Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, November 30, 2005

Menolong, Pekerjaan Paling Nikmat

Seringkali saya melihat seorang pemuda dengan sabar menyeberangkan seorang tunanetra, tangannya erat menuntun agar terhindar dari kecelakaan. Di lain tempat, pemuda lainnya memanfaatkan dua tangan kuatnya untuk membantu seorang ibu menjinjing barang belanjaan. Bukan, ia bukan kuli angkut di pasar yang biasa menjual tenaganya. Tapi ini benar-benar seorang pemuda yang dengan ikhlas membantu tanpa pamrih. Sementara itu, seorang gadis terlihat sopan mengobati luka seorang pengendara motor yang terjatuh. Dari dalam mobilnya, ia mengambil kotak obat, kemudian memberikan pertolongan pertama.

Cukupkah bagi saya hanya sebagai penonton dari aksi yang dilakukan orang-orang itu? Tentu tidak. Dari hari ke hari semakin banyak episode-episode kebaikan yang tak henti berlalu lalang di depan mata ini, semakin terdorong diri ini untuk mengetahui motif apa yang membuat mereka mau dan rela melakukan itu semua. Nampaknya agak nakal saya ketika harus bertanya tentang ’motif’ mereka, seolah saya meragukan niat ikhlas mereka dan menggantinya dengan motif kacangan, seperti imbalan materi, pamer kesalihan atau tebar pesona.

Tapi, tetap saja saya tergelitik untuk terus bertanya, dan maafkan kalau saya memang terlalu lancang untuk menanyakannya. Bukan berarti selama ini saya tak pernah menolong orang lain. Sebab katanya, orang Indonesia itu sangat ramah dan saling tolong menolong. Tapi entah kenapa, saya lagi-lagi harus bertanya tentang motif kebaikan yang dilakukan orang lain. Aksi tanya menanya itu berhenti ketika seorang sahabat yang menjadi ’korban’ pertanyaan saya menjawabnya dengan kalimat tegas, ”berhentilah bertanya, lakukan saja”.

Kemudian saya pun tak lagi melulu menjadi penonton. Setiap kali ada kesempatan untuk menolong tak terbuang sia-sia. Saya upayakan tak terlewatkan dengan kalimat andalan, ”maaf” atau berkilah sambil berharap orang lain akan membantunya. Saya percaya betul, bahwa kesempatan berbuat baik itu kadang tak datang dua kali. Sekali terlewati, sudah itu tak ada lagi. Sekali kita buang kesempatan baik itu, esok tak bertemu lagi. Tinggallah kita berharap Allah mau memberikan kesempatan kedua agar kita bisa berbuat baik.

***

Seorang bapak berusia senja memeluk saya erat seolah tak ingin saya pergi dari hadapannya. ”datanglah ke sini kapan pun, rumah kami selalu terbuka untuk anda,” ujarnya terbata-bata. Isterinya tak henti menahan-nahan saya agar tetap tinggal, kalau perlu ia mempersilahkan memilih satu dari beberapa cucunya yang mulai tumbuh dewasa untuk dipersunting. Aih.

Di lain tempat, seorang ibu tak henti berucap terima kasih hanya karena lima ribu rupiah yang saya berikan kepadanya. Ia mengaku kehabisan ongkos untuk kembali ke rumah, sambil menangis ia meminta uang untuk bisa sampai pulang.

Nampaknya saya tak perlu lagi bertanya kenapa begitu banyak orang mau menolong sesama. Pertanyaan itu tak lagi menggelitik rasa penasaran saya, dan telah terhenti. Tak perlu pula ada yang menjawab kenapa orang tak bosan berbuat kebaikan untuk orang lainnya. Karena saya telah menemukan sendiri jawaban itu. Ternyata, menolong itu nikmat. Bahkan bisa dibilang pekerjaan paling nikmat yang pernah saya tahu, saya kerjakan, dan coba saya jadikan kebiasaan dalam hidup.

Menolong tak selalu berupa materi, tak melulu berbentuk harta. Bisa jadi hanya sebuah doa yang tulus jika memang raga tak mampu, harta pun tak ada. Jika waktu tak ada, namun ada sedikit rezeki, bisalah kita membantu. Sungguh, berbuat kebaikan terhadap sesama, tak saja nikmat, tapi juga sebuah investasi dunia akhirat. Percayalah.

Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
0852 190 68581

Tuesday, November 22, 2005

Madrasah Cinta

Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah? Sudah pasti jawabannya adalah kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, seberat apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lama pun waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan; “positif”.

Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna sekejap mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran. Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.

Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak-anak. Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak-anak. Si kecil baru saja berucap “Ma…” segera ia mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada didaftar telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka. Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.

“Demi anak”, “Untuk anak”, menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya dan berganti mengambil baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil. Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi anak.

Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Uang sekolah anak, 2. Beli susu anak, … nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.

Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia terus pun mendongeng.

Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta kalimat, “sudah makan belum?” tak lupa terlontar saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli makan siangnya sendiri di kampus.

Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan. ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, “Masihkah kau anakku?”

Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, “bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian”. Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya. “Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil,” ujarnya.

Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibu lah madrasah cinta saya, sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran: cinta. Sekolah yang hanya ada satu guru: pecinta. Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama: yang dicinta.

Bayu Gawtama
Pecinta yang dicinta

Friday, November 18, 2005

Beratkah Berucap "Terima Kasih"?

Sudahkah kalimat “terima kasih” selalu terhadiahkan kepada setiap orang yang pernah membantu Anda? Jika ya, maka Anda tak perlu khawatir, karena saya tidak sedang berbicara tentang Anda. Tapi tentang orang-orang di sekitar kita, dan mungkin saja termasuk saya.

Nyaris setiap hari, setiap jam dalam hidup kita selalu dibantu oleh pihak lain, disadari atau tidak. Sejak awal bangun pagi, sudah ada pembantu yang memasak air panas untuk menyeduh kopi, bahkan kopi sudah tersedia sebelum kita beranjak dari tempat tidur. Berangkat ke kantor dengan pakaian yang tidak kusut, tentu ada yang menyetrikanya. Sepatu pun sudah disemir mengkilap, bukan bim salabim kan? Sampai sarapan sudah siap tersaji di meja makan sebelum kita meminta. Bukan soal siapa yang menyiapkannya, bisa jadi sang isteri lihai nan sigap yang melakukan itu semua, atau pembantu kita yang super hebat. Tapi terpenting dari soal siapa adalah, berterima kasihkah kita untuk setiap pelayanan memuaskan itu?

Keluar dari rumah, entah dengan sopir pribadi yang telah mencuci bersih mobil dan menyiapkan kendaraan agar tak ngadat di jalan, sehingga kita tak terlambat tiba di kantor. Atau bagi orang yang harus menggunakan jasa angkutan umum untuk dari dan ke kantor, pernahkah kalimat “terima kasih” juga terucap kepada kondektur atau sopir angkutan umum yang kita tumpangi?

Tiba di kantor, tak perlu bertanya siapa yang sudah datang lebih pagi membersihkan meja kerja yang kemarin sore kita tinggalkan dalam keadaan kotor dan berantakan. Air putih atau teh hangat sudah tersedia di meja kerja, bahkan menjelang siang pun kita masih berteriak, “jang, kopi susu donk,” kepada office boy yang setia melayani. Apakah si Ujang pelayanan setia kita di kantor itu selalu mendapatkan hadiah “terima kasih” untuk air putih dan kopi susu yang ia sajikan? Walau pun ia tahu, menuntut ucapan “terima kasih” bukanlah haknya.

Rasanya, nyaris seluruh hidup kita dari pagi sampai pagi kembali selalu dibantu orang lain. Bahkan di rumah pun, saat lelah menyengat sepulang kerja, serta merta sang isteri dibantu si kecil membukakan sepatu dan kaus kaki, kita pun berpikir, itu sudah kewajiban mereka; Melayani kita yang bekerja seharian. Andai isteri mendengar kalimat itu, mungkin ia akan berujar, “Kamu pikir saya di rumah hanya tidur-tiduran saja?”

Saya pun tergelitik untuk menghitung berapa banding berapa antara pelayanan yang saya dapatkan dengan ucapan terima kasih yang terlontar. Saya sering lupa berterima kasih kepada isteri yang setiap malam menemani saya tidur, atau berterima kasih kepada Si Euceu yang setiap pukul 05.30 sudah datang untuk membantu isteri saya mencuci pakaian. Saya sering lupa berterima kasih kepada petugas pom bensin yang sering mengisi full tangki motor saya. “Itu memang pekerjaannya, dan kewajiban saya sudah selesai hanya dengan memberikan sejumlah uang sesuai jumlah bensin terisi,” mungkin begitu pikir nakal saya. Mana rasa terima kasih saya?

Kita sering kali berpikir, bahwa orang-orang yang memberikan bantuan dan pelayanan sehari-hari itu memang sudah selayaknya dan kewajiban mereka berbuat demikian. Isteri dan anak-anak, misalnya. Wajib memberikan service penuh karena kita merasa sudah lelah seharian bekerja, “Toh gaji sebulan saya bekerja singgah di dompet isteri,” begitu alasan kita. Pembantu rumah tangga yang seringkali tak kenal lelah bekerja dari pagi hingga kembali pagi, dinilai “wajib” mengerjakan semua pekerjaannya karena kita merasa sudah membayarnya. Padahal, nilai bayarannya seringkali tak layak dan jauh dari beratnya pekerjaan yang diemban. Bukankah pembantu hanya membantu? Lalu kenapa semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakannya? Tak pantaskah ia memperoleh ucapan terima kasih dari kita?

Ujang sang office boy kantor yang tak pernah menolak permintaan kita, percayalah, “terima kasih” yang kita ucapkan saat ia mengantarkan segelas air putih atau teh hangat akan membuatnya senang setiap kali kita memintanya kembali. Boleh jadi, ucapan terima kasih itu akan sedikit menghiburnya dari kemurungan setiap kali menerima upah bulanannya yang tak seberapa dari gaji kita. Bahkan ada sopir angkutan umum yang termangu sesaat hanya karena mendengar ucapan terima kasih saat penumpang memberikan ongkos. Bisa jadi, ia baru saja menemukan manusia langka. Atau jangan-jangan, itu kalimat “terima kasih” pertama yang ia dapatkan sepanjang tahun berprofesi sebagai sopir angkot.

Sudahlah tak pernah berterima kasih, kadang kita menambahi sikap kita dengan banyak menuntut. Merasa sudah membayar gaji pembantu, kemudian kita berhak membentak-bentak wanita berbayaran kecil itu hanya karena masih ada sedikit noda di kemeja. Kita juga marah-marah kepada office boy yang lambat mengantarkan minuman, atau kepada sopir angkot yang secara tak sengaja melewatkan beberapa meter saja dari tempat berhenti kita semestinya. Lalu, kita memberikan ongkos dengan hati kesal dan wajah kecewa.

Tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah orang lain lakukan untuk kita, dan kita senantiasa menuntut lebih dari orang lain. Meminta orang lain melakukan lebih banyak, lebih baik, lebih sering dari yang sudah dilakukannya. Orang lain melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang kita inginkan, kita lebih dulu marah, dan kemudian lupa mengucapkan terima kasih. Ucapkanlah terima kasih lebih dulu, baru kemudian beritahu kekurangan atau kesalahan secara baik-baik. Dijamin, mereka akan mengerjakannya lebih baik tanpa wajah merengut.

Tidak berterima kasih dan banyak menuntut adalah sebuah circle, keduanya saling berkait berkelindan. Biasanya kedua sikap ini tidak terpisahkan, setiap kali kita tidak berterima kasih, mesti diiringi dengan tuntutan. Atau sebaliknya, setiap kita mengajukan tuntutan, hasil yang kita dapatkan dari tuntutan itu kita anggap sebagai hak. Karenanya, “terima kasih” tak perlu terucapkan.

Ironisnya, budaya buruk ini pun kita berlakukan terhadap Allah. Kita terus menerus berdoa dilimpahkan rezeki. Hanya karena rezeki yang didapat hari ini tidak berlimpah, lalu dalam doa selanjutnya kita berujar, “Ya Allah, kok cuma segini?” Sungguh, bersyukur dan bersabar lebih menjauhkan kita dari ancaman azab dan siksa dari-Nya.

Bayu Gawtama

Friday, November 11, 2005

Pak Haji: Paling Ditakuti Anak Kecil

Di salah satu kampung yang pernah saya kunjungi, saya mengajukan pertanyaan kepada sekelompok anak-anak kecil yang berhasil saya kumpulkan. “Siapa yang paling kalian takuti di kampung ini?” Serempak suara-suara kecil itu nyaring berbunyi satu nada, “Pak Hajiiiii….”. Berkerenyit dahi ini mendengar jawaban polos dan spontan dari anak-anak itu. Entah ada apa gerangan dengan “Pak Haji”? Saya tahu yang dimaksud mereka adalah benar-benar “Pak Haji”, salah satu orang yang paling tua sekaligus dituakan di kampung tersebut.

Saya tak ingin menyalahkan anak-anak itu dengan jawaban mereka, tidak pula serta merta membela “Pak Haji” yang menjadi momok menakutkan bagi anak-anak itu. Beberapa saat setelah satu persatu mulut mungil di hadapan saya bertutur tentang Pak Haji, barulah saya mengerti mengapa “Pak Haji” begitu ditakuti.

Suatu hari, sesaat setelah adzan maghrib berkumandang, anak-anak bergerombol ke Masjid untuk ikut sholat berjamaah. Dasar anak-anak, tak tahu yang semestinya mereka kerjakan sambil menunggu jamaah lainnya datang, mereka justru saling ngobrol, membuat kegaduhan. Beberapa lainnya malah berlarian di pelataran masjid. Sontak, Pak Haji membentak dan mengusir anak-anak itu. “Keluar! … kalau mau main jangan di masjid…” Kontan saja, bentakkan itu menciutkan nyali anak-anak, dan berhamburan lah mereka keluar masjid. Belum sempat mereka mendengarkan kalimat lanjutan Pak Haji, “Kalau mau ikut sholat, diam dan duduk tenang…” Dan yang pasti, belum sempat juga mereka ikut sholat berjamaah.

Kisah lainnya masih dialami anak-anak itu di hari lain. Waktunya agak maju sedikit, yakni sekitar lima belas menit sebelum adzan maghrib menggema. Anak-anak itu tak menghiraukan jeritan ibu mereka agar menghentikan permainan dan segera bersiap ke masjid. Mereka terus asyik bermain kelereng. Tiba-tiba, byuurrr … seember air menyiram tanah lapang tempat mereka bermain. Menghempaskan kelereng, debu pun berterbangan. Satu-dua anak basah kuyup. Siapa yang mengguyur mereka? Ternyata, Pak Haji…

Jika salah satu anak-anak itu adalah saya, mungkin saya akan jengkel kepada Pak Haji. Terlebih bila saat itu saya sedang kalah bermain. Tentu saja saya semakin tak simpati dengan Pak Haji itu, jangan harap saya mau mencium tangannya lagi secara ikhlas. Kesal, sebal dan benci, mungkin yang saat itu saya dan teman-teman rasakan. Maklum, anak kecil, belum bisa mencerna maksud dan tujuan dari “guyuran” air dari Pak Haji.

Sejak aksi pengguyuran itu, sosok Pak Haji semakin menakutkan bagi anak-anak itu. Jangankan bertemu langsung, mendengar bunyi terompah atau “dehem"nya pun, mereka sudah lari terbirit-birit.

Lalu, mereka membandingkan Pak Haji dengan salah seorang warga kampung di situ. Seorang lelaki paruh baya yang bukan tokoh masyarakat, dan tidak dituakan di kampung itu. Tapi disukai anak-anak.

Ketika anak-anak kecil itu mendatangi masjid, lelaki itu berdiri di pintu masjid, menyalami dan mencium keningnya satu persatu. Lembut ia berujar singkat, “Duuh, anak pintar… langsung duduk, dan jangan bercanda ya”. Bedakan dengan bentakan yang biasa diterima anak-anak itu sebelumnya.

Atau ketika anak-anak itu tak kenal waktu, terus bermain hingga waktu maghrib menjelang. Lelaki yang anaknya ikut bermain kelereng itu justru melibatkan diri dalam permainan anak-anak itu. “Boleh bapak ikut main?” Tentu saja, anak-anak justru senang kalau ada orang dewasa yang melibatkan diri dalam permainan mereka. Walau pun terkadang dengan syarat tertentu. “nyentilnya pakai kelingking ya pak…”

Selang lima menit bermain, “Wah, waktu maghrib hampir tiba nih. Yuk kita bubar dan bersegera ke masjid. Bapak tunggu di masjid ya,” ajak lelaki itu santun. Tak ada yang menolak, pun membantah. Serentak mereka “bubar grak” menuju rumah masing-masing, mandi, berganti pakaian, kemudian beranjak ke masjid.

***

Ini cuma cerita dari satu kampung, dan seorang “Pak Haji”. Tentu saya tidak bermaksud mendeskriditkan seseorang dengan titel “haji”. Toh, masih banyak kampung lain di negeri ini dengan jutaan “Pak Haji” yang tidak ditakuti anak-anak. Masih banyak “Pak Haji” yang dicintai anak-anak, dan jamaahnya. Yang tangan wanginya selalu menjadi rebutan untuk diciumi bolak-balik sebagai bentuk penghormatan dan kecintaaan terhadapnya.

Serulah mereka ke jalan Allah dengan cara yang baik dan penuh hikmah…

Bayu Gawtama

Thursday, November 10, 2005

Peduli Tak Kenal Waktu

Siapa yang menyangka, di tengah malam saat mata terpejam, tubuh rebah setelah seharian berpeluh keringat, tiba-tiba selaut air menghempaskan seluruh bangunan dan isinya. Anak dan isteri hilang, sanak keluarga lainnya tak terdengar kabar hingga berhari-hari. Hewan ternak raib ditelan ombak, begitu juga harta dan barang berharga hasil jerih payah bertahun-tahun. Semua sirna dalam hitungan detik, sekejap tanpa sisa. Di lain tempat, air meluap beriringan dengan getaran bumi yang melululantakkan seisi alam menerjang di pagi hari, saat mata belum lagi jernih, saat tubuh masih menggeliat, ketika sebagian masih bermalas-malas di tempat tidur.

Kalaulah boleh memilih, kenapa bencana tidak datang di siang hari, saat semua penghuni lebih siap dan sigap. Atau di hari libur, saat Ayah tak sedang di kantor, ibu tak sibuk berbelanja di pasar, anak-anak libur sekolah, sehingga semua keluarga berada di rumah bersama-sama bahu membahu menyelamatkan diri dari amukan badai. Mungkin, kalau Allah berkehendak, seluruh keluarga tak terpisah. Walau pun pilihannya, selamat bersama-sama atau bila mati pun pula bersama. Atau setidaknya, ada lebih banyak anggota keluarga yang bisa diselamatkan.

Tapi, bencana memang selalu datang tanpa memberi kabar…

Tak ada yang mampu menduga ketika bencana tiba disaat para petani hendak memanen hasil keringatnya berbulan-bulan. Buah ranum ratusan kilo yang siap dipetik, sirna seketika tersapu badai. Sayur mayur yang baru dipanen dan siap diangkut ke kota, habis dihempas angin topan. Padi menguning yang siap dituai, musnah dihantam bencana, hewan ternak dan ratusan kilo ikan di tambak hanyut dan tenggelam.

Andai boleh meminta, kenapa badai tak datang disaat kebun petani tak sedang berbuah, ketika sayur mayur baru saja dikirim ke kota. Atau ketika padi baru selesai habis dipanen, dan hewan ternak juga ikan-ikan telah habis terjual. Karena dengan begitu, kalau pun harus merugi karena rumah dan kampung hancur berantakan oleh badai, kesedihan tak bertambah dengan hilangnya hewan ternak, buah-buah siap dipanen, juga sayur mayur. Mungkin, sebagian pembayaran belum dilunasi orang-orang di kota, sehingga para korban bencana itu masih punya harapan hidup dengan uang hasil penjualan pertanian mereka.

Tetapi, lagi-lagi kita tak pernah tahu kapan musibah akan menimpa…

Tak satu pun kita mengira, menjelang hari raya, atau saat pesta ulang tahun, mungkin juga menjelang pesta pernikahan, angin topan, puting beliung, tsunami, gempa bumi, banjir bandang datang tanpa permisi. Hancurlah semua yang ada, baju baru, gaun pengantin, kue ulang tahun, makanan untuk pesta, bahkan keluarga dan calon pengantin pun terberangus oleh badai.

Jika pun boleh berharap, badai dan bencana itu datanglah di hari-hari ketika kita tak sedang berbahagia. Mungkin bolehlah di hari ketika kita tengah putus asa, atau saat tak sedang bersemangat hidup dan mati menjadi pilihan yang lebih baik. Jika boleh tawar menawar dengan Sang Pencipta Bencana, tundalah bencana itu hingga lewat hari raya, setelah pesta pernikahan sehingga ada kesempatan bagi kedua mempelai mereguk indahnya berumah tangga, atau setelah kita membuka kado ulang tahun dari teman dan kerabat.

Tapi, kita semua tahu, rencana Allah tak bisa ditawar dan hanya Dia yang tahu. Jika sudah tiba waktunya, tak mungkin ditunda walau sedetik.

Seperti halnya bencana, rezeki juga sering datang tak kenal waktu. Ia bisa kita terima di jalanan, di kantor, di masjid, di warung makan, dan di mana saja. Rezeki bisa tiba-tiba menghampiri kita disaat susah maupun senang, disaat berlebih atau ketika tak sepeser pun mengisi kantong kita. Bedanya dengan bencana, tak ada yang mau tawar menawar soal rezeki, agar dikurangi barang sedikit saja. Tak ada pula manusia di muka bumi ini yang meminta ditunda datangnya rezeki. Karena doa kita pun berbunyi, “dekatkan jika masih jauh, turunkan jika masih di atas, keluarkan dari dalam bumi jika masih di perut bumi, percepat jika memang bisa dipercepat, … dan, perbesarlah jika memang seharusnya kecil…”

Sama dengan musibah dan bencana, rezeki itu urusan Allah, dan hanya Dia yang tahu kapan rezeki itu datang. Ia pun, datang sering tak kenal waktu.

Kali ini, bencana tak menyentuh kita, keluarga, rumah, juga harta kekayaan kita. Allah masih berkenan kita menikmati indahnya hidup, tanpa air mata kehilangan anggota keluarga, atau kehabisan harta kekayaan akibat bencana. Hingga hari ini, bencana terus melanda saudara-saudara kita dan ia sering datang tak kenal waktu.

Maka, teruslah peduli dan berbagi kepada mereka yang tertimpa bencana. Bencana datang tak kenal waktu, semestinya kepedulian kita tak pun tak kenal waktu. Tak terbatas hanya pada bulan suci ramadhan, atau saat kita dalam keadaan lapang. Ingat, sewaktu-waktu sangat mungkin bencana itu menimpa kita. Dan biarkan orang lain yang bergilir membantu kita nanti.

Bayu Gawtama

Monday, November 07, 2005

Gundah Berakhir Syukur

Saya akan bercerita lagi tentang seorang Ayah. Plus dengan gundahnya. Tujuh belas tahun yang lalu,usianya masih empat puluh tujuh tahun, dan ia masih berstatus pegawai negeri. Ia bukan atasan, tapi juga bukan bawahan. Punya atasan, pun ada pegawai yang posisinya berada di bawahnya. Di usia itulah, ia terus menerus merasa gundah. Gundah akan segala bentuk ‘permainan’ yang dilakukan atasannya, gundah akan keresahan yang dialami pegawa-pegawai di bawahnya, dan teramat gundah akan masa depannya yang tak kunjung berubah.

Di usianya yang hampir memasuki masa pensiun, ia masih tinggal di rumah kontrakan dua kamar yang belum layak disebut rumah. Tak punya kendaraan bermotor, tak punya handphone andai saja seorang anaknya tak menghadiahinya suatu kali saat ia berulang tahun. Ia masih selalu turun naik angkot menuju kantornya, berangkat pagi kembali menjelang malam. Di saat yang sama, rekan-rekan seprofesi dan setingkatnya sesama pegawai negeri sipil, sudah punya rumah mewah yang berdiri di atas tanah seluas seribu meter. Sebuah mobil Toyota keluaran terbaru sering mejeng di rumahnya, itu belum termasuk dua sepeda motor yang dipakai anaknya ke sekolah. Satu lagi yang tak kalah hebatnya, beberapa temannya pun sampai ada yang dua-tiga kali berangkat haji. “Mungkin dia habis dapat warisan,” baik sangkanya.

Seorang kenalannya, yang ia sebut-sebut tingkatan kepegawaiannya satu level di bawahnya, bahkan sudah bertahun-tahun memiliki rumah besar, lengkap dengan perabot mewah dan kendaraan bermotor. Melihat ‘kesuksesan’ teman-temannya, ia semakin gundah. Usianya bertambah satu tahun, bertambah pula kegundahannya. Akankah ia mewarisi kemiskinan kepada anak-anaknya kelak?

Bukan tak ada kesempatan baginya untuk meraih ‘kesuksesan’ layaknya teman-teman seprofesinya. Bukan tak mungkin ia pun, bahkan, bisa memiliki rumah lebih mewah, kendaraan lebih mahal dari teman-temannya. “Kesempatan itu terus terjadi di depan mata,” ujarnya. Setiap waktu ia harus berhadapan dengan perintah atasannya untuk me-mark-up anggaran. Setiap saat itulah ia terus merasa gundah, karena sang boss pun berujar enteng, “ambil sebagian buat kamu,” Dan godaan itu tak satu dua kali saja. Ia bersikeras untuk tidak melakukan perintah atasannya, tapi ia juga tak tega melihat jeritan anak buahnya yang berharap ia mau menuruti perintah sang boss. Maklum, kalau anggaran di-mark-up, semua dapat jatah, bahkan sampai ke bawah.

Usia terus bertambah, memasuki angka lima puluh. Gundahnya semakin menjadi. Seorang pegawai negeri, bukan atasan, juga bukan bawahan, masih tinggal di rumah kontrakan selama bertahun-tahun. Tak terbeli kendaraan, meski sekadar roda dua. Saya pernah sering mendapatinya mengenakan pakaian yang itu-itu saja selama beberapa hari. kadang ia terlambat ke kantor menunggu tangan lihai sang isteri menjahit celana panjangnya yang sedikit koyak. Pernah juga saya dengar, ia meminta sang isteri meminjam sejumlah uang ke tetangga agar bisa berangkat ke kantor. Pantang baginya untuk terlambat, apalagi absen dengan alasan yang yang tidak jelas.

Satu, dua tahun berikutnya. Gundahnya menghilang seketika menjelang memasuki masa pensiun. Ia justru bersyukur tak terlibat praktik dan ‘permainan’ yang selama bertahun-tahun berlangsung di depan matanya. Ia memang melihat semua itu, namun ia hanya mampu menutup mata agar tak tergoda barang sedikit pun mencicipinya. Hingga kini, saat ia menghabiskan sisa-sisa hidupnya di rumah kontrakannya yang selama puluhan tahun ia tempati, ia boleh berbangga tak menyentuh uang yang bukan haknya.

“Saya masih senang ikut pengajian, akan ditaruh di mana wajah ini seandainya saya ambil ‘kesempatan’ itu dahulu, saat seorang ustadz bicara soal haramnya korupsi. Pasti akan panas telinga saya mendengar ayat-ayat yang dilafazkan ustadz tentang harta yang bersih. Akankah sanggup saya tersenyum dengan harta-harta yang orang lain tahu, bahwa tak mungkin pegawai seperti saya mampu memilikinya jika tidak dengan cara yang tidak halal?” Bibirnya bergetar mengucapkan kalimat ini.

Kegundahan yang puluhan tahun ia jaga dan tetap terjaga sebagai gundah yang lebih sering terselesaikan dengan airmata di atas sajadah setiap malamnya itu, kini membuahkan ketenangan hidup. Ia tetap bersyukur, meski hingga hari ini masih tinggal di rumah kontrakannya. Ia merasa tenang, “Bahkan mati nanti pun saya tak cemas, karena tidak banyak harta yang harus saya pertanggungjawabkan di hadapan Allah”.

Giliran saya yang bersyukur, karena saya teramat mengenal dan dekat dengan sosok Ayah ini. Semoga saya bisa menjadi seperti yang diharapkannya, jujur dan bersih meski harus terus menerus menggenggam gundah.

Bayu Gawtama

Saturday, November 05, 2005

Lebaran bagi Penghuni Lapas Anak Tangerang

Sabtu pagi, 3 Syawal 1426 H, alias hari ketiga lebaran, puluhan relawan Kelompok Kerja Sosial (KKS) Melati menyambangi Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara atau biasa dikenal dengan Lapas Anak di Tangerang. Sebelumnya, sudah diberitahukan kepada para relawan untuk berkenan membawa makanan kecil atau kue lebaran untuk para penghuni Lapas. Bagi para relawan Melati, kunjungan ini tak sekadar menjadi kunjungan kesekian kalinya, tetapi juga menjadi kunjungan yang paling mengharukan. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Hadi dan Bayu, dua anak SMP yang ikut serta dalam rombongan relawan KKS Melati, kali pertama mengikuti kegiatan sosial, membayangkan suasana 'penjara' anak-anak itu teramat menyeramkan. Awalnya, mereka mengira akan bertemu wajah-wajah sangar dan sikap brutal para penghuni. Ternyata, setelah lima belas menit di dalam dan berbincang langsung dengan mereka, keduanya bisa tersenyum. "Tak seperti bayangan saya, ternyata mereka ramah dan bersahabat," ujar Hadi.

Ya, bukan hanya karena hari itu masih dalam suasana lebaran hingga mereka begitu ramah. Bahkan pada kunjungan kami sebelumnya pun, mereka memang ramah dan sangat bersahabat. Sikap yang mereka tunjukkan, seolah menghilangkan kesan brutal fisik sebagian mereka yang terlihat 'berbeda' dari anak-anak biasa. Tatto, dan codet di wajah, menjadi hiasan seragam anak-anak penghuni Lapas yang rat-rata berusia di bawah 18 tahun.

Bagaimana lebaran mereka di Lapas? sebahagia kita kah? Silahkan menilainya dari beberapa yang mampu saya rekam.

Gobel Gonzales, begitu teman-temannya memanggil, menganggap, lebaran kali ini tak begitu menyedihkan, walau tak satu pun orang tua dan keluarga lainnya yang mengunjunginya di hari raya ini. "Ini lebaran ketiga saya tanpa mereka, jadi sekarang sudah biasa. Yang sedih justru di lebaran tiga tahun yang lalu, itu lebaran pertama saya tanpa kunjungan mereka".

Gobel pantas bersedih, dia dan lebih 300 temannya harus bermalam takbiran di dalam lingkungan Lapas. Tak ada baju baru kiriman, tak ada kue lebaran, dan yang pasti, tak ada tangan yang sangat ia rindui untuk dikecup. "Saya kangen ibu, saya ingin ibu tahu betapa menyesalnya saya".

"Tapi saya cukup senang berada di tempat ini. Kalau di luar, belum tentu saya berpuasa, belum tentu saya rajin tarawih, belum tentu saja rajin sholat wajib. Jadi, lebaran tahun ini, terasa sekali bahwa ini bulan kemenangan bagi saya, karena saya mampu berpuasa full, tarawih dan baca quran setiap hari pun tak tinggal," tambah Gobel tak bermaksud menyindir orang-orang di luar Lapas.

Agus, saya kira dia yang terlihat paling senang hari itu. "Besok saya sudah bebas." Tapi tetap saja lebaran kali ini terasa menyedihkan baginya. "Waktu malam takbiran saya menangis, saya teringat malam takbiran bersama orang tua dan adik-adik," ujar anak remaja yang masuk ke Lapas lantaran kasus narkoba itu. Sementara remaja berpeci di sebelahnya tak sebahagia Agus. "Bahkan lebaran tahun depan pun saya masih di sini," sedihnya.

Taufik, remaja berkulit putih bersih dan jauh dari tampang seram itu mengaku bersemangat di hari raya ini. "Hari bebas saya masih empat bulan lagi, tapi saya berpikir, tak akan pernah lagi berlebaran di tempat ini tahun depan. Cukup dua lebaran saja". Ia tertangkap basah membawa sejumlah ganja dan obat terlarang lainnya di bilangan Senen, Jakarta Pusat. "Saya tidak mau kejeblos ke lubang yang sama dua kali," sambil menyebut beberapa teman se Lapas yang berulang kali ke luar masuk karena kasus yang sama.

Semakin lama berbincang dengan remaja-remaja itu membuat saya semakin haru. Dan, nyatanya, air mata ini tak mampu terbendung saat menangkap sosok anak paling kecil di antara ratusan yang ada. Rizki namanya, usianya baru 9 tahun, asal Serang, Banten. 9 tahun? saya membayangkan betapa anak seusia itu masih senang bermanja bersama ibunya, masih ingin banyak bermain. "Ibu nggak datang, mungkin ibu malu punya anak seperti saya," akunya sedih. Entah siapa sebenarnya yang harus menanggung malu, Rizki atau orang tuanya lantaran pencabulan terhadap anak tetangga yang dilakukan bocah 9 tahun itu. Bukankah anak seusia itu seharusnya masih dalam pengawasan ketat orang tuanya?

Kue lebaran yang kami bawa, juga berbagi kebahagiaan lebaran yang kami lakukan hari itu, mungkin tak banyak membersitkan senyum di hati mereka. Tapi, kami yakinkan kepada mereka satu hal, bahwa mereka layak mendapatkan sahabat. Dan kami lah sahabat mereka.

Bayu Gawtama

Malu Diri di Hari Terakhir

Malu, mungkin hanya kata itu yang pantas mewakili perasaan saya mengakhiri Ramadhan tahun ini. Saya tak tahu lagi harus berkata apa, nyatanya Ramadhan kali ini terlewati begitu saja, kosong nilai dan sedikit bekas yang terbawa sesudahnya. Mungkin saya akan menyesal hingga ke akhirat, andai Allah tak memberikan satu kesempatan lagi bertemu bulan suci ini di tahun depan.

Betapa tidak. Hari terakhir Ramadhan saat mengunjungi ibu, saya mendapatinya sedang menangis. Tahukah gerangan yang membuatnya menangis? Sungguh satu kalimat yang sempat diri ini terpaku, bibir bergetar tak mampu berkata apapun. "Ibu sedih, Ramadhan kali ini tak sanggup khatam Qur'an empat kali. Ramadhan tahun lalu, bisa empat kali". Pukulan telak menohok bilik terdalam hati ini, betapa saya yang masih muda ini harus tersengal-sengal untuk mengkhatamkan satu kali saja. Usia saya baru 32 tahun, bandingkan dengan ibu yang sudah 58 tahun...

Hari terakhir itu juga saya berpapasan dengan Abah -demikian saya memanggilnya-, mantan penjaga Masjid Annur, masjid di kawasan tempat tinggal ibu. "Ramadhan ini Abah nggak sempurna, tiga kali Abah nggak sholat tarawih di masjid. Ini kaki nggak bisa diajak kerjasama sih..." Duh, satu tamparan keras lagi untuk saya. Lelaki berusia 67 tahun itu mengeluh Ramadhannya tak sempurna hanya karena tiga kali tidak tarawih di masjid. Ia mengerjakannya di rumah, lantaran reumatiknya kambuh. Bagaimana dengan saya? Kesibukan pekerjaan membuat saya lebih sering bertarawih di rumah. Sempurnakah Ramadhan saya?

Sehari sebelumnya, saya masih berhitung-hitung soal berapa infak yang harus dikeluarkan bulan ini. Padahal di luar sana, orang-orang sudah berlomba memperbanyak infak dan sedekahnya. Mereka lebih cepat menghitungnya, lebih cepat juga mengeluarkannya. Jangan-jangan, saya lebih banyak berpikir untung rugi, dan takut kalau-kalau kehabisan uang untuk berhari raya.

Ya Allah, pantaskah hamba menjadi fitri di hari lebaran esok?

Bayu Gawtama