Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Monday, January 31, 2005

Aku Jadi Ingat Ibu

Perawakannya kurus, meski ia mengakalinya dengan menggunakan blazer layaknya pegawai kantoran tetap saja terlihat bentuk tubuhnya yang ramping. Rambutnya lurus sebahu nampak kumal, sorot matanya sayu dan tak pernah berani mendekati orang meski ada kemauan yang teramat untuk mendekat.

Aromanya tak sesedap kebanyakan karyawati yang pernah saya temui. Blazernya pun lusuh, saya pun sempat menduga itu pemberian orang lain. Kulitnya hitam, tak manis, tak cantik, tapi wanita tiga puluh tahunan itu tetap berusaha memberikan senyum termanisnya untuk semua orang, terutama yang bersebelahan dengannya.

Pertama kali bertemu dengannya, saya sudah menduga ada yang ganjil dengannya. Benar saja, ia yang duduk di sebelah saya di angkutan menuju Blok M langsung berbisik perlahan, sebisa mungkin ia berusaha tidak terdengar oleh orang lain kecuali saya.

“Bapak, maaf ongkos bis ini berapa ya?” tanyanya lembut.

“Seribu dua ratus bu, ibu mau kemana?”

“Ke Blok M. Tapi saya nggak punya uang…” senyumnya tertahan. Getir.

Saya tak banyak bicara ketika kondektur tiba di sisi saya, selain mengeluarkan uang untuk ongkos dua orang. Tapi…

“Bapak punya uang lebih? Dua ribu saja. Agar saya bisa sampai ke Ciledug…”

Tak pikir panjang, saya keluarkan uang lebih dari yang dimintanya. Dan itu membuat senyumnya tak lagi tertahan.

***

Untuk kedua kalinya, saya bertemu dengannya di Stasiun Kalibata. Masih dengan blazer merah marunnya yang lusuh, rambut sebahu yang agak kemerah-merahan, mata yang sayu dan senyumnya yang tetap tertahan.

Saya lemparkan senyum terlebih dulu ketika ia menatap saya. Mungkin ia masih mengingat saya. Ia duduk persis di sebelah saya, berbaris sejajar dengan calon penumpang kereta lainnya.

Saya bisa merasakan geraknya yang mendekat dan mencoba merapat, “Pak, punya uang nggak, dua ribu saja untuk ongkos pulang…” pintanya.

Lagi-lagi saya tak banyak tanya, tiga lembar ribuan saya berikan kepadanya. Dan lagi-lagi senyumnya tak tertahankan.

***

Entah apa yang ada di pikirannya, sore itu menjelang maghrib ia kembali menghampiri saya. Dan Anda pasti sudah tahu apa yang ia minta dari saya. Hanya dua ribu rupiah.

Saya sempat ragu untuk mengeluarkan uang, saya perhatikan wanita itu sejenak dan menduga ia hanyalah seorang penipu yang berpura-pura tak punya uang dan memanfaatkan kebaikan orang lain. Entah berapa banyak orang seperti saya yang berhasil ia tipu dan berapa banyak pula ‘dua ribu’ yang ia raup hari ini, kemarin, atau hari-hari sebelumnya.

Tapi, wajah itu, tangan lemah itu, mata sayu itu nampaknya telah berkata yang sebenarnya.

Satu lembar lima ribuan mampir ke tangannya. Serta merta ia menarik tangan saya hendak mencium tangan saya… segera saya tarik karena saya tak menghendaki ia berlaku demikian hanya karena lima ribu rupiah.

Saya tak mengenalnya dengan baik, dimana ia tinggal, apa pekerjaannya, dan kemana setiap hari ia berjalan. Tapi saya bisa merasa ada beberapa mulut kecil di rumahnya yang menunggu setia kepulangannya.

Sungguh saya menangis, saat menatap wajahnya saya jadi ingat ibu sewaktu saya kecil. Ibu sering pergi jauh menawarkan jasanya mengajarkan Al Quran dengan ongkos seadanya, “nanti juga dikasih ongkos dari sana,” yang dimaksud ibu adalah orang yang diajarkan mengaji.

Bagaimana jika saat ibu datang mereka tak di rumah? Bagaimana ibu pulang? Siapa yang memberinya ongkos pulang? Seperti wanita yang sering saya temuikah cara ibu bisa pulang ke rumah setiap malam?

Kepada siapa pun yang pernah memberi ibu bantuan, terima kasih tulus dari saya.

Bayu Gawtama

Friday, January 28, 2005

What Ur Birth Month Means

Is It True? Just Find Out!

JANUARY * Ambitious and serious * Loves to teach and be taught * Always looking at people's flaws and weaknesses * Likes to criticize * Hardworking and productive * Smart, neat and organized * Sensitive and has deep thoughts * Knows how to make others happy * Quiet unless excited or tensed * Rather reserved * Highly attentive * Resistant to illnesses but prone to colds * Romantic but has difficulties expressing love * Loves children * Homely person * Loyal * Needs to improve social abilities * Easily jealous

FEBRUARY * Abstract thoughts * Loves reality and abstract * Intelligent and clever * Changing personality * Temperamental * Quiet, shy and humble * Low self esteem * Honest and loyal * Determined to reach goals * Loves freedom * Rebellious when restricted * Loves aggressiveness * Too sensitive and easily hurt * Showing anger easily * Dislike unnecessary things * Loves making friends but rarely shows it * Daring and stubborn * Ambitious * Realizing dreams and hopes * Sharp * Loves entertainment and leisure * Romantic on the inside not outside * Superstitious and ludicrous * Spendthrift * Learns to show emotions

(Guwe banged nih, terutama shy and humble, loves reality, honest and loyal, determined to reach goals, loves aggressiveness, dan ludicrous. Tapi ada yang gw gak setuju, gw tuh loves making friends tapi dibilang rarely shows it? trus Romantic, harusnya on the inside and outside, superstitious? masak sih? spendthrift? he he, dikit sih....)

MARCH * Attractive personality * Affectionate * Shy and reserved * Secretive * Naturally honest, generous and sympathetic * Loves peace and serenity * Sensitive to others * Loves to serve others * Not easily angered * Trustworthy * Appreciative and returns kindness * Observant and assess others * Revengeful * Loves to dream and fantasize * Loves traveling * Loves attention * Loves home decors * Musically talented * Loves special things * Moody

APRIL * Active and dynamic * Decisive and hateful but tends to regret * Attractive and affectionate to oneself * Strong mentality * Loves attention * Diplomatic * Consoling * Friendly and solves people's problems * Brave and fearless * Adventurous * Loving and caring * Suave and generous * Emotional * Revengeful * Aggressive * Hasty * Good memory * Moving * Motivate oneself and the others * Sickness usually of the head and chest * Easily get too jealous

MAY * Stubborn and hard-hearted * Strong-willed and highly motivated * Sharp thoughts * Easily angered * Attracts others and loves attention * Deep feelings * Beautiful physically and mentally * Firm standpoint * Easily influenced * Needs no motivation * Easily consoled * Systematic (left brain) * Loves to dream * Strong clairvoyance * Understanding * Sickness usually in the ear and neck * Good imagination * Good debating skills * Good physical * Weak breathing * Loves literature and the arts * Loves traveling * Dislike being at home * Restless * Hardworking * High spirited * Spendthrift

JUNE * Thinks far with vision * Easily influenced by kindness * Polite and soft-spoken * Having lots of ideas * Sensitive * Active mind * Hesitating * Tends to delay * Choosy and always wants the best * Temperamental * Funny and humorous * Loves to joke * Good debating skills * Talkative * Daydreamer * Friendly * Knows how to make friends * Abiding * Able to show character * Easily hurt * Prone to getting colds * Loves to dress up * Easily bored * Fussy * Seldom show emotions * Takes time to recover when hurt * Brand conscious * Executive * Stubborn * Those who loves me are enemies * Those who hates me are friends

JULY * Fun to be with * Secretive * Difficult to fathom and to be understood * Quiet unless excited or tensed * Takes pride in oneself * Has reputation * Easily consoled * Honest * Concern about people's feelings * Tactful * Friendly * Approachable * Very emotional * Temperamental and unpredictable * Moody and easily hurt * Witty and sarky * Sentimental * Not revengeful * Forgiving but never forgets * Dislike nonsensical and unnecessary things * Guides others physically and mentally * Sensitive and forms impressions carefully * Caring and loving * Treats others equally * Strong sense of sympathy * Wary and sharp * Judge people through observations * Hardworking * No difficulties i

AUGUST * Loves to joke * Attractive * Suave and caring * Brave and fearless * Firm and has leadership qualities * Knows how to console others * Too generous and egoistic * Takes high pride of oneself * Thirsty for praises * Extraordinary spirit * Easily angered * Angry when provoked * Easily jealous * Observant * Careful and cautious * Thinks quickly * Independent thoughts * Loves to lead and to be led * Loves to dream * Talented in the arts, music and defense * Sensitive but not petty * Poor resistance against illnesses * Learns to relax * Hasty and rushy * Romantic * Loving and caring * Loves to make friends

SEPTEMBER * Suave and compromising * Careful, cautious and organized * Likes to point out people's mistakes * Likes to criticize * Quiet but able to talk well * Calm and cool * Kind and sympathetic * Concerned and detailed * Trustworthy, loyal and honest * Does work well * Sensitive * Thinking * Good memory * Clever and knowledgeable * Loves to look for information * Must control oneself when criticizing * Able to motivate oneself * Understanding * Secretive * Loves sports, leisure and traveling * Hardly shows emotions * Tends to bottle up feelings * Choosy especially in relationships * Loves wide things * Systematic

OCTOBER * Loves to chat * Loves those who loves him * Loves to takes things at the centre * Attractive and suave * Inner and physical beauty * Does not lie or pretend * Sympathetic * Treats friends importantly * Always making friends * Easily hurt but recovers easily * Bad tempered * Selfish * Seldom helps unless asked * Daydreamer * Very opinionated * Does not care of what others think * Emotional * Decisive * Strong clairvoyance * Loves to travel, the arts and literature * Soft-spoken, loving and caring * Romantic * Touchy and easily jealous * Concerned * Loves outdoors * Just and fair * Spendthrift and easily influenced * Easily lose confidence

NOVEMBER *Has a lot of ideas * Difficult to fathom * Thinks forward * Unique and brilliant * Extraordinary ideas * Sharp thinking * Fine and strong clairvoyance * Can become good doctors * Careful and cautious * Dynamic in personality * Secretive * Inquisitive * Knows how to dig secrets * Always thinking * Less talkative but amiable * Brave and generous * Patient * Stubborn and hard-hearted * If there is a will, there is a way * Determined * Never give up * Hardly become angry unless provoked * Loves to be alone * Thinks differently from others * Sharp-minded * Motivates oneself * Does not appreciates praises * High-spirited * Well-built and tough * Deep love

DECEMBER * Loyal and generous * Patriotic * Active in games and interactions * Impatient and hasty * Ambitious * Influential in organizations * Fun to be with * Loves to socialize * Loves praises * Loves attention * Loves to be loved * Honest and trustworthy * Not pretending * Short tempered * Changing personality * Not egoistic * Takes high pride in oneself * Hates restrictions * Loves to joke * Good sense of humor * Logical

Thursday, January 27, 2005

Antara Bogor dan Meulaboh

Kepada Cut di Meulaboh,
Surat ini Nanda kirimkan segera setelah Nanda menyaksikan rumah Cut, pekarangan Cut, tempat bermain, sekolah, masjid, kebun, luluh disapu badai tsunami.

Nanda menangis, Nanda bilang sama ibu kalau Nanda mau ke Aceh melihat apakah Cut masih hidup. Nanda tahu rumah Cut telah tak bersisa apa pun, dan karena itu Nanda ingin terbang ke kampung Cut di pinggir pantai itu, adakah Nanda di sana.

Tapi Cut,
Ibu melarang Nanda ke rumah Cut yang teramat jauh jaraknya dari rumah Nanda. Ibu bilang anak kecil tak boleh ke Meulaboh, karena semua anak-anak di kampung Cut pun diungsikan ke tempat yang lebih aman.

Cut dimana sekarang?
Cut pasti sedih di tempat baru, karena tak ada teman-teman bermain cut yang dulu. Nanda masih ingat Cut selalu cerita tentang Haikal yang sering membela Cut kala diganggu Rizal. Cut juga pernah cerita tentang Hayati, teman akrab Cut yang sering memberi Cut kue. Atau Khaira, yang sering membuat Cut iri akan kecantikannya. Ah Cut, padahal Cut pun tak kalah cantiknya.

Nanda tahu,
Cut pasti rindu aksi kepahlawanan Haikal saat menghalau Rizal, atau roti hangat yang selalu dibawa Hayati setiap berkunjung ke rumah Cut. Khaira yang bajunya selalu bagus, adakah ia masih mengenakan baju bagusnya itu? Cut bahkan mungkin kangen tangan usil Rizal?

Cut,
Bagaimana kabar Fatimah, kakak Cut yang sabar itu?
Dia masih bersama Cut kan? Ayah dan Ibu? Pasti tak jauh dari Cut sekarang?

Sungguh Nanda ingin Cut membalas surat Nanda dan mengabarkan semuanya. Semuanya, tentang Cut, kak Fatimah, Ayah, Ibu, teman-teman Cut, Bonnie kucing kesayangan Cut, sekolah Cut, masjid tempat Cut mengaji, bunga melati yang Cut tanam di kebun belakang rumah Cut, semuanya Cut. Semuanya.

Tapi Cut,
Apakah masih tersisa pena untuk Cut menulis di atas kertas yang mungkin harus Cut cari ke sana kemari karena semua kertas sudah basah.

Ataukah Cut masih sempat menulis surat untuk Nanda karena untuk menghentikan tangis saja Cut belum mampu. Jangan-jangan Cut sendiri sudah tak tahu harus meminta tolong siapa untuk membantu Cut menulis surat seperti Nanda yang dibantu ibu.

Ataukah,
Ah Cut, Nanda tak berani membayangkan bahwa jemari Cut sudah sedemikian membeku dan kaku… tak sanggup lagi memegang pena?

Di surat Cut terakhir minggu lalu, Cut mengajak Nanda berkunjung ke Meulaboh. Cut cerita tentang indahnya pantai, riak gelombang yang menenangkan, dan udara pantai yang sejuk. Foto-foto Cut di halaman rumah, di kebun belakang tempat Cut menanam beberapa bunga, atau saat Cut riang di tepi pantai bersama kak Fatimah, membuat Nanda ingin segera ke rumah Cut.

Nanda gembira setelah Ayah berjanji akan mengajak Nanda dan ibu ke rumah Cut akhir tahun, sambil liburan tahun baru di Aceh. Tapi Cut, semuanya terjadi begitu cepat, satu hari sebelum Nanda berangkat ke rumah Cut…

Cut,
Andai Nanda datang lebih awal ke rumah Cut, mungkin Nanda tak perlu menulis surat ini untuk Cut. Nanda pasti jadi teman yang baik disaat Cut sendirian. Nanda pasti akan menggantikan Hayati memberi Cut kue setiap hari, atau memperingatkan Rizal agar tak mengganggu Cut yang sedang bersedih.

Cut,
Padahal Nanda ingin melihat bunga melati di kebun belakang rumah Cut. Masih adakah kelopak yang tersisa buat Nanda?


Dari Nanda,
Sahabat pena Cut di Bogor

Bayu Gautama

Wednesday, January 26, 2005

Rara, Si Gadis Tomboy: "Jangan Bilang Aku Cantik" (4)

Ini lanjutannya ya, kalo bingung baca dulu nomor sebelumnya!

Kemudian bergantian, nama-nama calon itu dielu-elukan oleh pendukungnya masing-masing.

“Sebelumnya, agar teman-teman tidak salah pilih, juga agar kita mendapatkan pimpinan terbaik untuk kelas ini, kita akan mendengarkan para kandidat ketua kelas ini menyampaikan visinya sebagai ketua kelas. Sebagai pembuka, Dimas akan menyampaikan visinya…”

Riuh tepuk tangan mengiringi langkah cowok yang diklaim paling ganteng di SMP Tujuh Saja itu. Dan …

“Saya akan menjadikan kelas ini disegani oleh kelas lain. cewek-cewek di kelas lain, dan kalau perlu semua cewek di SMP-SMP lain di seluruh Indonesia ini akan saya buat iri karena nggak bisa gabung di kelas Tiga A, kelas yang dihuni banyak cowok keren abis dan ganteng yang nggak abis-abis macem saya ini. Setuju teman-teman…?”

“Setujuuuu…” Cuma barisan cowok ganteng dan sebagian cewek keceh yang berteriak.

Selanjutnya Mahdi. Ketika dipanggil namanya, ia tengah terlelap di atas meja paling belakang. Bagi yang duduk tak jauh dari tempatnya tidur, pasti bisa mendengar suara khasnya saat tidur, “kroookk, siiuuhhh… kroookk, siiuuuhh…”

Sayangnya, teman-teman yang duduk di kanan kiri, depan dan belakang Mahdi pun kali ini tak mendengar suara khas itu, karena mereka pun sama-sama tertidur! Mereka, tak lain tak bukan adalah anggota yang ketua genk-nya asik terbuai mimpi menjadi ketua kelas sebelum pemilihan dimulai.

Dasar genk cuek beibeh.

Setelah dihentak beramai-ramai, serempak Mahdi dan anak buahnya bangun. Seperti diberi aba-aba dan hitungan satu dua tiga, secara bersamaan jari jemari mereka bergerak ke arah pipi dan tepi bibir yang basah. Dan,… sama-sama jemari itu lagi-lagi kompak menarik bagian lengah baju mereka untuk melap bagian yang basah tadi.

Selesai

Mahdi pun memulai pidatonya.

“Mau belajar sambil tidur, mau tidur sambil belajar, yang penting…”

“cuek beibeh…” sambut para pengikutnya.
“Diomelin guru, disetrap di depan kelas sambil kaki diangkat…”

“cuek beibeh…”

“dapet nilai sepuluh, dapet nilai tiga, nggak dapet apa-apa…”

“cuek beibeh…”

“nyontek ketauan, nyontek nggak ketauan… sempet ato nggak sempet bikin pe-er…”

“cuek beibeh…”

“sekian dan terima kasih buat para fans, penggemar dan pengikut setia cuek beibeh…”

Walau hanya empat orang anggota genk ce-be ini, tetap saja kelas menjadi gaduh ketika Mahdi meninggalkan podium. Jelas saja, empat siswa binaan Mahdi itu memukul-mukul meja, menghentakkan kaki ke lantai dan mulut mereka tak henti bersuit-suit usai sang pemimpin memberikan pidato.

Mila tampil selanjutnya.

“Sejak angkatan pertama, kelas Tiga A selalu menjadi contoh kelas lain untuk segala hal. Kelas teladan, kelas terbersih, kelas paling diam dan tak gaduh saat ujian, kelas paling menghormati guru, terutama Pak Anto si mata dewa yang killer itu, kelas yang paling sering dikunjungi kepala sekolah, kelas yang paling sering diomongin para guru saat rapat, kelas yang paling banyak cewek keceh-nya, paling banyak cowok gantengnya, paling banyak siswa pinternya karena semua juara kelas ditumpuk di kelas ini,…”

Lalu,

“Jika terpilih menjadi ketua kelas Tiga A ini, saya akan mempertahankan semua prestasi itu… bersama kita bisa!” lantang Mila.

“Horeee … hidup Mila, Mila hidup, hore Mila, Mila horeee,…” seru para pendukung Mila menyambut pidato yang berapi-api itu.

Detik berlalu.

Suasana hening, suara-suara yang tadi gaduh tiba-tiba hilang ditelan bumi. Hanya ada gesekan-gesekan sikut yang bersinggungan untuk meminta perhatian teman sebelahnya agar tertuju kepada pemilik nama yang dipanggil berikut. Subhan.

Semua terdiam, senyap, tak sedikit pun suara berani keluar, sekali pun dari mulut-mulut yang biasanya jahil bin latah serta tak mampu meredam hasrat untuk nyeletuk. Keadaan semakin seperti kuburan dan kebanyakan tempat pemakaman lainnya, bedanya di kelas itu tidak ada yang tebar bunga atau pun terisak karena ditinggal keluarganya.

Perlahan, langkah satu per satu dari anak Mushola seperti dihitung beramai-ramai, satu-dua-tiga-empat dan seterusnya, tapi hanya dalam hati. Tatapannya menunduk, langkahnya persis seperti saat ia melantunkan bacaan qira’at sewaktu ia meraih juara MTQ tingkat SLTP se-DKI tahun lalu.

Saat itu, semua pasang mata, kecuali mata Didik karena sebelah kiri matanya hilang penglihatan terkena senar putus dari gitar yang dimainkannya pada saat acara panggung hiburan sekolah bulan kemarin.

Disaat semua pandangan tertuju ke sosok yang sudah berdiri di podium,

Semua mata terbelalak

Semua mulut ternganga

Semua jantung terkejut

Karena …

Subhan pingsan…

“Wah, belum sempat sampaikan visi ternyata kandidat yang satu ini sudah gugur duluan” seru salah seorang di belakang.

Sementara tiga siswa lain membopong Subhan,

Perhatian pun kini beralih ke Rusdi, karena ialah yang selanjutnya dipanggil oleh pembawa acara.

Butuh waktu hampir empat setengah menit lebih sedikit bagi Rusdi untuk menebarkan pesonanya, melemparkan senyumnya ke depan, ke kanan, ke kiri, ke tempat paling pojok kanan, wilayah Mahdi and the genk-nya melanjutkan aksi tutup matanya, dan tak lupa ia juga membuang senyumnya ke belakang, walau hanya papan tulis yang menangkap senyum yang oleh sebagian cewek di kelas Tiga A, disebut-sebut sebagai senyum terkecut sedunia.

“Kelas Tiga A akan saya jadikan…” Rusdi tersenyum.
“kelas yang disukai karena…” tersenyum Rusdi.
“murah senyum…” Rusdi senyum lagi. Sudah tiga kali.

“Karena senyum itu sedekah…” ia tersenyum lagi.
“sedekah yang paling murah…” senyum sekali lagi.
“Tapi jangan disalahgunakan…” senyum kembali.

“lho kok jadi kayak lagu ya?” kali ini senyumnya agak lebar, alias nyengir.

“Sudahlah, yang penting tetaplah tersenyum seberat apa pun cobaan kita, eh, nggak nyambung ya?” kali ini Rusdi bukan tersenyum, tapi tertawa nggak jelas yang menyudahi pidatonya.

Angga maju pada giliran berikutnya. Anak cerdas, berkacamata tebal, rambut lurus selurus tubuhnya, menempati podium dengan membawa sebuah bukunya Arundathi Roy, The God of Small Things.

“Su… su… sudah a…a,a,aaa…da ey, ey…eeeyy…yang baaa…ca b…b,b,b… buku iiii,i…ni belum?” tanya Angga.

Entah makhluk halus model apa yang masuk ke kerongkongan Angga, karena tiba-tiba saja ia menjadi gugup begitu. Dan tak jelas pula maksudnya ia menanyakan seluruh yang hadir tentang buku Arundhati itu.

“Ka… kalau b,b,b…buuu ku ini s,s…sudah belum?” Dari balik bajunya, ia mengeluarkan Petir-nya Dewi Lestari. Buku ketiga dari Supernova.

“Beluuuummm…” bagai paduan suara yang tengah ambil suara. Jawaban yang sudah bisa diduga oleh Angga.

“M,m,m,m… maa…maau s,saaaya b,b,baa…cakan a,atau b,b,beeli sendiri?”

Karuan saja semua kepala di kelas itu menggeleng pertanda tak setuju jika Angga membacakan dua buku yang lumayan tebal itu di atas podium. Bisa-bisa pemilihan ketua kelas baru bisa dimulai bulan depan. Atau paling tidak, semua hadirin tertidur pulas menunggu lelah dan bosan Angga mengeja satu persatu kata di buku tersebut dengan gaya membacanya yang mirip ayam makan karet gelang itu.

Angga pun diturunkan secara paksa sebelum ia menyelesaikan pidatonya.

Kasihan.

The last, tapi tidak penting. Itu mungkin yang pantas untuk diucapkan ketika tiba giliran Tejo. ...

Bersambung lagi ya...

Tuesday, January 25, 2005

Aku Ingin Dicinta Seperti Sarah Mencintai Ibrahim

Siapa laki-laki paling setia di dunia? Saya pernah diajukan pertanyaan seperti itu oleh seseorang. Tentu saja saya tidak akan menjawab bahwa laki-laki itu adalah saya. Saya tak berani bukan karena saya tak sanggup untuk setia terhadap pasangan saya, melainkan belum banyak ujian yang saya lewati selain juga usia pernikahan saya baru lima tahun.

Kepada si penanya, yang tak bukan adalah isteri saya sendiri, saya memberinya satu nama, Ibrahim alaihi salam. Nama yang mengiringi nama Muhammad SAW dalam setiap shalawat yang kita baca, adalah nama jaminan untuk urusan cinta dan kesetiaan.

Ia menikahi Sarah atas pertimbangan dakwah. Sebagai pesuruh Allah tentu saja Ibrahim tak akan mencari seorang pendamping yang akan menyulitkan jalannya meraih cinta Allah, seseorang yang takkan memberatkan langkahnya dalam menapaki setiap jengkal menuju cinta-Nya. Dan atas nama cinta kepada Allah, Ibrahim mendapatkan Sarah, wanita yang kadar cintanya kepada Allah sebanding dengan cinta yang dipunyai Ibrahim.

Ujian, tantangan, cobaan datang bertubi, dan yang terberat adalah ujian kesetiaan dari keduanya untuk menunggu hadirnya sang penerus risalah Allah, seorang abdi yang kelak menggantikan peran dirinya menaruh semua amanah Allah di pundaknya. Hingga usianya yang uzur, sang purnama yang dinanti tak juga hadir. Ini juga ujian dari Allah apakah Ibrahim tetap mencintai-Nya, dan apakah Sarah tetap teguh pada cintanya.

Tak seperti kebanyakan lelaki masa kini yang serta merta memvonis untuk menikah lagi dan bahkan menceraikan isterinya lantaran dianggap tak mampu memberinya keturunan, Ibrahim tak demikian. Bahkan, di tengah kerinduannya yang memuncak akan hadirnya sang purnama penerang jalan Allah sesudahnya nanti, ia mendapatkan tawaran yang tak pernah disangkanya dari sang isteri tercinta. Sarah meminta Ibrahim menikahi Hajar, seorang wanita yang dipilih sendiri oleh Sarah yang diyakini mampu memberikan keturunan.

Apakah Sarah tak lagi mencintai Ibrahim? Jangan salah, cinta Sarah yang hakiki adalah cinta kepada Dzat yang menganugerahkan cinta. Ia yakin apa yang dilakukannya akan membantu suaminya untuk mendapatkan pengembang risalah selanjutnya. Dan Maha Benar Allah yang telah menciptakan wanita semulia Sarah, Maha Kuasa Allah yang telah memilihkan Sarah untuk Ibrahim yang mulia, dan Maha Suci Allah yang telah mengirimkan Hajar di tengah-tengah keluarga yang cintanya kepada Allah takkan pernah tersaingi itu. Maka Allah pun menghadiahi buah cinta itu berupa Ismail.

Selesaikan episode cinta itu? Belum! Ujian cinta kemudian berlanjut kepada Ibunda Hajar, ibu dari bayi kecil Ismail yang harus ditinggalkan sang suami dalam waktu lama untuk sebuah perjalanan dakwah. Ibrahim pun tak kalah berat ujiannya tatkala harus meninggalkan anak yang sudah sekian lama dinanti. Atas nama cinta, Ibrahim menyerahkan keselamatan, keamanan, rezeki dan kelangsungan hidup Hajar dan Ismail di tangan Allah.

Ibunda Hajar berlari menempuh jarak yang teramat jauh antara Shafa dan Marwah untuk mendapatkan air bagi Ismail kecil yang menangis kehausan. Bahkan Allah pun mewajibkan setiap manusia yang pergi ke Baitullah ikut merasakan perjuangan ibunda Hajar, ibu dari manusia yang kelak dikenal sebagai salah satu manusia paling sabar di dunia.

Hingga akhirnya Allah membalaskan cinta Hajar atas perjuangannya melalui hentakan kaki mungil Ismail ke muka bumi berupa sumber air zam-zam yang tak pernah kering hingga kini.

Ibrahim kembali ke keluarga tercintanya, tapi ujian baru pun menanti. Belum cukup hamba Allah itu menghabiskan rindunya kepada anak satu-satunya yang sudah tumbuh menjadi anak yang menyenangkan itu. Belum puas Ibrahim meluapkan cintanya kepada Ismail, Allah mengeluarkan perintah yang teramat berat, perintah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, perintah yang jika bukan Ibrahim yang menerimanya pastilah dianggap bisikan setan, perintah yang jelas menguji keimanan Ibrahim untuk cenderung ke mana cintanya, Allah ataukah Ismail?

Atas nama cinta, Ibrahim menceritakan perihal perintah Allah itu kepada Ismail. Anak kecil yang digambarkan Al Quran sebagai anak yang baru berusaha berjalan menyusul ayahnya itu ternyata tak sedikit pun ragu atas kebenaran dari mulut ayahnya, si kecil Ismail ikhlas menjalani perintah Allah yang tak secara langsung didengarnya itu, kecuali dari mulut ayahnya. Disinilah, nilai kepercayaan anak begitu tinggi terhadap seorang ayah terlukiskan.

Sejuta setan mengganggu, sejuta iblis menghasut, sejuta jin menggoda, mencoba meruntuhkan cinta Ibrahim, Ismail dan Hajar. Tapi keluarga Ibrahim adalah keluarga dengan tradisi kemenangan untuk setiap ujian, keyakinan dan cintanya yang teramat tinggi kepada Allah yang menjadikan semuanya begitu berbeda. Keluarga Ibrahim, keluarga tangguh yang mampu menghalau semua godaan, hasutan dan gangguan. Mereka melempari setan dengan batu-batu kerikil, yang kemudian Allah mengabadikannya dalam ibadah jumrah. Bismillaahi Allaahu Akbar!

Isteriku, Sungguh saya ingin dicintai seperti Sarah mencintai Ibrahim
Seperti Hajar mencintai Ibrahim
Seperti Ismail mencintai ayahnya
Dan,
Doakan suamimu agar mampu mencinta seperti Ibrahim mencintai Allah
Seperti Ibrahim yang setia kepada Sarah
Seperti Ibrahim yang cinta kepada Hajar
Seperti cinta Ibrahim kepada Ismail

Bayu Gautama

Monday, January 24, 2005

Rara, Si Gadis Tomboy: "Jangan Bilang Aku Cantik" (3)

biar nggak bingung, baca dulu cerita sebelumnya, oke ...

Kelas Tiga A. Ini kelas paling populer di SMP Tujuh Saja. Yang cakep-cakep ada di kelas ini, yang ganteng-ganteng juga di kelas ini, yang pinter-pinter gabung di kelas ini, yang rada telmi dan bolot nggak mungkin mampir di kelas ini. Mampir saja nggak, apalagi duduk, terlebih lagi gabung, wah nggak mungkin deh. Intinya, ini kelas, kelas nomor wahid lah, alias kelas unggulan.

Di kelas ini lah Rara nongkrong. Bukan cuma nongkrong, bahkan Rara ini ketua tongkrongan segala macam genk di kelas tiga A. genk cowok ganteng, genk cewek keceh, genk cewek-cowok alim alias genk mushola, genk kutu buku, genk cuek beibeh, genk tengil yang suka tebar pesona, genk anak-anak dekil tapi pede, semuanya berada di bawah kekuasaan Rara, karena… Rara lah ketua kelas Tiga A.

Gabung dimana Rara? Kecuali genk anak dekil tapi pede, Rara ada di semuanya. Bahkan di genk cowok ganteng, Rara jadi anggota istimewa, karena cuma Rara seorang cewek di sekolah SMP Tujuh Saja yang mendapat kehormatan bergabung di genk tersebut. Ada sejarahnya nih, dan ini ada hubungannya kenapa Rara terpilih jadi ketua kelas di kelas punggawa ini.

Waktu pemilihan kelas masing-masing genk mencalonkan jagonya. Genk cowok ganteng memajukan Dimas, rajanya cowok ganteng di SMP Tujuh Saja. Kambing saja sampai kesengsem sama pesonanya, itu terbukti sewaktu Dimas diseruduk kambing empat hari sebelum pemilihan ketua kelas nggak jauh dari gerbang sekolah.

Dari genk cewek keceh ada Mila. Nama aslinya Siti Romlah, biar lebih keren doi lebih seneng dipanggil Mila, kesannya lebih nggak kampungan gitu loch. Belakangan Mila gabung juga di genk mushola. Banyak cowok yang kecewa ketika Mila mantap pakai jilbab usai acara pesantren kilat yang diadain Rohis sekolah.

Sempet-sempetnya ada cowok yang nanya, “Mila kok kalau di rumah pake kaos kaki juga?”

“ya, masak pake kaos lampu, nggak mungkin lah…” jawab Mila enteng.

Subhan, juara MTQ tingkat SLTP se-DKI yang juga gabung di genk cowok ganteng mewakili genk Mushola. Sementara genk kutu buku diwakili, siapa lagi kalau bukan Angga, juara kelas yang nggak pernah tergeser posisinya sebagai siswa paling berprestasi dua tahun berturut-turut. Bisa ditebak, predikat siswa berprestasi tahun ini pun akan disabet Angga ini. Tapi, kurangnya tetap ada, kurang gaul! Juga kaca mata tebalnya itu lho, bikin matanya keliatan agak belo, padahal kalau kacamatanya dibuka, ya emang belo juga sih, kayak yang mau lompat keluar gituh.

Genk cuek beibeh mendorong-dorong jagonya, panggilannya tuti alias tukang tidur. Mahdi ini memang dikenal sering tidur di kelas, tapi dasar ia adalah ketua genk cuek beibeh, biar guru ngomel-ngomel tetap saja, cuek beibeh.

Rusdi yang rajin senyum dan menebar pesonanya ke semua kaum, baik kaum hawa maupun kaum Adam, nggak peduli itu guru, kepala sekolah, termasuk Pak Warno penjaga sekolah, tetap saja disenyumin, wakil dari genk tengil. Sementara Tejo manusia paling kumal, dekil yang rambutnya nggak pernah disisir itu dengan pede-nya maju mewakili genk dekil.

Nama-nama seperti Dimas, Mila, Subhan, Angga, Mahdi, Rusdi dan Tejo, adalah nama-nama terkenal di SMP Tujuh Saja. Ya, terkenal dengan keunikan dan keistimewaannya masing-masing. Jangan heran loh, di SMP Tujuh Saja juga ada genk veteran, alias genk para siswa yang nggak naik kelas, dua-tiga tahun sekolah tetap betah di kelas satu melulu. Tentu saja, tidak ada wakil dari genk ini untuk calon ketua kelas Tiga A.

***

“Teman-teman sekalian,…”

Terdengar suara Sandy, Pjs ketua kelas membuka acara pemilihan ketua kelas Tiga A. Di barisan depan duduk Bu Isti, wali kelas Tiga A, didampingi para kandidat ketua kelas yang mewakili genk masing-masing.

“Malam ini kita berkumpul di sekolah untuk melakukan pemilihan yang kita harapkan menjadi pemilihan paling demokratis, paling fairplay, paling jujur, paling bersih, paling transparan, paling tidak ada money politics, dan paling segalanya…”

Gemuruh tepuk tangan puluhan siswa kelas Tiga A menyambut pidato pembukaan Sandy yang mantan ketua Osis itu.

“Sudah saatnya kita memilih ketua kelas terbaik sepanjang sejarah sekolah ini…”

Lagi-lagi suara gemuruh itu terdengar, kali ini lebih hingar karena dibarengi suara hentakan kaki ke lantai dari seluruh hadirin, kecuali Bu Isti tentunya.

“Di barisan depan, ada tujuh siswa pilihan dari kelas tiga A ini yang akan kita pilih bersama-sama pada malam ini, untuk kemudian menjadi ketua kelas”

Suara gemuruh itu terulang lagi, dan mulailah para pendukung masing-masing calon kandidat itu meneriakkan nama jagonya.

“Dimas, Dimas, Dimas…” seru anggota genk cowok ganteng

“Subhan Oyeeee…”

“Mila sajalah, paling cantik loh… bertahi lalat pula” pendukung cewek keceh nggak mau kalah.

Kemudian bergantian, nama-nama calon itu dielu-elukan oleh pendukungnya masing-masing.

Bayu Gautama

Thursday, January 20, 2005

Rara, Si Gadis Tomboy: "Jangan Bilang Aku Cantik" (2)

sambungan dari sebelumnya:

Pagi-pagi Rara sudah mandi, lebih pagi dari biasanya. Kalau biasanya si hidung bangir ini mandi jam enam, hari ini, jam lima kurang sepuluh menit sudah jebar-jebur di kamar mandi. Ayah sempat bertanya-tanya siapa yang mandi pagi begini, udah gitu, senandung kamar mandinya itu lho, bikin mual di perut karena nggak tahan nahan geli. La wong, nada kemana, lagu kemana… di tambah keseringan na na… na na… pengganti lirik yang nggak dihapal Rara.

“Tumben ra, ayam aja kalah pagi mandinya sama kamu” cibir Ayah.

Diih rajinnya Ayah Rara ini, setiap pagi merhatiin ayam mandi. Nggak ada kerjaan lain ya yah?” balas Rara.

“Ayam mandinya pake siul segala nggak? Macem Ayah kalau lagi shampoo-an tuh…”

“Nah ketauan kamu suka ngintip Ayah mandi ya, kok tau-taunya Ayah suka bersiul saat keramas”

“Tuuuh…” mulut Rara menyerong ke arah ibu pertanda kalau yang membocorkan rahasia Ayah di kamar mandi itu ya ibu. Ibu yang pendiam itu cuma senyum kecil tanpa arti.

Tidak sopannya orang Betawi itu terlihat kalau diminta seseorang untuk menunjukkan sesuatu atau jalan. Kalau orang Sunda atau Jawa yang dimintai petunjuk, dengan sopan ia menggunakan beberapa jarinya untuk menunjuk arah yang dimaksud, masih ditambah badan yang sedikit membungkuk dan bahasa yang sehalus-halusnya.

Nah, kalau orang betawi beda banget. Bukan jari yang menunjuk melainkan satuan dua bagian bibir atas dan bawahnya yang sekonyong-konyong membentuk moncong meriam seraya berujar, “Noooh, sono noooh…”

Sengaja ia pagi-pagi mandi karena hendak segera berangkat ke sekolah agar bisa masuk lebih pagi. Logikanya, kalau masuk lebih pagi, berarti bisa pulang lebih awal. Siswa yang lain masuk sesuai bel jam tujuh pagi dan pulang tepat jam dua siang, nah pikir Rara, kalau ia bisa masuk setengah tujuh berarti boleh pulang jam setengah dua. Ia akan mengajukan proposal dan permohonan izin untuk idenya itu.

“Kenapa kamu ingin pulang lebih cepat ra,” tanya Ayah. Ayah menduga Rara ingin pulang cepat karena hendak mengejar les bahasa Inggris yang sering ketinggalan. Setiap kursus, Rara selalu telat gara-gara waktu kursusnya agak-agak kurang match sama jam pulang sekolah Rara.

“Biar nggak ketemu setan…”

“Setan?… setan apa yang menampakkan diri sore-sore?” heran Ayah.

“Setan nggak tau diri, tanya deh sama ibu” Rara pun ngeloyor pergi setelah cipika-cipiki sama Ayah dan Ibu.

“assalaamu’alaikum…”

II. Kelas Tiga A SMP TUJUH SAJA

Pak Arham, Ayah Rara, sempat bingung ketika hendak mendaftarkan Rara di SMP Tujuh Saja. Namanya itu lho, Tujuh Saja, maksudnya apa?

Menurut keterangan kepala sekolah, nama Tujuh Saja diambil dari angkatan pertama sekolah yang dibangun tahun sembilan belas delapan empat itu. Waktu pertama kali dibuka, sebenarnya ada sebelas siswa yang mendaftar, tapi dua siswa mengundurkan diri sebelum sekolah dimulai, satu siswa gagal tes kesehatan, dan satu lagi bahkan, meninggal di hari pertama sekolah. Meninggal? Hiyyy

Alhasil, tinggal tujuh siswa yang sekolah di SMP yang sebelumnya nggak jelas namanya. Di plang depan gerbang sekolah tertera nama “SMP Pembangunan”. Mungkin nama itu dipake karena sebagian kelasnya masih dibangun, makanya setiap hari suasana belajar lumayan ramai oleh suara “tak tok tak tok” para kuli bangunan yang ngejar terget. Tapi di akta pendirian sekolah namanya lain lagi, SMP Budi Pertiwi. Jelas nama ini diambil dari dua nama pendiri sekolah ini, Bapak Budi Prihantono dan ibu Pertiwi Prihatin, dua kakak beradik yang punya cita-cita tinggi memajukan pendidikan Indonesia. Tapi… coba deh tanya ke masyarakat sekitar tentang SMP Tujuh Saja, atau SMP Budi Pertiwi, atau SMP Pembangunan, nggak satu pun yang tau. Karena mereka lebih mengenal SMP Tujuh Saja, Budi Pertiwi atau Pembangunan ini dengan nama SMP Senggol. Karena letaknya memang di Jalan Senggol.

Tapi apa pun namanya, Rara nggak peduli. Buat apa mikirin soal nama, kan yang penting prestasi. Bagi Rara yang Ayahnya pedagang kain di pasar Tanah Abang itu, bisa sekolah saja sudah sukur alhamdulillah. Karena banyak anak-anak sebayanya yang belum bisa mencicipi bangku sekolah, maksudnya menikmati, eh, mengenyam, uuh, ya pokoknya maksudnya bisa mendapat kesempatan bersekolah deh.

Kelas Tiga A. Ini kelas populer di SMP Tujuh Saja. Yang paling cakep-cakep ada di kelas ini ...

bersambung lagi...
makin penasaran kan? tunggu aja kelanjutannya ya...

Rara, Si Gadis Tomboy: "Jangan Bilang Aku Cantik" (1)

I. Setan kurang ajar

iih, nyebelin, reseh, gak tau malu, gak punya otak, gak tau diri …”

e eeh Rara, ada apa baru nyampe langsung ngomel-ngomel nggak karuan begitu? Kemasukan setan apa kamu sore-sore begini…?” tanya ibu heran melihat tingkah anak gadis semata wayangnya itu.

“setan kurang ajar, dedemit gak tau adat…” ketus Rara.

“Duh gadis cantik ibu, nggak boleh ngomong kasar gitu dong, malu tuh sama jilbab. Lagian, di mana-mana setan emang kurang ajar, dan satu lagi, emangnya ada adat istiadat setan? Ibu baru denger deh…”

“Ibu ini, orang lagi kesel malah diledekin macem-macem. Iya Rara tau, setan jenis apa pun kurang ajar. Tapi yang satu ini jauh lebih gak tau diri dan kurang ajar dari semua bentuk dan macam setan yang pernah Rara kenal…”

“Lah, emang sudah berapa banyak setan kenalan kamu Ra…” dahi ibu mengerut.

“Dengerin dulu deh Rara cerita, ntar ibu juga pasti tau kenapa Rara sebelnya minta ampun sama setan yang satu ini…”

Kemudian satu persatu kalimat mengalir dari mulut mungil gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP TUJUH SAJA itu. Di angkot yang membawanya menuju rumah, ia bersebelahan dengan seorang lelaki, ups, maksudnya seorang bapak. Rara lebih suka menyebutnya bapak karena kalau dilihat dari uban di kepalanya, nggak jauh beda sama yang sering Rara lihat di kepala yah. Jadi, ya kira-kira usianya mirip-mirip lah.

Dia tanya macam-macam soal kelas berapa, sekolah dimana, rumahnya dimana, umurnya berapa… untung dia nggak tanya gurunya namanya siapa, umur gurunya berapa, jumlah murid di sekolah berapa banyak, laki-lakinya berapa, wanitanya berapa, siapa penjaga sekolah, atau berapa kali rata-rata setiap siswa buang air kecil ke toilet. Kan pusing tuh…

Sudah lengkap tanya ini itu,

“Kalau sudah besar mau jadi apa dik? tanya Bapak itu.

Sejenak Rara mencerna pertanyaan bapak itu, dan disimpulkan sebagai pertanyaan yang tidak berbahaya.

“Mau kerja dan punya uang banyak,” jawab Rara sekenanya.

“Kepengen gaji berapa?”

“Satu juta…” lagi-lagi asal jawab. Walau sebaris angka menari-nari di otak Rara, kira-kira satu juta cukup nggak ya buat beli baju enam pasang sebulan, sepatu sebulan sekali ganti, pulsa hape, beli jilbab tiga macem, bedak, pakaian dalam, ongkos kesana kemari, beliin ibu cicin emas 20 gram, beliin Ayah kaos kaki baru biar kaos kaki Ayah yang butut dan bolong-bolong itu pensiun dan segera di recycle, beliin Boni mobil-mobilan baru, jajan es buah di mang Jana, mie ayam di mas Totok…

“Cuma itu? Kamu nggak ingin jadi penganten?”

Bagai petir menggelegar yang sering bikin Boni nangis sekencang-kencangnya karena ketakutan, Rara cuma bisa melongo dengan mata tak berkedip ditanya yang begituan. Penganten? Nggak salah denger nih?

Seperti mengambil kesempatan disaat mata Rara melongo tak berkedip dengan mulut yang menganga karena teramat sulit mengeja dan memahami kata P-E-N-G-A-N-T-E-N, Bapak tadi melancarkan serangan berikutnya,

“Maksud bapak, kalau kamu pengen dapet satu juta setiap bulan sih nggak perlu capek-capek kerja. Kamu pengantenan aja sama bapak, nanti tiap bulan bapak kasih uang satu juta. Kan enak tuh, nggak kerja tapi dapet duit satu juta tiap bulan”

Beruntung Rara, di belokan berikut gang rumahnya segera terlihat. Segera ia ketuk bagian atas angkot dan mengambil langkah seribu satu, jelas lebih cepat dari pada langkah seribu. “Ibuuuuuuuuuu………”

Dari angkot masih sempat terdengar,

“Nanti bapak mampir ya neng…, angkotnya biar bapak yang bayar” teriak bapak itu dari dalam angkot.

bersambung ...
tunggu kelanjutan ceritanya ya

Tuesday, January 18, 2005

(Karena) Setiap Manusia Itu Istimewa

Jika Anda disodorkan sebuah foto diri Anda dan teman-teman, siapa sosok yang pertama kali ingin Anda lihat? Sudah pasti gambar Anda sendiri, baru kemudian gambar teman-teman Anda. Iya ya, mungkin itu yang ada di benak Anda ketika hal di atas dikemukakan. Anda tak perlu heran, karena setiap kita adalah istimewa. Keistimewaan yang dimiliki setiap manusia itulah yang membuat setiap manusia juga merasa harus dipentingkan.

Tidak hanya manusia dewasa, anak bayi pun sudah dibekali sifat ingin dipentingkan layaknya orang dewasa. Bayi memang tidak bisa bicara, tapi ia punya senjata yang sangat ampuh untuk mengekpresikan kekecewaan, dan juga meminta perhatian dari orang dewasa, yakni menangis. Coba saja Anda abaikan ajakan anak Anda atau keponakan Anda untuk bermain bersama, ia pasti akan merengek atau berteriak keras sambil menangis meminta Anda menuruti kehendaknya. Atau tatkala seorang anak kecil meminta Anda membelikan permen kesukaannya namun Anda tak menggubrisnya, kebanyakan anak-anak pasti menangis. Belum lah berhenti tangisnya sebelum Anda memberikan perhatian penuh kepadanya.

Setiap manusia memiliki perasaan bahwa dia istimewa dan ingin dipentingkan, semestinya ini menjadi salah satu kunci sukses membina hubungan baik dengan orang lain. Salah satu prinsip inter-relationship yang harus dipegang kuat adalah menjaga agar seseorang tidak kehilangan perasaan istimewanya atau tetap membuat seseorang yakin bahwa ia bagian penting dari sesuatu. Dan kunci semua itu ada di dua indera yang Anda miliki, mata dan telinga!

Manusia dianugerahkan dua telinga dengan satu mulut agar manusia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Upayakan untuk terlatih mendengar setiap pembicaraan orang lain hingga ia selesai berbicara, sementara disaat yang sama kita berupaya untuk menahan mulut ini berbicara, apakah itu menyela pembicaraan orang, atau bahkan meminta orang lain tak meneruskan bicaranya. Padahal ia belum tuntas menyampaikan ide dan gagasannya.

Ini adalah salah satu cara efektif untuk tetap menjaga perasaan istimewa seseorang. Ia merasa bahwa dirinya dipentingkan ketika orang yang diajak bicara mendengarkan dengan seksama, penuh perhatian, pandangan yang serius dan tak menunjukkan sedikitpun rasa bosan. Berlatih lah untuk melakukan hal ini, maka Anda telah mendapatkan dirinya secara tidak langsung. Indikasinya, ketika Anda berbicara, maka ia akan melakukan hal yang sama dengan Anda, yakni menganggap bahwa Anda itu istimewa dan setiap pembicaraan Anda menjadi penting untuk didengarkan.

Selain itu, usahakan berbicara sesuatu yang baik dengan cara yang baik pula, ini akan terdengar menyejukkan di telinga orang yang mendengarkan Anda. Dengan berbicara yang baik menggunakan cara yang baik, Anda juga telah membantu seseorang untuk merasa diperlakukan secara baik pula.

Berusaha untuk berbicara yang baik dan disaat yang sama juga belajar untuk mendengarkan setiap pembicaraan lawan bicara dengan sabar dan penuh perhatian, tidak lah mudah. Perlu latihan dan kerja keras untuk bisa menerapkannya. Ini lah tantangannya, karena sifat dasar manusia itu sendiri yang merasa dirinya istimewa dan ingin dipentingkan sering memaksa Anda untuk ingin terus berbicara dan berharap orang lain mau mendengarkan, karena Anda merasa penting untuk didengarkan. Jadi, sesungguhnya amatlah berat menerapkan cara ini. Di satu sisi Anda ingin merasa tetap istimewa dan ingin dipentingkan, di sisi lain Anda harus menghargai perasaan istimewa dan ingin dipentingkan milik orang lain. Namun demikian, dengan kesabaran dan kesungguhan, Anda pasti bisa melakukannya.

Satu tips untuk Anda, ketika Anda mencoba sabar menahan ego Anda untuk merasa istimewa dan dipentingkan, sementara Anda tetap menjaga perasaan istimewa dan ingin dipentingkannya orang lain, justru disitulah letak keistimewaan Anda. Ya, dengan demikian Anda benar-benar telah menjadi orang yang istimewa. Yakinlah!

Bayu Gautama

Wednesday, January 12, 2005

(Ketika) Empati Telah Mati

Seorang anak penyapu gerbong berusia tak lebih dari sembilan tahun sempat membuat dua mahasiswi berteriak hingga mengalihkan perhatian hampir seluruh penumpang di gerbong tersebut. Mahasiswi itu merasa kaget karena anak itu manarik-narik bagian bawah celana jeans-nya untuk meminta uang. Serta merta seorang pria dewasa berbadan kekar yang tak jauh dari dua mahasiswi itu melayangkan punggung tangannya tepat di bagian belakang kepala anak itu. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali.

"Keluar kamu, kurang ajar!" tangannya terus melayang hinggap di kepala anak tersebut. Tidak cukup di situ, ditambah tendangan keras ke bagian tubuh anak yang tubuhnya hanya sebesar paha si penendang. Saya yang melihat kejadian itu langsung berteriak dan meminta pria itu menghentikan aksi kekerasannya.

"Dia ini kurang ajar pak, dari gerbong sebelah sudah kurang ajar." Ia membenarkan aksinya.

"Tapi dia juga kan manusia, apa pantas diperlakukan seperti itu? tanya saya. "Dan apa tindakan bapak itu sebanding dengan kesalahannya? Tak perlu berlebihan seperti itu lah..."

Episode berakhir dengan turunnya anak tersebut di stasiun selanjutnya. Sementara pria berbadan tegap itu berdiri dekat pintu gerbong sambil berbincang dengan beberapa penumpang lainnya, lagi-lagi mencoba membenarkan tindakannya.

Tiga tahun lalu di Stasiun Kalibata, Jakarta, seorang pria setengah baya babak belur dihajar massa hingga koma. Kondisinya mengenaskan, wajahnya hancur, satu tangannya patah. Di sisa-sisa nafasnya yang tersengal satu persatu, saya menangkap rintihannya, "Saya bukan copet..."

Pria tersebut dijadikan tersangka pencopetan ketika seorang mahasiswi secara refleks berteriak "copet" saat tasnya tersenggol pria yang sudah nyaris mati tersebut. Secara serempak, dibarengi emosi yang tinggi puluhan pria langsung menggerebek dan mendaratkan kepalan tangan, juga ayunan kakinya berpuluh-puluh kali kepada pria tersebut. Padahal di belakang kerumunan tersebut, mahasiswi yang tadi refleks berteriak itu meminta orang-orang yang sudah terlanjur beringas itu menghentikan aksinya, karena ternyata, ia tak kehilangan satu apa pun dari dalam tasnya.

Tak satu kata pun bisa keluar dari mulut saya menyaksikan peristiwa itu. Bagaimana dengan mereka yang telah terlanjur memukul?

Orang bersalah memang harus dihukum, tapi terlalu sering seseorang mendapatkan hukuman yang tak setimpal. Kasus copet-copet yang dibakar misalnya, sebagian orang mudah saja berkata "Bakar saja, atau lempar dari kereta yang melaju cepat. Biar jadi pelajaran bagi copet yang lain..."

Satu pertanyaan saja, bagaimana jika copet itu adik, kakak atau saudara Anda? Kalimat itu juga kah yang akan keluar dari mulut Anda? Atau bahkan bila copet itu Anda sendiri? Anda pasti meminta orang-orang menghukum Anda sewajarnya bukan? Anda bisa begitu mudah bertindak berlebihan menghukum atau memberikan balasan atas kesalahan orang lain. Bagaimana jika Anda yang berada pada posisi si bersalah? Relakah jika orang lain memperlakukan Anda secara tidak adil? Ya, begitu pula dengan orang-orang itu. Saya setuju mereka diberi hukuman atas kesalahannya, tapi memberikan hukuman lebih dari tingkat kesalahannya, jelas saya tidak setuju.

Seperti kejadian di kereta itu, saya harus berdebat dengan pria berbadan tegap itu dengan mengatakan bahwa tindakan kasarnya -menempeleng dan menendang- sangat tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan anak itu. Saya juga tak mengerti kenapa nyaris semua orang di gerbong itu terdiam menyaksikan ketidakadilan berlaku di depan mata mereka? Sebagian besar orang yang ada di depan gerbong itu para karyawan, mahasiswa, orang-orang berpendidikan, tapi mengapa mereka hanya menutup mata? Bahkan seorang bapak di samping saya sempat berkata, "Anak itu juga seharusnya jangan kurang ajar..."

Saya katakan, cara anak itu meminta uang kepada penumpang (mungkin) memang salah. Tapi itu hanya tindakan kecil yang tak pantas dibalas dengan tempelengan dan tendangan keras berkali-kali ke tubuhnya. Kepada mereka yang terdiam dan tak berusaha melarang pria tegap itu melakukan aksi kekerasan, akankah Anda diam jika anak itu adalah anak, adik, keponakan, atau bahkan diri Anda sendiri?

Contoh sederhana, kita sering berharap orang lain memberikan tempat duduknya untuk isteri kita yang tengah mengandung atau menggendong si kecil. Tapi nyaris setiap hari kita tak pernah tergerak untuk berdiri dan merelakan tempat duduk kita untuk mereka yang lebih berhak, kemudian berpura-pura tidur. Adilkah?

Mungkin empati sudah mati, atau telah pergi entah kemana.

Bayu Gautama

Monday, January 10, 2005

Di Mata Ibu, Pengemis Itu Raja

Secara langsung atau pun tidak teramat sering saya mendengar orang berkata, "Ah sudahlah, berdoalah untuk diri sendiri, biar besok atau lusa tak perlu mengemis lagi". Tentu saja kalimat itu dialamatkan kepada para pengemis yang kerap mendoakan para dermawan yang memberinya receh. Yang mengagumkan, para pengemis tua itu tak pernah menggubris omongan orang-orang itu dan tetap pada kewajibannya, mendoakan orang yang telah mendermanya agar senantiasa bertambah rezekinya dan diberikan kesehatan.

Setiap kali saya mendapati kejadian itu, atau bahkan setiap kali saya melihat pengemis renta, saya selalu teringat ibu. Ibu teramat akrab dengan pengemis, karena ia senang menjadi sahabat pengemis. Dulu, saya dan anak ibu yang lain sering tidak mengerti mengapa ibu melakukan hal ini. Setiap pengemis tua renta atau cacat -dua puluh tahun lalu hanya pengemis seperti ini yang ada- yang datang ke rumah, ibu tak pernah membiarkan ia berada di balik pagar rumah. Tak sekadar kata "maaf" pengganti uang receh yang terhulur, bahkan ibu mempersilahkannya masuk dan menawarinya makan atau minum.

Ibu tahu, mereka telah menempuh perjalanan panjang nan melelahkan. Ribuan kilo mereka susuri, ribuan kata terekam di telinga mereka, ribuan pintu yang sengaja tertutup untuk mereka, meski hanya sekeping dua keping yang terbawa ke rumah menjelang senja. Ibuku bukan orang berada, seringkali ibu juga tak punya uang untuk memberi. Tapi itu bukan alasan bagi ibu untuk tak menghormati mereka. Ibu tetaplah ibu, ia senantiasa mempersilahkan para pengemis itu untuk mampir dan mencicipi yang ada, meski sekadar air putih.

Saya sering menduga, ibu sering mendapati keadaan tak punya uang sedikit pun saat para pengemis itu datang. Tapi ibu juga tak ingin semua pengemis mengenal wajah kami sebagai wajah-wajah bukan penderma, ibu tak pernah rela jika pengemis menandai rumah kami adalah rumah yang dihuni orang-orang kikir. Ibu ingin mereka tahu bahwa pintu kami selalu terbuka untuk mereka, meski ibu sendiri sering tak tahu harus memberi apa kepada mereka. Maka jadilah, kadang saya mendapati hanya air putih yang mereka dapat. Tapi sungguh, senyum ikhlas dan doa dari mereka itu yang membuat ibu merasa puas.

Anak-anak ibu berjumlah lima, karena itu ibu sering memasak dalam jumlah banyak. Tapi ternyata ibu selalu memasak lebih dari yang kami butuhkan. "Untuk tamu-tamu istimewa kita," terang ibu. Dan di mata ibu, para pengemis yang sering datang itu lah para tamu istimewa, mereka seperti raja yang selalu punya singgasana di rumah kami. Sekali lagi, meski hanya air putih yang dapat kami persembahkan, kami memberinya dengan penuh hormat dan hati menunduk.

Hingga kini, puluhan tahun sudah keluarga kami melakukan itu. Ibu senantiasa mengingatkan agar anak-anak ibu juga melakukan hal yang sama, tak peduli sesulit apa pun keadaan kita. "Kamu mau kan kalau di akhirat kelak mereka menjadi saksi bahwa kita telah mengikuti satu ajaran rasulullah?"

Allah itu, lanjut ibu, sering berdekatan dengan para fakir miskin. Jika demikian, kepada mereka lah kita mesti mendekat, karena itu berarti kita juga tengah berupaya mendekati Allah. Ah, saya yang berpendidikan lebih tinggi dari ibu ternyata sering tidak mampu menangkap makna terdalam dari sebuah keluhuran. Memberi dan membantu orang lain, hakikatnya adalah menolong diri sendiri. Sungguh, saya telah membuktikan kata-kata ibu.


Bayu Gautama

Tuesday, January 04, 2005

Kaum Saba' dan Aceh (Indonesia)

Tiba di kantor pukul 08.10 WIB, agak sedikit telat sih. Belum sempat nyalain komputer, duduk manis ditemani teh manis hangat, saya ambil Al Qur'an di samping komputer untuk melanjutkan tilawah yang kemarin. Eh, kok baru sadar kalau Surat yang saya baca adalah Surat Saba'.

Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhan-mu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun.

Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Asl dan sedikit dari pohon Sidr.

Demikianlah kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (Surat Saba' 15-17)

Saudaraku, Aceh bukanlah negeri Saba', rakyat Aceh juga dikenal religius, taat kepada Allah. Jika sedemikian dahsyatnya azab Allah kepada nanggroe (negeri) Aceh nan Darussalam (damai) itu, sedahsyat apa gerangan yang akan ditimpakan-Nya terhadap Negeri Jakarta? Wallaahu 'a'lam.

Saya tutup lembaran Surat tersebut dengan tetesan air mata. Sungguh, saya takut, karena saya orang Jakarta, bekerja di Jakarta, menetap pun tak jauh dari Jakarta.

Bayu Gautama

Monday, January 03, 2005

Nalar Tak Sampai

Ada pengalaman yang mengerikan sekaligus meninggalkan sebuah pertanyaan di hari ke tiga anak saya di rawat di rumah sakit karena types. Adzan maghrib berkumandang saat hujan rintik-rintik, Malaikat Izrail menjemput seorang anak berusia empat tahun di kelas tiga, kelas sebelah anak saya yang dirawat di kelas dua. Segera tangis mengurai di seluruh sudut bangsal, ibu sang anak langsung pingsan tak berdaya menerima kenyataan, sementara ayahnya menatap pilu wajah mungil yang terbujur kaku di hadapannya.

Malam itu sangat mencekam, bukan karena hujan tak reda, bukan pula karena semua penunggu pasien nampak termenung melihat kejadian sore tadi. Entah karena apa. Tiba-tiba sekitar pukul 01.15 dini hari, kembali tangis meledak di ruang yang sama. Seorang anak berusia kurang dari delapan tahun harus menghadap Allah. Yang membuat bingung, anak tersebut baru kurang dari dua jam lalu masuk bangsal tersebut dan ditempatkan di tempat tidur bekas anak yang meninggal sore tadi.

“Izrail masih di ruangan ini,” ujar seorang ibu lirih sambil menutupi wajah anaknya dengan telapak tangannya berharap Izrail tak melirik anaknya. Maklum tempat tidurnya hanya berjarak satu lirikan saja dari tempat anak yang baru saja meninggal.

Tentu saja ungkapan “Izrail masih disini” kuranglah tepat. Karena, Izrail tentu bisa ada di mana saja. Karena tak berapa lama pembantu Allah itu menjemput dua anak di bangsal RS itu, ia langsung berada di Aceh untuk menghantarkan ratusan ribu warga korban Tsunami untuk bertemu Rabb mereka. “Tidakkah Izrail lelah?”

Ah, dasar kita memang manusia. Takkan pernah bisa memahami kehendak dan kekuatan Allah. Saat Dia menurunkan hujan, kita meminta matahari segera bersinar. Saat kemarau berkepanjangan, beramai-ramai kita sholat untuk meminta hujan. Saat rezeki berlimpah menghampiri, kita bertanya-tanya “mimpi apa semalam?” Tetapi ketika Dia mengambil satu saja dari sekian nikmat yang kita miliki, kita pun marah, “Tuhan, apa dosa saya?”

Manusia selalu bertanya gerangan apa yang dikehendaki Allah dari semua peristiwa yang terjadi. Setiap kali kita mencoba mencari jawabannya, selalu diembeli kata “mungkin”. Tak pernah ada yang pasti, karena tak satu pun kita bisa tahu pasti rencana Allah. Cara Dia memberi sesuatu, dan cara Dia mengambilnya kembali dari kita, juga tak pernah bisa kita mengerti. Nalar ini tak pernah sanggup mengurai satu persatu kehendak-Nya.

Tak ada yang bisa menjawab kenapa di usia senja Allah belum juga memberi kita jodoh. Tak ada yang tahu rahasia Allah tak juga menganugerahi keturunan di belasan tahun usia pernikahan kita. Sama tidak mengertinya kita saat Dia tak menyegerakan datangnya rezeki meski selaut tangis dan pinta kita layangkan kepada-Nya. Atau ketika Dia justru menanamkan janin di sebuah rahim yang si empunya belum berkehendak untuk mengandung. Dan adakah yang sanggup menjawab pertanyaan, kenapa kita masih menghirup segarnya udara di pagi hari ini?

Nalar manusia takkan pernah mampu menjangkau kehendak Allah. Kemampuan berpikir manusia tak pernah berhasil mengurai rencana Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Sebagian orang mencoba mengerti dan memahami setiap apa yang terjadi di muka bumi ini, meski saya tak pernah benar-benar yakin mereka tak menyisakan satu tanya, mengapa?

Seperti halnya musibah di Aceh, Sumatera Utara dan beberapa negara di Asia. Semua bilang Allah tengah murka. Sungguh, saya tak benar-benar yakin Allah tengah murka. Mungkin itu hanya sebuah peringatan saja. Murka Allah begitu besar, begitu hebat. Gelombang Tsunami yang baru saja terjadi bukanlah murka Allah, itu tak sebanding dengan semua dosa dan kesalahan yang kita perbuat di muka bumi ini. Kalau Allah mau murka, kenapa harus Aceh (saja)? Padahal yang berbuat salah tidak hanya orang-orang Aceh, yang bergelimang dosa mungkin lebih banyak di daerah lain. Jika Allah mau murka, mungkin seluruh negeri ini akan luluh lantak di hantam badai laut, angin, gunung dan segala yang Allah punyai.

Lagi-lagi, nalar kita tak sampai –dan takkan pernah bisa- mengurai semua kehendak-Nya. Karena kita cuma manusia. Makhluk yang dengan segala kekerdilannya mencoba memahami jalan Allah. Yang selalu takkan pernah mampu mengerti mengapa Dia mengambil semua yang pernah Dia berikan sebelumnya. Siapkah kita menghadapinya? Ah, jangan coba-coba menjawab dengan nalar lagi.


Pagi harinya, masuk lagi seorang anak dengan penyakit yang sama parahnya dan ditempatkan di tempat tidur yang sama bekas dua bocah sebelumnya meninggal. Tapi sampai kepulangan anak saya dari rumah sakit, anak itu berangsur sehat. Mungkin Izrail memang tidak di ruangan itu, mungkin ia tak sedang mengunjungi kita, atau anak kita, tapi pasti ia akan datang. Itu pasti, untuk yang satu ini, saya tak perlu menalar, ia pasti datang, suatu saat.

Bayu Gautama