Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Monday, July 19, 2010

ACT Road to Palestine; “Gaza, Terimalah Kami” (bag 8)

Ada satu kalimat yang cukup terkenal terkait dengan kesempatan, yakni “no second chance” yang terjemahan bebasnya berarti “tidak ada kesempatan kedua”. Kalimat ini sering dipakai oleh banyak orang untuk menggambarkan betapa pentingnya memanfaatkan setiap kesempatan yang ada –untuk melakukan sebaik-baiknya- karena belum tentu ada kesempatan kedua untuk melakukannya. Situasi ini menggambarkan sebuah semangat bagi siapapun untuk tidak menyia-nyiakan waktu, peluang, kesempatan sekecil apapun untuk berbuat yang terbaik. Sebab telat sedikit saja, atau lalai kita memanfaatkan peluang itu, akan merugilah kita. Pepatah barat lain mengatakan, “time is money”, yang saya lebih suka mengartikannya, “waktu sangat berharga, karena tidak bisa dihentikan, tidak akan pernah bisa diulang”.

Begitu pentingnya waktu, bahkan Sang Khaliq pun bersumpah atas nama waktu dan kerugian bagi mereka yang tidak bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Nilai takwa dan terus menerus berbuat kebaikan adalah cara terbaik agar tidak menjadi orang yang merugi, ditambah terus mengingati sesama untuk teguh pada kebenaran, serta mengajak –dirinya- dan orang lain untuk senantiasa bersabar.

Semangat memanfaatkan peluang inilah yang mendorong tim ACT untuk bergerak ke perbatasan Rafah pada Kamis, 15 Juli 2010, untuk mencoba menembus pintu perbatasan. Saya berani bilang, bahwa perbatasan itu bukan untuk membatasi melainkan sebuah tantangan untuk bisa melintasinya. Begitu pula dengan kehidupan ini, segala rintangan di hadapan itu bukan kemudian membuat kita berhenti melangkah, tetapi justru untuk membuat kita semakin percaya diri setiap kali mampu mengatasi rintangan yang ada.

Rabu tengah malam sebelumnya, kami mulai berkemas. Merapihkan pakaian dan memasukannya ke dalam tas besar serta memilih barang-barang penting untuk dibawa. Beberapa perlengkapan yang dirasa masih boleh ditinggal sementara kami tinggal dulu di Wisma. Kamis pagi, usai sholat subuh kembali mengecek semua barang-barang yang akan dibawa. Sekitar pukul 05.30, Taryudi Kasimun, relawan yang juga mahasiswa Al Azhar Kairo datang menjemput. Melajulah kendaraan itu menuju Rafah dengan empat penumpang, Imam Akbar, Bayu Gawtama, Arif Hendra dan Taryudi. Dua nama terakhir adalah mahasiswa Al Azhar Kairo yang menemani tim ACT selama di Mesir, sekaligus sebagai penerjemah bahasa.

Berbekal pengalaman tahun sebelumnya, Imam Akbari mengingatkan bahwa kita akan melewati sekitar tujuh atau delapan pos pemeriksaaan (check point/CP) untuk mencapai Rafah. Perjalanan dari Kairo sampai ke Rafah diperkirakan berlangsung selama kurang lebih lima jam. Sedangkan pihak imigrasi di Rafah biasanya dibuka pukul sepuluh pagi. Dengan demikian, jika tidak ada aral yang signifikan maka tim akan tiba di perbatasan Rafah tepat pada saat imigrasi dibuka. Pos pemeriksaan pertama, kami lewati meskipun memakan waktu cukup lama, hampir lima belas menit. “Baru satu CP saja sudah cukup lama, bagaimana melewati CP lainnya?” gumam saya sambil terus berdzikir agar bisa melewati ujian pertama ini.

Sukur alhamdulillah, ternyata di pos-pos berikutnya tidak seketat pada pos pemeriksaan pertama. Hanya di pos kedua kendaraan kami masih dihentikan petugas dengan menanyakan maksud kunjungan ke Rafah. Di pos pertama, Taryudi yang sama sekali tidak menggunakan atribut ACT, turun untuk menjelaskan kepada petugas. “Saya mengantar turis, melihat-lihat Terusan Suez dan Kota El Arish,” kilahnya. Memang untuk menuju Rafah, akan melewati jembatan yang sangat tinggi dan panjang yang melintasi Terusan Suez. Sedangkan El Arish adalah Kota Pelabuhan, kota terakhir sebelum memasuki wilayah Rafah. Jarak El Arish dan Rafah kurang lebih 40 km atau sekitar setengah jam perjalanan.

Seperti biasa, di setiap pos semua anggota tim diminta untuk memerlihatkan paspor atau kartu identitas lainnya termasuk SIM dan kartu mahasiswa Al Azhar. Hanya sampai pos dua pemeriksaan berlangsung ketat, sebab di pos-pos berikutnya tidak lagi dihentikan. petugas-petugas hanya mengawasi setiap kendaraan yang lewat. Di perjalanan, sebuah mobil melintasi kendaraan kami, rupanya rombongan tim kemanusiaan Dompet Dhuafa, sambil melambaikan tangan. “Saya kira mereka sudah berangkat ke Rafah sejak semalam, ternyata baru berangkat juga,” ujar Imam Akbari.

Sepanjang perjalanan, mas Imam terus mengontak dr. Arif dari tim MERC yang juga akan bertolak menuju Rafah. Hanya bedanya, mereka bukan dari Kairo melainkan dari El Arish. Sejak kedatangan mereka satu hari sebelumnya, mereka langsung menginap di El Arish. Beruntung bagi tim MERC, karena lima dari sepuluh anggota tim mereka sudah mengantongi izin masuk ke Gaza dari State Security Mesir. Kami cukup was-was, apakah bisa memanfaatkan masuknya tim MERC ini untuk ikut masuk juga. Bismillah, Allah yang mengatur segalanya, pikir kami.

Sekitar pukul 10.30, kami pun tiba di Rafah. Sebuah kota yang minim penduduknya, lebih mirip kota mati, sangat gersang dan tandus. Hampir tidak ada kehidupan di Rafah, El Arish merupakan tempat persinggahan terakhir sebelum ke Gaza. Menurut cerita mas Imam, ketika situasi darurat pada Januari 2009 lalu, Rafah benar-benar kota mati, di setiap sudut pasukan militer berjaga dengan senapan terhunus. Bahkan di setiap pos pemeriksaan yang tadi kami lewati dengan tenang, sangat ketat dan penuh pasukan militer di tahun 2009 itu.

Tak berapa lama tiba di Rafah, tim MERC pun tiba bersama Bang Joserizal sebagai komandannya. Sepuluh menit kemudian, tim DD pun datang. Mereka terlihat lebih santai kali ini, rupanya mereka sudah mengantongi izin dari State Security. Bambang Suherman, langsung mendatangi tim ACT dan bilang, “Insya Allah kami masuk duluan, kami doakan ACT segera masuk juga,” ia sangat yakin. Memang jalur yang ditempuh tim DD berbeda dengan yang kami tempuh, mereka mengatasnamakan media, sehingga pengurusan izinnya melalui Departemen Penerangan atau Press Centre, sehingga pihak Press Centre itulah yang menghubungi pihak Kemenlu dan State Security untuk memberi izin tim media itu masuk. Berbeda dengan kami yang atas nama lembaga kemanusiaan, maka satu-satunya jalan hanya melalui Kemenlu, kemudian ke State Security (SS).

Ratusan orang mulai memadati pintu gerbang perbatasan, orang-orang Palestina yang dari luar hendak masuk, sebagian mereka adalah warga Palestina yang tinggal di luar negeri dan pulang untuk berlibur ke negaranya. Tidak hanya orang-orang Palestina, orang asing dari berbagai negara, baik pekerja sosial, para relawan kemanusiaan seperti kami yang dari Indonesia dan berbagai orang dengan berbagai kepentingan lainnya mencoba masuk melalui gerbang Rafah.

Kami tak mau ketinggalan ikut dalam antrian, tim DD masuk lebih dulu, baru kemudian kami bisa ikut masuk dengan terlebih dulu melobi seorang penjaga gerbang bernama Muhammad. Arif, relawan kami ini rupanya pandai bicara juga, dan boleh dibilang sok akrab sama orang Mesir. “Ya Muhammad…” sapa Arif kepada penjaga gerbang. Yang disapa pun langsung membalas sapaan Arif dengan akrab. Soal rahasia keakraban ini, nanti saya ceritakan di bab berikutnya.

Ketika kami bisa masuk, sungguh bersyukur sekali, karena jarang sekali yang bisa melewati gerbang yang terkenal ketat itu. langkah-langkah tegap dan pasti kami ayunkan, saya dan mas Imam terus berdzikir sepanjang jalan dari pintu gerbang menuju kantor imigrasi yang berjarak sekitar seratus meter di hadapan kami. “Ya Allah, mudahkanlah urusan kami,” harapan kami, petugas tidak memanggil kami kembali ke gerbang karena kejanggalan dokumen. Petugas, di pintu gerbang memang memegang sepuluh surat untuk sepuluh relawan asal Indonesia. Kami tahu, sepuluh itu berarti lima dari MERC dan lima orang lagi dari DD. Kami tahu bahwa petugas tidak mengecek satu persatu, asalkan dari Indonesia sepanjang jumlahnya belum sepuluh orang akan diizinkan masuk. Setelah sampai di kantor imigrasi, barulah masalah timbul. Terutama setelah tim MERC yang berjumlah sepuluh orang juga hendak masuk. Saya, mas Imam dan Arif dipanggil lagi keluar gerbang. Setelah tim MERC masuk semua, kami kembali melobi petugas bernama Muhammad agar diberi izin masuk.

Alhamdulillah, Muhammad memang baik hati, terlebih dulu Arif memuji kebaikan petugas itu. “Kata orang KBRI kami, temui saja orang bernama Muhammad, dia petugas yang paling baik di gerbang,” si petugas pun tersipu-sipu dibuatnya. Kami pun kembali diizinkan masuk, kali ini kami bertambah yakin bahwa hari itu akan menjadi hari bersejarah untuk menginjakkan kaki di tanah Palestina. Pukul 12.50, kami memasuki kantor imigrasi untuk dilakukan pengecekan paspor dan surat izin lainnya.

Sepanjang kurang lebih dua jam, mulut ini tak berhenti berdzikir untuk menjamin segala proses pemeriksaan di imigrasi berjalan lancar. Saya duduk di lantai sambil men-charge handphone yang mulai lowbat. Dari jarak sekitar lima belas meter, saya melihat mas Imam juga nampaknya terus berdzikir. Saya tahu yang ada di benaknya, sama persis dengan yang saya pikirkan. Kami harus bisa melewati proses ini untuk bisa masuk ke Gaza. Sekitar pukul tiga sore, kami dipanggil pihak intelejen Mesir ke ruangannya. Di ruangan itu juga sudah ada dua orang tim DD dan dua orang tim MERC. Semua perwakilan tim kemanusiaan dari Indonesia dipanggil karena jumlah yang masuk ke kantor imigrasi tidak sesuai dengan jumlah izin yang sudah dikeluarkan pihak State Security.

Yang sudah mendapat izin masuk hanya sembilan nama, sedangkan seluruh relawan dari Indonesia yang ada saat itu delapan belas orang. Ini yang dipermasalahkan, sehingga mereka memproses terlalu lama. Mereka hanya bisa meloloskan sembilan nama, sedangkan sisanya diminta kembali ke luar pintu gerbang. Kami sempat bernegosiasi, perlu waktu hampir dua jam untuk terus melobi pihak imigrasi itu, namun hasilnya tetap nihil. Dengan berat hati, tim ACT bersama sebagian tim MERC harus keluar kembali ke gerbang perbatasan Rafah.

Di depan mata kami, tanah Palestina terbentang luas, bendera Palestina sudah terlihat berkibar hanya berjarak beberapa puluh meter saja. Namun ujian demi ujian harus kami hadapi dulu sebelum kami benar-benar siap menghadapi ujian sesungguhnya di Jalur Gaza. Proses panjang mulai dari gerbang perbatasan Rafah, masuk ke kantor imigrasi untuk melalui proses interogasi dan negosiasi yang alot, sampai mas Imam harus mengganti kaca matanya karena patah, adalah bagian dari ujian dan pengorbanan menuju Gaza. Semoga semua itu tercatat sebagai sebuah keberhasilan, bahwa tolak ukur keberhasilan sebuah perjuangan bukan pada hasil, tetapi pada proses yang ikhlas dijalani. Sekadar membuka pintu perbatasan, hal kecil bagi Allah jika Ia berkehendak. Tetapi kita memang diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani proses yang berlika liku ini agar kita semakin sadar bahwa perjuangan itu memang tidak mudah.

Ya Allah, hanya perlu selangkah lagi kami bisa menginjakkan kaki di bumi para pejuang, tanah Palestina yang suci. Kami akan tetap bertahan disini, untuk terus mencoba masuk sampai tanah Palestina bisa kami pijak. Sementara itu, beberapa hal penting masih harus kami urus, sambil menunggu izin dari State Security keluar untuk kami. Saya langsung mengirim pesan singkat ke isteri di rumah, bahwa kami gagal masuk hari ini. Sebuah jawaban SMS hadir menyejukkan hati, “Allah memang belum mengizinkan hari ini, kalau Allah sudah berkehendak, tidak satupun bisa menghalangi langkah Abi menuju Palestina. Insya Allah,” ah sejuknya mampu menghalau panas terik kota Rafah.

Dalam kaitannya dengan Gaza, kami senantiasa berkeyakinan, “Selalu ada kesempatan berikutnya”. Maaf, untuk kondisi seperti yang kami hadapi saat ini, kami buang jauh-jauh kalimat “No Second Chance” untuk sementara waktu. Kami sandarkan harapan tertinggi dan satu-satunya hanya kepada Allah, bukan yang lain. Kami mencoba meniru para pemuda Al Kahfi untuk bertawasul dengan amal shalih yang kami punya, semoga masih ada sedikit amal shalih yang masih pantas kami persembahkan untuk membuka pintu Rafah, seraya menunduk merendah, “Gaza, terimalah kami”.(Gaw, dari Rafah)

ACT Road to Palestine; Mesir yang Dermawan dan Mudah Memaafkan (bag 7)

Apa yang Ada di benak kebanyakan orang Indonesia bila disebut nama Mesir? Husni Mubarak, Sungai Nil, Piramid, Firaun, Mummi, Al Azhar, Padang Pasir, Terusan Suez dan Bukit Tursina adalah beberapa contoh nama yang sangat dekat dan terkait erat dengan nama negara Mesir, meski sebenarnya Mesir bukan hanya terkait dengan nama-nama tersebut. Jika pertanyaannya dikembangkan, apa yang langsung terpikir oleh orang Indonesia terkait antara Indonesia dan Mesir? Jawaban pertama mungkin soal sejarah, bahwa Mesir adalah negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan bagi penggemar film tentu saja akan menyebut satu judul film Ketika Cinta Bertasbih (KCB), sebagai hal terkait Indonesia dan Mesir.

Cuma itu? berarti banyak hal yang belum diketahui tentang Mesir dan hubungannya dengan Indonesia. Saya pun demikian, perjalanan ke Mesir ini tentu saja membuka mata saya lebih jauh tentang Mesir, meskipun baru beberapa hari saja berada di negara ini. Meski hanya seujung kuku hal baru yang saya ketahui tentang negara ini dan kaitannya dengan Indonesia, bolehlah dibagi-bagi pengetahuan sederhana ini.

Pertama, hal baru yang saya dapatkan misalnya, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Al Azhar, Kairo memiliki peran yang sangat besar dalam hal pengakuan kedaulatan Republik Indonesia paska proklamasi. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia sudah melakukan studi di Kairo sejak tahun 1920-an dan pada masa sebelum kemerdekaan mereka ikut melakukan pendekatan-pendekatan terhadap pemerintah Mesir saat itu untuk memberi pengakuan kedaulatan. Selama ini, dalam berbagai pelajaran sejarah yang didapat, kita hanya tahu kulitnya saja bahwa Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, namun belum pernah ada penjelasan bagaimana proses yang terjadi sehingga pengakuan kedaulatan itu ada.

Kedua, hubungan persahabatan Indonesia dan Mesir secara resmi sudah berlangsung selama 63 tahun, meskipun dari beberapa fakta hubungan itu sudah berlangsung jauh sebelum tahun-tahun awal paska kemerdekaan Indonesia. Soekarno sebagai Presiden RI pertama sangat erat bersahabat dengan Gamal Abdel Nasser, sebagai pimpinan Mesir pada saat itu. Yang menarik, Soekarno begitu dikenal di negara ini tidak hanya pada masa orator ulung itu menjadi presiden, melainkan hingga saat ini. Penjelasan yang sangat menarik diceritakan Burhanuddin Badruzzaman, Minister Counsellor KBRI di Kairo. Ketika ia menyampaikan rencana acara peringatan 63 tahun persahabatan kedua negara kepada Direktur Opera House di Kairo –saya lupa namanya-, sang Direktur terkejut begitu melihat sampul depan buku persahabatan Indonesia Mesir yang bergambar Soekarno dan Gamal Abdel Nasser tengah menikmati indahnya pemandangan di tepi Sungai Nil. “Soekarno, Soekarno…” teriaknya, kemudian ia bercerita saat kecil, bahwa ia termasuk anak-anak yang berbaris di pinggir jalan Kota Kairo menyambut kedatangan Presiden Soekarno ke Kairo, dengan lambaian bendera merah putih.

Hal lain yang tak kalah menarik untuk diceritakan tentang Mesir adalah tentang kedermawanan negara ini yang sangat menginspirasi. Dubes RI di Kairo, Abdurrahman Muhammad Fahir bertanya retoris kepada tim ACT, “Anda tahu berapa mahasiswa Indonesia yang kuliah di Mesir saat ini?” Saya pernah mendengar dari beberapa mahasiswa pengurus Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Kairo, jumlahnya sekitar 4000 hingga 5000 mahasiswa yang tersebar di beberapa kampus. Universitas Al Azhar merupakan kampus terbesar yang menampung berbagai mahasiswa dari dalam dan luar negeri. “Untuk mahasiswa Indonesia saja, dana yang dikeluarkan sekitar 2,3 miliar rupiah per tahun. Karena kuliah disini memang tidak dipungut biaya,” kata Dubes.

Itu baru untuk mahasiswa asal Indonesia, belum lagi dari negara lainnya seperti misalnya Malaysia yang disebut-sebut jumlah mahasiswanya yang kuliah di Al Azhar jauh lebih banyak dari Indonesia. Yang menarik dan cukup menggelitik disampaikan Dubes, justru karena gratisnya itulah tidak sedikit mahasiswa Indonesia telat lulusnya, persis seperti kisah Azzam di film KCB. “Kuliah di sini kan tidak seperti di Indonesia, di sini tidak pernah ada absen,” soal ini diakui oleh para mahasiswa di Mesir. Meskipun mereka berkilah, “banyak juga kok yang cerdas-cerdas dan lulusnya cepat, tepat waktu dan mendapat nilai baik sekali,” bela para mahasiswa.

Satu cerita ringan dan menarik, meski sudah lazim bagi siapapun yang tinggal di Mesir adalah orang-orang Indonesia disini dikenal ramah dan sopan. Namun cerita menariknya justru bukan dari orang Indonesianya, melainkan kebiasaan orang-orang Mesir. Salah satu karakter kebanyakan orang di Mesir adalah mudah memaafkan. Kalau di Jakarta orang berkendaraan baik motor terlebih mobil saling bersenggolan bisa menimbulkan keributan dan baku hantam. Lecet sedikit bisa langsung pukul, tidak cukup memaki-maki. Saling baku hantam itu nyaris akan tidak ditemukan di Mesir. Setiap hari saya temukan mobil saling bersenggolan, bahkan tabrakan di kota Kairo, namun tidak pernah sampai terjadi baku hantam antar pemilik kendaraan. Mereka memang turun dan ributnya cukup dimulut saja, setelah itu mereka saling cium pipi kanan dan kiri, selesai masalah. Tidak pernah berlanjut sampai tuntutan ganti rugi atau bahkan sampai ke pengadilan lazimnya di Indonesia.

Maka jangan aneh, sepanjang mata memandang ke seluruh penjuru kota dan jalan raya, baik yang sedang parkir atau melaju cepat, sulit menemukan mobil di Kairo dalam kondisi mulus tanpa lecet dan penyok di beberapa bagian bodi mobil. Mobil-mobil banyak yang mewah, namun boleh dipastikan tidak mulus seperti kebanyakan mobil di Jakarta yang selalu terawat setiap hari. Saya yang baru pertama kali ke Kairo sempat berpikir, buka usaha cuci steam mobil di Kairo bagus juga nampaknya, hmm. (Gaw)

Sunday, July 18, 2010

ACT Road to Palestine; Jaga Keikhlasan, Pesan Pak Dubes (bag 6)

Hari ke empat di Kairo, Ahad, 11 Juli 2010, tim ACT kembali dijadwalkan untuk bertemu secara resmi dengan Duta Besar RI untuk Mesir, Abdurrahman Muhammad Fahir, setelah pertemuan sebelumnya yang kurang resmi di acara aqiqah putra salah satu staf KBRI Kairo di Masjid Indonesia Kairo hari Jum’at (9/7) lalu. Pukul 15.00 waktu Kairo kami tiba di KBRI dan dipersilahkan menunggu karena Dubes masih menghadiri acara yang lain.

Tak lebih dari setengah jam kemudian, kami dipersilahkan untuk bertemu dengan Dubes di ruang tamunya. Satu ruangan yang cukup bersahaja dan sederhana, sesederhana orangnya. Setidaknya kesan sederhana inilah yang pertama kami tangkap dari Dubes RI sejak pertemuan pertama. Pada kesempatan kedua kali ini, ternyata tidak berubah kesederhanannya meskipun ia harus menggunakan pakaian standar kenegaraan pada umumnya, jas dan dasi. Mengutip komentar Pak Burhanuddin Badruzzaman, Minister Counsellor KBRI di Kairo, “Memang beda rasanya kalau Pak Dubesnya itu Kyai”.

Hanya perlu menunggu dua menit, ‘Pak Kyai’ pun datang dan menyalami tim ACT. Ia mengaku selalu bangga dan kagum kepada tiim kemanusiaan, apapun namanya, yang berasal dari tanah air. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang peduli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang peduli. “Jelas saya kagum terhadap orang-orang seperti Anda,” ujarnya.

Kepada tim ACT, Dubes menyampaikan bahwa ia memahami betul tingginya kepedulian masyarakat Indonesia terhadap bangsa Palestina sehingga setiap saat bantuan terus mengalir baik melalui pemerintah maupun lembaga-lembaga kemanusiaan. Jadi sangat wajar jika berbagai lembaga kemanusiaan pun berdatangan ke Mesir untuk terus ke Gaza untuk menyampaikan bantuan tersebut. Oleh karena itu, kadang ketika satu lembaga tidak mampu mengirimkan bantuan langsung ke Gaza lantaran visanya belum keluar dari pemerintah Mesir, ia pun bisa memahami jika orang-orang dari lembaga atau elemen masyarakat itu kemudian ada yang bereaksi keras terhadap Kedutaan Besar Mesir di Jakarta. “Ya boleh jadi mereka juga merasa terdesak oleh kewajiban untuk menyampaikan bantuan itu secepat mungkin,” kata Dubes Abdurrahman.

Menurut Dubes, selalu ada ujian bagi tugas kemanusiaan kemanapun, terlebih ke Palestina. Salah satu ujian pertama adalah menjaga kesabaran perihal pengurusan visa di Jakarta. Kedubes Mesir di Jakarta, kata Dubes, adalah perwakilan pemerintahan resmi negara mereka di Indonesia. Jadi jika kita datang ke kedubes mereka layaknya datang ke negara mereka sendiri. Ada cara dan etika yang harus dijunjung tinggi masyarakat Indonesia ketika berada di Kedubes Mesir. “Saya sarankan sebelum mengajukan permohonan visa, sebaiknya elemen masyarakat bersilaturahim dulu ke Duta Besarnya, sampaikan siapa Anda dan lembaga Anda serta visi dan misinya. Saya yakin Duta Besar akan menerima dengan baik. Setelah ia kenal baik dengan Anda, saya kira akan lebih mudah baginya untuk memberikan izin masuk ke negaranya. Bahkan lebih dari sekadar masuk ke Mesir, mungkin Pak Dubes akan ikut memberi rekomendasi kepada Kemenlu disini agar tim Anda diberi izin masuk ke Gaza karena ia mengenal Anda dengan baik,” papar Dubes Abdurrahman seraya mencontohkan, boleh jadi izin yang didapat Parlemen Indonesia memasuki Gaza salah satunya dari pendekatan-pendekatan secara pribadi.

Dalam kesempatan itu, Dubes juga menyesalkan sikap-sikap reaktif dan negatif yang muncul dari sejumlah orang ketika visa dari Mesir belum diberikan. Ada yang menuduh Mesir tidak berpihak pada dunia Islam dan menjelek-jelekkan pemerintah Mesir sesukanya. Bahkan ada yang berani melempari Kedubes dengan bom molotov. Masing-masing negara punya budaya dan kebiasaan yang berbeda. Jika di Indonesia, jangankan bom molotov, bom yang sebenarnya rasanya sudah biasa. Tetapi bagi pemerintah Mesir, bom molotov itu penghinaan. Jangankan bom molotov, demonstrasi saja tidak lazim di Mesir. “Dengan sikap negatif seperti itu jangan harap visa didapat. Jadi sebaiknya tetap bersabar, kita bersikap baik Insya Allah pemerintah Mesir pun senang,” katanya.

Tidak ada salahnya, lanjut Dubes, dalam rangka menjaga hubungan baik dengan pemerintah Mesir kita senantiasa mengedepankan kebaikan-kebaikan dan hal positif dari sebuah negara. Seperti halnya Indonesia, negara lain seperti Mesir mungkin punya sisi negatif, namun pasti jauh lebih besar sisi positifnya. Sampaikan atau tuliskan hal-hal baik dan positif tentang suatu negara, pasti pemerintah itu menyukainya. “Contohnya kita, kota Jakarta banyak yang indah dan bagus, tapi kalau orang menyoroti dan mempublikasikan Jakarta dari sudut Sungai Ciliwung yang penuh sampah misalnya, pasti kita tidak suka kan?”

Pertemuan dengan Dubes Abdurrahman di ruang tamunya itu sebenarnya lebih mirip sebuah forum pengajian. Beliau banyak mengeluarkan nasihat dan kadang-kadang mengutip ayat al quran. Pak Badruzzaman memang benar, Dubes RI di Kairo ini memang seorang ulama. Nasihat-nasihatnya begitu dalam dan mengena. Selain tentang kesabaran, Dubes juga berpesan agar para relawan kemanusiaan ini senantiasa menjaga keikhlasan. Tidak ada jaminan sudah datang ke Mesir akan bisa masuk ke Gaza, ada yang sudah berminggu-minggu menunggu di Rafah namun akhirnya pulang dengan tangan hampa. Namun ada yang baru tiba di Rafah, justru pada saat pintu Rafah dibuka. Hal seperti ini juga disampaikan Pak Badruzzaman usai pertemuan dengan Dubes. “Kalau ikhlas, ya kita akan terima semua ketentuan Allah. Jika tidak bisa masuk ya karena Allah belum menghendaki, begitu sebaliknya. Jadi tetap jaga keikhlasan dan luruskan niat, insya Allah keikhlasan ini juga membantu mempermudah perjalanan ke Gaza,” pesan Dubes.

Terima kasih buat Dubes Abdurrahman Muhammad Fahir, ‘sang Kyai’ dengan segala nasihatnya, terima kasih kepada Pak Burhan yang dengan sabar melayani tim ACT sampai harus meninggalkan pertemuan dengan para ilmuwan yang tengah berkumpul di KBRI, dan kepada seluruh staf KBRI yang sangat membantu dan memfasilitasi segala keperluan tim ACT. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan bapak-bapak semua. (gaw)