Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Monday, September 22, 2008

Baju Barumu Berapa?

“Baju barumu berapa?” Pertanyaan yang lazim kita dengar di hari-hari menjelang lebaran, atau hari-hari terakhir bulan ramadhan. Lebaran identik dengan baju baru, dan hal-hal baru lainnya secara fisik.

Lebaran atau hari raya Idul Fitri kerap dimaknai terlahirnya diri orang-orang yang berpuasa selama sebulan penuh bagai sosok bayi yang masih suci dan bersih. Maka layaknya bayi yang baru lahir, segala pakaian yang melekat pun serba baru, mulai dari baju hingga sepatu. Serba baru ini seolah melambangkan hati yang bersih tanpa noda, tubuh yang bersih tanpa dosa setelah sebulan penuh digodok, digembleng dan dibakar. Hangus sudah seluruh dosa terbakar, punah sudah semua keliru dihempas ramadhan. Jadilah ia orang yang baru, benar-benar baru, berbeda dari sebelum ia memasuki bulan ramadhan.

Selayaknya bayi yang baru lahir pun, kita memulai hidup baru, menggores lembaran-lembaran baru dalam kehidupan. Setiap gerak dan langkah akan merwarnai kertas putih kehidupan, entah dengan warna apa kita memulainya. Warna terang benderangkah atau justru kita menorehkan warna kegelapan sehingga membuat pekat kembali kertas putih lembaran kehidupan kita yang baru itu.

Sayang seribu sayang jika demikian adanya. Kita telah berjuang penuh menjalani berbagai ujian selama bulan ramadhan, berharap di satu syawal berdiri sebagai orang-orang yang layak menggenggam predikat kemenangan, justru langkah berikutnya tidak terarah, bahkan cenderung salah.

Atau, jangan-jangan ada ujian yang tidak kita ikuti selama masa ujian bulan ramadhan? Sehingga sejujurnya kita tidak benar-benar terlahir sebagai orang baru di satu syawal? Mungkin ada nilai-nilai buruk dari serangkaian test yang diberikan Allah selama bulan itu? Atau ada soal-soal ujian yang kita benar-benar gagal dan tak mampu mengerjakannya? Dan karena itu, sebenarnya kita tak tergolong orang-orang yang lulus dalam ujian ramadhan?

Ibarat siswa sekolah dasar yang menempuh ujian untuk kelulusan, jika ia mendapat nilai baik sesuai standar kelulusan, maka ia akan dinyatakan lulus dan berhak menyandang predikat baru sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nah, setelah menyandang status siswa SMP, ia pun berhak berganti pakaian, dari merah putih menjadi biru putih, sebagai bukti keberhasilannya.

Namun jika ia gagal dalam ujian, maka tak ada hak sedikit pun untuk menyandang gelar siswa SMP. Ia sepantasnya bersedih karena tidak lulus dan harus mengulang kelas terakhir hingga waktu ujian tiba kembali. Jika ada siswa SD yang tak lulus ujian, berhakkah ia masuk ke kelas SMP? Bolehkah ia mengenakan seragam biru putih seperti halnya teman-temannya yang lulus?

Kembali ke soal baju baru untuk lebaran, jika memang dianggap sebagai perlambang kemenangan usai menempuh ujian ramadhan, benarkah kita menjadi pemenang? Kalaulah dianggap sebagai perlambang kebahagiaan setelah berhasil melewati beragam test sepanjang ramadhan, coba cek kembali nilai-nilai test kita, sudah bagus semuanya? Kalau belum, kenapa tersenyum?

Kalau anak kecil yang bertanya, “berapa baju barumu” kepada teman sebayanya, itu lain soal. Tapi kalau orang dewasa yang di hari-hari terakhir ramadhan ini sudah sibuk memikirkan baju baru apa yang akan dikenakannya di hari lebaran, ups, nanti dulu, ujian masih berlangsung loh, belum tentu kita dinyatakan lulus. Ya kan?

Siap-siap punya baju baru sih boleh, tapi harus yakin dulu ujian ramadhan ini terselesaikan dengan baik. Sebab belum tentu tahun depan ketemu ramadhan lagi. Sepakat?

Gaw

Sunday, September 14, 2008

[Ajakan Sederhana] Lebaran Bareng Anak Yatim Yuk!

http://warnaislam.com

Nggak ada yang salah dengan aktivitas ke Mall membeli baju baru untuk lebaran nanti, baik baju untuk kita sendiri maupun untuk anak-anak. Ini bagian dari cara kita merayakan hari kemenangan, ceria bersama keluarga menikmati indahnya hari raya.

Tetapi kalau boleh sekadar titip pesan, saat memilih pakaian untuk anak-anak, pilihkan barang satu potong saja pakaian untuk anak-anak yatim. Mereka tidak punya uang sepeserpun untuk membelinya, tidak ada orang tua yang akan membelikan mereka pakaian. Entah sudah berapa lebaran mereka tak merasakan indahnya hari raya.

Bagus-bagus saja kalau beberapa hari menjelang lebaran, para ibu sudah menyiapkan aneka kue lebaran. Beragam rasa dan aroma sirup pun sudah disiapkan untuk mereguk kesegaran hari raya bersama seluruh anggota keluarga.

Tapi, kalau ada lebihnya barang satu toples, sisakan untuk anak-anak yatim di panti asuhan. Di panti, tidak ada kue lebaran dan sirup seperti halnya di kebanyak rumah pada saat hari raya. Coba ingat deh, tahun lalu berapa banyak makanan yang akhirnya terbuang karena sudah kadaluarsa dan berjamur? Kalau sekiranya keluarga kita tak sanggup menghabisinya sendiri, bagilah kepada anak-anak yatim yang memerlukan.

Saya tahu, sahabat-sahabat tak ingin melewatkan nikmatnya makan ketupat dan daging usai sholat Ied bersama seluruh anggota keluarga, ayah, ibu, isteri, anak-anak, adik, kakak, keponakan, sepupu dan keluarga besar lainnya.

Tetapi izinkan saya mengajak sahabat, di lebaran kali ini untuk membawa beberapa belah ketupat dan sedikit daging, kemudian kita makan bersama anak-anak yatim di panti asuhan. Jangan lupa, ajak teman-teman juga untuk menikmati lebaran spesial tahun ini.

Saya tahu, saudara-saudara rindu kampung halaman, rindu ayah dan ibu serta keluarga nun jauh disana. Memang mungkin saudara hanya punya sekali kesempatan dalam setahun mengunjungi orang tua. Andai tak memberatkan, bolehkah saya mengajukan tawaran menarik kepada saudara? Di panti asuhan banyak anak-anak yang selalu merindui kehadiran sosok ayah dan ibu dalam hidup mereka, namun sosok yang dirindui itu takkan pernah bisa mereka temui, bahkan setahun sekalipun.

Jika saudara berkenan merelakan lebaran tahun ini tak pulang kampung, kemudian kita pergi bersama-sama ke panti asuhan untuk mengobati rindu anak-anak yatim untuk bisa mencium punggung tangan “orang tua” yang selama ini mereka rindui. Mereka ingin sekali mendapat kasih sayang seperti yang selalu diterima anak-anak kita.

Saya pun mengerti, jika setiap lebaran kita ingin membahagiakan anak-anak serta keponakan dengan membagi-bagi angpaw lebaran di hari yang penuh kebahagiaan, sebagai bagian dari rasa syukur kita. Tetapi, izinkan saya melukiskan sekelumit kebahagiaan yang terpancar dari binar mata dan air muka anak-anak yatim saat mereka menerima sedikit rezeki dari kita. Mereka, penuh rasa syukur menerimanya, rasa mereka tentu lebih bahagia dari anak-anak kita yang memang sudah terbiasa menerima uang. Mereka memang tidak pernah meminta, tapi jika ada yang memberi, senyum mereka punya akan abadi hingga kembali bertemu hari raya di tahun yang akan datang.

Oya, satu lagi. Sepekan setelah lebaran, jika masih tersisa sedikit rezeki, ajak mereka yuk ke tempat rekreasi, seperti yang selalu kita hadiahkan untuk anak atau keponakan kita sendiri. Kapan terakhir mereka ke tempat rekreasi ya? Jangan-jangan mereka tak pernah tahu seperti apa pantai Ancol, Tugu Monas, Dunia Fantasi, Taman Ria, Kebun Binatang, yang buat anak-anak kita justru tidak mau lagi ke tempat itu karena sudah bosan.

Ini sekadar ajakan sederhana, sebagai bagian dari rasa syukur kita yang masih diberikan nikmat dari Allah SWT. Membuat anak-anak yatim tersenyum bahagia, mudah-mudahan Allah pun membahagiakan kita di dunia dan akhirat, bahkan membuat kita tersenyum di akhirat nanti. Yuk, lebaran bersama anak yatim!

Gaw
087 87 877 1961
0852 190 68581

Monday, September 08, 2008

Terima Kasih Telah Menendang Saya!

Iblis berkata;

“Saya punya anak yang bernama Kuhyal, dimana ia bertugas mengusapi celak mata semua orang yang sedang berada di majelis pengajian dan ketika khatib sedang berkhutbah. Sehingga mereka terkantuk dan akhirnya tidur, tidak bisa mendengarkan apa yang dibicarakan para ulama. Mereka yang tertidur tidak akan ditulis pahala sedikitpun untuk selamanya”

Jum’at itu, saya berkesempatan sholat jum’at di Masjid Baitul Hikmah, PT. Elnusa, di Jalan TB. Simatupang, Jakarta Selatan. Khatib baru saja naik mimbar dan saya mendengarkan ceramahnya. Entah kenapa, beberapa menit kemudian mata ini tanpa sadar terpejam, kira-kira 2-3 menit.

Saya mengambil posisi duduk di pojok dekat tangga karena tidak banyak pilihan tempat tersisa. Beberapa orang selalu lewat untuk naik ke lantai dua masjid dan saat mata terpejam itulah, sesosok tubuh besar melintas di depan saya, melangkahi kaki saya. Namun kaki kanannya tak sengaja menendang kaki saya, mengagetkan sekaligus membangunkan saya yang tengah tertidur.

Refleks saya berucap, “Astaghfirullah…”

Mungkin karena terlalu keras istighfar saya, orang yang ‘menendang’ saya itu kaget dan merasa bersalah. Ia lantas meminta maaf dan mengaku benar-benar tak sengaja.

Saya tak ingin berbicara, lantaran khutbah masih berlangsung. Saya hanya berikan senyum kepadanya, senyum setulus-tulusnya agar ia mengerti bahwa saya sama sekali tak marah. Bahkan seharusnya saya berterima kasih, ia telah membangunkan saya yang sempat tertidur saat mendengarkan khutbah.

Terima kasih telah menendang saya, setidaknya itu saya ucapkan dalam hati. Sebab, jika tidak iblis akan merasa menang karena telah berhasil mengusap celak mata saya agar tertidur diwaktu mendengarkan khutbah. Selain itu, jika tertidur saya sama sekali tak mendapatkan pelajaran apapun di majelis jum’atan kali itu.

Jadi, jangankan menendang, kalau perlu tamparlah saya jika Anda melihat saya tertidur dalam majelis ilmu, pengajian atau khutbah jum’at. Sebab yang ditampar sesungguhnya bukan saya, melainkan Si Kuhyal anak iblis itu. Wallaahu ‘a’lam bishshowaab. (gaw)

artikel ini juga dimuat di: http://warnaislam.com

Monday, September 01, 2008

Mereka Malu Kalau Anda ...

Suatu pagi, sebuah stasiun tv menayangkan berita penangkapan seorang pengedar narkoba di rumahnya. Penangkapan dilakukan aparat kepolisian di depan anak dan isteri si pelaku. Histeria pun terjadi, dua anaknya menangis berteriak-teriak berharap ayahnya tak ditangkap. Sedangkan isterinya terlihat shock, tak bisa berkata-kata.

Masih di program acara yang sama, juga di stasiun tv yang sama, seorang wanita paruh baya digelandang ke kantor polisi dengan tuduhan menipu sekitar ratusan orang dengan modus arisan. Ratusan orang yang merasa tertipu dan mengalami kerugian masing-masing satu hingga puluhan juta itu tak merasa iba dan bahkan berharap polisi segera menjebloskannya ke dalam sel. Sedangkan suami wanita itu, menutupi wajahnya lantaran malu. Empat anaknya yang sudah besar-besar pun menghindari kamera tv dan memilih tak berkomentar.

Nyaris setiap hari bisa kita saksikan berita semacam itu, kekeliruan yang dilakukan salah satu anggota keluarga, boleh jadi si Ayah, ibu, atau anak-anak, tidak hanya berdampak resiko buat si pelaku saja, melainkan keluarga mereka. Contoh pengedar narkoba tadi, awalnya anak-anak menangis karena tak ingin berpisah dengan ayahnya. Tetapi, hari-hari berikutnya tangis itu masih berlanjut bukan karena kehilangan figur teladan, melainkan kekecewaan yang teramat mendalam terhadap sosok yang selama ini selalu terlihat baik itu.

Tangis pun terus berlanjut, ketika di sekolah mereka pun dicemooh teman-temannya yang melihat wajah Ayah yang dicintainya berkali-kali ditayangkan di berbagai stasiun tv atau terpampang di koran. Mereka malu, kecewa, dan marah kepada Ayahnya. Begitu pun dengan isterinya, ia akan malu keluar rumah, tak tahan dengan ratusan pasang mata yang terus memandanginya. Sesekali telinganya menangkap bisikan, “itu lho… suaminya kan kemarin ditangkap polisi karena jadi pengedar”.

Tak berbeda kondisi yang terjadi dengan keluarga ibu yang dituduh menipu ratusan orang itu. Suaminya tak pernah menyangka apa yang dilakukan isterinya, begitupun anak-anaknya. Sebuah keputusan pun harus diambil, mau tak mau keluarga itu harus pindah rumah setelah sekian puluh tahun mengukir kenangan bersama rumah itu.

Sungguh, kita tak pernah sendiri melangkah. Ada kaki isteri, suami, anak-anak dan ratusan anggota keluarga lainnya yang mengiringi langkah ini. Ada harapan yang menyertai setiap ayunan langkah, yang kesemuanya berupa kebaikan. Lurus dan baik langkah ini, tersenyumlah mereka. Namun sebaliknya, tangis kecewa pun tak terbendung saat diri salah melangkah.
***

Satu pagi, saat kedua puteri saya meminta saya mengantarnya ke sekolah, saya sedang tak berpakaian dan hanya bercelana pendek. “Ayo Abi antar, begini saja ya…” ujar saya berseloroh.

Serempak mereka berteriak, “Nggaaaaaaaaaaaaaaakk…”

“Memangnya kenapa?” tanya saya.

“Malu tau… memangnya Abi nggak malu? Teteh sama dede sih malu dan mendingan nggak diantar Abi ke sekolah…”

Hmm… saya semakin yakin, bahwa orang-orang tercinta di lingkungan keluarga senantiasa berharap yang terbaik dari kita dan tak ingin kecewa atau malu. Doa pun terpanjat, semoga Allah senantiasa menyertai langkah ini agar tak salah arah.

Gaw
“ya Allah, jangan biarkan hamba kembali berbuat salah”