pangkat menjadi sopir, si sopir pernah mengenyam beberapa tahun pengalaman sebagai kondektur. Kedua, melalui jalur yang sama berulang-ulang, dan melakoni pekerjaan yang sama setiap hari, membuat si sopir tahu persis berapa banyak penumpang yang naik kendaraannya dalam sehari. Sepi atau ramai penumpang pun dia bisa menghitungnya, sehingga sangat sulit bagi sang kondektur berdalih, "penghasilan hari ini sedikit, sebab penumpang sepi" untuk mengelabui si sopir.

Sebenarnya, terpenting dari soal ketidakberanian Bang Dollie untuk nilep uang adalah karena rekannya yang bertugas dibalik kemudia telah memberikan kepercayaan penuh kepadanya. "Sekali kau berbuat curang, kau tidak akan pernah bisa bekerja di mana pun. Karena kau akan dikenal sebagai orang tidak jujur". Tentu saja yang dimaksud bekerja di mana pun itu, menjadi kondektur di angkutan mana pun.

Pelajaran yang sama juga diperoleh dari seorang sopir angkot cadangan. Ia memang bukan sopir asli dari angkot yang dibawanya, tetapi si sopir asli sering berbaik hati dengan memberinya kesempatan beberapa jam untuknya. Si sopir cadangan ini pun takkan pernah bisa berbohong soal penghasilannya selama beberapa jam itu. Sebab, sopir asli bukanlah orang yang tak tahu berapa yang biasa ia dapatkan dalam beberapa jam. Sebab, ia sangatlah pengalaman untuk pekerjaannya.

So, sebenarnya kedekatan antara kepercayaan dengan kejujuran masih bisa dipakai. Asalkan memenuhi dua saratnya. Kesatu, si pemberi kepercayaan tetap melakukan pengawasan. Kedua, yang mendapat kepercayaan betul-betul menyadari bahwa dirinya pun dalam pengawasan. Kalau semua bisa berlaku seperti ini, bukankah indah negeri ini? Wallaahu 'a'lam.

Bayu Gawtama

Tuesday, October 03, 2006

Khasiat Sedekah: Penerima Berdaya, Anda Bahagia

Siapa yang lebih bahagia, pemberi sedekah atau penerima sedekah? Sekilas, nampak kebahagiaan hanya terpancar dari raut wajah penerima. Ia terlihat sumringah saat menggenggam uang sedekah dari yang memberi. Tak lupa, sekelumit doa dan rasa syukur dihaturkan untuk orang yang memberinya sedekah sebagai ungkapan terima kasih. Beberapa penerima, bahkan tak sungkan mencium punggung tangan orang yang telah menyisihkan hartanya untuk mereka. Beginilah pemandangan yang senantiasa tampak dalam setiap episode sedekah berlangsung.

Demikiankah sesungguhnya? Benarkah penerima sedekah jauh lebih berbahagia tinimbang yang bersedekah? bukankah justru seharusnya penyedekah itu yang berbahagia?

Setidaknya ada dua tingkatan tujuan sedekah bagi para penerimanya. Pertama, diharapkan setelah menerima sedekah, mereka mencapai tingkatan berdaya. Setidaknya, dalam rentang beberapa waktu mereka tidak lagi menjadi orang-orang menerima sedekah. Orang-orang yang biasa menerima sedekah ini, seharusnya di waktu tertentu sudah bisa memberdayakan diri mereka sendiri. Tak perlu menengadahkan tangan, meminta-minta dan berharap belas kasihan para penderma. Mereka tak lagi menerima sedekah karena sudah tidak membutuhkan. Meski demikian, dalam tingkatan ini mereka belum menjadi penyedekah. Tingkatan kedua, yakni mereka berubah status dari penerima menjadi pemberi sedekah. Ini yang paling diharapkan, kalau satu tahun lalu -misalnya- mereka masih menjadi penerima sedekah, seharusnya di tahun berikutnya merekalah para penyedekah yang berniat memberdayakan orang-orang yang disedekahinya.

Karenanya, sedekah bukan sekadar menaruh uang di kotak amal. Atau mengumpulkan para fakir miskin, anak yatim, kemudian membagi-bagikan amplop, lantas selesai. Para penyedekah tak selesai kewajibannya hanya sampai sebatas memberi. Ada kewajiban lainnya, yakni tak membiarkan penerima sedekah menjadi orang-orang yang berketergantungan dengan sedekah. Jangan sampai ada orang yang 'menikmati' hidup dengan pemberian orang lain. Ada kewajiban bagi para penyedekah, yakni membuat penerima sedekah itu menjadi orang-orang yang berdaya. Setidaknya hingga mereka sanggup mencapai tingkatan tak lagi bergantung pada sedekah dan bisa menghidupi diri dan keluarganya sendiri.

Sedekah itu tanpa batas. Nilai dan jumlahnya tak dibatasi, penerima sedekahnya juga tidak terbatas. Artinya, penyedekah bisa memberikannya kepada siapa saja, dari yang terdekat hingga terjauh sekali pun. Tak hanya itu, waktu untuk bersedekah pun tak pernah dibatasi. Tak hanya di bulan-bulan tertentu saja, melainkan sepanjang waktu. Selama seseorang mampu untuk bersedekah, baik di waktu sempit mau pun lapang, maka bersedekah dianjurkan.

Nah, lantaran sedekah itu tanpa batas, maka tidak pernah dibatasi jumlah yang boleh disedekahkan. Tidak ada nisab untuk sedekah, selama ia mampu maka teruslah bersedekah. Tidak pernah ada ketentuan seseorang sudah boleh bebas tak bersedekah karena sudah terlalu sering bersedekah. Dan yang terpenting, tidak pernah tertulis dalam sejarah ada orang yang jatuh miskin lantaran bersedekah.

Sebab, semua orang yang pernah dan selalu bersedekah tahu betul, bahwa sedekah membuat mereka kaya dan bahagia. Siapa yang tak bahagia berniaga dengan Allah? Kita mendapatkan modal dari Allah, berupa diri dan harta yang kita miliki saat ini. Kemudian dari modal yang dipinjamkan Allah itu, kita diajak berniaga oleh-Nya dengan tawaran keuntungan yang tidak bisa diberikan oleh pedagang terbesar mana pun di dunia ini. Tak tanggung-tanggung, keuntungan berniaga dengan Allah adalah mendapatkan ampunan dari Allah, kemudian Allah akan memasukkan kita ke dalam surga-Nya.

Padahal, yang diminta Allah kepada kita adalah, beriman kepada-Nya dan rasul-Nya, kemudian Allah juga meminta kita berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kita. Bayangkan, Allah meminta kita menukar harta dan jiwa ini –yang keduanya milik Allah dan hanya dipinjamkan kepada manusia- dengan balasan surga-Nya. Perniagaan indah nan menguntungkan ini Allah gambarkan dalam Qur'an Surat Ash Shaaf (61) ayat 10-12.

Adakah yang mampu memberikan keuntungan lebih besar dari Allah? Tak bahagiakah orang-orang yang mau berniaga dengan Allah. Bukankah seharusnya orang-orang yang bersedekah jauh lebih bahagia, karena ia telah melakukan perniagaan dengan Allah?

Sedekah itu membahagiakan. Siapakah yang dimaksud? Tentu saja yang bersedekah, sebab selain ia telah mendapatkan kesempatan mengenyam surga Allah, kebahagiaan pula bisa melihat senyum orang-orang yang mendapat sedekah. Tak hanya itu, sedekah masih memberikan banyak manfaat bagi pelakunya, antara lain dilipatgandakannya harta kita, dijauhkan dari bahaya, diberikan kesehatan, dan tentu saja menenangkan jiwa.

Adakah yang tak menginginkan kebahagiaan seperti itu? Sungguh, khasiat sedekah hanya satu bagi penerima. Namun terdapat jutaan khasiat yang diperoleh bagi pelakunya. Maka, bersegeralah meraihnya. (gaw)

------------------------------------------------------

Sedekah melalui ACT-Aksi Cepat Tanggap, untu korban bencana

Bank Central Asia
Acc. No. 676 030 0860
Bank Permata Syariah
Acc. No. 0971 001224

Bayu Gawtama
Communication Manager ACT

email: bayu.gawtama@aksicepattanggap.com

Sunday, October 01, 2006

Jejak Volunteer: Totalitas ala Fahmi

Ia datang sebagai relawan, suatu saat jika kembali pun tetap relawan. Fahmi namanya, usianya baru menginjak 23 tahun. Namun, banyak hal yang patut diteladani dari pemuda ini, terutama soal makna totalitas dan loyalitas sebagai relawan (volunteer) kemanusiaan.

Fahmi datang ke Jogja hari ke-empat pasca gempa Jogja 27 Mei 2006, dan semenjak itu hingga kini ia masih di Jogja bersama-sama dengan korban bencana. Dunia kemanusiaan memang baru buatnya, namun sekali ia menceburkan diri ke dalamnya, ia seperti tak pernah puasnya berenang dalam kenikmatan bekerja sebagai volunteer. Sejak masa emergency, hingga kini memasuki fase recovery, tak berkurang semangat yang dimilikinya untuk membantu sesama.

"Setiap kita, mungkin hanya diberi satu kesempatan untuk melakukan hal terbaik. Dan hal terbaik bagi saya adalah ketika saya bisa berbuat sesuatu untuk orang lain. Ini adalah kesempatan saya, saya tak akan pernah melepaskannya," ungkap Fahmi pemuda yang sangat pendiam ini. Ya, Fahmi memang menganut sikap tak banyak bicara, namun warga Dusun Kedaton Kidul, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, bisa memberikan kesaksian tentang apa yang dikerjakan Fahmi.

Sejak hari pertama kedatangannya membantu korban gempa Jogja, Fahmi tinggal ditenda bersama-sama dengan relawan ACT-Aksi Cepat Tanggap lainnya. Bahkan saat ACT membuka kantor untuk program recovery Jogja, Fahmi tetap memilih tinggal di tenda bersama-sama dengan pengungsi. Bahkan saat ini, susah membedakan, Fahmi itu volunteer atau pengungsi. Sebab, sehari-hari Fahmi sangat menyatu dengan pengungsi.

"Dia sangat dekat dengan kami, totalitasnya terbukti dengan tetap memilih tinggal bersama kami di tenda pengungsi," ujar Pak Ngadimin, salah satu pengungsi di Kedaton Kidul.

"Wah, dia sih jangan ditanya deh. Ya sudah seperti warga Kedaton. Tinggal di sini, makan, mandi semuanya dilakukan di sini. Sepertinya dia ingin ikut merasakan penderitaan warga korban bencana," ungkap Bidan Endang, warga Kedaton lainnya.

Kini, Fahmi sama lusuhnya dengan pengungsi. Sama-sama makan seadanya seperti yang dimakan pengungsi. Bahkan ketika ditanya, kapan rencana kembali ke Jakarta, ia hanya menjawab singkat, "belum tahu mas, mungkin nanti kalau sudah tidak dibutuhkan".

Fahmi tahu betul, seperti diketahui pula oleh seluruh relawan kemanusiaan di mana pun berada, di lokasi bencana mana pun mereka pernah bekerja. Bahwa relawan tak pernah tidak dibutuhkan. Kehadirannya senantiasa dinanti. Pun ketika tidak ada bencana, mereka tetap diminta siap siaga jika sewaktu-waktu bencana memanggil. Negeri ini banyak berhutang jasa kepada relawan-relawan kemanusiaan. Totalitas dan loyalitas ala Fahmi, benar-benar patut diacungi jempol.

Tentu Fahmi tidak sendiri, teramat banyak relawan sepertinya di berbagai lokasi bencana. Meski relawan tak pernah meminta, tapi layaklah kita berucap, "Terima kasih atas baktimu, relawan". (gaw)

Sunday, September 24, 2006

Sepanjang Ramadhan, "School of Life" Setiap Hari di Radio SK

Kisah-kisah kehidupan penuh hikmah, diambil dari buku "School of Life" karya terbaru Bayu Gawtama selama bulan ramadhan penuh bisa didengarkan di Radio SK, 93,2FM. Setiap hari dua kisah akan diceritakan ulang oleh Ustadz Bobby Herwibowo. Pantengin aja radio SK setiap menjelang adzan dzuhur dan menjelang adzan ashar.

Tidak hanya kisah-kisah dari buku "School of Life", beberapa kisah juga diambil dari buku Bayu Gawtama sebelumnya, "Berhenti Sejenak".

Semoga berkenan
Bayu Gawtama
0852 190 68581

Thursday, September 21, 2006

Lidah, Tangan, Kaki, Mata, Telinga, ... Nggak ada yang lurus kan?

Karena saya tahu, lidah yang kita miliki ini tidak lurus, sebab tidak ada tulangnya. Jadi saya sadar betul lidah ini sering salah bertutur dan tidak tepat berucap.

Sebab saya sadar, tangan yang saya punya ini tidak lurus, bengkok-bengkok meski bertulang. Tapi justru karena tidak lurus inilah, maka sering kali ada perbuatan, perilaku yang salah diterjemahkan oleh tangan ini.

Lantaran saya mengerti, dua kaki ini juga tak lurus, walau tulangnya sangat kuat. Justru karena saking kuatnya itu, kadang-kadang bahkan teramat sering egois melangkah, melenggang, tak pedulikan keadaan orang lain. Sering angkuh tak sudi digubris, kadang arogan enggan disapa, sesekali menerjang-nerjang tanpa meminta maaf.

Ketika saya selalu ingat, telinga, mata, dan seluruh anggota tubuh saya tak satu pun yang benar-benar lurus. Maka saya sadari betul, sering mendengar, melihat, merasa, banyak hal yang salah, tidak benar, tak tepat, tak pada tempatnya, tak seharusnya, nggak semestinya.

Sudah seharusnya saya memahami, hati ini pun sering kali tak lurus, tak bersih, tak lapang. Lantaran terlalu banyak dihinggapi iri, dengki, amarah, ujub, riya, sum'ah, kikir, dan semua jenis sampah hati.

Maka, karenanya, sebab itu, Mohonkan maaf dan ampunan untuk saudaramu ini. Sungguh, jauh di lubuk terdalam hati ini, masih tersimpan semangat luar biasa untuk terus memperbaiki segalanya.

Semoga, ramadhan ini adalah moment terbaik diri untuk mengubah semuanya menjadi lebih baik. Terima kasih atas kelapangan saudara-saudara untuk menyedekahkan maaf untuk diri ini. Sungguh kebahagiaan tiada banding mendapati kalimat "saya maafkan semua kesalahanmu sobat".

Wassalaam

Bayu Gawtama

Sedekah Cerdas

Siapa ingin doanya terkabul/dibebaskan dari kesulitan, hendaknya ia membantu/mengatasi kesulitan orang lain (HR. Ahmad).

Kepada siapa Anda memberikan sedekah kemarin? satu hari sebelum kemarin? satu pekan yang lalu? bagaimana dengan hari ini atau besok? kemana sedekah Anda disalurkan? Sekadar merata-rata jawaban yang mungkin keluar dari sederet pertanyaan di atas, pilihan pertama boleh jadi jatuh ke tangan anak-anak yatim, kemudian fakir miskin, janda, dan lansia berada di urutan berikutnya.

Salah satu kelebihan orang-orang yang sering bersedekah terletak pada keikhlasan. Mereka sangat percaya dan tak pernah mempertanyakan kemana dan kepada siapa sedekahnya berlabuh. Terkecuali bagi mereka yang lebih senang menyerahkannya langsung kepada penerima manfaat. Namun bagi para penyedekah yang meletakkan amanahnya di pundak para pengelola sedekah/infak, kepercayaan menjadi dasarnya.
Meski bukan berarti mereka yang tidak menyalurkannya lewat lembaga pengelola sedekah, dianggap tidak percaya kepada berbagai lembaga tersebut. Ini hanya soal `selera` masing-masing individu yang tidak boleh diganggu-gugat dan patut dihormati.

Yang perlu diingat, kepercayaan bukan berarti tak perlu tahu kemana sedekah Anda tersalurkan. Boleh saja setiap individu meminta penjelasan kepada siapa dan untuk apa sedekah yang disalurkannya tertuju. Bukan bermaksud mengabaikan prinsip keikhlasan, namun dalam bersedekah sebaiknya Anda tahu alamat sedekah tertuju. Seperti bunyi hadits di atas, ketika Anda ingin membantu mengatasi kesulitan orang lain, tahukah Anda siapa yang dimaksud orang lain itu? Siapa yang saat ini sedang mengalami kesulitan? mana yang lebih utama untuk diatasi terlebih dulu?

Mari coba kita petakan. Pertama, anak-anak yatim. Jelas mereka adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa mengalami kesulitan selama mereka masih dalam usia berketergantungan dan belum memiliki kemampuan menghidupi diri sendiri. Mereka adalah titipan Allah kepada hamba lainnya yang mampu dan berkewajiban menafkahi anak-anak yatim. Kedua, fakir miskin. Mereka kaum lemah yang memerlukan uluran tangan, dengan tujuan agar mereka mampu berdiri dan mandiri. Ingat, konsepnya harus memberdayakan bukan membuat mereka terus menerus tidak berdaya. Sehingga bersedekah harus mentargetkan para penerima manfaat pada beberapa jenjang. Dari penerima meningkat menjadi tak lagi membutuhkan bantuan karena sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri. Tak sampai di situ, harus terus mendapatkan bimbingan agar status mereka juga meningkat menjadi pemberi sedekah. Jika semua penerima sedekah kelak akan menjadi penyedekah, indah nian negeri ini.

Golongan ketiga yang berhak mendapatkan sedekah, yakni para janda dan lansia. Keduanya nyaris memiliki persoalan yang sama, yakni kehilangan sesuatu yang selama ini menjadi andalannya. Para janda yang kehilangan tulang punggung pencari nafkahnya, perlu mendapatkan bantuan agar ia terbebas dari kesulitan. Konsepnya tetap sama, yakni memberdayakan agar kelak mampu menjadi orang yang mandiri dan bisa menghidupi keluarganya tanpa perlu lagi menunggu bantuan orang lain. Sedangkan para lansia, mereka telah pula kehilangan masa produktifnya. Tenaganya tak lagi seperti dulu untuk bisa mencari rizki sendiri.

Golongan lainnya, adalah mereka yang bukan anak yatim, bukan fakir miskin, bukan pula janda atau lansia, namun tetap membutuhkan bantuan karena tengah mengalami kesulitan. Antara lain, orang-orang yang terlilit hutang dan orang-orang yang terkena musibah/bencana.

Bencana alam kerap terjadi di negeri ini, dan setiap bencana menyisakan kepedihan mendalam bagi para korban. Tak hanya lantaran kehilangan anggota keluarga yang dicintai, tetap status semi permanen yang berubah dalam sekejap. Pengusaha berubah menjadi orang yang tak punya apa-apa, dermawan yang tiba-tiba harus mengemis meminta bantuan, serta orang-orang yang biasa berkecukupan seketika sangat berkekurangan, untuk mendapatkan makan pagi pun menunggu jatah. Kehidupan pun berubah drastis, rumah mewah tersulap menjadi tenda darurat yang harus berbagi tempat dengan ribuan korban lainnya. Sungguh, para korban bencana juga sangat membutuhkan sedekah dari orang-orang yang tak terkena bencana.

Sejatinya mereka bukan orang-orang yang akan menjadi penerima bantuan terus menerus, asalkan sedekah Anda tetap tersalurkan untuk mereka. Selama masih ada orang-orang yang tetap peduli nasib mereka, para korban bencana itu akan segera terbebas dari status penerima bantuan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena, asal mereka adalah orang-orang yang kuat, mandiri, dan bahkan juga para dermawan.

Jika Anda senang bersedekah, dan mengalamatkannya kepada anak-anak yatim, fakir miskin, janda, lansia dan orang-orang yang tengah berada dalam kesulitan, maka bersedekahlah untuk para korban bencana. Anda akan mendapatkan semuanya, karena di lokasi bencana juga terdapat orang-orang yang Anda cari alamat sedekah Anda. Anak yatim, fakir miskin, janda, lansia, orang-orang kesulitan karena tertimpa musibah, merekalah alamat sedekah Anda. Wallaahu` a`lam

ACT Hotline 021-741 4482
Rekening Zakat dan Sedekah a.n. Aksi Cepat Tanggap
1. Mandiri 128 000 479 3136
2. BSM 101 000 9990
3. BCA 676 030 0860
4. Permata Syari'ah 0971 001224

Andika : 021-685 45401 (donasi)
Jemput bantuan, SMS 24 jam, 021-70614482
email: info@aksicepattanggap.com

Wednesday, September 06, 2006

Tukang Ojeg Paling Beruntung Di Dunia

Sudah menjadi kewajiban setiap orangtua mengantar, menemani, atau menjemput anak-anak dari dan ke sekolahnya. Begitu juga dengan anak-anak saya, meski sayangnya, tidak setiap waktu saya bisa mengantar dan menjemputnya. Walaupun jarak antara rumah, kantor dan sekolah anak-anak hanya sekelebatan alias tak lebih dari lima menit.

Seharusnya bisa. Ya, semestinya memang begitu karena saya tidak akan terlambat ke kantor dengan terlebih dulu mengantarkan anak-anak dengan motor. Namun pekerjaanlah yang membuat saya tak selalu bisa melakukannya. Yang dimaksud pekerjaan adalah ketika sedang melakukan perjalanan keluar kota, terutama pada saat-saat baru saja terjadi bencana. Bahkan saat tidak ada bencana pun, penugasan keluar kota masih saja saya jalani.

Alhasil, tukang ojeg lah yang menggantikan posisi saya mengantarkan mereka. Sebab, uminya anak-anak tidak terbiasa mengendarai motor karena memang tidak bisa. Jadilah, berangkat dan pulang ke sekolah diantar-jemput oleh si tukang ojeg. Anak-anak tak pernah bermasalah dengan siapapun mereka naik ojeg, asalkan mereka bisa kena angin. Yang penting tidak naik angkot, sebab bisa-bisa mereka tak sampai ke sekolah karena dalam hitungan tiga menit sudah akan muntah.

Nah, pada saat saya sedang di rumah dan tak sedang tugas keluar kota, adalah hari-hari paling menyenangkan bagi kedua anak saya yang masih sekolah di Taman Kanak-Kanak itu. Selain karena saya langsung yang mengantarnya, kata mereka, "Ummi nggak usah bayar ojeg". Dalam hati saya, "ya lah, masak sih harus disamain tukang ojeg."

Tapi suatu hari setelah mengantar anak-anak tiba di sekolahnya, saya sempat berseloroh, "Eits... bayar dulu, ini kan ojeg". Anak-anak itu pun terperanjat, "masak Abi jadi tukang ojeg? Lagian Iqna nggak punya uang. Minta tuh sama Ummi...," ujar si bungsu.

Saya tetap memaksa agar mereka membayarnya dan bukan Umminya dengan alasan mereka yang minta diantar. Karena mereka memang benar-benar tak punya uang, lalu keduanya serempak menghampiri saya. Awalnya saya kira mereka hendak membisikkan sesuatu karena meminta saya mendekatkan kepala ke mereka. Namun tiba-tiba, dua kecupan hangat mendarat di pipi dan bibir saya, "Bayarnya pakai cium aja ya bang ojeg..." dan mereka pun berlari sambil berteriak, "terima kasih bang ojeg..."

Fuihh. Selelah apa pun saya bekerja, seganas apa pun badai yang harus diterjang demi mereka, jika ganjarannya adalah kecupan dan pelukan hangat seperti itu, akan saya hadapi dengan ikhlas. Dan saat itu, sayalah tukang ojeg paling beruntung di dunia, asalkan itu tidak mereka lakukan juga kepada tukang ojeg lainnya. ha ha...

Gaw's