Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, May 30, 2007

Bayu Gawtama, Non Muslim?

"Mas bayu muslim bukan?"

Sumpah deh, pertanyaan kayak gini sering banget dialamatkan kepada saya, baik melalui email maupun pesan singkat -SMS-, atau bahkan ada yang pernah bertanya langsung walau pun agak ragu-ragu, "maaf mas, ... mas muslim kan?"

Bahkan hari ini saya masih mendapat sebuah email dari seseorang yang isinya kurang lebih, "... maafkan kekurangajaran saya, saya hanya ingin meyakinkan kalau saudara seorang muslim. Saya hanya pernah membaca tulisan-tulisan saudara dari kiriman-kiriman email yang diforward teman-teman saya. Saya merasa saudara seorang muslim, dan semoga benar demikian..."

Tidak hanya pertanyaan yang menanyakan 'kemusliman' saya, bahkan sebaliknya, beberapa email bahkan pernah mengira saya itu bukan muslim. Misalnya sebuah email, "tulisan Anda mengandung nilai ketuhanan, sungguh bangga umat ********* memiliki seseorang seperti Anda..." tanda bintang itu maksudnya sebuah agama tertentu yang tidak etis jika saya tuliskan.

Begitu pula tidak sedikit yang terkecoh dengan nama belakang saya 'GAWTAMA', sehingga beberapa pihak dari agama tertentu mengira saya bagian dari umat mereka. Ah, saya nggak mengerti, salahkah orangtua saya memberi nama tersebut? atau perlukah saya men-delete nama belakang tersebut?

Tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu hanya dilontarkan oleh orang-orang yang belum mengenal, belum pernah bertemu atau bahkan tidak pernah sama sekali bersinggungan dengan saya. Pun demikian buat saya, mungkin harus banyak-banyak introspeksi. Boleh jadi, selama ini saya belum benar-benar menunjukkan identitas kemusliman saya. Saya punya nama depan AHMAD -lengkapnya Ahmad Bayu Gawtama- dan boleh jadi salahnya saya yang jarang memunculkan nama depan yang jelas-jelas lebih mencirikan kemusliman itu.

Selanjutnya, soal tulisan-tulisan saya yang hampir tidak pernah mengutip ayat-ayat dalam al quran atau mensitir hadits rasulullah. Saya lebih sering 'menerjemahkan' kandungan ayat Allah dalam bahasa saya sendiri. Tentu saja dengan maksud tulisan saya bisa dinikmati oleh siapa saja, tidak pandang muslim atau bukan. Salahkah saya?

Sungguh, saya tidak pernah kesal dengan seringnya pertanyaan tersebut mampir ke telinga ini. Seperti tidak kesalnya saya kalau ada yang bertanya, "bayu itu ikhwah bukan?" please deh, pertanyaan macam apa lagi ini... atau "bayu itu pengurus DPC mana?" maksudnya tahu kan?

Justru saya mau tanya balik, kalau bukan pengurus memang kenapa? he he, dengan enteng saya kerap menjawabnya dengan kalimat, "orang gemuk gini kok dibilang pengurus... jelas saja saya ini penggemuk..." Ada pun soal ikhwah dan bukan ikhwah, buat saya pertanyaan ini lebih menyakitkan dari pertanyaan di atas, "bayu itu muslim atau bukan?" jadi, mending nggak usah dijawab. Terserah orang menilai saya seperti apa, ha ha...

Yang penting, saya itu muslim, asli, beneran, insya Allah dan alhamdulillah terlahir dan besar sebagai muslim. Sudah ya, jangan tanya-tanya lagi... capek deh...

Gaw

Friday, May 11, 2007

Bukan Kepalanya, Tapi yang Ada di Dalamnya

Ada satu lagi penggalan kisah lucu di masa sekolah dulu yang hingga saat ini tidak pernah –dan saya yakin tidak akan pernah- bisa terlupakan. Kali ini soal rambut, ya rambut di kepala saya yang susah diatur.

Sejak lahir saya dianugerahi dua ‘user-user’ –atau apalah namanya- oleh Allah SWT, sementara anak lainnya rata-rata hanya punya satu di kepalanya. Orang tua dulu bilang, kalau anak memiliki dua user-user berarti anak itu nakal, susah diatur dan bakalan jadi anak yang keras kepala. Saya sendiri tidak pernah ambil pusing dengan anggapan tersebut, karena memang seratus persen tidak percaya!

Soal susah diatur dan kaitannya dengan dua user-user itu, justru bukan diri ini yang susah diatur, melainkan rambut di kepala saya. Ya, tidak hanya saya yang dibuat sibuk dengan rambut ini, bahkan ibu saya pun harus ikut mengurusi rambut ini setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah.

Babak ini dimulai seiring dengan pertumbuhan seorang anak lelaki menjadi remaja yang baru tumbuh. Saat duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD), remaja baru ini mulai mengenal lawan jenis dan menaruh ketertarikannya kepada salah seorang temannya di kelas. Terang saja, ia merasa harus tampil rapih dan menarik agar sang tautan hati melihatnya sebagai lelaki yang sedap dipandang mata. Masalahnya, lantaran dua user-user itulah ada bagian dari rambut yang berdiri terus, orang betawi nyebutnya “njegrik”, dan saya, si remaja baru itu, selalu merasa tidak nyaman dengan rambut njegrik itu karena merusak penampilan.

Setiap pagi –selalu- remaja baru ini dibuat senewen, menggerutu dan dibuat ngambek akibat rambut njegrik. Disisir ke depan salah, ke kanan salah, ke kiri apalagi, ke belakang? Oh no… semakin tidak beraturan. “Sini ibu sisirin…” tangan lembut ibu mengambil alih. Namun tetap saja si njegrik itu tidak mau tiarap. Akhirnya ibu punya akal, diambilnya cream rambut dan mengoleskan khusus di bagian yang berdiri saja. Hasilnya, surprise! Mereka tiarap… saya pun melenggang ringan ke sekolah.

Namun sebelum tiba di sekolah, adik saya tertawa melihat rambut saya. “Njegrik lagi tuuhh…” tertawanya makin geli, membuat saya merasa tidak berharga. Akhirnya hari itu ke sekolah dengan perasaan yang tidak nyaman, bahkan saya merasa malu bertemu dengan teman-teman, tidak mau mendekat dan bicara, terlebih kepada si inceran mata.

Esok paginya, saya bilang ke ibu kalau idenya mengoleskan cream rambut tidak menyelesaikan masalah. Ibu pun menawarkan saya untuk mengenakan topi, tapi saya tolak mentah-mentah, karena bagi saya rambut merupakan daya tarik yang justru tidak boleh ditutupi. Entah berapa lama sudah saya merasakan ketidaknyamanan itu, entah sudah berapa cara dilakukan untuk membuat rambut-rambut njegrik itu tertidur. Sampai pernah satu kali saya memutuskan untuk memotong habis bagian yang njegrik itu, hasilnya malah lebih parah! Teman-teman meledek saya pitakan…

Hingga suatu hari, dalam keputusasaan di satu pagi. Tangan lembut ibu membelai rambut saya, “bukan soal rambut di kepala ini nak, yang penting yang ada di dalam kepalanya”. Aah, sungguh kalimat yang menyejukkan. Saya pun berangkat ke sekolah dengan langkah seringan awan. Bahkan jika rambut ini berdiri semuanya pun saya tak lagi peduli. Terima kasih ibu, ibu tahu betul yang saya butuhkan sesungguhnya. Isi di dalam kepala ini, jauh lebih penting untuk saya urusi.

***

Don’t judge the book from the cover. Kalimat yang cukup pas untuk menggambarkan kisah di atas. Betapa sering kita mengurusi tampilan luar, namun kerap terlupa memperbaiki pikiran dan hati ini. Kadang tak pernah absen kita membetulkan semua yang berantakan di luar, tetapi lupa menata yang di dalam. Kita sering mementingkan kemasan, tapi mengabaikan isinya. Sementara di satu sisi, dalam menilai orang lain pun, kerap mata ini hanya mampu melihat tampilan luar, tanpa mampu menembus hingga ke kedalaman isinya. (Gaw)

Something Stupid

Adakah sesekali meluangkan waktu untuk sebentar saja merenung tentang apa-apa yang telah berlalu? Tentang segala yang pernah terjadi di masa lalu, khususnya berkenaan dengan diri kita sendiri? Jika ya, tentu semua kita akan tersenyum tatkala lintasan-lintasan peristiwa manis dan kesuksesan terputar dalam benak. Atau sedih dan sedikit menitikkan air mata saat teringat kembali kenangan-kenangan yang menyesakkan dada, tentang seseorang yang telah lama meninggalkan kita, atau apa pun yang teramat sulit bagi kita melupakannya sebab begitu dalam menghunjam di hati. Sangat pahit bahkan, pedih pula untuk mengingatnya kembali.

Namun, kadang kita pun terbahak, senyum-senyum sendirian ketika berbagai peristiwa bodoh di masa lalu melintas lagi. Saya ingat betul, hari pertama masuk SLTP. Seragam putih biru yang saya dapat ukurannya terlalu besar, namun saya memaksakan diri untuk tetap mengenakannya. Mungkin saking bangganya saya bisa berseragam biru putih setelah selama enam tahun berseragam merah putih. Celakanya, saya tak memiliki gesper –ikat pinggang- sehingga di pagi hari sebelum berangkat kebingungan mencari sesuatu yang bisa dipakai agar celana biru saya tidak kedodoran.

Singkat cerita, sampailah saya di sekolah dan langsung mengikuti upara bendera. Upacara bendera pertama saya di sekolah baru, dengan seragam biru putih yang juga baru. Lantaran postur tubuh saya yang kecil, sudah lazim ditempatkan di barisan paling depan saat berbaris. Namun saya menolak, bukan karena saya merasa ada yang lebih kecil dibanding saya, melainkan karena kemeja putih saya tidak dimasukkan ke dalam celana. Akhirnya, saya berdiri di baris kedua, di depan saya seorang anak yang tubuhnya kira-kira sekecil saya.

Entah mimpi apa malam sebelumnya, kepala sekolah melihat anak di baris kedua di belakang anak lainnya yang tidak memasukkan kemeja putihnya ke dalam celana biru. Dipanggillah anak itu ke depan, persis di dekat tiang bendera. Sementara upacara belum dimulai, anak kecil siswa kelas 1F itu melangkah takut dan diminta menghadap ke arah ratusan siswa lainnya yang mulai terjemur terik pagi. Kepala sekolah meminta anak itu memasukkan kemeja putihnya ke dalam celana, “upacara tidak akan dimulai jika kamu belum rapih,” kalimat itu masih bisa terdengar hingga detik ini. Sebab, anak bertubuh kecil itu adalah saya!

Malu, takut ditertawai dan langit serasa tengah runtuh hendak menindih tubuh kecil yang berdiri di dekat tiang bendera itu. Ratusan pasang mata tengah menatap, ratusan kepala seolah memasung kaki kecil di tengah lapangan upacara, ketika saya mengangkat kemeja putih dan hendak memasukkannya ke celana biru, dan… ratusan tawa pun menggelegar, memecah langit, membuat si kecil itu menunduk malu tak tertahankan.

Saya, hari Senin pagi itu, berangkat ke sekolah mengenakan seutas tali rapiah sebagai ikat pinggang. Saya tidak punya ikat pinggang, namun saya juga tidak mau kedodoran. Maka tali rapiah pun menjadi pilihan. Saya merasa bodoh saat itu, merasa tidak berharga dan sangat malu, menyesal menggunakan tali rapiah sebagai ikat pinggang. Tidak, teman-teman dan guru yang menertawai saya di Senin pagi itu tak bersalah. Mereka berhak menertawai kebodohan saya yang menggunakan tali rapiah itu.

***

Ah, rasanya ingin tertawa terbahak-bahak jika mengingat kembali berbagai kebodohan di masa lalu. Ya, mungkin saya dan kita semua boleh tersenyum bahkan tertawa sekeras-kerasnya, karena kebodohan-kebodohan yang kita lakukan di masa lalu itu boleh jadi karena kita melakukannya karena kita tidak tahu, tidak mengerti atau belum pernah melakukannya sebelumnya.

Bagaimana dengan kebodohan-kebodohan yang kita perbuat sesudah kita banyak tahu, sudah mengerti dan bahkan sebenarnya berkali-kali pernah melakukannya. Jika seorang anak kecil memasukkan telepon selular milik Ayahnya ke dalam secangkir kopi, tentu saja itu bukan kebodohan. Tetapi jika itu dilakukan oleh orang dewasa, bolehlah disebut something stupid, satu kebodohan yang tidak perlu. Kalau melihat anak-anak melakukan kekeliruan, siapa pun akan tertawa dan merasa itu sesuatu yang lucu. Namun jika sebuah kekeliruan dilakukan oleh seorang berpengalaman misalnya, apakah boleh disebut kebodohan?

Ada orang bijak mengatakan, jika melewati sebuah lorong dan kita terjerembab ke dalam lubang itu wajar jika itu kali pertama kita melewati lorong tersebut. Namun jika keesokan harinya melewati lorong yang sama dan kembali terjerembab, itu lah kebodohan. Sebaiknya kita senantiasa belajar dan mengambil hikmah dari pengalaman masa lalu, agar kesalahan-kesalahan –dan kalau boleh disebut; kebodohan- di masa lalu tidak terulang kembali.

Saya yakin, setelah membaca tulisan ini, Anda akan senyum-senyum sendiri atau sedikit tertawa karena tiba-tiba saja melintas something stupid di masa lalu. (Gaw)

***

School of Life, Chapter V: Something Stupid

Ceritakan peristiwa-peristiwa masa lalu Anda yang kerap membuat kita merasa “stupid” dalam forum life sharing di School of Life (SOL).

Minggu, 20 Mei 2007
Pukul 09.00 – 12.00 WIB
Tempat, Radio SK, Gedung Adhi Graha, Penthouse Floor Suite 1901
Jl. Jend. Gatot Subroto, Kav.56 – Jakarta

Gratis dan daftarkan diri ke email; school.of.life@hotmail.com dan bayugautama@yahoo.com
Info: 08561115545 (Andika), Bayu Gawtama (085219068581)