Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, September 28, 2005

Ramadhan Tahun Lalu...

Ramadhan tahun lalu, teramat banyak menu tersaji di meja makan, baik saat sahur, terlebih saat berbuka. Tidak sedikit sisa makanan sahur yang terbuang ke tempat sampah di pagi hari. Begitu juga setumpuk makanan yang tak mampu lagi tertampung di perut usai berbuka. Padahal, di luar sana jutaan anak yatim menangis menahan lapar mereka. Antrian pengemis dan kaum fakir menadahkan tangan meski kadang hanya lelah yang didapat. Sama dengan kita, mereka pun berpuasa. Bedanya, tak ada makanan untuk sahur maupun berbuka. Karena puasa bagi mereka, tak hanya di bulan ramadhan. Sepanjang tahun mereka lakukan hal yang mungkin hanya sebulan kita menjalaninya.

Sepanjang ramadhan tahun lalu, banyak ibadah yang kita kerjakan. Banyak sudah doa yang terajut, untaian pinta yang terukir, air mata yang tumpah di setiap sujud dan panjang rakaat sholat kita. Sama dengan kita, di luar sana, jutaan fakir miskin tak henti berdoa berharap derma dari yang peduli. Sepanjang tahun kita hanya khusyuk berdoa, namun tanpa tangan yang terhulur menjawab pinta kaum fakir.

Di hari-hari terakhir ramadhan tahun lalu, langkah-langkah kaki kita memenuhi pusat perbelanjaan untuk menyambut hari raya penuh ceria. Butuh waktu berhari-hari untuk menyambangi beberapa pusat perbelanjaan, teramat banyak peluh yang menetes untuk menjinjing hasil buruan berjam-jam di pusat perbelanjaan. Di hari-hari yang sama pula, kaki-kaki kaum dhuafa memenuhi pusat perbelanjaan. Bukan untuk berbelanja, mereka hanya singgah di emperan pertokoan sambil mengiba berharap kasih sayang. Berkaca mata mereka menyaksikan tawa riang orang-orang keluar masuk toko. Pilu hati mereka menatap jinjingan yang dibawa setiap orang yang keluar toko. Sesekali sepasang matanya singgah di baju lusuh yang kotor dan beraroma tak sedap yang mereka kenakan.

Usai sholat Id tahun lalu, aneka makanan berbagai bentuk dan warna. Beragam minuman aneka rasa menghiasi meja tamu dan meja makan kita. Ketupat, rendang daging, dan berbagai sajian khas lebaran siap terhidang. Untuk orang rumah, juga untuk tamu. Tapi tak ada makanan yang sengaja disiapkan untuk dikirim ke panti anak yatim. Apalah lagi membuka pintu untuk kaum fakir dan menyediakan meja untuk mereka bersantap.

Saat seluruh keluarga berkumpul, merasakan hangatnya silaturahmi yang terjalin indah, ada segepok uang yang kita bagi-bagikan kepada anak-anak, keponakan, cucu, atau pun anak-anak kerabat yang datang. Padahal di depan pagar rumah kita, berpuluh pasang mata menatap iri bermimpi mendapat santunan. Kata “maaf” atau sekadar uang kecil menjadi alat pengusir tamu-tamu tak diundang itu.

Di hari raya tahun lalu, ada tangan lembut yang kita kecup. Begitu juga tahun ini, ibu dan ayah manis duduk menanti antrian anak-anaknya bersimpuh meminta keridhaan. Satu persatu dari yang tertua hingga si bungsu menyalami dan mencium ibu dan ayah mereka. Tak jauh dari tempat kita, anak-anak yatim piatu di rumah panti menatap kosong pintu tempat tinggal mereka. Tak ada yang datang bersilaturahim, membawakan makanan kecil atau ketupat. Dan yang pasti, tak ada tangan-tangan lembut yang mereka kecup untuk dimintai keridhaannya. Sebagian mereka, bahkan tak pernah tahu sosok mulia yang melahirkannya.

Ramadhan tahun ini, mestinya kita lebih peduli. Agar ada secercah senyum terukir di wajah mereka. Semoga.

Bayu Gawtama

Thursday, September 22, 2005

Masihkah Berdiam Diri?

Pernah dengar kisah Nuraliansyah atau Ali? Buah perkawinan Ela (21) dan Nasrullah (27) yang meninggal dunia di usianya yang masih sangat muda lantaran penyakit yang tak sempat tertolong setelah mendapat dua kali penolakan oleh dua rumah sakit di Jakarta.

Penghasilan jauh dari cukup yang didapat Nasrullah sebagai loper koran di terminal Kampung Melayu memaksa Ela nekat menjadi pembantu rumah tangga guna memenuhi kebutuhan hidup. Padahal, Ali yang masih berusia dua bulan masih sangat membutuhkan perhatian sang ibu. Si kecil Ali pun dititipkan ke tempat neneknya di Ciracas, Jakarta Timur.

Ali yang jarang dibawa ke Posyandu mengalami muntah berak dan berat badannya turun drastis setelah minum susu Lactogen. Kondisi Ali yang sedang sakit sebenarnya diketahui pihak Puskesmas setempat, namun tidak ada tindakan khusus. Kondisi Ali pun semakin parah. Malang bagi Ali, uang Rp. 1 juta yang tak mampu disediakan orang tuanya membuat pihak RS. Pasar Rebo tak bisa menerima Ali untuk dirawat inap. Begitu juga dengan RS. Budi Asih yang meminta uang panjar sebesar Rp. 500 ribu. Akhirnya, dengan Rp. 250 ribu yang dipunya, Ali yang membutuhkan perawatan intensif itu hanya mendapat resep dan obat jalan.

Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang mendapat laporan tersebut langsung memberikan bantuan. Sebelumnya Ali terlebih dulu dibawa ke RS Haji Pondok Gede berkat bantuan Andi, saudara ipar Ela, pada akhir Juni 2005. Menurut dokter, Ali mengalami gangguan paru-paru selain harus terus menerus ditransfusi darah. Berat badannya saat itu pun hanya 3,3 kg.

Meski telah mendapat bantuan dari tim medis hingga berat badan Ali bertambah menjadi 3,8 kg, namun semua itu terasa sangat terlambat. 23 Juli 2005, tepatnya pukul 16.55, si kecil Ali menghembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan isak tangis ibu dan ayahnya yang tak pernah mengerti, mengapa mereka yang harus terpilih menjalani kepahitan ini.

***

Lebih dari 700 juta orang di dunia kini dinilai PBB dalam kondisi kelaparan. Lebih dari 800 juta orang di dunia hanya memiliki satu pakaian untuk dipakai. Dan lebih dari 700 juta orang di dunia meninggal setiap hari karena tak ada dokter atau pengobatan.

Tak inginkah kita mengurangi jumlah di atas hanya karena nama kita tak termasuk dalam sekian ratus juta itu? Akankah kita membiarkan Ali-Ali lainnya mengalami nasib yang sama?

Bayu Gawtama

Pelindung Sejati

Jika Anda berkesempatan ke Bogor, mampirlah ke satu daerah bernama Tegal Gundil. Mendengar nama Tegal Gundil, bayangan Anda akan dibawa kepada sebuah daerah yang terpencil, tertinggal, atau mungkin jauh dari peradaban. Sesungguhnya tidak demikian, Tegal Gundil hanya lah sebuah nama. Pertama kali ke daerah tersebut, singkat saya bergumam, “namanya saja yang aneh”

Keanehan nama itu pula yang membuat sebagian besar warga lebih suka menyebut daerah itu dengan Perumnas Bantar Jati, Bogor. Tetapi tidak dengan sekelompok anak muda kreatif yang bertekad melestarikan keaslian kampungnya. Mereka tetap bangga menyebut “Tegal Gundil” untuk daerah tempat tinggalnya. Mereka pun lebih senang menyebut dirinya “anak TeGe” alias anak Tegal Gundil.

Ada apa dengan Tegal Gundil? Ada banyak hal yang bisa didapat di kawasan itu. Tapi dari semuanya hanya satu yang tak boleh Anda lewatkan. Mampirlah ke Sanggar Barudak Tegal Gundil. Sebuah saung kecil di pinggir jalan terbuat dari bambu dan kayu yang dibangun di atas tanah milik pemerintah daerah setempat. Jangan lihat kecilnya, tapi tengok isinya yang bisa dibilang tak sepadan dengan lahan yang ditempatinya. Ada perpustakaan gratis, radio komunitas, tempat kursus bahasa Inggris, percetakan dan sablon, tempat penitipan anak, tempat periksa gigi gratis, bahkan tempat itu juga saat ini sering menjadi tempat pelarian remaja-remaja broken home. Dan satu lagi, jadi tempat janjian ketemu juga bisa.

Bermula dari empat tahun lalu, seorang pemuda resah melihat kampungnya berkembang tak seindah mimpinya. Anak-anak muda yang nongkrong tanpa tujuan, begadang hingga pagi dan sering meresahkan warga, bahkan pemda setempat mencap merah kawasan tersebut. Jelas kondisi itu tak membuatnya nyaman, ia pun berganti identitas dari anak pengajian yang selalu berbaju koko (baju muslim), menyerupai anak-anak jalanan. Rambutnya dibiarkan panjang tak terpotong agar lebih terlihat sebagai bagian dari komunitas preman di Tegal Gundil.

Perlahan, satu persatu preman dan anak-anak jalanan didekatinya. “Nongkrong boleh, asal kreatif” ajaknya. Idenya pun diterima, meski tak sedikit yang menentangnya. Tapi pemuda ini sudah bertekad untuk mengubah wajah kampungya yang menyeramkan agar lebih bersahabat. Beberapa pemuda yang berhasil didekati, diajaknya untuk berkumpul dan membuat kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat. Oya, rambutnya masih tetap gondrong.

Sebuah bangunan kecil terbuat dari bambu pun berdiri, bersinergi dengan pedagang kaki lima di kawasan itu. Ia pun mengumpulkan buku-buku sumbangan dari warga, maka jadilah saung itu sebagai perpustakaan yang diperuntukkan bagi siapapun. Jika Anda ingin melihat perpustakaan komunitas yang penjaganya adalah pemuda-pemuda beranting dan bertampang kurang ramah, Sanggar Barudak Tegal Gundil lah tempatnya. Lokasinya di Jl. Bangbarung Raya, Bogor, Jawa Barat.

Lahan strategis yang digunakan untuk membangun perpustakaan itu pun masih bermasalah. Sehingga berkali-kali sanggar itu terancam dirobohkan dengan alasan tak berizin. Yang unik, saat mereka memberitahukan keberadaan sanggar itu ke kecamatan setempat, pihak kecamatan meminta pemuda-pemuda itu mengganti kata “Allah SWT” sebagai pelindung sanggar dengan kata “Bapak Anu, selaku Camat setempat”. Katanya, itu sarat mutlak jika mereka ingin mendapatkan izin keberadaan sanggar itu.

“Begini Pak, seandainya kami punya masalah di tengah malam dan saat itu bapak sedang tidur. Bersediakah jika kami menggedor-gedor rumah bapak, membangunkan bapak agar mau membantu kami menyelesaikan masalah?” “Wah nggak bisa dik, saya punya privasi,” begitu jawab sang Camat.

“Saat bapak sedang berada di luar kota atau di luar negeri dan kami memerlukan bapak untuk kesulitan yang kami hadapi. Mungkinkan bapak segera pulang untuk melihat keadaan kami?” “Itu juga tidak mungkin, urusan saya bukan cuma kalian,” tegasnya.

Jelaslah sudah. Hanya Allah yang bisa diganggu 24 jam, kapan pun, dalam keadaan apa pun, dan siapa pun yang hendak mengadu. Hanya Dia yang bersedia melongok keadaan hambanya tak terbatas ruang dan waktu. Dan pasti hanya Dia yang mampu memberikan perlindungan tanpa kenal lelah.

***

Anak-anak muda itu tak salah menempatkan Allah sebagai pelindung sanggar tersebut. Meski tak berizin, empat tahun sudah tempat itu berdiri tanpa ada yang menggugatnya. Anda akan menemukan kesejukan dan suasana persahabatan di Tegal Gundil. Keramahtamahan telah menggantikan wajah seram kampung itu empat tahun yang lalu.
Pemuda itu, saya tak akan menyebut namanya. Setahun terakhir ia sudah memangkas kembali rambutnya. Jika bertemu dengannya, Anda akan melihatnya kembali seperti anak masjid.

Bayu Gawtama

Wednesday, September 07, 2005

Lelaki Paling Sederhana

Saya tak akan menyebut namanya dalam tulisan ini, satu alasannya tentu saja untuk menjaganya tetap rendah hati dan sesederhana kesederhanaannya saat ini. Lelaki ini sudah menjadi sahabat saya sejak belasan tahun lalu saat kami sama-sama dipersatukan dalam wadah organisasi pelajar islam. Hingga detik ini, sejak belasan tahun itu pula ada yang tak berubah dari dirinya, yakni kesederhanaan yang erat melekat dalam kesehariannya.

Ada banyak kisah kebersamaan dengannya. Medio tahun 2000, beberapa bulan setelah saya menikah, isteri saya bercerita tentang sahabat perempuannya yang juga berkeinginan mengakhiri fase kesendiriannya dan berharap dipertemukan dengan seorang pangeran yang kan mengukirkan nama indahnya di atas prasasti cinta berbingkai pernikahan. Terbetiklah nama sahabat saya itu untuk dipertemukan dengan sahabat isteri saya. Lelaki ini bukanlah pangeran, ia tidak akan membawa sekuntum bunga yang kan disematkan ke hati yang merindu biru itu. Lelaki ini hanya punya satu cinta, bukan cinta yang sederhana, melainkan cintanya kepada kesederhanaan.

Hari yang ditentukan pun tiba, saya menjemput lelaki ini di kawasan Menteng untuk beranjak ke Bogor. Layaknya seorang lelaki yang hendak dipertemukan dengan gadis, pakaian perlente, sisiran rambut klimis mengkilap ditambah empat-lima semprotan pewangi di sudut-sudut tertentu tubuh semestinya dilakukan. Tidak dengan lelaki ini, bersandal jepit, kaos oblong dari gantungan di balik pintu, mandi ala kadarnya dan tak sempat ber-shampoo, berangkatlah ia. Sodoran pakaian lebih rapih dari tangan ini ditolaknya halus, "gadis itu akan menikah dengan saya, bukan dengan baju kamu". Mengalahlah saya.

Pertemuan di selasar sebuah masjid di Bogor pun begitu menegangkan, saya menangkap kerut tajam di alis gadis yang hendak diperkenalkan dengan lelaki sederhana sahabat saya. Mencoba menebak gurat wajahnya yang terlihat tak nyaman dengan penampilan lelaki yang ia mencoba menautkan hati padanya. Akankah?

Malam setelah pagi yang menegangkan itu, saya beranikan diri bertanya kepada isteri saya perihal komentar, pikiran, tanggapan, penilaian dan juga perasaan sahabatnya terhadap sahabat saya. "Aneh," cuma itu pernyataan yang keluar dari mulutnya menjelang kami berpisah sebelum siang.

Kurang dari tiga bulan lalu, perempuan sahabat isteri saya itu baru saja melahirkan anak kedua dari suami yang empat tahun lalu dianggapnya aneh. Ya, lelaki sederhana itu menjadi Ayah dari putri kedua perempuan yang sejak saya mengenalnya, ternyata tak kalah sederhananya. Kalaulah ada perempuan yang bahagia menikah dengan lelaki sederhana, ialah perempuan sederhana. Jika saya menganggap sahabat saya itu lelaki paling sederhana yang pernah saya kenal, tentulah isterinya adalah perempuan paling sederhana yang saya kenal.

***

Disaat beberapa sahabat lain berkali-kali mengganti telepon selularnya, lelaki ini tak pernah iri dan tetap setia dengan yang digenggamnya bertahun-tahun lalu. Sudah pasti Anda tak akan pernah menemukan telepon selularnya di barisan barang bekas sekali pun. Ia lebih sering mengganti nomor selularnya lantaran teramat sering hangus tak terisi ulang.

Jangan pernah tertipu dengan senyum manisnya yang sering menyembunyikan beribu gundah di hatinya, tentang Ayahnya yang sakit-sakitan, kecemasan akan ibunya yang masih saja berjualan nasi uduk di usia senjanya, tentang penghasilannya yang sudah habis di pekan pertama. Kemampuannya mengubah sedih menjadi aura ketenangan di wajah dan sikapnya seolah menjelaskan kepada siapa pun yang mengenalnya dengan sebuah kalimat, "tenang, semua bisa diatasi".

Saat SMA dahulu, kami sering tertipu dengan senyum dan ketenangannya. Jika tak kami desak untuk bercerita, tak kan pernah tahu kami bahwa begitu cemasnya ia akan sebuah harapan untuk bisa menyelesaikan sekolahnya. Pantaslah jika sang ibu membasahi pipinya dengan air mata bangga saat lelaki sederhana itu menyandang gelar sarjana di tangannya.

Kalau Anda bertanya siapa lelaki paling sederhana yang pernah saya kenal, saya akan memperkenalkan Anda kepadanya. Saya bangga menjadi sahabatnya, ia sahabat sekaligus guru saya.

Bayu Gawtama