Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, November 23, 2006

Bunda Hajar, Sang Guru Cinta

Ber-qurban, maknanya tak jauh berbeda dengan berkorban. Setiap kita tentu pernah dan sering berkorban untuk segala kepentingan. Misalnya, untuk bisa meraih predikat mahasiswa teladan dengan indeks prestasi tertinggi, seorang mahasiswa rela mengorbankan waktu 'santai'nya dan diganti dengan hari-hari sibuk berkutat dengan buku. Seorang suami berkorban membanting tulang siang dan malam demi sebungkus nasi yang dibawa pulang untuk anak dan isterinya. Masih banyak lagi contoh pengorbanan yang dilakoni setiap orang.

Beragam pula alasan orang melakukan pengorbanan tersebut. Harga diri, keyakinan, kepuasan, dan yang paling banyak mendasari sebuah pengorbanan adalah cinta dan kasih sayang. Semua alasan itu menjadi penyemangat seseorang untuk berkorban, apa pun bentuknya. Apa pun akan dilakukannya untuk meraih apa yang diinginkannya.

Adalah Siti Hajar, ibunda Ismail, salah satu guru cinta terbaik sepanjang masa. Ketika Ismail masih dalam susuannya, Ibrahim alaihi salam mengajak Hajar dan Ismail berpindah dari Palestina ke Makkah yang saat itu tandus dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kemudian keduanya ditempatkan di suatu tempat, yang sekarang dekat dengan Ka'bah, dan saat itu tidak ada seorang pun yang menetap di tempat tersebut. Siti Hajar dan Ismail hanya berdua, dengan dibekali satu kantong berisi kurma dan sekantong air. Sementara Ibrahim bergegas kembali ke Palestina.

"Wahai Ibrahim, mengapa meninggalkan kami berdua di negeri yang tandus dan tak ada teman seorang pun?" tanya Siti Hajar. Nabi Ibrahim tidak menoleh, pun tidak menjawab. Siti Hajar terus membuntuti langkah Ibrahim dan mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Ibrahim tetap tidak menoleh dan membungkam.

"Apakah Allah menyuruhmu berbuat demikian?" tanya Siti Hajar. "Ya", jawab Nabi Ibrahim singkat.
"Kalau begitu, kami yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan kami berdua," yakin Siti Hajar. Ibrahim pun bergegas meninggalkan isteri dan anak tercintanya, tanpa memberi bekal yang lebih untuk hidup barang sehari atau dua hari saja.

Atas nama cinta, kekuatan, ketabahan dan keyakinannya akan pertolongan Allah, Siti Hajar membesarkan dan mendidik Ismail yang kelak menjadi anak yang baik, bijaksana dan sabar. Setelah Ismail beranjak remaja, sang Ayah pernah dua kali menjenguk isteri dan anaknya.

Dalam Surat Ash Shaffat ayat 104-107, bahwa ibadah qurban berawal dari sebuah mimpi Nabi Ibrahim alaihi salam yang menggambarkan dirinya menyembelih putra tercintanya, Ismail sebagai bentuk persembahan dan bukti cinta kepada Allah SWT. Ibrahim sangat cemas, tetapi sang putra justru sangat bersemangat dan ikhlas bersedia menjadi qurban untuk disembelih. Meski pada akhirnya Allah tidak memperkenankan pengorbanan manusia, dan Ismail diganti dengan seekor domba yang dibawa langsung oleh malaikat Jibril.

Dialog tentang cinta dan ketabahan pengorbanan Ismail yang direkam surat Ash Shaffat tersebut, tak lepas dari peran ajaran cinta dari Bunda Hajar. Bukan Ibrahim yang mengajarkan tentang cinta dan pengorbanan terhadap Ismail, melainkan sang bunda, karena Ibrahim tak bersama mereka sepanjang masa anak-anak hingga masa remaja putranya.

Kini, masih adakah semangat cinta dan pengorbanan itu menjadi milik kita? Sudahkah kita menjadikan Bunda Hajar guru cinta, yang mengajarkan makna cinta sebenarnya. Akankah anak-anak kita memiliki ruang cinta di jiwanya seluas ruang yang dimiliki Ismail? yang menjadikan pengorbanan adalah bentuk paling nyata menunjukkan cinta ketimbang untaian sejuta kata?

Terima kasih Bunda Hajar, atas pengajaran cintamu.

Monday, November 20, 2006

School of Life, Chapter 2: Berjiwa Besar

Seorang anak mendatangi Ayahnya dan bertanya, bagaimana Ayahnya bisa bersikap tenang dan selalu tersenyum padahal begitu banyak orang yang sering membuatnya kecewa.

Sang Ayah pun tersenyum dan menunjukkan sebuah batu seukuran kepalan tangan. “Kantongi sebuah batu sebesar ini setiap kali kamu bertemu dengan orang yang mengecewakanmu. Kembali lagi ke Ayah dalam beberapa hari” pinta sang Ayah.

Kemudian, baru setengah hari si anak berjalan ia sudah mengantongi beberapa batu. Satu hari terlalui, semakin banyak batu yang membebani anak tersebut dan memberatkan langkahnya. Dengan tertatih ia mendatangi Ayahnya dan berkata, “berat sekali Ayah, saya tak sanggup melakukannya. Ini pun baru satu hari, bagaimana dengan esok dan hari-hari selanjutnya?”

Lagi-lagi Ayahnya tersenyum dan membasuh peluh di kening anaknya. “Begitulah yang kita rasakan jika setiap hari harus menanam sakit hati, iri, dengki, dan berbagai perasaan menderita lainnya di dalam hati. Berat nak, berat rasanya. Apalagi jika harus terus menerus membawa beban berat itu sepanjang hidup kita…”

Kini, giliran sang anak yang tersenyum. Tentu setelah ia membuang semua batu yang seharian membebani pundaknya.

-------

Ada orang yang betah bertahun-tahun bermusuhan, ada lagi yang mengaku sulit memaafkan orang yang telah pernah menyakitinya. Selain itu, ada orang-orang yang tak pernah dalam sehari tak iri, tak dengki terhadap tetangga, sahabat, atau bahkan saudaranya sendiri.

Sulitkah memaafkan? bukankah hidup akan lebih ringan hanya jika tak banyak yang membebani ruang jiwa ini?

School of Life, Chapter 2: Berjiwa Besar
MP Book Point, Jl. Puri Mutiara Raya No. 72, Jakarta Selatan
Minggu, 10 Desember 2006, pukul 13.30 WIB s/d 16.30 WIB

Persyaratan:
1. Register ke: school.of.life@hotmail.com , peserta hanya 20 orang/kelas
2. infak Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah), transfer ke rek. 1260004272786 Bank Mandiri atas nama Ahmad Bayu Gautama (bukti transfer attach ke email : school.of.life@hotmail.com)
3. Registrasi paling lambat tanggal 6 Desember 2006.

Info lebih lanjut:
Andhika P Swasono (02168545401)
http://schooloflife.multiply.com

Tuesday, November 14, 2006

Kisah Etty Karyati tentang School of Life, Chapter 1: Mind Power

Assalaamu'alaikum wr.wb. Rekan-rekan member SOL yang saya cintai, Pertemuan kita selama kurang lebih 3 jam kemarin memang terasa singkat tapi saya yakin ada hal-hal yang dapat kita petik dan bawa pulang dari perjumpaan pertama kita.

Bagi saya, idea tentang orbit dan cakrawala merupakan hal baru yang tidak saya sadari sebelumnya. Bisa dikatakan terlalu banyak cakrawala dalam kehidupan saya sehari-hari dan saya sangat kurang memaksimalkan orbit saya.

Hari ini Alhamdulillah, saya telah berusaha memperbaiki satu hal yang menjadi orbit saya ( yang kemarin saya tulis dalam catatan saya, yaitu hadir di Majelis Taklim ). Lebih dari 2 tahun sudah saya meninggalkan dunia kantoran, karena pekerjaan dapat saya lakukan dari rumah. Tapi tak pernah ada sedikitpun keinginan untuk datang ke majelis taklim ibu-ibu yang cuma berjarak 100 meter dari rumah saya. Ibu saya, yang tergolong paling aktif mengaji di kampung, berulang kali mengajak saya untuk datang ke majelis taklim tapi saya selalu beralasan mau pergi kesana, mau pergi kesitu, banyak kerjaanlah dsb-dsbnya. Alhasil selama 2 tahun sejak berhenti kerja kantoran saya belum pernah datang ke pengajian tsb. Padahal saya sudah mengoleksi banyak baju-baju muslim, jilbab dan kerudung pun sudah memenuhi lemari saya, tetap saja belum ada keinginan untuk datang ke majelis taklim. Tapi pagi ini, dengan membaca Bismillah, saya datang berdua dengan ibu ke pengajian kebetulan hari ini adalah acara pembukaan kembali majelis taklim setelah vakum selama bulan ramadhan dan juga acara halal bi halal. Alhamdulillah saya disambut dengan gembira oleh semua yang hadir, beberapa diantaranya adalah teman-teman sepengajian saya sewaktu kecil kira-kira 25 tahun yang lalu, selebihnya adalah ibu-ibu lanjut usia dan kerabat dekat keluarga saya. Ketika berada di pengajian baru saya sadar mestinya saya sudah datang kesini setidaknya sejak 2 tahun yang lalu.... Hari ini saya bersyukur atas rahmat yang telah diberikan Allah kepada saya, atas penerimaan yang tulus dari Ibu-Ibu dan teman-teman saya di majelis taklim tsb. Insya Allah besok pagi saya akan datang kembali di Majelis Taklim yang lain dalam acara yang sama.

Masih banyak orbit-orbit lain yang harus saya jalankan, perbaiki dan maksimalkan. Saya menyadari semuanya pastilah memerlukan proses. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-NYA kepada kita semua. Amiin.

Wassalaam,
etty
salah seorang peserta School of Life, Chapter 1; Mind Power

kisah lainnya bisa didapat di http://schooloflife.multiply.com

Monday, November 13, 2006

Kisah Danie tentang School of Life

Bismillahirrahmaanirrahiim

Ya Allah, aku mohon Engkau menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin karena aku ingin menjadi hamba-Mu yang beruntung dan meraih kemenangan. Dan yang penting buka hati ini selalu berbuat baik, tidak hanya niat tapi amal nyata, Insya Allah.

Alhamdulillah hari ini aku diizinkan Allah untuk datang ke acara pelatihan Mind Power yang diadakan oleh School of Life yang dimotori Mas Gaw (Bayu Gautama) and friends. Padahal paginya, kepalaku sakit, perutku nggak enak, kenapa ya?, tapi aku cepat-cepat berdzikir: Yaa Syifa Yaa Syafii (Yaa Maha Mengobati, Yaa Maha Menyembuhkan).

Jam 08.30 aku berangkat dengan Aji. Sampai di lokasi, terlihat oleh Aji peserta yang tidak seumuran, dan sempat ngambeg di mobil, tapi aku bilang, lihat dulu, pasti ada manfaatnya. Maklum yang ikut usianya diatas 20 tahun, dan sudah bekerja.

Selama acara berlangsung, Aji memang tampak tidak nyaman, tapi aku mohon Allah untuk membuat dia tetap duduk dan mendengarkan, karena aku yakin, pasti ada yang nempel di pikirannya, walau hanya beberapa persen.

Alhamdulillah acara 3 jam berlalu dengan sangat cepat, aku banyak mendapatkan ilmu dari sharing para peserta, dan Insya Allah akan aku tulis di edisi rahmat, aku mendapat teman baru yang baik dimana aku bisa belajar, karena usia bukan jaminan untuk mengetahui semua ilmu, dan aku bersyukur Aji bertemu dengan salah seorang team SOL yang jago design grafis, yang cocok sama bidang yang sedang digeluti Aji (hari-hari di depan komputer bikin design).

Pas pulang aku bilang ke Aji, bahwa jangan berpersepsi jelek dulu kalau ikut acara yang terkadang pesertanya tidak seumur, tapi ambil manfaat dari orang-orang yang nggak seusia dengan kita, baik lebih tua maupun lebih muda.

Insya Allah, Aji mengerti dan dia nyaman setelah aku jelaskan, karena di dalam pelatihan ada istilah yang bisa membuat aku untuk mengingatkan Aji setiap pagi, afirmasi, orbit dan cakrawala.

Terima kasih untuk team School of Life, Mas Bayu Gautama, Mas Andhika, semoga kita dapat berbagi di kesempatan berikutnya, Power of Sharing atau Miracle of Sharing.

Miracle of Sharing, it is beautiful word, it is really meaningful, only for those who want to get the lessons from others.

Wass,
Danie

catatan: Danie, nama lengkapnya, Ismiradani Setiawan, adalah satu dari 17 peserta dalam School of Life, chapter 1: Mind Power

Wednesday, November 08, 2006

Mimpi Konsumen: Murah, Cepat, dan Bagus

Hujan deras membasahi bumi, aroma tanah yang diguyur air langit menyeruak seiring hembusan angin dingin yang lumayan kencang menerpa tubuh. Udara dingin memaksa mata ini lirik kanan kiri mencari kehangatan. Kemudian, tatapan pun tertuju ke sebuah kedai pisang goreng. Hmm, pasti nikmat sekali dingin-dingin menyantap pisang goreng panas, cocok untuk menghangatkan tubuh.

Begitu mendekati, "4000 rupiah?" Seorang teman langsung terbelalak dan berbalik arah, "Masak hanya sekadar pisang goreng saja semahal itu?" gerutunya.

Dia mungkin belum tahu tentang pisang goreng yang terkenal itu, meski pun mahal tapi rasanya memang sangat lezat. Siang itu, ia memilih untuk menghentikan tukang gorengan yang melintas di depannya. Namun, "Ah, pisang goreng apa nih? Dingin, tidak enak pula..."

***

Nuning bermimpi memakai pakaian baru di hari lebaran lalu. Tetapi mimpi itu tetaplah menjadi mimpi ketika baju baru yang dipesannya tidak selesai dijahit Mang Ujang, penjahit langganannya. Kain yang diserahkan Nuning sepekan pertama bulan ramadhan hingga sepekan setelah hari raya Idul Fitri tetap masih berbentuk selembar kain. Alasan Nuning menitipkan jahitannya ke Mang Ujang langganannya itu, selain bagus dan rapih jahitannya, juga murah.

Murah, bagus, tapi lama? Ya, bahkan Nuning tak kesampaian memakai baju baru yang diidamkannya hanya karena ingin mencari yang murah.

***

Banyak cerita yang bisa dihimpun berkenaan dengan nasib konsumen di negeri ini. Konon, semua konsumen memiliki tiga pilihan untuk segala hal yang dibeli; Murah, Cepat, dan Bagus. Tetapi, dari tiga pilihan itu hanya dua yang bisa diperoleh. Misalnya, mau bagus dan cepat, berarti harganya tidak murah. Ingin yang murah dan cepat, pasti tidak bagus. Ada yang bagus dan murah, biasanya pengerjaannya lambat.

Seperti teman yang ingin makan pisang goreng hangat dan nikmat tadi, harga satuannya empat ribu rupiah. Ketika dia akhirnya memilih pisang goreng yang seribu tiga, rasanya dingin dan tidak enak.

Seorang teman lainnya, pagi-pagi sudah menggerutu dan ngomel-ngomel. Ternyata, kemarin sore ia menumpang pesawat dengan pelayanan yang buruk. "Delay-nya saja dua jam, landingnya buruk, pramugarinya tidak ramah..." Kenapa pilih maskapai penerbangan tersebut? "Ya, karena murah..."

Begitulah teman...

Tuesday, November 07, 2006

Kulit Buah Pun Jadi Rebutan

Entah untuk keberapa kalinya diri ini mengurut dada. Miris rasanya ketika Sabtu lalu kembali mata ini menangkap pemandangan memilukan. Empat anak-anak berusia rata-rata lima tahun membuat mata ini menitikkan bulir bening seraya berucap, "Ya Allah, benarkah hamba berada di negeri yang kaya?"

Sabtu lalu, anak-anak meminta dibelikan buah segar yang biasa dijual keliling. Seperti diketahui, beberapa buah tersedia seperti semangka, melon, nanas, dan pepaya sudah dipotong panjang-panjang dan dibungkus dalam plastik. Jika ada yang membeli, buah itu dipotong-potong kecil dan dipisahkan dari kulitnya. Segar, dingin, dan manis, tentu saja anak-anak sangat menyukai buah tersebut. Saya yang tak ikut menikmatinya pun seolah bisa ikut merasakan kesegarannya hanya dengan melihat lahapnya anak-anak menyantap buah.

Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, setelah secara tak sengaja mata ini menangkap empat anak kecil berebut kulit buah yang telah dipisahkan, yang buahnya disantap oleh anak-anak saya. Setiap kali ada pembeli, mereka berkerumun di samping penjual buah dengan tangan siaga menangkap kulit buah yang akan dibuang. Berhasil mendapatkan kulit buah, maka mulut dan gigi mereka segera menggerus kulit yang masih menyisakan sisa tipis buah itu. Setelah itu, berganti lidah mereka menjilatinya. "Ya Allah... "

Tasya, Ricky, Ryan dan Erfin. Jangan tertipu dengan nama-nama bagus mereka. Anak-anak berusia lima tahun itu tidak sekolah, pakaian mereka pun lusuh. Entah kapan terakhir mereka makan buah-buahan, atau jangan-jangan hari itu mereka belum sarapan dan makan siang sehingga keempatnya harus berebut kulit buah dan menjilatinya.

Tak tega terus menerus menyaksikan pemandangan seperti itu. Saya minta penjual buah memberikan beberapa buah segar kepada anak-anak tersebut, agar mereka tak hanya menggerogoti kulitnya saja. Nikmat sekali melihat mereka bahagia, walau hanya sepotong buah yang entah sudah berapa lama tak mereka nikmati.

Empat anak-anak berusia lima tahun itu, bukan saya temui di Bangladesh, salah satu negeri paling miskin di dunia. Bukan juga di Ethiopia atau beberapa negara di benua Afrika lainnya yang selama ini terkenal dengan kelaparannya. Tetapi, mereka ada di Serpong, sebuah kota kecil di Provinsi Banten, hanya beberapa puluh kilometer dari pusat pemerintahan negeri ini.

Bayu Gawtama

Friday, November 03, 2006

Tentang School of Life

“Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru”
Orang bijak bilang, sering kali masalah timbul dari diri sendiri. Karenanya, sesungguhnya yang paling mengerti bagaimana menyelesaikannya, adalah si pembuat masalah itu sendiri. Namun, kadang seseorang membutukan orang lainnya untuk menyelesaikan masalahnya. Bukan untuk meminta tolong, melainkan untuk sama-sama belajar kepada orang lain, mengingat hampir setiap orang memiliki masalah yang sama, hanya waktu, bentuk, tempat, dan tingkatannya saja yang berbeda. Atas dasar itulah, School of Life diselenggarakan. Anda berminat? Bergabunglah bersama kami di sekolah yang menerapkan sistem andragogi plus (pendidikan untuk orang dewasa yang mendewasakan)

Tentang School of Life
School of Life –sekolah kehidupan- adalah sebuah program yang menawarkan ruang bagi masyarakat yang membutuhkannya, ruang untuk berbagi, tempat untuk belajar dari orang lain, dan ruang yang terbuka luas tempat Anda mencurahkan segala yang selama ini terpendam. Jika selama ini Anda tak menemukan satu ruang dan kesempatan untuk didengarkan, School of Life-lah ruang yang kami sediakan untuk Anda.

School of Life menyajikan materi yang sangat luas, tak butuh kurikulum, modul atau pun buku panduan. Karena semuanya sudah disediakan oleh kehidupan ini, kita hanya tinggal memilihnya saja. Sebab itu, tidak ada materi yang baku di setiap chapter, para peserta lah yang menentukan materinya sesuai dengan kebutuhan mereka. Jelas karena kami yakin, para peserta sendiri yang lebih tahu kebutuhan belajar mereka.

School of Life tidak punya ruang belajar dan gedung sekolah. Sesuai dengan motto kami, “Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru”. Jadi, ruang belajar bisa dimana saja, sesuai kesepakatan peserta. Dimana peserta merasa nyaman untuk belajar bersama, disitu kita jadikan ruang belajar. Dimungkinkan selalu berubah lokasi belajarnya, dan sangat dimungkinkan untuk dibuka di banyak tempat dan daerah, termasuk di luar kota dan dan luar negeri.

• Sekolah yang tidak ada alumninya, sebab belajar tentang kehidupan hanya akan berakhir bersamaan dengan saat kita mengakhiri kehidupan ini
• Semua peserta adalah guru, begitu pun semua peserta adalah muridnya
• Tidak ada gedung sekolah, ruang kelas tetap, seragam, apalagi peraturan.
• Persaratannya hanya satu, yakni: tidak ada persaratan
• Tidak ada kurikulum, modul, kertas kerja, dan buku panduan, karena semuanya sudah tersedia oleh kehidupan ini. Peserta cukup mempersiapkan untuk berbagi (share) kepada sesama tentang pelajaran yang akan dibahas.
• Pelajaran yang didapat dari sekolah ini semuanya tentang kehidupan sehari-hari
• Tujuan dari sekolah ini hanya satu; untuk hidup lebih baik

Metode belajar
• Dynamic Group
• Brainstorming and share story
• Simulation and role play

Kelas School of Life
• Kelas akan terbagi-bagi menjadi 3 kategori; kelas umum (reguler), kelas remaja (SOL for Teens) dan kelas anak-anak (SOL for Children). (sementara baru kelas umum yang terselenggara)
• 20 peserta perkelas, demi terselenggaranya dinamika kelas yang efektif
• 20 peserta berikutnya akan dibuat dalam kelas berikutnya, dan seterusnya
• Dimungkinkan membuka kelas baru di berbagai daerah dan luar kota, termasuk luar negeri. Misalnya, di Denpasar terdapat 40 peminat, maka akan dibuka dua kelas baru.

Pengelola kelas School of Life
1. Bayu Gawtama, penggagas, fasiliator, penulis buku School of Life
2. Bobby Herwibowo, Inspirator
3. Tim Manajemen School of Life (SOL)

School of Life, for better life
"Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru"
info: school.of.life@hotmail.com
0852 190 68581 - 0888 190 2214

Thursday, November 02, 2006

Catatan Lebaran III : Khutbah Id, Diantara Pesan Moral dan Belah Ketupat

Ada yang menarik jika kita mau memperhatikan pelaksanaan sholad Id. Di banyak tempat, seiring dengan bertahun-tahun kita mengikuti sholat Id di berbagai tempat maupun di tempat yang itu-itu saja, cobalah perhatikan satu acara inti dari rangkaian sholat Idul Fitri. Yang dimaksud yakni pada saat khutbah Id, sesaat seusai sholat Id dilaksanakan.

Ketika khatib naik mimbar, seketika itu pula sebagian kecil jamaah meninggalkan lapangan/tempat pelaksanaan sholat. Ada sebagian ibu-ibu beralasan menyiapkan makanan bagi anggota keluarganya, agar jika sepulang mereka dari sholat Id, makanan sudah tersaji. Entah apa pun alasannya, sangat menarik untuk mengkaji hal ini lebih lanjut.

Bisa dibayangkan perasaan semua khatib yang naik mimbar usai sholat Id, itu pun andai mereka memahami. Tapi sebagai seorang yang senantiasa berhadapan dengan khalayak manusia, tentu saja para khatib ini tahu persis semua masalah yang kerap terjadi pada saat pesan moral dan ceramah tengah disampaikan. Salah satunya, ditinggalkan jamaah. Bedanya, jika di moment yang lain jamaah meninggalkan arena tabligh lantaran beberapa sebab, misalnya, penceramahnya tidak bagus, materinya kurang mengena, atau acaranya terlalu malam dan lain sebagainya. Namun semoga bisa disimpulkan, jamaah sholat Id yang meninggalkan lapangan sesaat ketika sang khatib baru saja berucap, “Assalaamu’alaikum…” mungkin karena mereka menganggap khutbah Idul Fitri tak lebih penting dari ketupat dan kue lebaran yang menanti di rumah.

Mari kita bayangkan sejenak. Khatib sholat Id harus berdiri diantara dua hal penting, kepentingan untuk menyampaikan pesan moralnya dan kepentingan para jamaah yang berharap khatib tak berlama-lama menyampaikan ceramahnya, lantaran mereka ingin segera ‘berlebaran’. Singkatnya, khatib berdiri diantara pesan moral dan belah ketupat. Benarkah?

Sesekali –mungkin saat sholat Id tahun depan- jangan terlalu serius dan khusyuk menyimak ceramah khatib. Coba sedikit celingak-celinguk ke kanan, kiri, depan, dan belakang, perhatikan para jamaah lainnya. Ada yang terpejam, namun telinga masih mendengar. Sebagian bahkan sudah tertidur pulas, nampak dari ayunan kepalanya. Sebagian yang tidak tidur terbagi dua, yang serius menyimak ceramah dan satu lagi yang terlihat sedikit gusar berharap tak lebih dari lima menit khatib berdiri di mimbar.

Lima menit ceramah berlangsung, yang terpejam sudah tertidur, yang tertidur sudah bermimpi, yang gusar makin gelisah. Satu persatu perangkat sholat mulai dikemas, peci, mukena, sajadah mulai dilipat. Ada yang berselonjor kaki, menekuk lutut sambil membenamkan wajah diantara kedua lututnya. Beberapa orang nampak mengubah posisi duduknya, miring ke kanan, ke kiri, ada pula yang jomplang ke belakang dengan menjadikan dua lengan sebagai penyanggah tubuh. Lihat lebih jauh ke belakang, ada yang saling ‘berceramah’, tandingan ceramah sang khatib. Ngobrol, membuat topik lain yang dianggap lebih seru ketimbang tema yang disodorkan khatib.

Kasihan sekali nasib khatib di atas mimbar. Berapa persen yang benar-benar menyimak pesan moral yang disampaikannya? Atau jangan-jangan ada khatib yang tidak peduli dengan hal demikian dan terus saja menyelesaikan baca teks ceramah di tangannya. Suka tidak suka, ada yang menyimak atau lebih suka tertidur, yang penting tugas selesai.

Lima belas menit belum juga selesai ceramah sang khatib. Padahal belah ketupat sudah menari-nari di pelupuk mata jamaah. Beberapa tempat sudah lowong, menyisakan koran-koran lusuh yang ditinggalkan begitu saja, sekaligus menjadi pekerjaan tambahan panitia penyelenggara sholat Id untuk membersihkannya. Boleh ditebak, sebagian jamaah yang bertahan mungkin hanya tidak enak meninggalkan tempat sholat. Mungkin karena orang tuanya masih bertahan, suaminya masih serius menyimak, temannya belum beranjak. Sebagian lainnya justru malu jika sendirian melenggang, sambil lirik kanan kiri andai ada jamaah lain yang beranjak pergi dan bisa dijadikan teman menanggung malu. Jamaah lainnya menanti-nanti kalimat, “demikian khutbah yang bisa saya sampaikan…” dari sang khatib.

Ada yang salah dengan pelaksanaan sholat Id kita? Semoga bisa menjadi koreksi tersendiri. Bagi kita para jamaah, juga para khatib yang bertugas menyampaikan pesan moral nan religius. Tentu saja tidak semua khatib mengalami nasib seperti ini, berdiri diantara pesan moral dan belah ketupat. Sama halnya dengan tidak semua jamaah mementingkan belah ketupat tinimbang menyelesaikan seluruh rangkaian sholat Id dengan penuh khidmat dan khusyuk. Wallaahu ‘a’lam.

Bayu Gawtama
Kelas SCHOOL of LIFE sudah dibuka, 90 orang sudah mendaftar. Cari infonya di school.of.life@hotmail.com