Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Friday, October 29, 2004

Yang Kutakut...

Yang kutakutkan dalam hidup adalah memiliki
Yang kutakutkan setelah memiliki adalah mencintai
Setelah mencintai, jelas aku takut akan kehilangan

Sungguh berat bila kehilangan
Sesuatu yang ku miliki
Apalagi sudah ku cintai

Sepertinya
Akan lebih baik aku tak pernah mencintai
apa pun
Sebab aku takut kehilangan apa pun
yang aku cintai
Sejujurnya
Aku tak ingin memiliki apa pun
Agar tak ada luka
Saat aku kehilangan

Tapi
bukankah semua yang aku miliki akan hilang?
Lalu kenapa aku begitu mencintai
seolah yang kumiliki itu tak kan pernah hilang

Ternyata
Aku telah salah memaknai cinta

Maafkan aku, Tuhan

Bayu Gautama
Malam tanggal 29 Oktober 2004


Thursday, October 28, 2004

Get Well Soon My Angel, U Make My Tears Drop Last Night

Rabu malam pukul 22.40, Anak saya Hufha (3,5 tahun) yang tengah tertidur pulas tiba-tiba batuk dan ... saya kaget dan panik melihat reaksinya setelah batuk. Ia terengah-engah untuk mengambil nafas, dan berkata, "... Hufha nggak bisa nafaaas .." berkali-kali.

Kulihat matanya memerah, dan kembali ia katakan itu, "Hufha susah nih nafasnyaaa ..."

Saya angkat ia ke pelukan dan mendekapnya, sementara istri saya berlari ke dapur untuk mengambil air hangat. Setelah itu ia memeriksa kotak persediaan obat. Ternyata ..., obat persediaan habis!

Kami semakin panik sementara Hufha terus menerus mencoba menarik nafas. Sekali ia coba tarik, bunyi yang memilukan terdengar dari tenggorokan dan dadanya, "sakiitt bii... " katanya.

Saya bergegas keluar rumah malam itu juga untuk mencari obat. Sudah bisa dipastikan, di Bogor, sedikit sekali toko yang buka hingga larut malam. Akhirnya saya kembali dengan tangan hampa.

Saat kembali ke rumah, saya tak hanya mendapati Hufha sesak nafas, tetapi juga tiba-tiba saja suhu tubuhnya meninggi. Melihat Hufha yang semakin menderita, saya pun membopong malaikat kecil kami itu untuk membawanya ke Klinik 24 Jam yang tidak seberapa jauh dari rumah kami.

Tanpa banyak basa-basi untuk urusan administrasi, saya minta segera dokter memeriksa terlebih dulu anak saya. Dan, dokter pun bingung. Ia mengira anak saya terkena asma. "Pernah asma nggak anak bapak?"

Saya katakan tidak, karena selama ini ia memang tidak pernah menderita penyakit itu. Saya tegaskan dokter untuk tidak menyuntiknya ketika dokter muda itu mengatakan, jika memang asma ia akan segera memberinya suntikan.

Saya semakin panik ketika dokter mengatakan Hufha harus mendapatkan bantuan oksigen. Seketika air mata saya luruh, menatap wajah kecil itu menangis ketakutaan sambil menahan perih di dadanya. "Ya Allah... dosa apa hamba pada-Mu, ..." lirihku.

"Tolong dulu deh dok! Kalau harus ke rumah sakit sekarang jauh sekali..." pinta saya sambil mengusap air mata.

Dengan penuh kesabaran dokter pun memeriksa kembali anak saya dan menyatakan, bahwa Hufha cukup diberi obat saja sepulang dari Klinik.

Sampai di rumah, saya masih belum tenang. Istri saya juga masih panik. Segera kami beri Hufha obat dari dokter. Dan, tak lama kemudian, nafasnya sedikit berubah lebih lancar. Tapi ia tetap tidak mau lepas dari pelukan saya.

Saya usap pelan sekujur tubuhnya agar ia merasakan kehangatan. Sebab sejak dari Klinik tadi ia terlihat menggigil. Setengah jam kemudian, ia pun tertidur, masih dengan nafasnya yang agak sesak.

Tak dikira, jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.20, sewaktu Hufha benar-benar bisa tertidur pulas. Saya dan istri tak berani ikut tidur dan tetap menemani Hufha, khawatir kalau-kalau ia kesulitan bernafas lagi. Tak terasa kami terus berdoa menemani Hufha hingga pukul 02.10 dini hari. Akhirnya kami putuskan untuk tidak tidur sampai menjelang sahur.

Semalam dokter bilang, kalau sampai pagi ini tidak ada perubahan dengan nafasnya. Hufha harus segera dibawa ke Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.

Setelah subuh, saya ragu apakah akan berangkat ke kantor atau tidak. Melihat Hufha yang tertidur pulas dengan nafas yang lebih teratur, istri saya berkata, "Berangkatlah...keep in touch ya..."

Saya berangkat dengan hati masih di rumah, dengan bayang-bayang Hufha di cermin mata ini.

Get Well Soon My Sweetheart...

Wednesday, October 27, 2004

Terima Kasih Untuk Tidak Berdusta!

Ada seorang yang menemui Rasulullah untuk menyatakan ketertarikannya kepada Islam dan kepada Muhammad Nabi Allah itu ia mengaku ingin menjadi bagian dari pengikut Rasul. Namun ia juga mengatakan bahwa ia masih gemar melakukan perbuatan-perbuatan lamanya seperti berzina, minum khamar (mabuk) dan berjudi. Rasul tidak menolaknya, bahkan beliau mempersilahkan ia masuk Islam dengan satu syarat, tidak berdusta! Maka kemudian orang tersebut menjadi orang yang teguh menjalankan semua ajaran Islam dengan satu komitmen yang bernama kejujuran.

Kejujuran adalah bahasa universal, agama apa pun, di tanah mana pun kita berdiri, dan di waktu kapan pun kejujuran tetap berlaku. Namun nampaknya keuniversalan tersebut semakin teralienasi, dimana justru saat ini yang lebih sering dianggap biasa dan lumrah adalah ketidakjujuran. Di kantor, rumah, persahabatan, rumah tangga semakin mudah ditemui warna-warna dusta dengan berbagai ragam dan bentuknya. Dan justru pula disaat yang sama, kejujuran menjadi barang langka dan seringkali dianggap aneh.

Kalaulah Allah Swt memperingatkan kepada manusia yang beriman agar mengatakan perkataan yang benar untuk mengikuti perintah takwa (Al Ahzab:70) tentulah banyak makna yang bisa dirasakan oleh setiap manusia dari sikap kejujuran tersebut. Perhatikanlah penjelasan Rasulullah berkenaan dengan hal itu, "Hendaklah kamu selalu berada pada siklus kejujuruan, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kamu kepada kebaikan dan kebaikan itu akan mengantarkan kamu kepada surga. Jauhilah oleh kamu (jangan sekali-sekali kamu dekati) dusta, sesungguhnya dusta itu membawa kamu kepada kerusakan dan sesungguhnya kerusakan itu akan mengantarkan kamu kepada neraka."

Tak perlu membayangkan bagaimana dunia tanpa kejujuran, karena episode cerita tentang hal ini sudah berlangsung sejak zaman para Nabi hingga sekarang. Bukalah kilasan cerita tentang saudara-saudara Yusuf yang berbohong kepada ayahanda Nabi Ya'kub setelah mereka mencelakai Yusuf. Abdullah bin Ubay bin Salul, terkenal sebagai tokoh munafik pada zaman Rasululullah Muhammad yang pandai bersikap manis di depan kaum muslimin tetapi menohok dari belakang. Pada masa sekarang dimana manusia semakin pintar, teknologi semakin hebat tentu ketidakjujuran pun semakin terbungkus rapi, semakin beragam dengan bentuk kamuflase yang halus. Saksikan bagaimana korupsi menghancurkan negeri ini, rumah tangga yang berantakan karena ada dusta yang terselip di antara suami isteri, dan masih banyak lagi episode-episode kedustaan yang terus berputar hingga sekarang.

Sekarang bayangkanlah jika hidup tanpa dusta barang sehari saja. Maka bisa dipastikan hari itu tidak ada perusahaan yang dirugikan oleh kecurangan pegawainya, negara tidak bangkrut karena ulah para koruptor kelas kakap, tak ada keretakan rumah tangga karena senantiasa terlindung oleh bingkai kejujuran, tidak ada pengkhianatan, tidak ada kemunafikan, tidak ada bencana besar yang timbul akibat satu bentuk ketidakjujuran yang terlalu sering dianggap sepele. Maka juga, bisa dipastikan hari itu adalah hari yang sangat dirindukan kembalinya.

Jujur saja, ide judul dan isi tulisan ini berawal dari satu label peringatan yang bertuliskan "Terima Kasih Untuk Tidak Merokok" yang dapat kita jumpai di berbagai tempat. Selain di tempat-tempat yang memang dilarang keras untuk menyalakannya seperti di pom bensin, rumah sakit, perkantoran atau ruangan-ruangan berpendingin, peringatan itu juga kadang terlihat di tempat-tempat umum lainnya seperti kendaraan umum atau bahkan di rumah-rumah yang memang diisi oleh keluarga yang anti terhadap tembakau dan asapnya. Sangat beralasan memang jika peringatan-peringatan itu seharusnya makin diperbanyak, bahkan jika perlu di semua tempat dimana masih ada wanita (hamil), anak-anak, orang-orang yang mencintai kesehatan. Meski demikian, terkadang masih saja ada yang bandel dengan tetap menghisap tembakau rokok tersebut di tempat-tempat yang dilabeli peringatan itu tanpa mempedulikan hak orang lain yang ingin tetap sehat.

Ah, kalau saja urusan rokok yang memang begitu merugikan orang lain dan juga membuat sakit para penghisapnya sampai sedemikian banyak label peringatannya. Kenapa juga tidak dibuat saja stiker-stiker dengan bertuliskan, "Terima Kasih Untuk Tidak Berdusta". Toh keluarnya sama-sama dari mulut seseorang, hasilnya juga bisa melukai dan merugikan banyak orang. Cuma bedanya, dusta juga bisa merugikan bangsa dan negara. Si pendustanya juga bisa merasakan sakit, yang semakin ia terus berbohong maka sakit di hatinya semakin membusuk.

Ah, kalau saja urusan anti asap tembakau itu bisa sampai terbentuknya lembaga atau komunitas anti rokok, kenapa tidak dicoba untuk dirintis sebuah komunitas anti dusta, hmmm, ada yang mau memulai?

Untuk bisa memulainya, perhatikan terlebih dahulu kutipan hadits berikut, seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasul, "mungkinkah seorang mukmin itu menjadi pengecut?" Rasulullah mengatakan, "ya mungkin". Lalu sahabat tersebut bertanya kembali, "mungkinkah seorang mukmin itu bakhil?" "Ya" jawab Rasul. Lalu, "mungkinkah seorang mukmin itu pendusta?" Rasul dengan tegas menjawab, "Tidak! karena dusta tidak mungkin bersatu dengan iman". Wallahu a'lam bishshowaab

Bayu Gautama
11/06/2002 10:14 WIB

Tuesday, October 26, 2004

Tak Perlu Ajari Kami Berpuasa

Hari ke tiga di bulan ramadhan saya berkesempatan menumpang becak menuju rumah ibu. Sore itu, tak biasanya udara begitu segar, angin lembut menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, "Abang becak ...?"

Ya, kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisang goreng di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. "Heeh, puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan ...," gumamku.

Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya, dan ... untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang tengah berpuasa.

"mmm ..., Abang muslim bukan? tanyaku ragu-ragu.

"Ya dik, saya muslim ..." jawabnya terengah sambil terus mengayuh

"Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan. Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa ..." deras aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.

Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.

"Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini pun makanan pertama abang sejak tiga hari ini."

Tanpa memberikan kesempatan ku untuk memotongnya,

"Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa," jelas abang tukang becak itu.

"Maksud abang?" mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.

"Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya ..."

"Jadi ...," belum sempat kuteruskan kalimatku,

"Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan ..."

"Abang sejak siang tadi bingung dik mau makan dua potong pisang goreng ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang yang berpuasa, tapi..." kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.

Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya. Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan berputar ...

Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?

"Wah, nggak ada kembaliannya dik..."

"hmm, simpan saja buat sahur abang besok ya ..."

Saya jadi teringat seorang teman di Kelompok Kerja Sosial Melati, ia punya motto hidup yang sederhana, "Kami Peduli".

Bayu Gautama


Wednesday, October 20, 2004

Sudah Sedemikian Keraskah Hati Ini?

Di dalam perjalanan menuju kantor, saya terlelap menikmati sejuknya udara dalam bis. Tak terasa hingga kondektur bis membangunkanku untuk menagih ongkos, dengan mataku yang masih merejap kuulurkan sejumlah uang untuk membayar ongkos bis. Dan … samar mataku menangkap sosok seorang ibu setengah baya berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Tapi, rasa kantuk dan lelah ku mengalahkan niat baik untuk memberikan tempat duduk untuk ibu tersebut.

Turun dari bis, baru lah sisi baik hati ini bergumam, “Andai saya berikan tempat duduk kepada ibu tadi, mungkin pagi hari ini keberkahan bisa kuraih”. “Siapa tahu ridha Allah untuk ku di hari ini dari doa dan terima kasih ibu itu jika saja kuberikan tempat dudukku…” Ah, kenapa baru kemudian diri ini menyesal?

Semalam dalam perjalanan pulang dengan kereta api, duduk di hadapan saya seorang bapak berusia 40-an. Lewat seorang penjual air minum kemasan, dan ia segera menyetopnya untuk membeli. Tangan kirinya memegang segelas air minum kemasan sementara tangan satunya merogoh-rogoh kantongnya. Sesaat ia memperhatikan beberapa keping yang ia mampu raih dari bagian terdalam kantongnya, ternyata … ia mengembalikan segelas air minum kemasan yang sudah digenggamnya kepada penjual air sambil menahan rasa hausnya.

Saya yang sedari tadi di depan bapak itu hanya bisa menjadikan serangkaian adegan itu sebagai tontonan. Tidak ada tawaran kebaikan keluar dari mulut ini untuk membelikannya air minum, meski di kantong saya terdapat sejumlah uang yang bahkan bisa untuk membeli dua dus air minum kemasan! Bayangkan, cuma 500 rupiah yang dibutuhkan bapak itu tapi hati ini tak juga tergerak?

Kemarin, sebelum Isya, juga dalam perjalanan pulang. Hanya berjarak 200 meter dari kantor, saya melewati pemandangan yang menyentuh hati. Di pinggir jalan Wijaya, Jakarta Selatan, sekeluarga pemulung tengah menikmati penganan kecil berbuka puasa mereka. Suami, istri beserta dua anaknya itu tetap lahap meski yang mereka nikmati hanya sebungkus kue –entah pemberian siapa. Sempat langkah ini terhenti setelah tujuh atau delapan langkah melewati mereka, sempat pula saya berpikir untuk menghampiri keluarga itu untuk sekadar mengajak mereka makan. Tapi … bayangan ingin segera bertemu anak-anakku di rumah mengalihkan langkahku untuk meneruskan perjalanan.

Padahal, dengan uang yang saya miliki saat itu, sepuluh bungkus nasi goreng pun bisa saya belikan. Apalagi jumlah mereka hanya empat kepala. Dan kalau pun harus tergesa-gesa, toh semestinya saya bisa memberikan sejumlah uang untuk makan mereka malam itu, atau juga untuk sahur esok hari. Duh, kenapa kaki ini justru meneruskan langkah sekadar untuk memburu kecupan kedua putriku sebelum mereka tidur?

Pagi ini. Saya coba renungi semua perjalanan hidup ini. Ya Tuhan, sudah sedemikian keraskah hati ini? Sehingga tanpa rasa berdosa kulewatkan begitu banyak kesempatan berbuat baik. Bukankah selama ini saya selalu berdoa agar Engkau memberikanku kemudahan untuk berbuat baik terhadap sesama? Tetapi ketika Engkau berikan jalan itu, saya malah melewatkannya.

Berikan kesempatan itu lagi untukku, Tuhan.

Bayu Gautama

Monday, October 18, 2004

Sabtu Sore Bersama Gola Gong

Anak-anak Tegal Gunding punya gawean, temu penulis bersama Gola Gong dan Azimah Rahayu. Sabtu sore itu, puasa hari kedua saya meluncur ke Tegal Gundil, Bogor demi dua hal; ingin ketemu (lagi) dengan Kang Gege (panggilan akrab Gola Gong) dan juga menghindari ancaman Lutfi (penguasa Tegal Gundil) bahwa kalau saya tidak datang, saya tidak akan diaku sebagai orang Bogor.

Kira-kira setengah empat sore, tiba di Masjid Arrahman, Tegal Gundil. Lihat-lihat pameran buku (lebih tepat sih bukan pameran, tapi gelaran, karena pesertanya dikit banget) Islam di pelataran masjid. Ketemu dengan beberapa wajah angker tapi mengagumkan milik penghuni Tegal Gundil alias Cs-nya Lutfi.

Setelah sholat ashar, dengerin Lutfi ama kang Gege siaran di Pro3 FM. Seger juga dengerin obrolan mereka berdua soal komunitas dan bagaimana mengelola juga mengembangkan perpustakaan. Tidak sedikit propartners (sebutan buat pendengar Pro3FM) yang menelepon dan bertanya banyak hal ke Kang Gege, juga Lutfi.

Sekitar jam empat sore, Lutfi dah nyampe ke Masjid Arrahman -tempat bakal diadain temu penulis- sementara Kang Gege masih dalam perjalanan dari Pro3. Bersama Lutfi, saya ke Perpustakaan Tegal Gundil yang letaknya di pinggir Jalan Bangbarung, Bogor, tidak jauh dari masjid Arrahman.

Uennnak tenan berada di Perpustakaan Tegal Gundil, bayangin aja, tempatnya rame, banyak orang lalu lalang, sebelah kanan ada tukang es buah, es kelapa muda, tukang buah. Sebelah kanana, ada tukang makanan aneka rupa segala ada. Wahh, asyik banget kan kalo buka puasa di situ.

Barengan saya nyampe di Perpustakaan, Kang Gege dan istri, Tias Tatanka, juga ketiga anaknya; Bela, Abi, dan Odi, diantar Fitri (P-tree) cewek Tegal Gundil yang paling aktif kampanyein gerakan membaca di Bogor. Kalau mau nemuin cewek ini gampang banget, datang aja hari minggu ke Taman Kencana sekitar jam 9-an. kalo liat ada yang gelar buku-buku bacaan dan dongeng untuk anak-anak, dia ada deh di situ.

Gak lama kemudian, dimulai deh acara temu penulis. Walau pesertanya bisa diitung pake jari tangan plus jari kaki (termasuk jempol nya loh...), namun acara tetap berlangsung meriah. Tapi yang paling meriah adalah .... waktu berbuka puasa!

Ada lontong (cek urang sunda mah, buras!), risoles, macem-macem kue, dan es buah. Kang Gege, langsung inisiatf penuh semangat membabat lontong plus risoles yang disiram sambel kacang. wahh, nikmat tuh keliatannya, langsung aja saya ikut serta mengikuti jejak Kang Gege.
Abis sholat maghrib, kirain mah acara selesai, ternyata anak-anak TeGe (Tegal Gundil) masih ngajak kita main ke sekretariatnya yang nggak jauh dari situ. Di sekretariat yang oke punya itu, kita ditawarin makan, (makan lagiii!!!), rasanya perut dah mau meledak nih. Tapi demi menghormati TeGe, dan juga menghormat hasrat hati, ya udah diembat aja lagih.

Sempet juga kita foto-foto bersama di Perpustakaan TeGe, juga di sekretariat. hmm, Sabtu sore yang mengagumkan.

Bayu Gautama



Wednesday, October 13, 2004

Karena Noda Datang Setiap Hari

Beberapa tahun silam, setiap satu hari menjelang Ramadhan biasanya kami sekeluarga melakukan satu kegiatan bersama. Seluruh anggota keluarga berkumpul, tanpa kecuali, untuk bersama-sama membersihkan rumah. Setiap sudut dan sisi rumah dibersihkan, dari pagar, teras, kamar mandi hingga gudang. Ibu sudah mengatur tugas masing-masing dan seperti tahun sebelumnya, saya mendapatkan bagian paling basah, kamar mandi.

Bagi kami, rutinitas tahunan seperti ini amatlah menyenangkan. Disitu terlihat kekompakan dan kebersamaan semua anggota keluarga untuk membersihkan istana kecil yang selama ini menjadi tempat kami bernaung, berteduh dan terlelap menikmati mimpi-mimpi sederhana kami. Walaupun sebenarnya, tanpa acara bebersih total semacam ini, meski sederhana namun istana kecil kami senantiasa terlihat asri dan bersih setiap harinya.

Dan ketika saya coba tanyakan itu kepada ibu, lembut bibirnya berucap, "Apa abang mau hari ini nggak mandi? Kita harus bersih setiap hari kan?"

"Iya, tapi kenapa ini berbeda dari hari lainnya?" tanyaku lagi

"Karena besok tamu istimewa akan tiba. Sepantasnya kita menyambutnya dengan cara yang istimewa juga," terang ibu kemudian.

Maka dimulailah tugasku. Sementara Abang dan adik-adik saya harus berkutat dengan debu di halaman depan, teras, juga gudang, saya menghabiskan waktu beberapa jam dengan kubangan air untuk membersihkan kamar mandi. Sepintas kamar mandi kami terlihat bersih, sehingga,

"Kamar mandi kita masih bersih kok bu ..." ujarku nakal untuk menghindari pekerjaan berat.

"Jangan tertipu dengan pandangan pertama. Yang terlihat bersih belum tentu benar-benar bersih. Coba perhatikan lebih dekat, banyak noda hitam di sudut-sudutnya ..." ajar ibu.

Ibu benar. Setelah kuperhatikan, banyak sekali noda hitam di celah-celah, sudut dan juga ruas keramik lantai kamar mandi. Segera kuambil peralatan pembersih seperti sikat lantai dan sabun pembersih.

Mulanya kusiram dengan air berkali-kali, tapi noda hitam itu tidak juga hilang dari dinding dan lantai. Hingga satu ember air habis, tak juga hilang. Ibu yang sejak tadi memperhatikan, berujar, "Tidak semua noda bisa hilang hanya dengan menyiramnya dengan air, sebanyak apa pun air yang Abang siapkan"

Lalu saya menyikat noda hitam itu. Sekali sikat tak hilang, berkali-kali kucoba, hanya sedikit. Masih banyak noda tersisa di lantai dan nampaknya sudah begitu merekat di dinding sehingga teramat sulit untuk dihilangkan. Suara ibu kembali terdengar, "Susah kan kalau noda tidak dibersihkan setiap hari? Noda-noda itu sebenarnya tidak terlihat, tapi justru karena tidak terlihat itu kita menganggap ruang ini tetap bersih. Karena tidak pernah dibersihkan, semakin hari noda itu semakin jelas pekatnya."

Tidak cukup dengan air dan sikat, saya pun menggunakan sabun pembersih untuk membantu menghilangkan noda-noda itu. Dan, setelah beberapa butir peluh menetes, akhirnya bersih juga kamar mandi itu. Saya dan ibu saling berpandangan lega memperhatikan hasilnya.

Sebelum keluar dari kamar mandi, lagi-lagi ibu bersuara, "Seperti ini lah sulitnya jika diri ini sudah dipenuhi dosa. Tidak cukup satu dua macam ibadah untuk bisa menghilangkannya. Semakin banyak kita berbuat salah, semestinya jauh lebih banyak perbuatan baik yang kita lakukan untuk membuat diri kita bersih."

Malam hari sebelum ibu membimbing kami dengan untaian doa dan belai lembut usapan ibu menjelang tidur, ibu berpesan, "Perbaiki diri kita setiap hari, karena kita melakukan kesalahan juga setiap hari."

***

Esoknya Ramadhan tiba. Kami semakin mengerti bahwa Ramadhan semakin indah dijalani dengan rumah yang bersih. Juga hati yang bersih. Sekali lagi ibu benar, noda datang tidak mengenal waktu.

Bayu Gautama

Tuesday, October 12, 2004

Buka-Bukaan di Delta FM

Pukul 14.45, Senin (11/10) Mbak Pipien Delta FM nelepon gwe, "alo mas Bayu, jadi ya hari ini kita rekaman siaran di Delta FM. Saya tunggu lo di Ratu Plaza lt. 19 ..." telepon pun ditutup.

Beberapa hari sebelumnya, mas Awan -lengkapnya sih Agus Setiawan- juga dari Delta FM, nelepon saya dan meminta kesediaan saya untuk mengisi acara "Saat Ku Bersujud" (SKB)-nya Delta FM yang akan diputar selama Ramadhan tahun ini.

Janji hari Senin (11/10) pukul 16.00 di Delta FM

Pukul 15.00 tepat, saya berangkat dari kantor eramuslim dan tiba di Delta FM kira-kira pukul 15.42 WIB langsung disambut mbak Pipien yang zuper ramah dan murah senyum...

Setelah mengantar saya ke ruang tunggu di depan studio, mbak Pipien langsung menghilang entah kemana setelah sebelumnya bertanya, "mau minum apa mas?,"

"Teh..." tanpa basa-basi

Sambil menunggu dan menonton TV -kalo nggak salah chanel AXN di kabel vision- gwe perhatiin yang lagi siaran bareng mas Awan.

Sebenarnya soal siaran di radio sih, ini bukan yang pertama kali, pernah juga gwe siaran di acara Pustaka-Pustaka di radio Jakarta News FM bareng teman-teman relawan 1001buku yang dipandu Mas Fajrul...

Pukul 16.10, siarannya Mas Awan selesai dan tibalah giliran gwe. Diawali briefing sedikit-sedikit, dan test suara.... setelah OK, maka dimulailah ......

Intinya sih gwe diminta Delta FM siaran karena banyak tulisan-tulisan gwe yang religius dan banyak "based on true story" gituh, dan Delta tertarik untuk membincangkan tentang bagaimana mengambil hikmah dari pengalaman-pengalaman hidup seseorang sehingga membuat dia semakin beriman.... gitu loch ...

eh, ujung-ujungnya... gwe buka-bukaan juga tentang diri gwe -abis Mas Awan nanyanya mengarahkan kesana sih-, ya lah akhirnya gwe cerita soal latar belakang keluarga gwe yang berantakan -bonyok gwe divorce sewaktu umur gwe 6 tahun- yang itu membuat gwe jadi anak yang nggak terkontrol.

gwe juga cerita sempat terperosok ke titik yang paling hina, saat diri ini kenal minuman keras dan narkoba (itu kelas 3 SMP sampe kelas 1 SMA) .....

Siaran diakhiri dengan menceritakan proses gwe "back to the right track".....

btw, dingin juga sih studio Delta ituh, meski sebelumnya Mas Awan sempat nawarin jaket... sok jaim deh gwe nolak tawaran itu ....

Menjelang pulang, setelah tukar-tukaran kartu nama, Mas Awan bilang, "nanti saya kasih tau tanggal on air-nya"

ngeloyor pulang sambil berpapasan dengan senyum mbak Pipien si zuper ramah itu. "makasih ya mas...."

Gaw

Tuesday, October 05, 2004

Berhenti Menjadi Pengemis

Selama ini, saya selalu menyediakan beberapa uang receh untuk berjaga-jaga kalau melewati pengemis atau ada pengemis yang menghampiri. Satu lewat, ku beri, kemudian lewat satu pengemis lagi, kuberi. Hingga persediaan receh di kantong habis baru lah aku berhenti dan menggantinya dengan kata "maaf" kepada pengemis yang ke sekian.

Tidak setiap hari saya melakukan itu, karena memang pertemuan dengan pengemis juga tidak setiap hari. Jumlahnya pun tidak besar, hanya seribu rupiah atau bahkan lima ratus rupiah, tergantung persediaan.

Sahabat saya, Diding, punya cara lain. Awalnya saya merasa bahwa dia pelit karena saya tidak pernah melihatnya memberikan receh kepada pengemis. Padahal kalau kutaksir, gajinya lebih besar dari gajiku. Bahkan mungkin gajiku itu besarnya hanya setengah dari gajinya. Tapi setelah apa yang saya lihat sewaktu kami sama-sama berteduh kehujanan di Pasar Minggu, anggapan saya itu ternyata salah.

Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada di pikirannya sambil memperhatikan dua lembar uang itu.

"Ibu kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus ribu?" tanya Diding

Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu.

"Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.

Agak lama waktu yang dibutuhkan ibu itu untuk menjawabnya. Terlihat ia masih nampak bingung dengan maksud sahabat saya itu. Dan, "Maksudnya... yang seratus ribu itu hanya pinjaman?"

"Betul bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu, paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu meminta-minta lagi," katanya.

Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja dan lain-lain.

Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.

***

Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk mengisi perutnya –dengan tetap membayar- ia juga berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.

Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu, dua hari lalu saat Diding kembali mengunjungi penjual gado-gado. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat"

Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah resiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.

Ding, inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya.

Bayu Gautama

Friday, October 01, 2004


Hufha dan adiknya Iqna, dua malaikat cantik yang semakin membuatku mengerti arti cinta sesungguhnya Posted by Hello
Keluarga Cinta

Kalau semuanya adalah cinta,
apalagi yang perlu disebut cinta
kenapa harus menyebut cinta
apalagi harus mempertanyakan cinta

kalau di sini, di rumah ini,
warna yang ada adalah cinta
buat apa lagi mengagungkan cinta
untuk apa lagi mendewakan cinta

jika memang
antara kita tak ada lagi yang menaungi
selain cinta
masihkah perlu cinta dihadirkan
karena semua yang terasa, teraba, terbagi
adalah cinta

sudahlah,
semua yang ada di sini,
di rumah ini,
di keluarga ini,
itu cinta

dan kita,
menyebut rumah kita
rumah cinta
menyebut keluarga kita
keluarga cinta
menyebut kita adalah cinta
cinta adalah kita