Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Sunday, April 30, 2006

Mbah Marijan, Lelaki Shalih dari Dusun Kinahrejo

Tanyakan kepada orang Jogyakarta, siapa yang tak kenal Mbah Marijan? Jika ia memang orang asli Jogyakarta, Insya Allah tak mungkin tak mengenal tokoh satu ini. Terlebih kini namanya sedang hangat-hangatnya diperbincangkan seiring hangatnya udara malam di Kaliurang karena sang Merapi tengah bergejolak. Mbah Marijan, menjadi tokoh yang tak kalah tenarnya dengan Sri Sultan Hamengkubuwono selaku Gubernur Kota pelajar ini.

Gunung Merapi, memang diperkirakan akan meletus dan menumpahkan lahar panasnya dalam hitungan hari. Hiruk pikuk warga dan pemerintah terlihat dengan semakin meningkatnya status dan aktivitas gunung merapi paling aktif di Indonesia ini. Riuh rendah dan hingar bingar di 'bawah' ternyata tak membuat Mbah Marijan ikut sibuk. Ia tetap tenang seolah Merapi tak tengah mengancamnya.

Aneh. Kesan itu yang terbawa ketika hendak menemuinya Sabtu sore (29/4) di rumahnya di Dusun Kinahrejo. Banyak berita yang menyebut lelaki tua ini sangat sakti, memiliki 'ilmu' yang sangat tinggi sehingga puluhan tahun sudah mengemban tugas berat dari Sri Sultan untuk menjadi juru kunci Merapi. Jalan menuju rumah Mbah Marijan terus menanjak mendekati Gunung Merapi, namun sepanjang jalan tak sedikit pun ditemui jalan rusak, sepanjang jalan semenjak dari Palemsari hingga rumah Mbah Marijan jalannya mulus tak berlubang. Mungkin karena Sultan kerap mengunjungi kuncen Merapi itu.

Sekitar pukul 17.00, setibanya di rumah Mbah Marijan, tokoh yang saat ini menjadi "most wanted person" bagi para pencari berita itu sedang duduk berdzikir di Masjid di depan rumahnya. Perawakannya kecil, jalannya sudah mulai lamban walau pun ia masih mampu menempuh puncak Merapi dengan berjalan kaki. Kesan pertama ketika bertemunya, jauh dari cerita yang sering tertulis di beberapa media massa. Sosoknya amat sederhana, sesederhana rumahnya yang tak berbeda dengan rumah kebanyakan warga di Dusun Kinaherjo. Padahal, 'jabatan' yang disandangnya dari Sultan bukanlah jabatan sepele dan tidak sembarang orang bisa dipercaya menjadi juru kunci.

Mbah Marijan tetap tenang, tak menganggap kepulan asap di puncak Merapi sebagai ancaman. Meski demikian ia tetap meminta warganya untuk waspada, namun ia belum menganjurkan seluruh warga yang tinggal di lereng merapi untuk mengungsi. Menurut mbah Marijan, Merapi sudah biasa 'batuk-batuk' seperti saat ini. Dan belum warga belum perlu mengungsi.

Lelaki yang tak mau berbahasa Indonesia ini tak ingin menjawab secara tegas ketika pertanyaan mengarah kepada kemungkinan meletusnya gunung Merapi. Baginya, Allah belum memberi petunjuk berupa tanda-tanda akan meletusnya Merapi sehingga ia tak meminta warganya untuk turun dan mengungsi. Kenyataan ini sungguh berlawanan dengan pernyataan Sultan yang meminta warga di lereng gunung segera mengungsi. "Jika Sultan meminta warga turun, berarti itu yang bicara bukan Sultan, melainkan Gubernur," ujar Mbah Marijan.

Dalam pembicaraan yang terekam handycam yang kami bawa itu, Mbah Marijan justru berharap Sultan dan pemerintah daerah mengizinkannya melakukan doa bersama mohon keselamatan agar Merapi tak 'marah'. "Masalahnya, saya diizinkan atau tidak oleh pemerintah kalau saya berdoa kepada Gusti Allah..." tanya Mbah berharap.

Pertanyaan yang sesungguhnya tak perlu jawaban dari Sultan atau pun pemerintah setempat. Karena bagi Mbah Marijan, yang dimaksud doa bersama itu tidak mesti membuat acara besar seperti layaknya acara 'selamatan' di kampung-kampung dengan mengundang banyak orang. "Cukup semua masyarakat bersama-sama berdoa, boleh dari rumahnya masing-masing, meminta kepada Allah agar Merapi tak jadi meletus," tambah Mbah.

Mbah Marijan bukan sosok penuh misteri, bukan tokoh klenik, bukan pula seperti yang banyak diberitakan di media massa tentang kesaktian dan ilmu-ilmu aneh yang dimilikinya. Lelaki berumur lebih dari 80-an itu adalah orang yang shalih, taat beribadah dan senantiasa merasa dekat dengan Tuhannya. Begitu juga dengan keluarganya, istri dan lima anaknya adalah orang-orang shalih.

Soal keengganannya berbahasa Indonesia, mbah Marijan berkomentar, "Saya ini orang kecil, hanya berbahasa menggunanakan bahasa orang kecil. Karena itu, omongan saya didengar oleh orang kecil. Bahasa Indonesia itu hanya dipakai oleh orang besar. Dan bahasa Indonesia itu terkesan sombong, saya tak mau dibilang sombong."

Subhanallah, suatu anugerah luar biasa bisa berkunjung ke rumah mbah Marijan. Teramat banyak pelajaran dari tutur kata lembutnya yang terasa sangat 'dalam'. Tak terasa persinggahan di rumah sederhana itu hingga pukul 20.00. Kekhawatiran akan meletusnya Merapi pada saat kami berada di rumah itu, seolah sirna oleh ketenangan yang memancar dari wajah lelaki mengagumkan itu.

Bayu Gawtama

Thursday, April 27, 2006

Nabi Ayub pun Tersenyum

Allah mencintai hamba-hamba-Nya dengan cara yang unik dan berbeda-beda. Semakin tinggi ketakwaan seorang hamba, semakin unik cara Dia mencintainya. Salah satunya adalah Nabi Ayub. Lelaki yang diamanahkan Allah untuk mengemban misi ketuhanannya itu dicintai Allah dengan penyakit yang sangat parah. Tak tanggung-tanggung, karena penyakitnya itu, Ayub alaihi salam dijauhi sahabat dan kerabatnya. Mereka tak tahan berdekatan lantaran aroma tak sedap dan takut tertular.

Maha suci Allah yang telah menciptakan manusia semulia Ayub. Ia tak pernah membenci Allah dengan takdirnya, tak pula ia merasa bahwa Tuhan yang dicintainya itu tak adil terhadapnya. Semakin berat sakit yang dirasa, semakin cinta Ayub kepada Allah. Dan mulianya Ayub, semakin parah penyakitnya semakin ia tersenyum. Allah dan para malaikat pun kan tersenyum oleh kesabaran lelaki mengagumkan itu.

Memang takkan sebanding jika sekarang saya mengajukan sebuah nama untuk menyandingkannya dengan Nabi Allah itu. Namun teramat banyak saya harus belajar tentang arti kesabaran dan cinta kepada Allah dari sahabat yang satu ini. Hesti, alias Titi yang lima belas tahun menderita radang sendi sehingga ia kini hanya bisa tergolek tak berdaya di kamar tidurnya. Namun ia tetap terlihat ceria dan bersemangat menjalani hidupnya. "Saya ingin terlihat tetap bersyukur, dan saya ingin tersenyum saat harus menghadap-Nya," ujar gadis itu.

Kemarin saat bertelepon dengannya, saya bertanya satu hal yang paling tidak ingin saya tanyakan kepadanya karena khawatir menyinggung perasaannya. "Mbak, tak inginkah mbak Titi sembuh?"

Saya tak pernah menyangka jawabannya. "Tidak, sebaiknya saya tetap seperti ini sambil Allah memberikan kehendaknya."

Titi pun menjawab penasaran saya yang seolah bertanya, "kenapa". Menurutnya, ia amat bersyukur Allah menimpakan penyakit ini kepadanya, meski sudah sangat lama ia menjalani hari-harinya di kamar tidur. Hidup dengan bantuan orang lain, bahkan untuk ke kamar kecil sekali pun. Radang sendi yang dideritanya membuat seluruh persendiannya sakit tak berdaya. Ia membutuhkan bantuan orang lain untuk seluruh aktivitasnya.

Tapi Titi tetap tersenyum. "Kalau saya sembuh, saya tidak yakin akan tetap sedekat ini dengan Allah. Saya tak pernah yakin akan tetap khusuk beribadah, akan menangis di setiap sujud panjang saya jika saya bisa berdiri dan sehat. Boleh jadi saya akan menjauh dari-Nya, hidup dalam kesenangan yang membuat saya lupa akan kematian," tuturnya.

"Jadi, mbak tidak ingin sembuh?" tambah saya yang semakin termangu oleh kata-kata ajaibnya.

"Biarlah saya tetap seperti ini. Saya yakin Allah sedang mencintai saya dengan takdirnya. Jujur, saya tak ingin sembuh karena saya takut Allah tak lagi mencintai saya." Duh, Titi rasanya tak ada alasan Allah tak mencintaimu. Sungguh saya iri kepada Titi, karena saya yakin Nabi Ayub akan pun tersenyum melihat Titi.

Bayu Gawtama
gabung yuk di LivingSchool Communty. subscribe saja di LivingSchool_community@yahoogroups.com

Sunday, April 23, 2006

Sahabat untuk Titi

Berbicara dengannya di telepon takkan pernah percaya kalau suara manis di seberang telepon itu sedang sakit parah. Semangat dan keceriaan tetap terpendar dari gelak tawa, dan serentetan kalimat yang takkan pernah berhenti dari mulutnya. Ia selalu rindu dering telepon dari orang lain ke nomor selularnya sekadar menyapanya lembut, "apa kabar Titi?"

Bicaranya yang tak pernah henti menyiratkan satu hal, bahwa kerinduan itu teramat dalam dan sering terlalu lama ia pendam. Selain khusyuk menghadap Allah di waktu-waktu sholatnya, membaca buku dan menonton televisi, menunggu dering telepon lah yang dilakukannya. Seutas senyum segera terlihat dan matanya berbinar ketika sebuah pesan singkat (SMS) masuk, kemudian tangannya yang gemetar mulai menyentuh tombol telepon selularnya. Ia sepertinya tahu, bahwa orang yang dibalas SMS-nya tak akan punya banyak kesempatan untuk terus me-reply pesan singkat, karenanya ia manfaatkan untuk mengetik sebanyak mungkin kalimat di layar ponselnya. Bayangkan, seberapa bahagianya ia jika tak sekadar SMS yang diterima. Suara sahabat dari seberang telepon amat sangat membuatnya bersemangat.

Hesti, begitulah namanya. Sedangkan Titi adalah panggilan kesayangannya. Perkenalan saya dengannya lewat seorang penyiar radio di Jakarta yang memberikan nomor telepon saya kepadanya. Suatu hari, seseorang menelepon dan memperkenalkan diri dengan nama "Hesti". Awalnya saya tak percaya -seperti kebanyakan sahabatnya yang lain- ketika ia menceritakan tentang penyakit yang dideritanya. Lagi-lagi, karena suara manis itu begitu bersemangat seolah ia baru saja menerima hadiah terindah dalam hidupnya. Padahl, Titi menderita radang sendi sejak ia masih remaja. Dan lima belas tahun terakhir adalah hari-hari yang memaksanya terkurung di kamar tidur tanpa bisa berbuat banyak. Gadis berusia 36 tahun itu menghabiskan hari-harinya di kamar tidur, berbalut mukena yang tak pernah lepas jika ia tak sedang dibantu keponakannya ke kamar kecil.

Jika penyakitnya sedang parah, seluruh persendiannya terasa sangat sakit tak tertahan. Titi sering menangis sendiri tanpa seorang pun yang tahu. Pernah suatu kali saya menerima SMS darinya, "Gaw, tolong saya..." isinya meminta saya menelepon tetangganya agar datang ke rumahnya untuk mengambilkannya makanan karena sejak pagi ia belum sarapan. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Sebenarnya jika ia punya pulsa cukup banyak di ponselnya, tak akan ada masalah. Saat itu, pulsanya hanya tersisa kurang dari 300 rupiah. Dan ia tak tahu bisa berbuat apa dengan angka sekecil itu. Ia pun teringat saya yang kebetulan sama-sama menggunakan operator kartu yang sama. "Bismillaah..." ujar Titi ketika mengirim SMS itu ke saya.

Dua jam berselang. Saya bisa bernafas lega saat mengetahui kondisinya baik-baik saja. Titi cerita, sejak pagi keponakan yang biasa mengurusnya ada materi tambahan di kampusnya. Tak seorang pun ada di rumah itu hingga sore, padahal ia sedang sangat membutuhkan seseorang untuk mengambilkannya makan siang. Seluruh tubuhnya mengejang kesakitan, satu-satunya pereda sakit adalah obat yang harus diminumnya sesudah makan. Masalahnya, ia tak bisa mengambil sendiri makanannya, begitu juga dengan obatnya. Saya bersyukur Allah memberinya jalan untuk mengirim SMS itu kepada saya, meski saat itu saya sedang berada di Aceh, delapan bulan pasca tsunami.

Di telepon, Titi berucap terima kasih atas pertolongan saya. Tetapi saya memintanya bersyukur kepada Allah. Bayangkan, bagaimana jadinya jika Titi benar-benar tak punya pulsa barang seperak pun saat itu? atau mungkin SMS-nya gagal terkirim karena ponsel saya yang tak aktif? atau boleh jadi saya yang tak sedang punya cukup pulsa karena sedang berada di luar dan tak dekat dengan fasilitas telepon umum? Allah lah yang menggerakkan saya untuk membeli pulsa beberapa menit saja sebelum SMS Titi itu masuk. Allah juga yang berkehendak membuat SMS yang merupakan 'kesempatan terakhir' Titi itu sampai ke ponsel saya.

Lima belas tahun sudah Titi 'teronggok' di kamarnya. Kadang ia lebih sering sendiri dalam deritanya. Ia harus menunggu keponakan atau kakaknya mengambilkan makan, ia yang tak pernah mandi kecuali hanya sekali dalam seminggu karena tak ingin terlalu merepotkan saudara-saudaranya. Bahkan, Titi pun sering terpaksa -maaf- tak mengenakan pakaian dalam karena tak mau saudara-saudaranya repot saat ia harus buang air kecil. Di saat seperti itu, Titi akan selalu ingat mendiang ibunya. Ia kadang menangis mengapa sang ibu pergi lebih dulu meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Sebelumnya, ibu lah yang setia dan tak kenal lelah melayani Titi. Sejak bangun tidur, memakaikan mukena untuk sholat, makan, minum, dan semua aktivitas lainnya. Setelah sang ibu tiada, Titi seperti kehilangan segalanya.

Namun Titi bukanlah orang yang kenal menyerah. Ia juga tak pernah ingin menjadi beban selamanya. Meski kondisinya semakin parah, ia tetap merasa bangga bisa melakukan sesuatu untuk orang lain. Mantan penyiar dan pegawai negeri di salah satu instansi pemerintahan ini memanfaatkan uang pensiunnya untuk membiayai kuliah keponakannya. "Nggak cukup sih kalau hanya uang pensiun," jelas Titi sambil mengungkapkan banyaknya orang yang simpati terhadapnya dan memberikan donasi. Dan uang pemberian para donatur itulah yang dipakainya untuk biaya kuliah keponakannya.

"Yah, itung-itung saya merasakan punya anak deh. Ternyata berat juga," terangnya. Titi tak mampu menyembunyikan perasaannya. Sebagai seorang wanita, ia juga pernah memiliki cita-cita untuk menikah, berumah tangga dan punya anak. Namun kondisinya yang seperti ini membuatnya harus mengubur dalam-dalam keinginan itu. Titi pun merelakan sang pacar untuk memilih meninggalkannya, karena Titi tahu tak akan ada lelaki yang sanggup menjadi pendamping hidupnya.

Tak hanya itu. Penyakit yang dideritanya sekarang pun kini dianggapnya sebagai kasih sayang Allah untuknya. Ya, ia memang pernah bertanya kepada Allah kenapa ia diberikan penyakit ini? kenapa ia dibuat semenderita seperti sekarang ini. Tak kini Titi tahu bahwa Allah menyayanginya dan begitu mencintainya. Bagi Titi, Allah sedang mengujinya seperti halnya Dia menguji Nabi Ayub dengan penyakitnya. "Bukankah orang yang diuji itu berarti disayang Allah?"

"Lagi pula, dengan kondisi seperti ini saya lebih sering mengingat mati. Saya tahu ajal saya sudah begitu dekat dan ini kesempatan emas saya untuk lebih mendekat kepada-Nya. Bandingkan dengan orang yang sehat yang kadang lupa kalau ia pun akan mati?" Duh, Titi. Kalimat itu begitu menohok saya.

Titi pernah meminta kepada Allah agar mengakhiri saja penderitaannya. Tapi ia juga tahu bahwa Allah lebih berkehendak atas dirinya. Penderitaan panjang yang dijalaninya, ia harapkan menjadi bekal baginya saat menghadap Tuhan kelak. Sepertinya, di hadapan Tuhan nanti Titi ingin sekali berucap, "Aku ridha akan kehendak Engkau ya Rabb..."

Kemarin, saya kembali menerima surat dari Titi untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, ia memaksakan diri untuk menulis sendiri surat itu dengan tangannya yang kaku. Lembar pertama, tulisannya masih rapi. Begitu masuk ke halaman kedua, barisannya mulai kacau. Tergambar dengan jelas bahwa ia menahan sakit saat menulis surat itu. Kali ini, Titi bercerita tentang ibunya. Seseorang yang paling dirinduinya saat ini, juga paling ingin dijumpainya kelak di akhirat.

Saya menangis membaca suratnya. Sungguh saya tak pernah secengeng ini sebelumnya. Saya membayangkan jika saya yang diberikan ujian sepertinya, akankah saya sanggup menanggung lima belas tahun hidup dalam ketergantungan? lima belas tahun dalam keterasingan dan kesendirian? lima belas tahun saat semua sahabat lama menjauh? lima belas tahun tetap bersyukur dan sabar menanti ajal menjemputnya?

Titi bilang, ia bersyukur masih ada yang mau bersahabat dengannya. Setidaknya ia tahu, ia tak akan meninggalkan dunia ini dalam kesendirian. Dan saya katakan kepadanya, saya akan menjadi sahabat Titi sampai kapan pun.

Bayu Gawtama
085219068581, 08881902214
Bersama Titi, saya tengah menulis sebuah buku tentang perjalanan hidupnya. Doakan, semoga dilancarkan. Oya, tulisan Titi tentang ibunya akan segera saya posting di blog ini. Titi berharap bisa dibacakan oleh Shahnaz Haque -sahabatnya- di acara Delta Siesta
Titi butuh sahabat, relakanlah pulsa anda untuk menyapanya di 085216297156

Thursday, April 20, 2006

Indahnya Sinergi

Sering menyaksikan pertandingan sepak bola? tidak semua menjadi penjaga gawang, dan tak semua pula ingin menjebol gawang. Sebelas pemain dalam satu tim, punya peran masing-masing yang mesti dijalankan sebaik-baiknya. Tak semuanya harus maju ke depan, begitu pun sebaliknya, tak perlu sebelas pemain menjaga daerah pertahanan. Namun, mereka tetap bersinergi untuk satu tujuan, mencetak gol demi kemenangan.

Sering menonton sebuah film? ada yang berperan sebagai aktor utama, ada juga yang cuma memainkan peran pembantu, peran kecil dan peran figuran. Ada yang berperan protagonis, dan ada yang rela berperan antagonis. Layaknya sebuah drama, ada yang disuka, dan dipuja karena selalu memerankan tokoh baik. Namun ada pula aktor yang rela dicaci dan dibenci di luar perannya, hanya karena kerelaannya berperan tokoh jahat. Namun itu semua hanya sebuah film, sebuah kisah layar kaca yang memiliki satu tujuan; menghibur penonton.

Tak semua manusia di muka bumi ini berprofesi sebagai kepala negara, karenanya ada lebih banyak yang membantunya dalam menjalankan negara. Dan jauh lebih banyak orang yang berperan sebagai rakyat. Para rakyat ini pun menjalankan perannya masing-masing. Tak semuanya menjadi dokter, tak seluruhnya menjadi guru, dan tak mungkin semua orang melakoni satu profesi saja.

Ada yang punya kendaraan bermotor, banyak pula yang hanya mampu berjalan kaki atau menggunakan jasa angkutan umum. Maka bergunalah para pengusaha jasa angkutan, maka bermanfaatlah mereka yang berprofesi sebagai supir dan kondektur angkutan umum atau tukang ojeg sekali pun. Berguna pula para penambal ban di pinggir jalan, para mekanik di bengkel, termasuk para petugas lalu lintas.

Tak sedikit yang memiliki lebih dari satu tempat tinggal, namun jauh lebih banyak yang tak memiliki tempat untuk berteduh. Ada yang hidup berlebihan, ada yang berkecukupan, dan pasti pula banyak yang kekurangan. Karenanya, mereka yang berlebih pun tahu kebutuhan yang kekurangan, dibuatlah rumah-rumah sewaan agar yang lain tak lagi kehujanan dan kepanasan.

Seseorang bisa disebut 'kaya' karena ada orang yang disebut miskin. Seseorang bisa berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, karena ada yang membutuhkan tenaganya. Ada yang menjadi tukang sampah, karena banyak sampah bertebaran. Jika satu bulan sampah di rumah tak ada yang mengangkutnya, bayangkan betapa besar kebutuhan kita terhadap para tukang sampah itu.

Sungguh, Allah telah menciptakan sinergi yang luar biasa indah. Masing-masing menjalankan perannya dengan baik agar tetap seimbang. Ketika banyak orang membutuhkan pertolongan, semestinya banyak pula yang menjadi penolong. Saat begitu banyak yang mendapat musibah, seharusnya tak kalah banyaknya tangan-tangan yang terhulur memberi bantuan.

Kadang, tak semua pendaki gunung harus mencapai puncaknya. Ada satu atau sebagian yang menjadi camper, namun tetap mendukung rekannya yang menjadi climber. Memang tak semua orang harus datang langsung dan menemui para korban bencana di lokasi musibah. Karenanya, ada orang-orang yang mendedikasinya dirinya untuk masuk menembus lokasi bencana. Cukup sambungkan tangan peduli itu dengan tangan yang beraksi di lapangan, maka sempurnalah sinergi itu. Ketika simpati bersinergi dengan aksi, inilah yang disebut peduli. duh, indahnya.

Bayu Gawtama

Saturday, April 08, 2006

Sosok Mengagumkan di Kawasan Kumuh Jakarta

Tiada hari yang tak dilaluinya dengan berkeliling kampung. Seluruh sudut Kelurahan Semper Barat, bahkan Kecamatan Cilincing ia sambangi. Hampir semua pintu pernah diketuknya, sekadar melihat adakah balita-balita yang belum pernah ke Posyandu. Seketika mulutnya mengeluarkan kata-kata yang orang bilang "cerewet", namun tak pernah ada yang berani memprotesnya. Sebab cerewetnya Bu Roso, panggilan akrab kader Posyandu itu, justru untuk kebaikan mereka.

Suroso Sukarsih. Usianya hampir kepala enam, tubuhnya yang gempal tak menghalanginya untuk terus mendatangi rumah-rumah warga di lingkungannya. Terlebih jika sudah waktunya para balita harus ke Posyandu. Ia begitu gesit, bahkan ketika harus menyusuri gang-gang sempit, daerah kumuh dan bau di kawasan Cilincing itu. Bu Roso, kadang harus menjemput Langsung para balita yang ibunya malas atau tak mau membawa balitanya ke Posyandu.

"Saya nggak pinter, saya juga nggak punya apa-apa. Tapi saya bisa melakukan ini untuk membantu warga di sini," ujar Bu Roso tentang semangatnya yang tak pernah kendur melayani warga Cilincing, Jakarta Utara.

Bu Roso bukan ketua RT, bukan Ketua RT, terlebih Lurah. Tetapi ia lebih dihormati, disenangi, dan didengar ucapannya dibanding para pejabat lokal itu. Sepanjang jalan yang disusuri, tak terbilang orang yang mengenal dan menyapanya dengan hormat. Tak hanya kaum ibu, bahkan preman dan pemuda pinggir jalan pun menyapanya sopan.

Tak hanya urusan balita yang digarapnya. Ia pun memimpin segenap kader Posyandu di lingkungannya untuk menjadi relawan TBC. Kini, kesibukannya semakin bertambah untuk mengurusi warga yang mengidap TBC. Tak heran beberapa media yang ingin mendapatkan banyak informasi dan data tentang kasus gizi buruk dan TBC di Cilincing pun langsung menghubunginya. Beberapa LSM pun pernah menjadikannya mitra kerja, meski Bu Roso akan sangat selektif dengan LSM. "Asal tak pasang bendera partai, dan tak berlatar belakang agama, saya mau membantu," tegasnya.

Tak mudah untuk menjadi seorang seperti Bu Roso. Ia melakukan semua itu bukan baru kemarin. Puluhan tahun sudah ia berjuang, berkeliling kampung berbagi peduli terhadap sesama. Dan ia melakoninya dengan cinta, satu tingkat di atas kepedulian.

Siapa pun mau bekerjasama dengannnya, tak hanya para kader Posyandu. Bahkan para Ketua RT, dan kaum lelaki di wilayah itu pun mau membantunya. Semua ibu yang punya balita 'patuh' padanya. Banyak pemuda yang segan terhadapnya. Setiap hendak membuat satu acara, Bu Roso tinggal meminta bantuan para pemuda itu untuk mendermakan tenaganya untuk hal-hal teknis.

Sosoknya amat sederhana, tetapi ia punya wibawa dan kharisma yang luar biasa di wilayah itu. Kata-katanya selalu di dengar warga, tak heran banyak Ketua RW dan bahkan Lurah pun "cemburu" karena mereka tak sebegitu dicintai warganya seperti para warga mencintai Bu Roso.

Ini sebuah pelajaran penting buat kita. Ketika di rumah sendiri ucapan ini sering tak digubris oleh anak dan keluarga sendiri di rumah, bagaimana mungkin kita memiliki izzah di luar? Bu Roso tak punya masalah demikian, karena ucapan-ucapannya pun sangat diperhatikan oleh warga setempat.

Dan satu lagi. Kalau saja seorang Bu Roso di usianya yang cukup tua masih bersemangat untuk terus peduli dan berbagi, bagaimana dengan kita? adakah semangat yang sama kita miliki? Padahal setiap kita selalu punya kesempatan untuk peduli dengan cara dan kemampuan kita sendiri. Sungguh, Bu Roso telah memberi kita satu pelajaran berharga tentang hakikat kepedulian.


Bayu Gawtama

Wednesday, April 05, 2006

Gabung Yuk, di LivingSchool Community

"Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru"

LivingSchool Community adalah komunitas orang-orang yang mau belajar dan mengambil hikmah dari setiap perjalanan kehidupan yang dijalaninya, kumpulan orang-orang yang senantiasa belajar dari semua orang yang ditemuinya, belajar dari setiap kejadian yang berlangsung di muka bumi, setiap jam, menit dan detik.

Jika Anda termasuk yang demikian, mari bergabung di komunitas ini. Dan jadikan komunitas ini sebagai salah satu sekolah kita.

Caranya gampang kok, masukan saja account email Anda di box tersedia di sebelah kanan itu tuh.... kemudian mari bersama-sama menciptakan sekolah kehidupan kita sendiri, dimana kita adalah gurunya, kita juga sebagai muridnya. so, tunggu apalagi?

Terima kasih
Bayu Gawtama