Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Tuesday, December 19, 2006

14 Tahun Menanti untuk Berqurban

Dadang, 33 tahun, seorang buruh pabrik di Bandung, Jawa Barat. Sebagai buruh pabrik hanya hanya lulusan SLTA, gaji yang diterimanya pun pas-pasan. “Hanya bertahan di sepekan pertama setelah gajian,” terangnya tentang seberapa cukup gaji yang diterimanya untuk menopang hidup. Hari-hari selanjutnya setelah pekan pertama itu, ia jalani dengan penuh keprihatinan. Beruntung ia masih memiliki sepeda untuk ke tempat kerjanya, sementara isterinya mencari penghasilan tambahan dengan mencuci pakaian tetangganya.

Namun, keterbatasan dan kekurangan tak pernah menyurutkan niatnya untuk bisa berqurban. “Malu saya jika setiap tahun hanya menjadi penerima daging qurban. Saya kira jauh lebih nikmat jika kita sendiri yang berqurban,” semangatnya tak pernah padam jika bicara tentang dua impiannya, berqurban dan pergi ke tanah suci. Tetapi menurutnya, tahap pertama dan yang paling mungkin ia lakukan adalah berqurban.

Ternyata, berqurban bagi seorang Dadang bukanlah hal mudah. Tahun 1991, ketika baru lulus SLTA dan mendapatkan pekerjaan, ia langsung bertekad, “Saya ingin berhaji suatu saat, semoga cita-cita yang terkabul,” sembari menambahkan, target pertama sebelum berhaji adalah membeli seekor kambing untuk diqurbankan. Saat itu ia belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, ia merasa berkewajiban untuk membantu meringankan beban orangtuanya dengan memberi sebagian penghasilannya untuk biaya sekolah adik-adiknya. “Gaji saya waktu itu cuma dua ratusan ribu, sebagian untuk biaya sekolah adik, sebagian lainnya disimpan untuk pegangan”.

Lima ribu rupiah, nilai yang bisa ditabungnya setiap bulan untuk meraih impiannya berqurban. “Tidak peduli perlu waktu berapa tahun untuk bisa terkumpul uang seharga seekor kambing, yang penting tekad saya harus seratus persen,” tegasnya bersemangat. Tentang tekadnya ini, ia tak pernah berkompromi untuk urusan dan kebutuhan apa pun, yang pasti lima ribu rupiah harus ditabung setiap bulannya.

Tekad seratus persen memang semestinya tak boleh terkalahkan oleh apa pun. Empat tahun bekerja mengumpulkan uang antara lima sampai sepuluh ribu setiap bulannya, Dadang mengantongi cukup uang untuk membeli seekor kambing untuk berqurban. Bahkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah di tahun 1995 ia redam demi seekor hewan qurban. Pekan ketiga di bulan Ramadhan 1416 H, berbinar mata Dadang menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Bukan karena ia bisa membeli baju baru, tetapi karena ia merasa punya tambahan untuk membeli seekor kambing untuk qurban di hari raya Idul Adha.

Tetapi di tahun itu juga, saat wajahnya berseri menjelang terwujudnya impian untuk berqurban, Dadang harus ikhlas merelakan uang untuk membeli seekor kambing dipakai untuk biaya masuk sekolah adiknya. “Saya ikhlas. Pasti Allah yang mengatur semua ini, dan saya percaya masih ada kesempatan saya di tahun-tahun depan,” sebuah pemelajaran berharga tentang makna berqurban sesungguhnya.

Dadang tak putus asa. Ia kembali merajut hari, menghitung penghasilannya sebagai buruh pabrik serta menyisihkan sebagian kecil untuk ditabung. “Untuk hewan qurban impian saya,” jelasnya. Setelah sekitar tiga tahun menabung, cobaan atas tekadnya itu kembali datang, kali ini cobaannya berupa keinginan Dadang untuk menikah. “Usia saya sudah pantas untuk menikah, lagi pula sudah ada calonnya. Saya tidak ingin berlama-lama punya hubungan tanpa status, takut dosa,” lagi-lagi uang tabungannya terpakai untuk menikah. Saat itu, Dadang sedikit berkilah, “Toh sama-sama ibadah”.

Hari-hari setelah menikah dibayangkan Dadang akan semakin mudah baginya untuk menabung demi hewan qurban impiannya. Sebab, pikir Dadang, kini ia tak sendirian menabung. Ia bisa mengajak isterinya yang juga bekerja untuk ikut menabung agar di tahun depan bisa membeli hewan qurban.

Konon, kenyataan hidup tak pernah seindah mimpi. Begitu pula yang dialami Dadang selama bertahun-tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama isterinya, Yenni. Terlebih setelah melahirkan putra pertama mereka satu tahun setelah menikah, Yenni tak lagi bekerja. Dadang pun harus sendirian membanting tulang menafkahi keluarga, belum lagi permintaan orang tuanya untuk ikut membantu biaya pendidikan adik bungsunya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, Dadang selalu teringat niatnya beberapa tahun lalu untuk bisa berqurban. “Semoga tak hanya tinggal impian, saya masih bertekad mewujudkannya,” kalimat ini menutup lamunannya.

Meski sedikit, ia paksakan diri untuk terus menabung. Kadang, tabungan yang terkumpul terganggu oleh kebutuhan dapur atau susu si kecil. Kebutuhannya bertambah besar, dengan bertambahnya anggota keluarga di rumah Dadang. Dengan dua anak, si sulung butuh biaya sekolah, sedangkan si kecil perlu susu dan makanan bergizi, nampaknya Dadang harus mengubur dalam-dalam mimpinya untuk berqurban, apalagi pergi haji ke tanah suci.

Dadang, lelaki berbadan kurus itu tetap menggenggam tekad berqurbannya dalam genggamannya. Ia tak pernah melepaskan dan membiarkan mimpinya terbang tak berwujud. Setelah empat belas tahun menunggu, tahun 1426 H, impiannya untuk berqurban terwujud sudah. Sebuah perjuangan maha berat selama bertahun-tahun yang dilewatinya terasa begitu ringan setelah ia melunasi mimpinya menyembelih hewan qurbannya dengan tangannya sendiri.

Cermin kepuasan tersirat di wajahnya. Empat belas tahun, waktu yang takkan pernah dilupakan sepanjang hidupnya untuk sebuah mimpi. “Target saya berikutnya adalah berhaji, entah berapa lama waktu saya untuk mewujudkannya. Saya tak peduli,” ujarnya sambil tersenyum.

***

Seberapa berat perjuangan dan pengorbanan kita untuk melakukan sesuatu?

Gaw

Monday, December 18, 2006

Merajut Cinta

Abah, demikian orang memanggilnya. Puluhan tahun ia mengabdikan hidupnya di masjid sebagai marbot, alias pemelihara masjid. Sebelum pindah ke Tangerang kira-kira belasan tahun lalu, ia juga menjalani hidupnya sebagai marbot di Barat Jakarta. Posisinya tergantikan oleh petugas yang lebih muda dan lebih berenergi sehingga mengharuskannya pindah ke Tangerang. Beruntung ia, salah seorang keponakannya di Tangerang menjabat sebagai salah satu pengurus masjid. Maka, Abah pun menetap di masjid itu bersama keluarganya. Tugasnya tetap sama, sebagai pemelihara masjid.

“Ini tugas yang mulia. Saya sangat senang menjalani tugas ini,” ujarnya suatu kali.

Ada saat-saat yang selalu membuatnya gembira, seperti ketika masjid ramai dengan anak-anak yang belajar mengaji. Meski ia harus dibuat lelah dengan polah anak-anak yang mengotori masjid dengan kaki-kaki kotor mereka, namun Abah justru bertambah senang. “Masjid sepi kalau tidak ada mereka. Soal masjid yang kotor, itu sudah menjadi kewajiban Abah. Justru Abah tambah senang, artinya amal Abah tambah banyak” Jelas, tak semua orang mampu berhati lapang sepertinya.

Demikian pula, ada saat-saat yang kadang membuatnya menitikkan airmata. Salah satu agenda tahunan yang kerap membuatnya sedih adalah hari raya Idul Adha, tatkala banyak kaum muslim yang berqurban untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Qurban, hakikatnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara menunjukkan wujud cinta berbentuk sebuah pengorbanan. Adalah Ayahanda Ibrahim yang mengajarkan hakikat cinta seperti ini bersama Ananda Ismail dan ibunya Siti Hajar.

“Abah ingin sekali suatu saat bisa berqurban seperti jamaah lainnya,” ungkapnya tentang sebuah cita-cita yang selama ini baru sebatas mimpi bagi Abah. Ya, Abah tahu persis honornya sebagai pemelihara masjid membuatnya merasa hampir mustahil bisa membeli seekor domba untuk dikurbankan. “Berapa harga seekor kambing sekarang nak?” suatu kali Abah bertanya. Setelah tahu harga yang dimaksud, Abah pun tertunduk lesu. “Entah kapan Abah bisa berqurban seperti orang lain…” lirihnya.

Abah mengaku, ia selalu iri dengan orang-orang yang bisa berqurban setiap tahun. “Orang yang berqurban berarti orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Mereka telah membuktikan sebentuk cinta kepada Tuhan dengan cara berqurban. Ini yang membuat Abah iri, Abah belum bisa mempersembahkan seekor pun untuk dikurbankan,” katanya.

Tetapi Abah bukanlah sosok pemurung yang mudah putus asa. Begitu ia tahu tak mungkin membeli seekor domba, maka bertahun-tahun ia menjalani peran sebagai panitia qurban. Setiap kali penyelenggaraan pemotongan hewan qurban, Abah tak pernah absen berdiri paling depan sebagai panitia. Meski kadang ia mendapat tugas khusus, yakni membersihkan kotoran hewan-hewan yang sudah disembelih. Tak hanya itu, setiap sore saat petugas dan panitia lainnya sudah kembali ke rumah masing-masing, Abah masih harus membersihkan halaman masjid dari kotoran dan bercak darah yang menempel di lantai masjid.

“Kalau pun saya tidak bisa berqurban langsung, setidaknya Allah tahu Abah berada di tengah-tengah orang yang berqurban. Artinya Allah melihat Abah bersama orang-orang yang mendekatkan diri dan menunjukkan cinta kepada Allah,” terangnya bahagia.

Abah, usianya sudah menginjak tujuh puluh. Ia pun tak lagi bertugas memelihara masjid, namun tak pernah redup semangatnya untuk hadir di hari pemotongan hewan qurban. Tangannya sudah lemah, tenaganya pun sudah berkurang. Tahun lalu, tangan gemetarnya masih memegang sebilah pisau untuk membantu memotong-motong daging qurban. Sesekali ia bersandar di tembok masjid untuk melepas lelah, tak lama ia kembali bergumul dengan daging-daging qurban itu.

Lama sosoknya tak lagi terlihat, mungkin di hari pemotongan hewan qurban tahun ini ia akan muncul lagi. Lengkap dengan sebilah pisau di tangan gemetarnya. Abah, lelaki renta di penghujung usianya terus berjuang merajut cinta, di saat sebagian besar orang mampu membeli cinta Allah dengan berqurban.

Gaw

Friday, December 15, 2006

Menembus Malam Demi Sepuluh Ribu

Motor yang saya tumpangi merambat pelan di tepi jalan Pasar Ciputat, Tangerang, Banten. Waktu menunjukkan hampir pukul dua belas malam ketika sorot lampu motor saya menembak seraut wajah mematung berdiri hanya beberapa meter di depan. Matanya terpejam, padahal ia dalam keadaan berdiri, sementara di pundaknya menyangkut sehelai tali yang tersambung ke sebuah kotak seukuran kardus air mineral.

Yanto nama pemuda itu, ia salah satu dari belasan penjual rokok ketengan di Pasar Ciputat. Beberapa detik kemudian, tak sengaja jari tangan kiri ini menekan klakson motor, dan... Yanto pun terkaget. Saya merasa bersalah telah membangunkannya dari 'mimpi'. Boleh jadi, saat tertidur dalam keadaan berdiri itu ia tengah bermimpi melayani serbuan pembeli rokok hingga barang dagangannya malam itu habis terjual. Atau bahkan, ia sedang menikmati indahnya menjadi juragan rokok di kampungnya. Tetapi bunyi klakson saya barusan membuyarkan mimpi indahnya.

“Maaf mas,…” Saya jadi kikuk sendirian merasa bersalah telah mengagetkannya. Akhirnya saya menghampirinya untuk membeli beberapa butir permen. “Rokoknya nggak mas?” tanya Yanto berharap. Saya harus meminta maaf untuk kedua kali lantaran memupuskan harapannya, lantaran saya tidak merokok. “Kalau permen untungnya kecil pak, lagi pula permen ya cuma pelengkap saja. Siapa tahu ketemu pelanggan seperti bapak yang tidak merokok,” jelasnya.

Saya tertarik dengan keterangannya tentang ‘untung yang kecil’ dari jualan permen. Tapi bukan untung permen yang saya tanya, melainkan untung dari jualan rokoknya. “Seribu, paling besar seribu lima ratus untuk sebungkus rokok,” terangnya. Padahal, sering terlihat para pedagang rokok ketengan itu menjual rokoknya tidak bungkusan, melainkan ketengan lantaran pembeli rokok mereka pun bukan dari kalangan menengah ke atas. Pelanggannya biasanya membeli rokok satu atau dua batang saja, dan tak jarang untuk meladeni pembeli dua batang rokok itu harus sambil berlari mengejar angkot atau bis yang melaju.

Pernah satu kali saya melihat seorang pedagang rokok terjatuh saat mengejar angkutan umum, padahal ia hanya melayani seorang pelanggan yang hanya membeli sebatang rokok. Berapa sih untungnya? Kalau sebungkus rokok isi 24 hanya seribu rupiah, berapa untung dari sebatang rokok? Itu harus dibayar mahal tatkala ia tersungkur di jalan raya, hingga semua rokok dagangannya berantakan. Sebagian masih diselamatkan, tapi jauh lebih banyak yang patah dan tak bisa terjual lagi.

Yanto, seorang pedagang rokok ketengan di pinggir jalan kecewa karena saya hanya membeli permen lantaran untung yang didapat dari menjual permen itu kecil. Jika demikian asumsinya menjual rokok itu untungnya besar. Tetapi nyatanya, ‘besar’ yang dimaksud hanyalah seribu atau seribu lima ratus rupiah untuk sebungkus rokok?

“Berapa bungkus rokok terjual setiap malam?”

Yanto sumringah, senyumnya tak menampakkan satu pun masalah dengan jumlah rokok yang berhasil dijualnya setiap malam. “Alhamdulillah pak, sekitar sepuluh sampai lima belas bungkus”, kembali ia menutup kalimatnya dengan senyum.

Seketika hati ini berteriak keras, “Hey, dia begitu bahagia!”, padahal hanya sekitar sepuluh ribu atau dua puluh ribu yang dibawanya pulang untuk makan anak dan isterinya. Tetapi aura kesyukuran atas rezeki yang didapatkan hari itu yang membuatnya tetap tersenyum. Bandingkan dengan kita, kadang masih terkecut setiap kali menerima transferan gaji di rekening dan berujar, “Gaji segini, mana cukup?”

Yanto dan belasan pedagang rokok ketengan lainnya, setia menemani malam hingga pagi menjelang, hanya untuk mendapatkan sepuluh ribu rupiah. Namun wajah dan senyumnya menyiratkan rasa syukur yang tak bertepi atas nikmat dan rezeki yang masih bisa didapatnya. Ternyata benar, kebahagiaan tak mengenal status. Sebab kebahagiaan bukan terletak pada apa yang dimiliki seseorang, melainkan tertanam jauh di dalam hati orang-orang yang senantiasa bersyukur atas yang diperolehnya.

Gaw

Thursday, December 14, 2006

Antara Seniman dan Tukang Gambar

Beberapa tahun lalu, saya mengenal Mas Ben, sebut saja begitu, seorang tukang gambar di sekitar Pasar Baru, Senen, Jakarta Pusat. Mas Ben, lelaki berkumis tipis dengan perawakan yang kurus senantiasa siap sedia di pinggir jalan di depan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), untuk melayani para pelanggan yang memesan gambar kepadanya. Lelaki itu sangat mahir menggambar wajah seseorang, dan biasanya memang gambar-gambar wajahlah yang lebih sering dipesan pelanggan.

Tak butuh waktu lama, hanya beberapa goresan singkat sebuah sketsa wajah sudah terlihat di kanvasnya. Hanya saja, memang itu belum selesai karena harus dipoles dan dirapihkan. “Belum… ini kan cuma sketsanya saja,” ujar Mas Ben singkat sambil tangannya terus asik memainkan pensil gambarnya.

Saat itu, saya pernah iseng bertanya satu hal yang mungkin saja akan membuatnya tersinggung. Tapi karena saya sudah kadung penasaran, maka pertanyaan itu pun terlontar, “Menurut Mas, apa bedanya tukang gambar dengan seniman?” sambil memperhatikan wajahnya, berubah merah atau …

Ternyata Mas Ben hanya tersenyum, sesekali memandang saya, kemudian kembali asik menggoreskan alat-alat gambarnya. Raut wajah di atas kanvasnya mulai terlihat rapih. “Ya tentu saja banyak bedanya,” tuturnya tanpa merinci perbedaan yang dimaksud. Jelas membuat saya tambah penasaran dan kemudian melontarkan pertanyaan lanjutan.

“Jadi, bedanya apa?”

Mas Ben pun meletakkan alat gambarnya, dan membetulkan posisi duduknya ke arah saya. Nampaknya ada hal serius yang ingin disampaikan lelaki itu.

“Tukang gambar itu, melakukan pekerjaannya demi uang. Seniman tidak, ia tidak peduli apakah karyanya itu akan menghasilkan uang atau tidak. Itu pertama. Yang kedua, tukang gambar bekerja sesuai pesanan, alias by order. Jadi kadang tukang gambar itu takut kalau hasil karyanya tidak sesuai pesanan. Sedangkan seniman, ia berkarya kapan pun ia mau, tidak peduli ada yang memesannya atau tidak. Nah yang ketiga, seniman sangat menjiwai pekerjaannya, ia bekerja by soul, karenanya hasil karyanya pun bernilai sangat tinggi. Coba lihat tukang gambar, hasil gambarnya paling-paling berkisar puluhan atau ratusan ribu,” jelasnya.

Saya sempat terkesima, namun sesaat kemudian bertanya kembali, “kalau Mas Ben, seniman atau tukang gambar?”

Lelaki dengan kumis tipis itu pun tersenyum, “Inilah kendalanya, kadang saya ini seniman yang melukis sesuatu tanpa peduli apakah karya saya ini akan dihargai orang atau tidak. Tetapi sesekali orang lain membuat saya ini tak lebih sekadar tukang gambar. Contohnya ini, seseorang yang minta dibuatkan lukisan wajahnya.

Jadi, menurut Mas Ben, orang di luar dirinya yang kadang memposisikannya hanya sebatas tukang gambar, misalnya dengan minta dibuatkan gambar tertentu, tetapi instruksinya terlalu berlebihan seolah si pemesan itu seorang maestro. “Padahal saya lebih tahu bagaimana menghasilkan sebuah karya yang baik,” tukasnya.

“Lalu kenapa Mas Ben masih mau terima order melukis wajah orang?” Mendengar pertanyaan ini, lelaki itu tertawa ringan dan, “Ini sih soal lain, seniman juga butuh makan”

Oalaah Mas, ternyata disinilah letak kelemahan setiap manusia. Kalau sudah berurusan dengan perut, kadang lupa sama idealisme. Padahal saya sempat salut dengan konsepnya tentang sebuah profesi dan pekerjaan. Bahwa apapun profesi seseorang, semestinya dikerjakan layaknya seorang seniman. Bekerja tanpa paksaan, tanpa mengharapkan pujian dan penghargaan, juga tanpa ketakutan melakukan kesalahan.

Gaw
Semoga menjadi seniman

Wednesday, December 13, 2006

Berdebu? Basuhlah!

Perjalanan ke kantor dari rumah, sebenarnya hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Tetapi beberapa menit itu mampu membuat wajah ini berdebu dan lumayan kotor. Debu yang dihempas angin, atau asap knalpot yang tak ramah menempel di wajah dan tubuh. Sehingga mau tak mau ada aktivitas rutin ketika tiba di kantor, yakni mencuci wajah.

Ya, tidak betah rasanya bekerja dengan wajah kusam dan berdebu. Begitu pun setelah makan siang di luar kantor. Meski sebelum makan siang wajah ini sudah terbasuh oleh air wudhu, namun terasa kotor lagi setelah keluar kantor. Maka, wajah pun harus dibasuh lagi sebelum melanjutkan aktivitas kantor. Begitu seterusnya setiap kali keluar kantor, tetap saja merasa ada debu-debu yang melekat di wajah.

Bahkan pernah sesekali, saking kotornya setelah perjalanan jauh dan setibanya di kantor langsung mandi. Ini lantaran tak hanya debu yang melekat di wajah, sesaat setelah cium sisi kiri kanan tubuh, wuihh… bau matahari! Jadilah saat itu juga menyegarkan diri dengan mandi.

Meski sudah mandi di kantor. Nanti setibanya di rumah, biasanya tetap mandi lagi. Maklum perjalanan dari kantor hingga ke rumah pasti membawa debu dan aroma jalan raya yang tak semestinya ikut bersemayam di tempat tidur. Bercengkerama dengan anak-anak dan isteri di rumah pun pasti tak nyaman bila tubuh ini masih kotor. Setelah segar, keluarga pun tak ragu untuk memeluk dan mencium. Jelas, karena aroma jalan raya sudah luntur terbasuh air segar.

Begitulah sehari-hari, selalu tak nyaman bila wajah ini berdebu. Selalu dan melulu berusaha untuk membersihkannya agar nampak segar dan berseri. Wajah yang bersih, selain sedap dipandang juga menyenangkan.

***

Kalau lah kita sering merasa terganggu dengan debu yang kerap menempel di wajah, kotoran yang melekat di tubuh, serta aroma jalanan yang hinggap menyertai. Sehingga merasa perlu untuk membasuhnya dengan air yang segar. Bahkan jika merasa terlalu kotor, tak cukup hanya membasuh wajah, kita pun segera mandi untuk menghilangkan semua noda di tubuh. Hal ini setiap hari dan setiap kali kita kerjakan, dan telah menjadi kebiasaan.

Jika demikian, semestinya perasaan tak nyaman seperti ini kita terapkan pula berkenaan dengan noda lain yang tak nampak. Wajah kita memang tak kusam terkena noda ini, tubuh pun tak terlihat kotor karena orang lain memang tak akan melihatnya. Lantaran hati ini yang sering ternoda, dan hanya kita yang bisa melihat dan merasainya. Sudahkah kita terus menerus membasuhnya? Atau jika terlalu pekat noda itu, tentu tak cukup hanya membasuh. Kita perlu air yang lebih banyak untuk membersihkannya.

Ini nasihat untuk diri pribadi, agar selalu ingat untuk membasuh hati tatkala ternoda. Seingat ketika wajah ini tak nyaman setiap kali banyak debu melekat. Astaghfirullah wa’atuubu ilaih…

Gaw

Saturday, December 09, 2006

Dialog Dua Diri

Pengalaman pahit masa lalu, sakit hati yang tak kunjung hilang, atau rasa kecewa yang tak pernah bisa kompromi untuk menyingkir dari bilik hati, senantiasa menjadi beban dalam hidup ini. Bahkan, tak jarang seseorang membawa-bawa beban ini sepanjang hidupnya, kemana pun ia pergi, saat terpejam terlebih di saat sadar. Bayang-bayang orang-orang dari masa lalu yang pernah membuat hati tertusuk, tak pernah lenyap. Padahal segala upaya sudah dicoba untuk melupakannya, tetapi masih saja terus menggerayangi dan begitu dekat.

Benarkah? benarkah telah benar-benar ingin melupakannya? Sudahkah kita melakukan cara yang benar untuk mengusir bayang-bayang masa lalu, sakit hati dan kekecewaan yang tak pernah bisa terlupakan? Jangan-jangan kita hanya berteriak "pergiii hai sakit hati..." Tetapi sesungguhnya kita tak mengizinkannya pergi. Kok bisa? ya karena yang meminta pergi hanya mulut ini, dan bukan hati.

Tahukah kawan, sakit hati, kecewa, perasaan bersalah, iri, kesal, benci, dan lain sebagainya itu muncul lantaran ego menstimulus otak ini untuk kemudian menyimpulkan bahwa keadaan ini sebagai masalah. Persepsi yang muncul setelah dipengaruhi ego jelas-jelas menyatakan, bahwa keadaan yang tengah menimpa diri kita adalah masalah besar. Sehingga terus menerus pikiran ini terfokus pada dua hal; menghadapi masalah dan orang yang kita anggap telah menimbulkan masalah tersebut.

Padahal, boleh jadi kesimpulan yang diambil oleh otak -setelah dipengaruhi ego- itu hasil pembelajaran alam bawah sadar kita, berdasarkan pengetahuan yang keliru, kebiasaan lama yang salah namun terus menerus diulangi, lingkungan yang salah, bahkan bentuk kewajaran publik dan sejarah. Misalnya, kita kerap menganggap sesuatu pantas dikerjakan lantaran banyak orang mengerjakannya, atau melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman dan kebiasaan. Boleh jadi kebiasaan lama itu tak tepat, namun karena sudah biasa dan terus menerus dilakukan, maka terciptalah sebuah pembenaran. Dan seringkali kondisi semacam ini dijadikan referensi untuk mengambil kesimpulan, bahkan keputusan. Termasuk kesimpulan yang diambil oleh otak ini untuk mengatakan suatu keadaan itu sebuah masalah atau bukan.

Sadarilah, kita tidak sendirian menjalani kehidupan. Dalam diri juga masih terdapat sesosok yang bernama 'hati nurani' Jadi, lakukanlah dialog dua diri, Antara 'AKU' dan hati nurani. Aku yang dimaksud disini lebih diartikan sebagai ego, dan ego inilah yang sering mengklaim paling memiliki diri kita. Padahal, hati nurani jauh lebih dalam bersemayam dalam diri dan semestinya hati nuranilah yang lebih dominan menjalani hidup kita. Atau lebih tepatnya, kita mengizinkan hati nurani mengambil peran lebih dalam diri kita, untuk merencana, mengambil sikap, membuat keputusan, dan menentukan kemana arah akhir hidup kita.

Masalahnya, selama ini ego-lah yang terus menerus mendominasi diri. Hati nurani biasanya lebih berperan layaknya pahlawan kesiangan yang muncul belakangan, tepat satu langkah di belakang penyesalan. Coba ingat lagi, biasanya kebenaran dan kesadaran dari nurani baru muncul setelah kita menyesal telah melakukan sebuah kesalahan. Dimana ego pada saat itu? ia bersembunyi, menciut dan malu menampakkan dirinya. Setelah itu, barulah mulut ini berkata, "bodohnya..."

Melakukan dialog dua diri, antara ego dan hati nurani tidak sedang bicara kalah atau menang. Sebab, seringkali hati nurani begitu mudah terkalahkan. Karena ego tidak datang sendirian, ia seringkali ditemani oleh kawan-kawannya antara lain, nafsu, ambisi, keserakahan, dan ketidakpuasan. Karenanya, dialognya hanya berupa penyelarasan mana yang lebih baik untuk diri ini.

Tetapi, sungguh sulit nian melakukannya. Sekali lagi, bahkan barusan saja hati nurani ini terkalahkan oleh ego. Saat seperti ini -dan kita akan selalu menemui kondisi ini- yang kita butuhkan adalah Allah. Agar Dia senantiasa menunjukkan jalan yang lurus, jalan yang pernah ditunjukkan kepada orang-orang yang telah diberi-Nya nikmat dan bukan jalan orang-orang yang sesat.

Gaw

Monday, December 04, 2006

Dua Tahun Tsunami Aceh. Apa Kabar Recovery Aceh?

Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah istimewa Nangroe Aceh Darussalam berencana menghentikan bantuan berupa sembako kepada para pengungsi korban tsunami Aceh. Rencananya, penghentian bantuan itu akan diberlakukan awal tahun 2007. Kabar tentang rencana pemerintah tersebut membuat resah para pengungsi tsunami di beberapa wilayah seperti Meulaboh, Lhok Nga, dan juga Banda Aceh.

Dua tahun sudah tsunami Aceh berlalu, namun sedikitnya 150 ribu pengungsi masih hidup dalam kekurangan. Bahkan sebagian masih tinggal di tenda darurat atau rumah darurat seadanya. Selama dua tahun ini pula, para pengungsi mendapatkan bantuan pangan berupa sembako dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Alhasil, boleh dibilang selama rentang waktu tersebut para pengungsi itu berada dalam posisi lemah yang selalu menerima.

Wajar jika kemudian rencana penghentian bantuan sembako bagi para pengungsi itu menimbulkan keresahan. Karena secara tidak langsung bantuan instan itu telah membentuk satu kondisi di masyarakat pengungsi, bahwa para pengungsi sudah terbiasa menjadi masyarakat penerima tanpa perlu berusaha mencarinya. Memberi bantuan langsung tanpa pertimbangan kemandirian, tentu sangat berbahaya bagi para pengungsi. Ironisnya, praktek ini sudah berlangsung selama hampir dua tahun di Aceh.

Masyarakat Indonesia, termasuk warga Aceh, adalah masyarakat yang dikenal mandiri. Jauh sebelum tsunami Aceh memporak-porandakan negeri makmur itu, rakyat Aceh sangat mandiri dan pantang meminta. Namun tsunami Desember 2004 silam tak hanya menghancurkan negeri, sekaligus meluluhlantakkan tatanah sosial dan budaya rakyat Aceh. Seketika mereka menjadi peminta-minta lantaran kondisi mereka yang sangat memprihatinkan.

Yang membuat kondisi masyarakat Aceh lebih menyedihkan, mungkin karena tidak tepatnya konsep recovery yang diterapkan bagi para pengungsi. Banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, dalam negeri dan luar negeri di Aceh sejak pasca tsunami tidak membuat Aceh segera bangkit. Bantuan yang mengalir tak henti pun tak memberikan banyak perubahan berarti. Boleh jadi lantaran pemerintah tidak menetapkan standard recovery kepada seluruh komponen peduli di Aceh tersebut, sehingga banyak bentuk bantuan dan recovery yang tidak sejalan dengan budaya dan tatanan sosial masyarakat Aceh.

Yang paling mudah dilihat adalah cara pemberian bantuan secara instan tanpa pendampingan, padahal masyarakat Aceh sangat mungkin diberdayakan agar mereka bisa bangkit dengan tangan dan kaki mereka sendiri. Satu tahun pasca Aceh, sekitar awal Januari 2006, orang di luar Aceh akan sedikit tercengang dengan cara anak-anak Aceh menyambut orang non Aceh yang mengunjungi mereka dengan kalimat, "Tidak ada uang jangan datang". Bagaimana mungkin Aceh yang dikenal mandiri, kemudian berubah menjadi peminta-minta? adakah yang salah dalam praktek pemberian bantuan selama ini?

Kini, ketika rencana penghentian bantuan pangan digulirkan oleh pemerintah pusat dan daerah, keresahan menyeruak di sebagian besar pengungsi. Sanggupkah mereka bertahan tanpa bantuan itu, lantaran selama ini mereka sudah terlena dengan cara-cara pemberian bantuan langsung dan instan. Padahal, selama ini tak sedikit dari mereka yang tidak mendapatkan pendampingan untuk bangkit kembali. Setelah dua tahun dalam masa "tangan di bawah", kini mereka harus bersiap menghadapi keadaan baru, hidup tanpa bantuan.

----

Kilas balik Aceh pasca tsunami Aceh, ACT - Aksi Cepat Tanggap melakukan recovery di Aceh, tepatnya di Sigli, Kabupaten Pidie dengan melakukan beberapa program masterpiece seperti WAKALA (Wanita Kepala Keluarga). Sebuah program untuk para wanita janda korban tsunami agar bisa mandiri meski tak lagi ada kepala keluarga. Program berupa bimbingan dan pendampingan dengan mengajari mereka berbagai keterampilan seperti konveksi dan anyaman tikar. Para wanita janda yang mengikuti program WAKALA pun semakin bersemangat dengan berdirinya Balai Wakala, tempat mereka melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Alhasil, hasil kerajinan mereka yang terbuat dari pandan antara lain berupa anyaman tikar, sudah diekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Australia.

Tercatat, Aktris Zaskia Adya Mecca selaku Duta Kemanusiaan ACT serta Sahrul Gunawan pernah mengunjungi Balai Wakala ini pada Desember 2005. Satu tahun setelah bencana tsunami. Sebelumnya, Cut Keke pun pernah mengunjungi dan melihat langsung program Wakala ini pada April 2005.

Selain Balai Wakala, ACT juga melakukan recovery untuk para nelayan dengan membantu Balai Nelayan. Dengan bantuan donatur, para nelayan sudah kembali menjalani pekerjaannya melaut hanya beberapa minggu setelah tsunami. Dana bantuan donatur ACT diberdayakan untuk membuat perahu baru atau memperbaiki perahu-perahu yang rusak. Yang menarik, proses pembuatan dan perbaikan perahu dilakukan sendiri oleh para nelayan tersebut. Ini salah satu keunggulan program recovery ACT, yakni dengan memberdayakan para korban tsunami untuk bangkit dengan tangan mereka sendiri. Konsep kemandirian selalu dikedepankan dalam setiap program recovery.

Banyak lagi program recovery di Aceh, antara lain Children Care Program, berupa bantuan beasiswa bagi anak-anak korban tsunami, terutama anak-anak yatim yang orangtuanya meninggal karena bencana. Program ini sangat terkait dengan Balai Wakala, mengingat pemberdayaan wanita janda korban tsunami juga berkenaan dengan pemberdayaan ekonomi para janda tersebut agar juga bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Mereka yang sudah mandiri, berarti hanya diberikan bimbingan, sementara bantuan bisa diluaskan kepada pihak lainnya.

ACT memang tidak sendiri di Aceh. Bersama para donatur, ACT masih terus melakukan program recovery hingga hari ini. Namun, semakin lama semakin berkurang bantuan yang datang khususnya untuk program recovery Aceh. Semoga, masyrakat luar Aceh belum melupakan saudara-saudara mereka, para korban tsunami Aceh. (Gaw)

Friday, December 01, 2006

Siapa yang Menikmati Qurban Anda?

Zaid bin Arqam ra berkata: suatu saat beberapa sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, untuk apa kita berqurban?”. “Untuk mengikuti sunnah Bapak kamu Ibrahim”, jawab Nabi Saw. “Mengapa kita harus mengikuti sunnah ini?”, tanya para sahabat. “Setiap helai rambut dari hewan qurban akan menjadi amal kebaikan”, kata Nabi Saw. (HR. Ibn Majah dan Ahmad).

Menurut ulama fiqh, ibadah dengan penyembelihan hewan qurban merupakan amalan yang paling utama pada Hari Raya Idul Adha. Amalan dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Allah Swt atas segala karunia yang diberikan, menghapus segala dosa yang dilakukan, di samping untuk membuka kesempatan kepada kaum lemah (dhuafa) menikmati karunia yang ada.

Jika setiap helai rambut dari hewan qurban akan menjadi amal kebaikan, maka upayakanlah manfaat hewan qurban kita dapat dirasakan oleh orang-orang yang lebih tepat mendapatkannya. Coba perhatikan di setiap kali penyelenggaraan qurban, terutama pada saat distribusi daging, masih ada orang-orang yang sebenarnya tak lebih berhak mendapatkannya namun tetap masuk dalam daftar penerima. Sayang sekali, karena kondisi yang demikian selalu terulang-ulang setiap tahun. Berapa banyak kaum lemah yang semestinya masuk dalam daftar penerima, namun hanya memandang kosong harapan mereka untuk bisa menikmati daging qurban. Sementara itu, berapa banyak pula orang-orang yang tak bosan-bosannya terus menerus menjadi penikmat hewan qurban, padahal di tempat lain masih banyak yang lebih berhak darinya.

Bahwa hakikat qurban merupakan wujud pengorbanan seseorang untuk menunjukkan nilai cinta kepada Allah yang tak pernah terbiaskan oleh cintanya kepada harta yang dimilikinya, maka seharusnya arah cinta itu tetap terjaga dengan memperhatikan kepada siapa hewan qurban kita terbagi. Setiap pequrban boleh menentukan siapa saja yang bakal menikmati hewan qurbannya.

Pequrban, adalah mereka yang memiliki kelebihan harta, yang dengan hartanya itu ia bermaksud berbagi nikmat kepada orang lain. Karenanya ia pun boleh mengarahkan sesiapa yang boleh menikmati daging qurbannya. Fakir miskin, anak-anak yatim, orang-orang yang masuk dalam kategori dhuafa (lemah), juga mereka yang tengah berada dalam kesulitan, semestinya lebih menjadi perhatian para pequrban. Dengan demikian, niat berbagi nikmat kepada orang-orang yang lebih berhak tetap terjaga.

Nyatanya, masih banyak pequrban yang tak terlalu perhatian siapa saja yang telah menikmati hewan qurbannya. Tidak sedikit yang peduli, kepada siapa seharusnya daging qurbannya terdistribusi. Kini, saatnya pequrban lebih cermat dalam berqurban, agar niat serta tujuan beribadahnya terjaga dengan baik. Sebab, berqurban tak semata mengikuti sunnah Nabi Ibrahim, melainkan juga wujud cinta kepada sesama. Maka, arahkanlah cinta itu kepada yang lebih tepat menerimanya.

-------

Qurban for Survivor, berbagi nikmat qurban
Ketentuan harga hewan Qurban for Survivor:

Kambing/Domba Rp. 725.000,-/ekor
Sapi Rp. 5.525.000,-/ekor

Rekening Qurban for Survivor :

Bank Central Asia Acc. No. 676 030 3133 (Swift Code: Cenaidja)
Bank Syariah Mandiri Acc. No. 004 011 9999
Bank Mandiri Acc. No. 128 000 4555 808
Bank Muamalat Indonesia Acc. No. 304 0022 915
Bank Negara Indonesia Syariah Acc. No. 009 611 0239

(setiap transfer beri keterangan : "Qurban")

Info lebih lanjut:
Bayu Gawtama (Communication) - 021-741 4482 ext 121
Email : Qurban@aksicepattanggap.com