Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Monday, July 19, 2010

ACT Road to Palestine; “Gaza, Terimalah Kami” (bag 8)

Ada satu kalimat yang cukup terkenal terkait dengan kesempatan, yakni “no second chance” yang terjemahan bebasnya berarti “tidak ada kesempatan kedua”. Kalimat ini sering dipakai oleh banyak orang untuk menggambarkan betapa pentingnya memanfaatkan setiap kesempatan yang ada –untuk melakukan sebaik-baiknya- karena belum tentu ada kesempatan kedua untuk melakukannya. Situasi ini menggambarkan sebuah semangat bagi siapapun untuk tidak menyia-nyiakan waktu, peluang, kesempatan sekecil apapun untuk berbuat yang terbaik. Sebab telat sedikit saja, atau lalai kita memanfaatkan peluang itu, akan merugilah kita. Pepatah barat lain mengatakan, “time is money”, yang saya lebih suka mengartikannya, “waktu sangat berharga, karena tidak bisa dihentikan, tidak akan pernah bisa diulang”.

Begitu pentingnya waktu, bahkan Sang Khaliq pun bersumpah atas nama waktu dan kerugian bagi mereka yang tidak bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Nilai takwa dan terus menerus berbuat kebaikan adalah cara terbaik agar tidak menjadi orang yang merugi, ditambah terus mengingati sesama untuk teguh pada kebenaran, serta mengajak –dirinya- dan orang lain untuk senantiasa bersabar.

Semangat memanfaatkan peluang inilah yang mendorong tim ACT untuk bergerak ke perbatasan Rafah pada Kamis, 15 Juli 2010, untuk mencoba menembus pintu perbatasan. Saya berani bilang, bahwa perbatasan itu bukan untuk membatasi melainkan sebuah tantangan untuk bisa melintasinya. Begitu pula dengan kehidupan ini, segala rintangan di hadapan itu bukan kemudian membuat kita berhenti melangkah, tetapi justru untuk membuat kita semakin percaya diri setiap kali mampu mengatasi rintangan yang ada.

Rabu tengah malam sebelumnya, kami mulai berkemas. Merapihkan pakaian dan memasukannya ke dalam tas besar serta memilih barang-barang penting untuk dibawa. Beberapa perlengkapan yang dirasa masih boleh ditinggal sementara kami tinggal dulu di Wisma. Kamis pagi, usai sholat subuh kembali mengecek semua barang-barang yang akan dibawa. Sekitar pukul 05.30, Taryudi Kasimun, relawan yang juga mahasiswa Al Azhar Kairo datang menjemput. Melajulah kendaraan itu menuju Rafah dengan empat penumpang, Imam Akbar, Bayu Gawtama, Arif Hendra dan Taryudi. Dua nama terakhir adalah mahasiswa Al Azhar Kairo yang menemani tim ACT selama di Mesir, sekaligus sebagai penerjemah bahasa.

Berbekal pengalaman tahun sebelumnya, Imam Akbari mengingatkan bahwa kita akan melewati sekitar tujuh atau delapan pos pemeriksaaan (check point/CP) untuk mencapai Rafah. Perjalanan dari Kairo sampai ke Rafah diperkirakan berlangsung selama kurang lebih lima jam. Sedangkan pihak imigrasi di Rafah biasanya dibuka pukul sepuluh pagi. Dengan demikian, jika tidak ada aral yang signifikan maka tim akan tiba di perbatasan Rafah tepat pada saat imigrasi dibuka. Pos pemeriksaan pertama, kami lewati meskipun memakan waktu cukup lama, hampir lima belas menit. “Baru satu CP saja sudah cukup lama, bagaimana melewati CP lainnya?” gumam saya sambil terus berdzikir agar bisa melewati ujian pertama ini.

Sukur alhamdulillah, ternyata di pos-pos berikutnya tidak seketat pada pos pemeriksaan pertama. Hanya di pos kedua kendaraan kami masih dihentikan petugas dengan menanyakan maksud kunjungan ke Rafah. Di pos pertama, Taryudi yang sama sekali tidak menggunakan atribut ACT, turun untuk menjelaskan kepada petugas. “Saya mengantar turis, melihat-lihat Terusan Suez dan Kota El Arish,” kilahnya. Memang untuk menuju Rafah, akan melewati jembatan yang sangat tinggi dan panjang yang melintasi Terusan Suez. Sedangkan El Arish adalah Kota Pelabuhan, kota terakhir sebelum memasuki wilayah Rafah. Jarak El Arish dan Rafah kurang lebih 40 km atau sekitar setengah jam perjalanan.

Seperti biasa, di setiap pos semua anggota tim diminta untuk memerlihatkan paspor atau kartu identitas lainnya termasuk SIM dan kartu mahasiswa Al Azhar. Hanya sampai pos dua pemeriksaan berlangsung ketat, sebab di pos-pos berikutnya tidak lagi dihentikan. petugas-petugas hanya mengawasi setiap kendaraan yang lewat. Di perjalanan, sebuah mobil melintasi kendaraan kami, rupanya rombongan tim kemanusiaan Dompet Dhuafa, sambil melambaikan tangan. “Saya kira mereka sudah berangkat ke Rafah sejak semalam, ternyata baru berangkat juga,” ujar Imam Akbari.

Sepanjang perjalanan, mas Imam terus mengontak dr. Arif dari tim MERC yang juga akan bertolak menuju Rafah. Hanya bedanya, mereka bukan dari Kairo melainkan dari El Arish. Sejak kedatangan mereka satu hari sebelumnya, mereka langsung menginap di El Arish. Beruntung bagi tim MERC, karena lima dari sepuluh anggota tim mereka sudah mengantongi izin masuk ke Gaza dari State Security Mesir. Kami cukup was-was, apakah bisa memanfaatkan masuknya tim MERC ini untuk ikut masuk juga. Bismillah, Allah yang mengatur segalanya, pikir kami.

Sekitar pukul 10.30, kami pun tiba di Rafah. Sebuah kota yang minim penduduknya, lebih mirip kota mati, sangat gersang dan tandus. Hampir tidak ada kehidupan di Rafah, El Arish merupakan tempat persinggahan terakhir sebelum ke Gaza. Menurut cerita mas Imam, ketika situasi darurat pada Januari 2009 lalu, Rafah benar-benar kota mati, di setiap sudut pasukan militer berjaga dengan senapan terhunus. Bahkan di setiap pos pemeriksaan yang tadi kami lewati dengan tenang, sangat ketat dan penuh pasukan militer di tahun 2009 itu.

Tak berapa lama tiba di Rafah, tim MERC pun tiba bersama Bang Joserizal sebagai komandannya. Sepuluh menit kemudian, tim DD pun datang. Mereka terlihat lebih santai kali ini, rupanya mereka sudah mengantongi izin dari State Security. Bambang Suherman, langsung mendatangi tim ACT dan bilang, “Insya Allah kami masuk duluan, kami doakan ACT segera masuk juga,” ia sangat yakin. Memang jalur yang ditempuh tim DD berbeda dengan yang kami tempuh, mereka mengatasnamakan media, sehingga pengurusan izinnya melalui Departemen Penerangan atau Press Centre, sehingga pihak Press Centre itulah yang menghubungi pihak Kemenlu dan State Security untuk memberi izin tim media itu masuk. Berbeda dengan kami yang atas nama lembaga kemanusiaan, maka satu-satunya jalan hanya melalui Kemenlu, kemudian ke State Security (SS).

Ratusan orang mulai memadati pintu gerbang perbatasan, orang-orang Palestina yang dari luar hendak masuk, sebagian mereka adalah warga Palestina yang tinggal di luar negeri dan pulang untuk berlibur ke negaranya. Tidak hanya orang-orang Palestina, orang asing dari berbagai negara, baik pekerja sosial, para relawan kemanusiaan seperti kami yang dari Indonesia dan berbagai orang dengan berbagai kepentingan lainnya mencoba masuk melalui gerbang Rafah.

Kami tak mau ketinggalan ikut dalam antrian, tim DD masuk lebih dulu, baru kemudian kami bisa ikut masuk dengan terlebih dulu melobi seorang penjaga gerbang bernama Muhammad. Arif, relawan kami ini rupanya pandai bicara juga, dan boleh dibilang sok akrab sama orang Mesir. “Ya Muhammad…” sapa Arif kepada penjaga gerbang. Yang disapa pun langsung membalas sapaan Arif dengan akrab. Soal rahasia keakraban ini, nanti saya ceritakan di bab berikutnya.

Ketika kami bisa masuk, sungguh bersyukur sekali, karena jarang sekali yang bisa melewati gerbang yang terkenal ketat itu. langkah-langkah tegap dan pasti kami ayunkan, saya dan mas Imam terus berdzikir sepanjang jalan dari pintu gerbang menuju kantor imigrasi yang berjarak sekitar seratus meter di hadapan kami. “Ya Allah, mudahkanlah urusan kami,” harapan kami, petugas tidak memanggil kami kembali ke gerbang karena kejanggalan dokumen. Petugas, di pintu gerbang memang memegang sepuluh surat untuk sepuluh relawan asal Indonesia. Kami tahu, sepuluh itu berarti lima dari MERC dan lima orang lagi dari DD. Kami tahu bahwa petugas tidak mengecek satu persatu, asalkan dari Indonesia sepanjang jumlahnya belum sepuluh orang akan diizinkan masuk. Setelah sampai di kantor imigrasi, barulah masalah timbul. Terutama setelah tim MERC yang berjumlah sepuluh orang juga hendak masuk. Saya, mas Imam dan Arif dipanggil lagi keluar gerbang. Setelah tim MERC masuk semua, kami kembali melobi petugas bernama Muhammad agar diberi izin masuk.

Alhamdulillah, Muhammad memang baik hati, terlebih dulu Arif memuji kebaikan petugas itu. “Kata orang KBRI kami, temui saja orang bernama Muhammad, dia petugas yang paling baik di gerbang,” si petugas pun tersipu-sipu dibuatnya. Kami pun kembali diizinkan masuk, kali ini kami bertambah yakin bahwa hari itu akan menjadi hari bersejarah untuk menginjakkan kaki di tanah Palestina. Pukul 12.50, kami memasuki kantor imigrasi untuk dilakukan pengecekan paspor dan surat izin lainnya.

Sepanjang kurang lebih dua jam, mulut ini tak berhenti berdzikir untuk menjamin segala proses pemeriksaan di imigrasi berjalan lancar. Saya duduk di lantai sambil men-charge handphone yang mulai lowbat. Dari jarak sekitar lima belas meter, saya melihat mas Imam juga nampaknya terus berdzikir. Saya tahu yang ada di benaknya, sama persis dengan yang saya pikirkan. Kami harus bisa melewati proses ini untuk bisa masuk ke Gaza. Sekitar pukul tiga sore, kami dipanggil pihak intelejen Mesir ke ruangannya. Di ruangan itu juga sudah ada dua orang tim DD dan dua orang tim MERC. Semua perwakilan tim kemanusiaan dari Indonesia dipanggil karena jumlah yang masuk ke kantor imigrasi tidak sesuai dengan jumlah izin yang sudah dikeluarkan pihak State Security.

Yang sudah mendapat izin masuk hanya sembilan nama, sedangkan seluruh relawan dari Indonesia yang ada saat itu delapan belas orang. Ini yang dipermasalahkan, sehingga mereka memproses terlalu lama. Mereka hanya bisa meloloskan sembilan nama, sedangkan sisanya diminta kembali ke luar pintu gerbang. Kami sempat bernegosiasi, perlu waktu hampir dua jam untuk terus melobi pihak imigrasi itu, namun hasilnya tetap nihil. Dengan berat hati, tim ACT bersama sebagian tim MERC harus keluar kembali ke gerbang perbatasan Rafah.

Di depan mata kami, tanah Palestina terbentang luas, bendera Palestina sudah terlihat berkibar hanya berjarak beberapa puluh meter saja. Namun ujian demi ujian harus kami hadapi dulu sebelum kami benar-benar siap menghadapi ujian sesungguhnya di Jalur Gaza. Proses panjang mulai dari gerbang perbatasan Rafah, masuk ke kantor imigrasi untuk melalui proses interogasi dan negosiasi yang alot, sampai mas Imam harus mengganti kaca matanya karena patah, adalah bagian dari ujian dan pengorbanan menuju Gaza. Semoga semua itu tercatat sebagai sebuah keberhasilan, bahwa tolak ukur keberhasilan sebuah perjuangan bukan pada hasil, tetapi pada proses yang ikhlas dijalani. Sekadar membuka pintu perbatasan, hal kecil bagi Allah jika Ia berkehendak. Tetapi kita memang diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani proses yang berlika liku ini agar kita semakin sadar bahwa perjuangan itu memang tidak mudah.

Ya Allah, hanya perlu selangkah lagi kami bisa menginjakkan kaki di bumi para pejuang, tanah Palestina yang suci. Kami akan tetap bertahan disini, untuk terus mencoba masuk sampai tanah Palestina bisa kami pijak. Sementara itu, beberapa hal penting masih harus kami urus, sambil menunggu izin dari State Security keluar untuk kami. Saya langsung mengirim pesan singkat ke isteri di rumah, bahwa kami gagal masuk hari ini. Sebuah jawaban SMS hadir menyejukkan hati, “Allah memang belum mengizinkan hari ini, kalau Allah sudah berkehendak, tidak satupun bisa menghalangi langkah Abi menuju Palestina. Insya Allah,” ah sejuknya mampu menghalau panas terik kota Rafah.

Dalam kaitannya dengan Gaza, kami senantiasa berkeyakinan, “Selalu ada kesempatan berikutnya”. Maaf, untuk kondisi seperti yang kami hadapi saat ini, kami buang jauh-jauh kalimat “No Second Chance” untuk sementara waktu. Kami sandarkan harapan tertinggi dan satu-satunya hanya kepada Allah, bukan yang lain. Kami mencoba meniru para pemuda Al Kahfi untuk bertawasul dengan amal shalih yang kami punya, semoga masih ada sedikit amal shalih yang masih pantas kami persembahkan untuk membuka pintu Rafah, seraya menunduk merendah, “Gaza, terimalah kami”.(Gaw, dari Rafah)

ACT Road to Palestine; Mesir yang Dermawan dan Mudah Memaafkan (bag 7)

Apa yang Ada di benak kebanyakan orang Indonesia bila disebut nama Mesir? Husni Mubarak, Sungai Nil, Piramid, Firaun, Mummi, Al Azhar, Padang Pasir, Terusan Suez dan Bukit Tursina adalah beberapa contoh nama yang sangat dekat dan terkait erat dengan nama negara Mesir, meski sebenarnya Mesir bukan hanya terkait dengan nama-nama tersebut. Jika pertanyaannya dikembangkan, apa yang langsung terpikir oleh orang Indonesia terkait antara Indonesia dan Mesir? Jawaban pertama mungkin soal sejarah, bahwa Mesir adalah negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan bagi penggemar film tentu saja akan menyebut satu judul film Ketika Cinta Bertasbih (KCB), sebagai hal terkait Indonesia dan Mesir.

Cuma itu? berarti banyak hal yang belum diketahui tentang Mesir dan hubungannya dengan Indonesia. Saya pun demikian, perjalanan ke Mesir ini tentu saja membuka mata saya lebih jauh tentang Mesir, meskipun baru beberapa hari saja berada di negara ini. Meski hanya seujung kuku hal baru yang saya ketahui tentang negara ini dan kaitannya dengan Indonesia, bolehlah dibagi-bagi pengetahuan sederhana ini.

Pertama, hal baru yang saya dapatkan misalnya, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Al Azhar, Kairo memiliki peran yang sangat besar dalam hal pengakuan kedaulatan Republik Indonesia paska proklamasi. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia sudah melakukan studi di Kairo sejak tahun 1920-an dan pada masa sebelum kemerdekaan mereka ikut melakukan pendekatan-pendekatan terhadap pemerintah Mesir saat itu untuk memberi pengakuan kedaulatan. Selama ini, dalam berbagai pelajaran sejarah yang didapat, kita hanya tahu kulitnya saja bahwa Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, namun belum pernah ada penjelasan bagaimana proses yang terjadi sehingga pengakuan kedaulatan itu ada.

Kedua, hubungan persahabatan Indonesia dan Mesir secara resmi sudah berlangsung selama 63 tahun, meskipun dari beberapa fakta hubungan itu sudah berlangsung jauh sebelum tahun-tahun awal paska kemerdekaan Indonesia. Soekarno sebagai Presiden RI pertama sangat erat bersahabat dengan Gamal Abdel Nasser, sebagai pimpinan Mesir pada saat itu. Yang menarik, Soekarno begitu dikenal di negara ini tidak hanya pada masa orator ulung itu menjadi presiden, melainkan hingga saat ini. Penjelasan yang sangat menarik diceritakan Burhanuddin Badruzzaman, Minister Counsellor KBRI di Kairo. Ketika ia menyampaikan rencana acara peringatan 63 tahun persahabatan kedua negara kepada Direktur Opera House di Kairo –saya lupa namanya-, sang Direktur terkejut begitu melihat sampul depan buku persahabatan Indonesia Mesir yang bergambar Soekarno dan Gamal Abdel Nasser tengah menikmati indahnya pemandangan di tepi Sungai Nil. “Soekarno, Soekarno…” teriaknya, kemudian ia bercerita saat kecil, bahwa ia termasuk anak-anak yang berbaris di pinggir jalan Kota Kairo menyambut kedatangan Presiden Soekarno ke Kairo, dengan lambaian bendera merah putih.

Hal lain yang tak kalah menarik untuk diceritakan tentang Mesir adalah tentang kedermawanan negara ini yang sangat menginspirasi. Dubes RI di Kairo, Abdurrahman Muhammad Fahir bertanya retoris kepada tim ACT, “Anda tahu berapa mahasiswa Indonesia yang kuliah di Mesir saat ini?” Saya pernah mendengar dari beberapa mahasiswa pengurus Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Kairo, jumlahnya sekitar 4000 hingga 5000 mahasiswa yang tersebar di beberapa kampus. Universitas Al Azhar merupakan kampus terbesar yang menampung berbagai mahasiswa dari dalam dan luar negeri. “Untuk mahasiswa Indonesia saja, dana yang dikeluarkan sekitar 2,3 miliar rupiah per tahun. Karena kuliah disini memang tidak dipungut biaya,” kata Dubes.

Itu baru untuk mahasiswa asal Indonesia, belum lagi dari negara lainnya seperti misalnya Malaysia yang disebut-sebut jumlah mahasiswanya yang kuliah di Al Azhar jauh lebih banyak dari Indonesia. Yang menarik dan cukup menggelitik disampaikan Dubes, justru karena gratisnya itulah tidak sedikit mahasiswa Indonesia telat lulusnya, persis seperti kisah Azzam di film KCB. “Kuliah di sini kan tidak seperti di Indonesia, di sini tidak pernah ada absen,” soal ini diakui oleh para mahasiswa di Mesir. Meskipun mereka berkilah, “banyak juga kok yang cerdas-cerdas dan lulusnya cepat, tepat waktu dan mendapat nilai baik sekali,” bela para mahasiswa.

Satu cerita ringan dan menarik, meski sudah lazim bagi siapapun yang tinggal di Mesir adalah orang-orang Indonesia disini dikenal ramah dan sopan. Namun cerita menariknya justru bukan dari orang Indonesianya, melainkan kebiasaan orang-orang Mesir. Salah satu karakter kebanyakan orang di Mesir adalah mudah memaafkan. Kalau di Jakarta orang berkendaraan baik motor terlebih mobil saling bersenggolan bisa menimbulkan keributan dan baku hantam. Lecet sedikit bisa langsung pukul, tidak cukup memaki-maki. Saling baku hantam itu nyaris akan tidak ditemukan di Mesir. Setiap hari saya temukan mobil saling bersenggolan, bahkan tabrakan di kota Kairo, namun tidak pernah sampai terjadi baku hantam antar pemilik kendaraan. Mereka memang turun dan ributnya cukup dimulut saja, setelah itu mereka saling cium pipi kanan dan kiri, selesai masalah. Tidak pernah berlanjut sampai tuntutan ganti rugi atau bahkan sampai ke pengadilan lazimnya di Indonesia.

Maka jangan aneh, sepanjang mata memandang ke seluruh penjuru kota dan jalan raya, baik yang sedang parkir atau melaju cepat, sulit menemukan mobil di Kairo dalam kondisi mulus tanpa lecet dan penyok di beberapa bagian bodi mobil. Mobil-mobil banyak yang mewah, namun boleh dipastikan tidak mulus seperti kebanyakan mobil di Jakarta yang selalu terawat setiap hari. Saya yang baru pertama kali ke Kairo sempat berpikir, buka usaha cuci steam mobil di Kairo bagus juga nampaknya, hmm. (Gaw)

Sunday, July 18, 2010

ACT Road to Palestine; Jaga Keikhlasan, Pesan Pak Dubes (bag 6)

Hari ke empat di Kairo, Ahad, 11 Juli 2010, tim ACT kembali dijadwalkan untuk bertemu secara resmi dengan Duta Besar RI untuk Mesir, Abdurrahman Muhammad Fahir, setelah pertemuan sebelumnya yang kurang resmi di acara aqiqah putra salah satu staf KBRI Kairo di Masjid Indonesia Kairo hari Jum’at (9/7) lalu. Pukul 15.00 waktu Kairo kami tiba di KBRI dan dipersilahkan menunggu karena Dubes masih menghadiri acara yang lain.

Tak lebih dari setengah jam kemudian, kami dipersilahkan untuk bertemu dengan Dubes di ruang tamunya. Satu ruangan yang cukup bersahaja dan sederhana, sesederhana orangnya. Setidaknya kesan sederhana inilah yang pertama kami tangkap dari Dubes RI sejak pertemuan pertama. Pada kesempatan kedua kali ini, ternyata tidak berubah kesederhanannya meskipun ia harus menggunakan pakaian standar kenegaraan pada umumnya, jas dan dasi. Mengutip komentar Pak Burhanuddin Badruzzaman, Minister Counsellor KBRI di Kairo, “Memang beda rasanya kalau Pak Dubesnya itu Kyai”.

Hanya perlu menunggu dua menit, ‘Pak Kyai’ pun datang dan menyalami tim ACT. Ia mengaku selalu bangga dan kagum kepada tiim kemanusiaan, apapun namanya, yang berasal dari tanah air. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang peduli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang peduli. “Jelas saya kagum terhadap orang-orang seperti Anda,” ujarnya.

Kepada tim ACT, Dubes menyampaikan bahwa ia memahami betul tingginya kepedulian masyarakat Indonesia terhadap bangsa Palestina sehingga setiap saat bantuan terus mengalir baik melalui pemerintah maupun lembaga-lembaga kemanusiaan. Jadi sangat wajar jika berbagai lembaga kemanusiaan pun berdatangan ke Mesir untuk terus ke Gaza untuk menyampaikan bantuan tersebut. Oleh karena itu, kadang ketika satu lembaga tidak mampu mengirimkan bantuan langsung ke Gaza lantaran visanya belum keluar dari pemerintah Mesir, ia pun bisa memahami jika orang-orang dari lembaga atau elemen masyarakat itu kemudian ada yang bereaksi keras terhadap Kedutaan Besar Mesir di Jakarta. “Ya boleh jadi mereka juga merasa terdesak oleh kewajiban untuk menyampaikan bantuan itu secepat mungkin,” kata Dubes Abdurrahman.

Menurut Dubes, selalu ada ujian bagi tugas kemanusiaan kemanapun, terlebih ke Palestina. Salah satu ujian pertama adalah menjaga kesabaran perihal pengurusan visa di Jakarta. Kedubes Mesir di Jakarta, kata Dubes, adalah perwakilan pemerintahan resmi negara mereka di Indonesia. Jadi jika kita datang ke kedubes mereka layaknya datang ke negara mereka sendiri. Ada cara dan etika yang harus dijunjung tinggi masyarakat Indonesia ketika berada di Kedubes Mesir. “Saya sarankan sebelum mengajukan permohonan visa, sebaiknya elemen masyarakat bersilaturahim dulu ke Duta Besarnya, sampaikan siapa Anda dan lembaga Anda serta visi dan misinya. Saya yakin Duta Besar akan menerima dengan baik. Setelah ia kenal baik dengan Anda, saya kira akan lebih mudah baginya untuk memberikan izin masuk ke negaranya. Bahkan lebih dari sekadar masuk ke Mesir, mungkin Pak Dubes akan ikut memberi rekomendasi kepada Kemenlu disini agar tim Anda diberi izin masuk ke Gaza karena ia mengenal Anda dengan baik,” papar Dubes Abdurrahman seraya mencontohkan, boleh jadi izin yang didapat Parlemen Indonesia memasuki Gaza salah satunya dari pendekatan-pendekatan secara pribadi.

Dalam kesempatan itu, Dubes juga menyesalkan sikap-sikap reaktif dan negatif yang muncul dari sejumlah orang ketika visa dari Mesir belum diberikan. Ada yang menuduh Mesir tidak berpihak pada dunia Islam dan menjelek-jelekkan pemerintah Mesir sesukanya. Bahkan ada yang berani melempari Kedubes dengan bom molotov. Masing-masing negara punya budaya dan kebiasaan yang berbeda. Jika di Indonesia, jangankan bom molotov, bom yang sebenarnya rasanya sudah biasa. Tetapi bagi pemerintah Mesir, bom molotov itu penghinaan. Jangankan bom molotov, demonstrasi saja tidak lazim di Mesir. “Dengan sikap negatif seperti itu jangan harap visa didapat. Jadi sebaiknya tetap bersabar, kita bersikap baik Insya Allah pemerintah Mesir pun senang,” katanya.

Tidak ada salahnya, lanjut Dubes, dalam rangka menjaga hubungan baik dengan pemerintah Mesir kita senantiasa mengedepankan kebaikan-kebaikan dan hal positif dari sebuah negara. Seperti halnya Indonesia, negara lain seperti Mesir mungkin punya sisi negatif, namun pasti jauh lebih besar sisi positifnya. Sampaikan atau tuliskan hal-hal baik dan positif tentang suatu negara, pasti pemerintah itu menyukainya. “Contohnya kita, kota Jakarta banyak yang indah dan bagus, tapi kalau orang menyoroti dan mempublikasikan Jakarta dari sudut Sungai Ciliwung yang penuh sampah misalnya, pasti kita tidak suka kan?”

Pertemuan dengan Dubes Abdurrahman di ruang tamunya itu sebenarnya lebih mirip sebuah forum pengajian. Beliau banyak mengeluarkan nasihat dan kadang-kadang mengutip ayat al quran. Pak Badruzzaman memang benar, Dubes RI di Kairo ini memang seorang ulama. Nasihat-nasihatnya begitu dalam dan mengena. Selain tentang kesabaran, Dubes juga berpesan agar para relawan kemanusiaan ini senantiasa menjaga keikhlasan. Tidak ada jaminan sudah datang ke Mesir akan bisa masuk ke Gaza, ada yang sudah berminggu-minggu menunggu di Rafah namun akhirnya pulang dengan tangan hampa. Namun ada yang baru tiba di Rafah, justru pada saat pintu Rafah dibuka. Hal seperti ini juga disampaikan Pak Badruzzaman usai pertemuan dengan Dubes. “Kalau ikhlas, ya kita akan terima semua ketentuan Allah. Jika tidak bisa masuk ya karena Allah belum menghendaki, begitu sebaliknya. Jadi tetap jaga keikhlasan dan luruskan niat, insya Allah keikhlasan ini juga membantu mempermudah perjalanan ke Gaza,” pesan Dubes.

Terima kasih buat Dubes Abdurrahman Muhammad Fahir, ‘sang Kyai’ dengan segala nasihatnya, terima kasih kepada Pak Burhan yang dengan sabar melayani tim ACT sampai harus meninggalkan pertemuan dengan para ilmuwan yang tengah berkumpul di KBRI, dan kepada seluruh staf KBRI yang sangat membantu dan memfasilitasi segala keperluan tim ACT. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan bapak-bapak semua. (gaw)

ACT Road to Palestine; Jangan Sombong Kawan! (bag 5)

Tugas kemanusiaan ke Palestina bukan sembarang tugas, siapapun yang diberi amanah untuk berangkat ke Palestina mesti jauh-jauh hari menyiapkan diri, membersihkan hati dan meluruskan niatnya agar tak terbersit sedikitpun hal-hal yang mengotori hati sehingga mengurangi keberkahan tugas itu. Buang jauh-jauh perasaan bahwa kita orang pilihan –baca; orang terbaik- di lembaga sehingga layak diberi amanah yang luar biasa seperti ini. Singkirkan pikiran bahwa kita ini hebat, sehingga tugas berat memang hanya untuk yang hebat. Bukan, bukan karena itu kawan. Bukan karena Anda orang terbaik atau terhebat sehingga diberi amanah ini, semuanya rahasia Allah. Bisa jadi justru sebaliknya, Allah tengah menguji orang-orang yang sesungguhnya lemah untuk menjadi kuat dengan tugas ini, memberi pelajaran bagi orang-orang yang selama ini kurang mengambil banyak hikmah di muka bumi ini.

Maka wajar ketika saya dan mas Imam ditunjuk untuk mengemban amanah ini, muncul keyakinan bahwa ini bukan karena kami yang terbaik, justru sebaliknya ini merupakan ujian buat kesabaran dan keyakinan kami. Beberapa pekan yang kami lakukan sebelum keberangkatan misi ke Palestina adalah memerbaiki diri, membersihkan hati, menguatkan mental dan senantiasa meluruskan niat. Kita bukan hendak menjadi pahlawan penolong rakyat Palestina, bukan, bukan itu kawan! Allah yang akan menentukan apakah kita bisa memasuki Gaza atau tidak sama sekali, meski sudah beberapa kali kita mencoba menembus blokade. Bukan Israel atau Pemerintah Mesir yang berkuasa, sangat mudah bagi Allah untuk mengatur semua yang ada di bumi ini, terlebih sekadar membuka pintu perbatasan di Rafah. Itu perkara sepele bagi Allah.

Allah yang akan menilai apakah orang-orang berlabel “relawan kemanusiaan” ini pantas atau tidak memasuki tanah suci Palestina. Pandangan Allah pasti menangkap sebutir debu yang mengotori hati para relawan, dan jika pada akhirnya perbatasan tetap tertutup boleh jadi karena Allah belum ridha tanah suci-Nya dimasuki oleh orang-orang yang hatinya kotor dan niatnya tidak lurus. Apakah setiap orang yang berhasil memasuki Gaza boleh dibilang hatinya bersih? Tidak juga, ini semua rahasia Allah semata. Nalar kita tidak akan pernah sampai untuk menganalisa kehendak Allah. Allah menghendaki siapa yang berhak dan siapa yang tidak, yang terpenting adalah berupaya tetap membuat Allah tersenyum dan akhirnya memberikan ridha-Nya untuk memasuki Gaza.

Salah satu cara Allah membersihkan niat dan hati saya adalah, dengan Allah memberi saya dua kesakitan dalam perjalanan menuju Palestina ini. Pertama ketika masih di Abu Dhabi, penyakit asam urat yang sudah lebih satu tahun tidak saya rasakan tiba-tiba terasa. Sehingga saya harus pincang-pincang ketika turun di Kairo. Bahkan sakitnya tidak tanggung-tanggung, kaki saya semakin bengkak dan belum pernah sebesar kali ini. “Ya Allah ini sakit sekali, saya ikhlas ya Allah jika ini untuk mencuci dosa-dosa saya,” gumam saya.

Sampai hari kedua di Kairo, kaki saya masih terasa sakit meskipun saya sudah mengonsumsi obat herbal yang dititipkan seorang sahabat di komplek rumah. Jika bukan karena tekad kuat untuk melakukan banyak hal di Kairo sebagai persiapan menuju perbatasan Rafah, mungkin saya hampir tidak kuat berjalan. “Saya tidak boleh kalah dengan rasa sakit ini, rakyat di Palestina jauh lebih menderita dari sekadar yang saya rasakan, bismillah…”

Saya baru tersadar, selain berharap rasa sakit itu bisa mengurangi dosa-dosa saya sebelum berangkat, saya pernah berkata, “Alhamdulillah, sudah satu tahun lebih saya tidak pernah lagi merasakan sakit asam urat berkat obat herbal tersebut,” beberapa teman pasti pernah mendengar ucapan saya ini. Sehingga saya merasa yakin penyakit ini tidak akan mengganggu perjalanan tugas kemanusiaan ke Palestina. Tetapi Allah Maha Berkuasa, tiba-tiba sakitnya datang disaat saya harus mengemban tugas ini. Masya Allah, ampuni hamba ya Allah…

Kedua, di hari kedua di Kairo, Jumat menjelang sore matahari terasa menyengat hingga hampir 50 derajat celcius, tiba-tiba saya merasa kedinginan. Saya panas dingin dan bilang ke mas Imam soal keadaan ini. Boleh jadi, menurut mas Imam, karena faktor cuaca. Tapi bagi saya tidak ketika saya menyadari ucapan saya yang lain ketika masih di tanah air jauh hari sebelum ada rencana keberangkatan ke Palestina. “Alhamdulillah sudah lebih empat tahun saya tidak pernah sakit, paling-paling hanya flu biasa”.

Di hari itu, saya demam, kepala pusing dan saya minta ke mas Imam agar kita kembali ke Wisma saja untuk beristirahat, meskipun saat itu sudah hampir pukul 19.00 waktu Kairo. Sampai di Wisma saya mencari obat yang dibekali Rini Maryani, salah satu tim program ACT dan langsung istirahat. Meski semalaman kedinginan, namun menjelang tengah malam berangsur pulih. Disaat itulah saya sadar, bahwa sakit demam ini juga teguran dari Allah atas ‘kesombongan’ saya semasa di tanah air.

Kepada diri saya sendiri saya menegur keras, “Jangan sombong kawan!”, ini pelajaran berharga buat saya yang tanpa sadar meski tipis dan tidak kelihatan namun tetap sombong, padahal sombong itu hak prerogatif Allah. Wallaahu ‘a’lam

Gaw, Kairo 11 Juli 2010

ACT Road to Paletine; Tidak Semua Bisa Berangkat, Tapi Semua Bisa Ambil Peran

Sebagai warga negara yang baik tentu saja kami wajib melaporkan kedatangan tim ke pihak Kedutaan Besar RI di Kairo di 13 Aisha El Taimouria Street, Garden City, Cairo, sekaligus ingin bertemu dengan Pak Badruzzaman Burhanuddin, yang sudah sering kontak dengan kami semasa masih di tanah air. Rupanya Pak Burhan inilah yang sangat berperan membantu agar visa dari berbagai lembaga kemanusiaan, termasuk ACT, bisa segera dikeluarkan. Namun di hari itu, Rabu sore, 8 Juli 2010, Pak Burhan belum bisa ditemui karena tengah melakukan pertemuan yang penting.

Setelah batal bertemu dengan pihak Kedutaan Besar RI di Kairo pada tanggal 8 Juli 2010, karena Pak Burhanuddin Badruzzaman, Minister Counsellor, maka dibuat janji untuk bisa bertemu esok hari. Malam harinya, Pak Burhan yang sangat ramah itu menelepon mas Imam bahwa kita bisa bertemu besok –Jum’at, 9 Juli 2010- di acara aqiqah putra salah satu staf KBRI di Masjid Indonesia Cairo di Kota Al Dokki, tentu saja sekaligus sholat jumat berjamaah.

Jum’at, 9 Juli 2010, sebelumnya kami berniat mencari sarapan di daerah Ashir, satu daerah yang banyak ditempati masyarakat –terutama mahasiswa- Indonesia dan Malaysia, sebab hanya di tempat itulah kita bisa mendapatkan makanan khas Indonesia seperti nasi goreng, bubur ayam, lontong sayur, sate padang, pempek dan masih banyak lagi. Namun karena waktu sudah agak menipis, kami putuskan langsung ke rumah Pak Burhanuddin sebelum ke Masjid Indonesia Cairo. Oya, seperti halnya di beberapa negara timur tengah lainnya, Jum’at adalah hari libur seperti halnya hari minggu di Indonesia. Jadi hampir semua kantor pemerintah dan juga swasta tutup pada hari itu, karena itulah Pak Burhan meminta kami bertemu di rumahnya.

Rupanya rumah tinggal Pak Burhan berada tepat di seberang Masjid Indonesia Cairo, tentu bukan karena itu beliau diamanahkan sebagai Ketua Masjid, jelas karena keshalehan dan kemampuannya memegang amanah yang tak ringan itu. Setelah bertemu, ternyata kesan ramah yang kami rasa saat di telepon lebih terasa lagi ketika berada di ruang tamu rumah Pak Burhan. Kami berbincang layaknya sudah sering bertemu sebelumnya dan sudah saling akrab seolah sahabat yang bertahun-tahun tidak bertemu. Yang menarik, jika tidak melihat ke luar jendela, serasa berada di tanah air. Sebab, makanan yang disajikan untuk kami khas Indonesia sekali, yakni bakwa, kerupuk gendar dan kwaci.

Pada kesempatan tersebut, Pak Burhan menyampaikan bahwa ia telah mengontak pihak Kementrian Luar Negeri Mesir terkait rencana tim ACT dan beberapa tim kemanusiaan Indonesia lainnya yang hendak memasuki Gaza melalui Rafah. Mulanya, memang hanya berkas tim ACT yang akan diserahkan ke pihak Kemelu Mesir, namun sebelum berkas itu diserahkan, baru berdatangan beberapa permintaan baru dari lembaga kemanusiaan lainnya dari Indonesia. Akhirnya beliau menunggu sampai terkumpul semua, baru dijadikan satu dan diserahkan semuanya ke pihak Kemenlu Mesir. “Mereka tidak suka kalau kita masukan satu, besok masuk lagi, besoknya masuk lagi. Bisa-bisa tidak diurus semuanya oleh mereka, atau bahkan hanya yang masuk terakhir yang diurus. Kasihan ACT nanti yang sudah lebih dulu malah tidak bisa masuk…” terang Pak Burhan.

Kabar ini tentu melegakan, sebab maksud kedatangan tim ke Kedubes dan bertemu Pak Burhan tidak lain memang untuk meminta kesediaan pihak KBRI untuk menghubungi pihak Kemenlu Mesir terkait rencana kami memasuki Gaza melalui Rafah. Sebab sesuai arahan dari Palestinian Red Crescent dalam surat yang kami terima sebelum kami tiba di Cairo mengatakan, bahwa mereka bisa membantu tim ACT memasuki Gaza dengan terlebih dulu ada kontak dari KBRI di Cairo kepada Kemenlu Mesir dan Misr Red Crescent (bulan sabit merah Mesir).
Jika demikian, maka KBRI secara proaktif telah mendaftarkan berkas-berkas kami dan mengontak pihak Kemenlu Mesir. KBRI pun akan membantu pertemuan kami dengan Bulan Sabit Merah Mesir dan Bulan Sabit Merah Palestina di Cairo. “Nanti saya temukan dengan Pak Iwan, dia yang akan membantu mengontak pihak-pihak terkait, insya Allah kami bantu semaksimal mungkin” ujar Pak Burhan.

Menurut Pak Burhan, pada dasarnya peluang untuk pihak Mesir membuka pintu perbatasan di Rafah pada kondisi saat ini masih terbuka. Salah satunya tekanan dunia yang terus berdatangan pasca kasus Mavi Marmara beberapa waktu lalu. Pemerintah Mesir sekarang diyakini Pak Burhan lebih kooperatif, bila dibandingkan sebelum ada kasus Mavi Marmara. Dalam kesempatan itu Pak Burhan juga sedikit menceritakan tentang masuknya anggota Parlemen Indonesia ke Gaza yang ditemani juga oleh staf KBRI di Cairo. Ada sedikit kekhawatiran beliau terkait kunjungan tersebut yang diharapkan tidak membuat pemerintah Mesir ‘kapok’ memberi izin masuk bagi siapa saja yang hendak ke Gaza. Namun intinya, kunjungan Parlemen Indonesia ke Gaza itu sebuah sejarah, belum pernah sebelumnya ada anggota parlemen dari negara lain yang diberi izin melewati Rafah. “Bahkan sesaat setelah parlemen Indonesia masuk, parlemen dari Jordania tidak diizinkan masuk. Padahal Jordania punya hubungan bilateral dengan Israel…” cerita Pak Burhan.

Terkait soal kunjungan parlemen Indonesia ke Gaza dengan segala pernak-perniknya, nanti saya ceritakan di kesempatan lain ya. (insya Allah di buku yang akan diterbitkan usai perjalanan kemanusiaan ini selesai, tentu saja ini hanya versi beberapa orang KBRI di Cairo).

Menjelang sholat Jum’at Pak Burhan mengajak kami ke masjid. “Insya Allah nanti di masjid kita bisa bertemu Pak Dubes dan staf KBRI lainnya,” ujarnya. Sebelumnya mas Imam memang sempat mengatakan bahwa kami ingin sekali bertemu dengan Pak Dubes, sebab pada kesempatan awal tahun 2009 lalu tidak sempat bertemu.

Di mata orang Mesir, Indonesia terkenal keramahan dan sopan santun yang disuguhkan setiap individunya yang berada di negeri pyramid ini. Tidak hanya orang-orang di KBRI, para pekerja ahli, juga sekitar lima ribu mahasiswa yang tersebar di beberapa kampus seperti Al Azhar, Kairo University dan Universitas Liga Arab. Oleh karena itu, meski pendatang baru di Mesir, kesan ramah itulah yang ingin kami hadirkan setiap kali bertemu dengan orang-orang Mesir, siapapun dan dimanapun.

Di masjid, usai sholat Jum’at dilangsungkan acara aqiqah untuk putra kedua salah satu staf KBRI, Ali Wardhana. Putranya diberi nama Abdurrahman Akhtar Wardhana yang lahir pada 17 Maret 2010 di Kairo. Duta Besar RI untuk Mesir, Abdurrahman Muhammad Fahir, pada saat sambutannya sempat menyatakan dukungannya untuk tim kemanusiaan ACT untuk Palestina. “Pada saat ini kita juga kedatangan tamu dari lembaga kemanusiaan ACT, yang datang jauh dari tanah air untuk membantu saudara-saudara kita yang belum beruntung di tanah Palestina yang hingga saat ini belum memeroleh kemerdekaannya,” papar beliau.

Pak Dubes meminta semua pihak di KBRI untuk mendukung penuh langkah tim kemanusiaan ACT yang akan menyampaikan bantuan bagi rakyat Palestina. Beberapa pihak terkait menyatakan siap membantu kelancaran proses memasuki Gaza. Inilah yang dimaksud dengan semua pihak bisa mengambil peran sesuai porsinya terkait persoalan Palestina. Tidak semua memang bisa berangkat ke Palestina, namun semua orang boleh dan bisa mengambil peran, apapun itu, tidak peduli besar atau kecil. Terima kasih untuk Pak Dubes, Pak Burhanuddin, Pak Iwan, Pak Thomas Siregar, Pak Ali Wardhana, Pak Nurus Syamsi dan semua pihak di KBRI yang terus membantu perjuangan tim ACT menuju Palestina. (Gaw, masih di kairo)

Sunday, July 11, 2010

ACT Road to Palestine; Anda Tidak Pernah Berjuang Sendirian (bag 3)

Pada dasarnya, kita tidak pernah sendirian di dunia ini, menjalani kehidupan, begitu juga berjuang melawan tantangan kehidupan. Meskipun pada saat kita secara fisik benar-benar sendiri, sesungguhnya tetap ada ‘orang’ yang menemani perjalanan Anda. Doa orang-orang yang mengasihi Anda misalnya, sepanjang jalan terus mengiringi. Walaupun secara fisik isteri, suami atau anak-anak tidak hadir, namun doa yang tak pernah putus dari mereka itulah sahabat perjalanan Anda yang setia. Tidak hanya itu, bagi seorang mukmin, tentu saja harus merasa yakin dimana pun dan kemanapun melangkah pasti Allah mengikuti, juga dengan para malaikat-Nya.

Seperti perjalanan tim ACT menuju Palestine di tahun 2010 ini. Saya memang tidak sendiri, berdua dengan mas Imam Akbari. Namun yang dimaksud terkait dengan judul diatas adalah kami berdua harus merasa yakin bahwa tim ini tidak berjuang sendirian. Ada berbagai pihak yang mendukung penuh perjuangan ini, serta menemani perjalanan tim ketika mulai berangkat dari rumah, ke kantor sampai ke bandara, dan terus menembus batas negara menuju Palestina.

8 Juli 2010, pesawat yang kami tumpangi mendarat di Cairo International Airport pada pukul 12.45 waktu lokal, terdapat perbedaan waktu sekitar empat jam lebih dulu di Jakarta. Satu hal yang ingin segera saya dapatkan adalah tas ransel besar di bagasi untuk mengambil obat andalan, yakni Habbatussauda (jintan hitam), sebab sejak masih di Abu Dhabi kaki kiri saya terasa sakit karena asam urat kambuh. Ini lantaran saya sudah beberapa hari sebelum keberangkatan tidak mengonsumsi obat ini karena kehabisan.

Di hari keberangkatan, usai sholat subuh berjamaah di masjid di lingkungan tempat tinggal saya, saya bertemu Arif, salah seorang jamaah masjid yang saya tahu menjual obat-obat herbal. Segera saya memesannya satu untuk dibawa dalam perjalanan ke Palestina. Pagi hari sebelum saya berangkat ke kantor, Arif datang ke rumah dengan Habbatussauda pesanan saya. Karena tahu obat itu akan saya bawa dalam perjalanan ke Palestina, Arif tidak mau dibayar. “Ini cara saya ikut bersama mas Bayu ke Palestina,” itu ucapannya.

Maka dari itu, ketika tas ransel sudah di tangan saya langsung segera mengambil obat itu dan meminumnya beberapa butir dengan harapan sakit di kaki saya segera hilang, minimal berkurang. Pada saat meminumnya, saya terkenang wajah tulus Arif dan kata-katanya yang menyemangati, “Ini cara saya ikut…”… Hmm, Arif benar, ia memang tengah ikut dalam perjalanan kami ke Palestina melalui Habbatussauda-nya ini.

Hal lain yang semakin membuat kami merasa bahwa dukungan dan ‘sahabat’ perjuangan ini begitu banyak adalah, ketika masih di Abu Dhabi saya memanfaatkan fasilitas internet gratis di Bandara Abu Dhabi untuk menulis artikel dan juga meng-update status facebook. Saya tulis dengan singkat, “Teman-teman di Jakarta, isiin pulsa ya…” karena pada saat itu baik saya maupun mas Imam sudah kehabisan pulsa, padahal kami tetap perlu memberi informasi setiap saat perjalanan kami ini. Sebenarnya yang saya tuju adalah teman-teman di kantor ACT, agar segera mengirimkan pulsa. Memang benar tim di kantor langsung mengirimkan pulsa, namun ternyata tidak hanya orang di kantor yang merespon, melainkan teman-teman di jejaring Facebook.

Subhanallah, indah sekali perjuangan ini karena kita memang tidak pernah berjuang sendirian. Arif dengan Habbatussauda-nya, teman-teman di Facebook dengan kiriman pulsanya, dan masyarakat di seluruh Indonesia dengan dukungan moril, materil dan doa yang terus mengalir, keluarga di rumah yang tak pernah berhenti mendoakan adalah bukti bahwa kita memang tak sendirian. Seperti yang saya tulis juga di bagian pertama tulisan seri perjalanan ini, bahwa kami ini tim besar, bukan hanya dua orang yang berangkat ke Palestina, namun sebuah tim besar yang terdiri dari jutaan orang yang mendukung perjalanan ini. Tim besar dengan kepedulian yang terus membesar inilah yang kelak menjadi andil dalam kemerdekaan saudara-saudara kita di bumi Palestina. Allahu Akbar!

Gaw, Kairo 9 Juli 2010

ACT Road to Palestine; Jerman VS Spanyol, Inspirasi Misi Kemanusiaan (bag 2)

Tiba di Abu Dhabi Airport pukul 23.45 waktu setempat atau sekitar pukul 02.45 WIB, yang langsung menarik perhatian saya adalah sebuah televisi besar di ruang tunggu dalam airport, di depannya puluhan orang tengah asik menyaksikan pertandingan piala dunia 2010, Jerman versus spanyol. Saya tidak tahu persis sudah berlangsung berapa lama pertandingan itu, tapi setahu saya sudah di menit-menit terakhir. dan seingat saya juga, kedudukan masih nol-nol bagi kedua kesebelasan.

Gumam saya, "ini baru nonbar -nonton bareng- piala dunia yang sebenarnya", bukan cuma soal jumlahnya yang lumayan banyak, namun penontonnya dari berbagai ras dan bangsa. Ada yang khas timur tengah dengan gamis dan kafiyahnya, ada yang bule-bule entah dari negara mana mereka, ada pula yang dari ras kuning, juga afrika.

Entah kenapa, yang saya perhatikan nyaris semua penonton mendukung tim spanyol, itu terlihat dari teriakan-teriakan mereka ketika pemain-pemain spanyol melakukan serangan, dan sebaliknya mereka kompak teriak "no no no..." saat pemain jerman yang balik menyerang. Mungkin tidak semua mendukung spanyol, mungkin saja pendukung jerman lebih memilih diam. dan ketika Puyol menyarangkan gol ke gawang jerman, serentak mereka lompat dan teriak gembira bersama-sama.

Sungguh, saya tidak ingin membahas lebih jauh soal sepak bola dan hiruk pikuk piala dunia. hanya saja, pemandangan di airport ini memberi saya inspirasi soal misi kemanusiaan. Bukankah Mavi Marmara juga dihuni oleh ratusan orang dari berbagai negara? ya, persoalan kemanusiaan adalah persoalan bersama. Perlu didukung bersama, tidak peduli apa agamanya, dari mana asalnya, apa warna kulitnya. Yang penting, ketika kezaliman terjadi, kejahatan kemanusiaan berlangsung, harus dilawan bersama.

Misi ACT ke Palestina adalah misi kemanusiaan yang oleh karena itu, perlu didukung bersama. Aliansi bersama Masyarakat Indonesia untuk Palestina sudah digagas, tinggal kita perlu beri dukungan lebih maksimal. Israel melakukan kejahatan kemanusiaan, dan sudah saatnya kita bersama-sama mendukung mereka yang dizalimi.

Ah, semoga apapun yang ada di sekitar kita selalu bisa memberi inspirasi kebaikan, termasuk piala dunia 2010. (gaw, dari abu dhabi)

ACT Road to Palestine; Pelepasan yang Mengharukan (bag 1)

Ada gemuruh di dada di Rabu siang itu, usai sholat dzuhur berjamaah, Presiden ACT, Ahyudin, memanggil semua karyawan dan relawan untuk berkumpul di ruang meeting lantai 3, Gedung ACT, di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Satu persatu wajah-wajah yang sangat bersahaja itu berdatangan, rasanya semakin keras gemuruh di dada ini. Saat pelepasan pun tiba, suasana sangat mengharukan, ketika kembali saya memandangi setiap wajah di ruangan itu, gemuruhnya bertambah keras. ACT Indonesia Humanitarian Team for Palestina 2010, segera siap diberangkatkan dari kantor menuju bandara Soekarno Hatta. Wajar, bila kemudian ada airmata yang tak tertahankan tumpah di ruangan itu, tugas kemanusiaan ke Palestina, meski bukan kali pertama bagi lembaga ini, tetap saja menghadirkan nuansa penuh emosional. Siapapun yang berangkat, meski berat untuk melepaskannya, namun tugas tetap harus ditunaikan.

Emosi membuncah, tumpah dan meledak, teriak takbir membahana di seisi kantor dan menggetarkan empat lantai Gedung ACT. Imam Akbari, Vice President Program dan Bayu Gawtama, Direktur Program ACT, siap menuju Palestina hari ini, Rabu, 7 Juli 2010. Jelas penuh emosi di hari itu, bukan hanya dirasakan dua orang terpilih yang akan berangkat, melainkan semua yang hadir dan membersamai perjalanan ACT selama ini. "Siapa yang tidak mau ke Palestina?" tidak satupun orang di ACT yang akan mengacungkan jarinya jika mendapat pertanyaan seperti ini. Artinya, semua orang di lembaga ini, karyawan maupun relawan, laki-laki atau perempuan, sangat ingin mendapatkan tugas mulia ini. Meskipun mereka sadar, tugas ke Palestina akan sangat berbeda resikonya dari berbagai tugas kemanusiaan yang sudah biasa dijalani di lokasi-lokasi bencana seperti gempa, banjir bandang, gunung meletus dan lain sebagainya. "Jelas kami tahu, justru semakin kami tahu semakin ingin kami berangkat ke Palestina..." begitu kira-kira suara yang mewakili hampir seluruh personil di ACT.

Satu jam berselang, sekitar pukul 14.30 WIB, tim pun bersiap menuju bandara. sekitar enam kendaraan roda empat mengiringi perjalanan tim ke bandara. Ini adalah sebuah tim besar, meski yang berangkat hanya dua orang, namun yang bekerja untuk program kemanusiaan mulia ini adalah seluruh anggota tim di lembaga ini, termasuk ribuan relawan yang tergabung di MRI - Masyarakat Relawan Indonesia di berbagai wilayah dan daerah. Dan yang tak kalah pentingnya, misi tim ini juga membawa dukungan dari segenap masyarakat Indonesia di dalam dan luar negeri yang mendukung penuh program kemanusiaan untuk Palestina. ACT mengusung kepedulian untuk anak-anak dan pendidikan, ini fokus program yang kami pilih karena anak-anak adalah komunitas paling rentan dari setiap kejadian bencana ataupun konflik. Selain itu, anak-anak adalah penerus dari sebuah bangsa, generasi harapan yang akan menjadi pemimpin bangsa. Menyelamatkan anak-anak adalah juga menyelamatkan bangsa tersebut, menjamin keberlangsungan bangsa itu untuk terus bertahan.

Tiba di Bandara, tim disambut beberapa media. Meski penting kehadiran sebuah media dalam mendukung sosialiasi program ACT, namun fokus kami, terutama yang akan berangkat hari itu adalah meyakinkan semua persiapan tidak ada masalah, sehingga perjalanan lancar dan mudah. Keharuan kembali membuncah, emosi kembali meledak, bahkan lebih dahsyat dari yang terjadi di kantor siang tadi. Usai mengurus check-in dan bagasi yang sempat rumit karena kelebihan muatan sehingga harus mengurangi muatan dan repackage, pukul 17.00 siap berangkat.

Waktunya berpisah, terutama dengan keluarga yang ikut mengantar ke bandara. Raissa, putri ketiga Gaw, tidak mau lepas dari gendongan dan menolak dialihkan ke Umminya. Begitu juga putra putri dari mas Imam. Berat memang meninggalkan mereka, tetapi inilah ujiannya. Setiap orang yang bekerja di lembaga kemanusiaan seperti ACT, mau tidak mau senantiasa melibatkan kesiapan keluarga dalam menjalankan tugas kemanusiaan. Yang bersangkutan boleh siap, tetapi kalau keluarga tidak siap, maka akan semakin berat langkahnya. Beruntung, keluarga Imam dan Gaw, merupakan keluarga yang selalu siap dan memang sudah terbiasa juga ditinggal kepala keluarganya menjalankan tugas kemanusiaan.

Panggilan untuk para penumpang Etihad sayup-sayup terdengar, pukul 18.40 WIB waktu take off, boarding pun sudah dibuka. Airmata lagi-lagi tak tertahankan, boleh jadi ini pertemuan terakhir dengan keluarga dan sahabat-sahabat di ACT. Mungkin akan kembali, mungkin juga tidak. "Gaza itu unpredictable, tugas ke sana harus siap segalanya, termasuk siap tidak kembali..." begitu ucap seorang teman yang pernah ke Gaza.

Langkah tegap harus diambil, tak boleh menunduk, tetap tersenyum dengan langkah meyakinkan. Ini tugas mulia, semua pasti mendukung, anak-anak hanya belum mengerti kenapa Ayah mereka selalu pergi, insya Allah suatu saat mereka akan mengerti kemuliaan tugas sang Ayah. Lambaian tangan tak boleh menyurutkan langkah, tangisan keluarga tak sedikitpun membuat mundur, peluk cium para sahabat justru menguatkan perjalanan ini, bahwa tim ini dilepas dengan cinta.

Terima kasih dukungan dari semua pihak, babak baru perjalanan ke Palestina dimulai lagi. Kami akan sampaikan salam Indonesia untuk Palestina, salam anak-anak Indonesia untuk anak Palestina melalui ribuan lembar kartu pos yang telah tertulis pesan semangat dan juga cinta.

Bersambung ... di tulisan kedua nanti ya (tunggu sabar ya...)

Gaw, dari bandara Abu Dhabi, UAE

Inilah Jalan Kita!

Sayup suara adzan terdengar memanggil di tengah hiruk pikuk aktivitas orang di siang hari. Suara panggilan itu menyeruak masuk ke ruang kerja di berbagai perkantoran, menyelinap ke semua sudut ruangan, mulai dari pantri tempat para office boy berkumpul, hingga ruang kerja eksklusif para direktur. Ada yang langsung bergegas menuju masjid untuk mengadakan perjumpaan dengan Sang Khaliq, ada yang berjalan santai menyambut seruan itu, namun tidak sedikit juga ingga habis suara muadzin berkumandang, masih tetap berkutat dengan pekerjaannya.

Di kampung dan di kota, panggilan itu juga mengetuk setiap rumah tak terkecuali. Rumah reot pintu triplek tanpa kaca jendela, sampai rumah berpagar tinggi tetap disambangi suara panggilan itu. Ada yang bergegas dari bali kamarnya, ada yang tengah asik dengan urusan dapurnya, ada pula yang tetap mengunci rapat-rapat pagar rumahnya. Ada yang tetap berkemul dengan selimutnya, ada yang terus dibuat tanggung dengan masakannya yang hampir selesai atau cuciannya yang menggunung, meski ada pula yang bersiap bermunajat kepada Rabb-nya.

Adzan bukanlah seruan biasa, itu panggilan Allah bagi siapa saja tanpa terkecuali. Siapapun diseru, siapa saja dipanggil, beriman atau tidak, tipis atau tebal kadar imannya, tetap diseru untuk bertemu dengan Allah. Yang Memanggil sesungguhnya bukan berarti yang membutuhkan yang dipanggil, panggilan itu berlaku buat siapa saja yang membutuhkan kasih sayang Yang Memanggil. Siapa yang menyambut panggilan itulah sesungguhnya yang merasa perlu dan penting untuk menghadap-Nya. Yang Memanggil bukan berarti pula merasa penting dengan sesiapa saja yang dipanggil-Nya, justru sebaliknya yang dipanggil itulah yang sebenarnya merasa penting untuk segera menyambut panggilan itu.

Sesungguhnya bukan Allah yang membutuhkan kita, meskipun Dia memanggil semua hamba untuk bersujud kepada-Nya. Jika yang dipanggil tahu nikmat cinta dan kasih sayang yang Allah janjikan bagi siapa yang menyambut panggilan-Nya, niscaya tak satupun yang enggan bermalasan menuju seruan itu. Mereka yang bergegas memenuhi panggila itu, tentu tahu bahwa kehidupan ini Allah lah yang mengaturnya, bahwa semua kebutuhan kita dalam hidup Allah juga yang menentukan. Adakah yang bisa hidup tanpa nikmat dan kasih sayang Allah?

Adapun mereka yang tidak segera menyambut seruan Allah, mereka benar-benar tidak menyadari bahwa hidup mereka ada diujung kuku dari kekuasaan Allah yang Maha Besar. Mudah bagi Allah untuk menghentikan kehidupan yang tengah kita jalani ini tanpa peduli kita tengah berada di puncak kebahagiaan dunia, berada di atas tahta kekuasaan dunia atau dibalut harta kekayaan tiada ternilai sekalipun. Ringan saja, sangat ringan dan lebih ringan dari kapas yang terhempas angin bagi Allah untuk membalikkan keadaan kita saat ini. Dari senang menjadi susah, dari bahagia menjadi sengsara, dari memiliki banyak sesuatu hingga tak satupun dimiliki, dari tertawa menjadi menangis tak terperi, dan dari hidup menjadi mati!

Jadi, siapa yang sesungguhnya membutuhkan? Tentu saja kita yang butuh Allah. Bukan semata karena sholat dan ibadah kita lainnya yang membuat kita masuk surga-Nya, melainkan karena kemurahan hati dan kasih sayang Allah lah surga dengan bebas bisa kita masuki. Kita hanya bisa berharap, ibadah kita di dunia ini membuat Allah tersenyum sehingga memberikan kasih sayang-Nya di akhirat nanti. Itupun masih belum pasti kita mencium harumnya surga, sehingga tak sedetik pun jiwa ini alpa berharap agar kaki ini diizinkan melangkah melewati salah satu pintu surga yang disediakan.
Kini, ada panggilan dari Gaza di tanah suci Palestina untuk membela agama Allah. Seperti halnya seruan adzan untuk sholat, ada yang tersenyum dan bertakbir menyambut panggilan dari Gaza ini. Ada pula yang bersikap biasa-biasa saja seolah tak mendengar, bahkan tidak sedikit yang mencemooh panggilan ini dan berkilah, “urusan kita masih banyak, kenapa membela urusan negara lain?”

Panggilan dari Gaza adalah panggilan dari Allah, bagi yang ingin berniaga dengan Allah yang hendak menukar harta dan jiwanya dengan surga Allah. Hanya yang benar-benar yakin bahwa inilah jalan terang ke surga yang akan menyambut seruan ini, dan bagi mereka yang tertutup mata dan hatinya hanya akan menganggap panggilan ini dan orang-orang yang menyembut panggilan ini hanyalah sesuatu yang berlebihan. Gaza memanggil semua tanpa terkecuali untuk membela agama Allah, mereka yang terpanggillah yang benar-benar merasa butuh dengan panggilan ini, yang sungguh-sungguh merasa butuh dengan kesempatan emas dari Allah ini.

Kita selalu menunggu panggilan seperti ini, termasuk dari Gaza. Panggilan untuk semakin dekat dengan surga-Nya. Dan kini panggilan itu berkumandang lagi dengan keras, Ayo saudaraku, inilah saatnya kita menyambut hiruk pikuk panggilan ini. Karena telah lama kita menunggu, jangan sia-siakan kesempatan ini sebab orang-orang beriman dari penjuru dunia lainpun bergegas menyambut panggilan ini. Sungguh, kitalah yang butuh untuk mendekat kepada Allah, dan inilah jalan kita. (gaw)

Refleksi Mavi Marmara road to Gaza, 2010

Tuesday, May 11, 2010

Melipatgandakan Kemenangan

Fantastis! Itu kata yang langsung terucap dari mulut saya usai menyaksikan pertandingan Chelsea melawan Wigan Athletic, akhir pekan kemarin (9/5) dengan skor mengagumkan 8-0! Ya, para pemain Chelsea memang bermain sangat fantastis untuk memastikan titel juara liga primer Inggris di tangan mereka. Padahal, hanya dengan menang 1-0 pun club sepak bola asuhan Carlo Ancelotti ini akan tetap menjadi juara, berapapun skor yang berhasil ditorehkan rival terberat mereka Manchester United. Pada saat yang sama, MU memang memenangkan pertandingan melawan Stoke City dengan skor 4-0, namun nilai itu menjadi tidak berarti karena Chelsea menang dengan skor meyakinkan.

The Blues -julukan Chelsea- memang bersaing ketat dengan Si Setan Merah MU untuk meraih titel Liga Primer tahun ini. Nilai akhir yang mereka kumpulkan sampai menjelang pertandingan terakhir hanya terpaut satu poin saja, sehingga pertandingan terakhir yang dijalani kedua tim menjadi penentu siapa yang berhak mengangkat tropi juara. Jika Chelsea tergelincir bermain imbang atau bahkan kalah, maka MU lah yang akan meraih juara dengan catatan MU pun harus memenangkan pertandingan. Maka, baik Chelsea maupun MU harus berupaya untuk memenangkan pertandingan yang mereka jalani. Hanya saja, posisi Chelsea lebih menguntungkan, sebab jika keduanya memenangkan pertandingan, Chelsea lah yang berhak menjuarai liga primer, sekaligus merebut titel yang selama beberapa tahun dipegang MU. Sementara MU hanya bisa bermain maksimal untuk memenangkan pertandingan, sambil berharap rivalnya itu kalah atau bermain imbang.

Namun, pertandingan yang berlangsung di Stamford Bridge, markas besar Chelsea malam itu benar-benar membuat saya mengacungkan jempol dan berdecak kagum. Sungguh, saya ini fans berat MU yang berharap Wigan bisa setidaknya menahan imbang Si Biru, sekaligus berharap MU menang melawan Stoke City agar titel juara tidak lepas. Namun, para pemain Chelsea benar-benar bermain gila malam itu, diawali dengan gol Nicolas Anelka, seorang pemain muslim berkebangsaan Perancis, Chelsea pun berpesta dengan melesakkan delapan gol ke gawang Wigan Athletic.

Siapapun Anda yang ikut menyaksikan pertandingan malam itu mungkin akan berpikir sama, bahwa Chelsea benar-benar hebat dan sama sekali tak ingin melakukan kesalahan sedikitpun. Semua pemain Chelsea sangat bersemangat memberikan permainan terbaik, bahkan kalau tidak berlebihan semua pemain berkostum biru itu rasanya ingin mencetak gol ke gawang lawan. Delapan gol itu angka yang sangat fantastis untuk sebuah pertandingan besar di liga yang juga terkenal sangat ketat dan hebat di dunia. Jika angka telak 8-0 itu terjadi di liga Indonesia misalnya, saya tidak terlalu kaget. Tetapi ini ditorehkan para pemain Chelsea di liga primer dengan lawan yang sebelumnya pernah mengalahkannya dengan skor 3-1.

Benar-benar luar biasa. Jika melakukan kesalahan dalam sepakbola ukurannya adalah kemasukan, maka apa yang dilakukan para pemain Chelsea boleh dibilang sempurna. Delapan gol berhasil diceploskan ke gawang lawan tanpa gol balasan dari pemain lawan, itu hasil yang siapapun tak mampu meragukannya untuk sekadar mengacungkan jempol atau berdecak kagum. Permainan apik yang diperlihatkan si biru, semakin menambah betah penonton, bahwa para penonton bukan hanya ingin diberi kemenangan, melainkan juga tontonan apik yang menyegarkan. Mereka bermain bagus sepanjang sembilan puluh menit ditambah masa injury time, nampak sekali mereka bukan sekadar mencari kemenangan, bahkan sangat ingin melipatgandakan kemenangan yang mereka sudah meyakini mampu diraihnya. Lihat hasilnya, nyaris sempurna. Permainan bagus, ditambah hasil maksimal. Gambaran kemenangan yang berlipatganda adalah, skor yang mampu dibuat dua kali lipat dari yang mampu dibuat rival mereka, MU di waktu yang sama.

Rasanya, menang saja tak cukup bagi mereka. Semua pemain terlihat ingin memberikan yang terbaik bagi timnya, tak satupun terlihat tak menginginkan juara, bahkan pemain cadangan pun ikut memberi yang terbaik dengan menyemangati rekan-rekannya di tengah lapang. Gelar juara liga primer sudah di depan mata, tetapi seolah mereka menginginkan lebih dari sekadar gelar juara. Motivasi mereka sangat tinggi untuk menyingkirkan MU dari tahta yang selama ini didudukinya, mereka ingin memberi kepuasan bagi penonton, mereka ingin memberi kesegaran bagi dahaga juara para pendukung setianya, mereka ingin memersembahkan yang terbaik bagi diri mereka, tim dan juga orang-orang yang mendukungnya.

Ya inilah yang membuat para pemain Chelsea bermain hebat, mental juara yang mereka miliki sepanjang permainan dan keinginan berbuat terbaik dengan mengoptimalkan seluruh kemampuan yang mereka miliki. Semua pemain ingin menjadi pemenang (the winner), tidak terkecuali, termasuk pelatih, manager, official, bahkan mungkin tukang ngelap sepatu pemain, tukang potong rumput, pembawa air minum, dan siapapun yang berada dalam barisan si biru.

Apakah MU tidak memiliki mental juara? Tentu saja punya. Apakah tidak sama tingginya dengan mental juara yang dimiliki Chelsea? Boleh jadi sama. Apakah ada pemain MU yang mentalnya lemah dan tidak bersemangat untuk menjadi pemenang? Mungkin tidak. Tetapi inilah kompetisi, sang juara bukan ditentukan dari pertandingan terakhir, melainkan sebuah perjalanan panjang yang diawali dengan pertandingan pertama di awal musim. A joruney of a thousand miles begins with a single step, begitu pepatah barat mengatakan. The winning team, adalah yang menjalani pertandingan dengan baik sejak awal pertandingan hingga pertandingan terakhir.

Sobat, jika saat ini kita merasa sudah memiliki modal yang cukup untuk sukses, namun belum juga meraihnya, coba tengok ke dalam diri ini. Apakah kita sudah benar-benar memiliki mental juara yang tinggi? Apakah kita sudah benar-benar membenamkan tekad menjadi pemenang dalam jiwa dan pikiran kita dan mengalir ke seluruh darah yang mengalir di dalam tubuh ini? Apabila semua sarat menjadi tim yang hebat sudah dimiliki namun belum juga meraih keberhasilan, coba lihat lagi, apakah ada diantara anggota tim kita yang belum memiliki mental juara? Atau jangan-jangan masih ada satu-dua diantara anggota tim yang belum punya keinginan tinggi menjadi pemenang. Tidak cukup sekadar membuat kemenangan, bahkan harus lebih dari itu. Tentukan kemenangan Anda mulai dari sekarang, dan lihatlah apa yang akan Anda raih di masa datang. Senyum kemenangan atau tangis kegagalan, itu pilihan!

Bravo Chelsea, salute!
Gaw, pendukung MU

Monday, April 26, 2010

Insya Allah BLOG ini akan segera diaktifkan lagi

assalaamu'alaikum wr wb

Rekan dan sahabats, mohon doa insya Allah blog ini akan segera diaktifkan kembali. Doakan saya tetap konsisten memanfaatkan sarana ini untuk hal-hal yang bermanfaat, tetap menginspirasi dan bisa menjadi ruang berbagi.

Terima kasih atas support dan dukungannya, terutama Dodi, Syarif, Isti, Aksa dan teman2 DeBlogger (depok blogger) yang memberi saya support luar biasa.

Sekali lagi, terima kasih

wassalaam
Gaw