Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, July 30, 2003

Cerita Cinta
Episode 1: Sedetik Saja


Hari ini aku jatuh cinta.

Ya, hanya satu kalimat singkat itu yang hendak aku teriakkan keras-keras, agar semua orang tahu bahwa aku sedang jatuh cinta. Kalau perlu para malaikat diatas sana pun ikut tersenyum mendengar teriakan-teriakan cinta dariku ini. Tak mengapa orang akan terheran mengernyitkan dahinya mempertanyakan perihal jatuh cintaku ini. Bahkan baru saja teman sebelah meja di kantorku mengatakan aku sedang gila, masak sudah punya suami jatuh cinta lagi.

Ha ha, aku tertawa kecil. Biarlah orang menganggap aku gila, bukankah cinta dan gila hampir tidak ada bedanya? Tak peduli orang berkata apa, karena jatuh cintaku ini bukan dengan pria lain, melainkan dengan suamiku sendiri. Pasti Anda bertanya, kenapa baru sekarang jatuh cinta? Apakah sebelumnya tidak pernah jatuh cinta?

Empat tahun usia pernikahan memang masih dibilang seumur jagung, belum terlalu banyak kegetiran yang membenalui kasih sayang sepasang suami istri. Masih seruas jemari kelingking ukuran pahit bersamaan dengan manisnya perjalanan cinta. Tapi harus diakui, segala rutinitas keseharian seringkali menyita waktu-waktu bersama yang mau tidak mau terpaksa dikorbankan. Belum lagi extra time yang tercuri untuk aktifitas sosial diluar kerja harian, membuat kami kehilangan kesempatan untuk mencurahkan cinta. Bahkan untuk sekedar sarapan pagi bersama sebelum masing-masing antara kami berangkat ke kantor sesaat ayam baru saja bersuara, hanya karena takut terjeban kemacetan kota yang tidak akan pernah bisa dihindari.

Tetapi, hari ini aku jatuh cinta (lagi)

Salah jika Anda menebak, bahwa kemesraan malam tadi yang membuai kami dalam kehangatan hingga pagi hari yang telah membuatku begitu bahagia semenjak pagi tadi. Tentu saja Anda juga terlalu mengira-ngira menganggap serbuan ungkapan cinta suamiku yang bertubi-tubi yang menjadikan diri ini teramat bergairah sepanjang hari ini. Perlu anda tahu, semua wanita tahu, kata cinta bukan segalanya dan takkan pernah berarti apapun tanpa sedikitpun sentuhan. Tapi, bukan juga soal sentuhan … Dan bisa dipastikan bukan karena semalam sebelum semuanya berlangsung begitu mesra dan mempesonakan, kami pergi ke sebuah tempat makan romantis untuk merayakan hari jadiku, termasuk sebuah kotak hadiah yang belum sempat kubuka sampai hari ini karena terlalu sayang untuk merusak bungkus pink berhias bunga Rose diatasnya yang dirangkai dengan pita berwarna putih.

Ternyata, aku tak memerlukan jutaaan ungkapan cinta untuk bisa sesenang hari ini. Tak juga harus menyita waktu suamiku berjam-jam untuk menemaniku dan memberikan kehangatannya disatu malam tertentu. Bahkan materi. Tak sepeserpun yang harus dikeluarkannya untuk bisa menciptakan kegairahan cinta seperti saat ini. Ia hanya perlu sedetik. Ya, hanya sedetik saja …

Dan itu tercipta ketika, entah secara sadar atau tidak dia kembali menyapaku penuh lembut, yangti

Anginpun berhembus mesra menyentuh kulit halus telingaku. Seketika sekujur tubuh ini seperti baru saja tertimpa kesejukan padang ilalang nan menghijau.

Namaku Titi, semua orang dari Papa, Mama dan teman-teman selalu memanggilku Titi. Tapi sejak pertama kali kami bertemu, saat menjelang kami menikah, dan setahun pertama menikah, lelaki romantis itu selalu memanggilku, yangti. Dan malam itu dia kembali menyebutkan panggilan kesayangan itu setelah hampir dua tahun tak pernah terngiang di telingaku.

yangti

Ah, rasanya baru saja kemarin kami melewati malam pertama. (Gaw)

Cerita Cinta
Episode 1: Sedetik Saja


Hari ini aku jatuh cinta.
Ya, hanya satu kalimat singkat itu yang hendak aku teriakkan keras-keras, agar semua orang tahu bahwa aku sedang jatuh cinta. Kalau perlu para malaikat diatas sana pun ikut tersenyum mendengar teriakan-teriakan cinta dariku ini. Tak mengapa orang akan terheran mengernyitkan dahinya mempertanyakan perihal jatuh cintaku ini. Bahkan baru saja teman sebelah meja di kantorku mengatakan aku sedang gila, masak sudah punya suami jatuh cinta lagi.

Ha ha, aku tertawa kecil. Biarlah orang menganggap aku gila, bukankah cinta dan gila hampir tidak ada bedanya? Tak peduli orang berkata apa, karena jatuh cintaku ini bukan dengan pria lain, melainkan dengan suamiku sendiri. Pasti Anda bertanya, kenapa baru sekarang jatuh cinta? Apakah sebelumnya tidak pernah jatuh cinta?

Empat tahun usia pernikahan memang masih dibilang seumur jagung, belum terlalu banyak kegetiran yang membenalui kasih sayang sepasang suami istri. Masih seruas jemari kelingking ukuran pahit bersamaan dengan manisnya perjalanan cinta. Tapi harus diakui, segala rutinitas keseharian seringkali menyita waktu-waktu bersama yang mau tidak mau terpaksa dikorbankan. Belum lagi extra time yang tercuri untuk aktifitas sosial diluar kerja harian, membuat kami kehilangan kesempatan untuk mencurahkan cinta. Bahkan untuk sekedar sarapan pagi bersama sebelum masing-masing antara kami berangkat ke kantor sesaat ayam baru saja bersuara, hanya karena takut terjeban kemacetan kota yang tidak akan pernah bisa dihindari.

Tetapi, hari ini aku jatuh cinta (lagi)

Salah jika Anda menebak, bahwa kemesraan malam tadi yang membuai kami dalam kehangatan hingga pagi hari yang telah membuatku begitu bahagia semenjak pagi tadi. Tentu saja Anda juga terlalu mengira-ngira menganggap serbuan ungkapan cinta suamiku yang bertubi-tubi yang menjadikan diri ini teramat bergairah sepanjang hari ini. Perlu anda tahu, semua wanita tahu, kata cinta bukan segalanya dan takkan pernah berarti apapun tanpa sedikitpun sentuhan. Tapi, bukan juga soal sentuhan … Dan bisa dipastikan bukan karena semalam sebelum semuanya berlangsung begitu mesra dan mempesonakan, kami pergi ke sebuah tempat makan romantis untuk merayakan hari jadiku, termasuk sebuah kotak hadiah yang belum sempat kubuka sampai hari ini karena terlalu sayang untuk merusak bungkus pink berhias bunga Rose diatasnya yang dirangkai dengan pita berwarna putih.

Ternyata, aku tak memerlukan jutaaan ungkapan cinta untuk bisa sesenang hari ini. Tak juga harus menyita waktu suamiku berjam-jam untuk menemaniku dan memberikan kehangatannya disatu malam tertentu. Bahkan materi. Tak sepeserpun yang harus dikeluarkannya untuk bisa menciptakan kegairahan cinta seperti saat ini. Ia hanya perlu sedetik. Ya, hanya sedetik saja …

Dan itu tercipta ketika, entah secara sadar atau tidak dia kembali menyapaku penuh lembut, yangti

Anginpun berhembus mesra menyentuh kulit halus telingaku. Seketika sekujur tubuh ini seperti baru saja tertimpa kesejukan padang ilalang nan menghijau.

Namaku Titi, semua orang dari Papa, Mama dan teman-teman selalu memanggilku Titi. Tapi sejak pertama kali kami bertemu, saat menjelang kami menikah, dan setahun pertama menikah, lelaki romantis itu selalu memanggilku, yangti. Dan malam itu dia kembali menyebutkan panggilan kesayangan itu setelah hampir dua tahun tak pernah terngiang di telingaku.

yangti
Ah, rasanya baru saja kemarin kami melewati malam pertama. (Gaw)

Tuesday, July 29, 2003

Kiss From A Rose Seal

There used to be a greying tower alone on the sea.
You became the light on the dark side of me.
Love remained a drug that's the high and not the pill.
But did you know,
That when it snows,
My eyes become large and,
The light that you shine can be seen.

Baby,
I might compare you to a kiss from a rose on the grey.
Ooh,
The more I get of you
Stranger it feels, yeah.
And now that your rose is in bloom,
A light hits the gloom on the grey.

There is so much a man can tell you,
So much he can say.

You remain,
My power, my pleasure, my pain.
Baby, to me you're like a growing addiction that I can't deny
Won't you tell me is that healthy, baby?

But did you know,
That when it snows,
My eyes become large and the light that you shine can be seen.

Baby,
I might compare you to a kiss from a rose on the grey.
Ooh, the more I get of you
stranger it feels, yeah.

Now that your rose is in bloom.
A light hits the gloom on the grey,

I've been kissed by a rose on the grey,
I've been kissed by a rose
...And if I should fall, at all
I've been kissed by a rose

There is so much a man can tell you,
So much he can say.

You remain
My power, my pleasure, my pain.

To me you're like a growing addiction that I can't deny
Won't you tell me is that healthy, baby.

But did you know,
That when it snows,
My eyes become large and,
the light that you shine can be seen.

Baby,
I might compare you to a kiss from a rose on the grey.
Ooh, the more I get of you
Stranger it feels, yeah

Now that your rose is in bloom,
A light hits the gloom on the grey.

Yes I compare you to a kiss from a rose on the grey.
Ooh, the more I get of you
stranger it feels, yeah.

Now that your rose is in bloom.
A light hits the gloom on the grey,

Now that your rose is in bloom.
A light hits the gloom on the grey
Seperti Air

Tuangkan air ke dalam gelas, maka ia akan berbentuk menyerupai gelas. Jika air itu dimasukkan ke dalam bak, iapun akan mengikuti bentuk bak tersebut, entah bundar ataupun persegi. Segala bentuk, semua sudut yang ditawarkan, air selalu bisa mengisi, memenuhi dan tak pernah membiarkan sisi-sisi wadah tak tersentuh olehnya. Namun air tetap air, meski harus berbentuk persegi atau bundar, tempat kecil atau besar, ia tetap berbentuk cair. Seperti air, dimanapun berada hendaknya kita bisa beradaptasi dengan lingkungan dan ketentuan yang berlaku. Tapi tidak berarti harus tenggelam dalam kungkungan dan batas-batas ketentuan yang tak normal, bukan juga larut bersama putaran kehidupan yang tak semestinya, apalagi hanyut terbawa arus gelombang realita yang seringkali menggiurkan namun menyesatkan. Seperti air, keberadaan manusia di muka bumi hendaknya bisa menyentuh setiap waktu, setiap tempat yang disinggahinya, bukan tanpa makna.

Air senantiasa bergerak, dimanapun ada celah dan ruang, sudut dan sisi ia pasti menemukan jalan. Air cenderung bergerak kebawah, dua hal yang menjadikannya keatas, oleh ajakan awan yang kemudian menjadikannya hujan dan akhirnya kembali jatuh ke bawah (bumi), dan satu lagi, oleh mesin buatan manusia untuk pelbagai keperluan, namun yang pasti ujungnya selalu ke bawah. Air yang berdiam diri, terjebak dalam kubangan tak berpembuangan, akan mengering, berwarna yang tak lagi bening dan akhirnya tak berguna sama sekali, bahkan bisa menjadi sumber penyakit akibat dihinggapi bermacam bakteri. Yang demikian, tak lagi bersih dan suci, hingga tak layak untuk segala keperluan manusia. Seperti air, tak pernah diam, selalu beranjak setiap saat, begitulah semestinya manusia. Ada dua manusia yang tak bergerak, malas atau mati. Mereka yang tak bergerak, berdiam diri dan tak melakukan aktifitas yang bermanfaat, maka tak ubahnya ia seperti makhluk tak bernyawa. Keberadaannya tak bedanya dengan ketiadaannya. Keberadaannya tak dirasa manfaatnya, ketiadaannya tak dirisaukan. Manusia yang tak memiliki aktifitas, tak bekerja dan menggunakan potensi dan kelebihannya, adalah manusia yang tak berguna. Seperti air, jikapun harus terus bergerak, hendaknya manusia tak pernah lupa bahwa ia punya tempat kembali. Manusia bermula dari bawah akan kembali jatuh ke bawah. Mengawali hidup tanpa apapun, juga tanpa apapun saat mengakhirinya. Kita berasal dari tanah akan kembali ke tanah.

Air tak pernah bisa dibendung, dan terbendung. Tertutup satu jalan di depan, ia akan berusaha mencari jalan lain dan terus mencari sampai jalan itu benar-benar didapatinya. Coba perhatikan, air tak pernah menyia-nyiakan lubang bocor di ember atau bak, ia akan mengalir dengan deras menuju kebebasan bergerak dan keberhasilan. Seperti air, tidak seharusnya manusia menyerah pasrah dan putus asa setiap kali membentur halangan dalam berupaya meraih cita-cita. Berpikir cepat, inovatif, kreatif mencari celah menuju cita-cita, harus menjadi bagian dari sifat diri. Dan satu hal lagi, jangan pernah mengabaikan sekecil apapun kesempatan yang terbuka untuk secepat kilat menerobosnya, karena bisa jadi, itu jalan satu-satunya meraih kesuksesan.

Saat panas menyengat, membuat tenggorokan terasa kering, airlah tumpuan kita untuk melepaskan dahaga. Tubuh yang kotor, oleh peluh dan debu, air menjadi satu harapan untuk bisa membersihkannya. Bahkan untuk menyegarkan diri, tentu air pula yang dicari, baik sekedar cuci muka, mandi ataupun berenang. Manusia tak pernah bisa membayangkan hidup tanpa air, seperti halnya manusia tak juga bisa membayangkan hidup tanpa bumi tempat berpijak. Seperti air, sebagai makhluk yang diciptakan dengan bentuk yang lebih sempurna ketimbang makhluk lainnya, seharusnya setiap kita memiliki sifat asertif, senantiasa hadir saat manusia lain membutuhkannya, selalu memberikan yang terbaik tanpa terlebih dulu diminta. Sehingga pada masanya, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi seperti apapun, kita selalu dicari, dibutuhkan dan dipentingkan. Sungguh merugi manusia yang kehadirannya tak pernah diperhitungkan.

Air bisa dibuat panas mendidih hingga 100 derajat, bisa juga dibuat dingin dan membeku hingga titik dibawah nol. Namun air tetap bening tak berwarna, dalam keadaan panas atau beku. Ia tetap bernama air jika tetap bening tak berwarna, jika sudah berubah warna menjadi kuning atau merah, mungkin saja namanya sirup, jika ia hitam, hampir pasti orang menyebutkan kopi. Atau ketika berwarna kecoklatan, mungkin kehitaman, meski masih bernama air, tapi terdapat embel-embel, air kotor, air kali atau juga air got. Seperti air, panas atau dingin tetap melegakan, sebaiknya manusia, dalam keadaan apapun tetap bisa menyenangkan manusia lainnya. Sehingga manusia lain tetap betah bertetangga, hidup bersama dan berdekatan. Seperti air, untuk menjadi diri sendiri, setiap manusia harus mempertahankan warna fitrahnya. Fitrah manusia pada kesucian dan kebenaran, dan sudah barang tentu, manusia yang tak lagi pada fitrahnya itu mungkin saja tak layak lagi menyandang predikat manusia. Atau sekiranya masih berwujud manusia, namun hakikatnya tak lagi manusia. Misalnya, manusia yang mengambil barang orang lain, biasanya digelari maling, pencuri, copet, jambret atau lainnya. Manusia yang menggunakan harta perusahaan untuk kepentingan pribadi, orang mengenalnya sebagai koruptor. Manusia yang gila kekuasaan, sering dicap diktator. Bahkan ada manusia yang perilakunya seperti hewan, entah sebutan apa yang pantas untuk yang semacam ini. Dan masih banyak lagi sebutan-sebutan yang dilatar belakangi oleh perilaku manusia itu sendiri.

Air tak pernah menyatu dengan minyak. Kita semua tahu itu. Air dan minyak, bisa dijadikan simbol ketidakmungkinan dua zat berbeda untuk bersatu. Bisa juga sebagai simbol penolakan kebathilan oleh kebenaran. Seperi hitam dan putih yang tak pernah sama, jika dipadukan ia akan menjadi abu-abu. Seperti air, wajib menolak setiap hal yang bertentangan dengan kebenaran. Untuk diketahui, kita memiliki daya resistensi untuk menentang kebathilan yang sungguh-sungguh bukan fitrah manusia. Namun jika resistensi itu tak digunakan, bukan tidak mungkin banyak manusia yang menjadi abu-abu, alias munafik, terkadang terlihat seperti putih padahal ia hitam.

Maka, mengalirlah seperti air .... (01/05/2003, Bayu Gautama, thanks God, for Your Present)


Saturday, July 26, 2003

I Believe I Can Fly R Kelly

I used to think that I could not go on
And life was nothing but an awful song
But now I know the meaning of true love
I'm leaning on the everlasting arms
If I can see it, then I can do it
If I just believe it, there's nothing to it

I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar
I see me running through that open door
I believe I can fly
I believe I can fly
I believe I can fly

See I was on the verge of breaking down
Some times silence can seem so loud
There are miracles in life I must achieve
But first I know it starts inside of me

If I can see it, then I can be it
If I just believe it, there's nothing to it

I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar
I see my running through that open door
I believe I can fly
I believe I can fly
Oh I believe I can fly

Cause I believe in me

If I can see it, then I can do it
If I just believe it, there's nothing to it

I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar
I see my running through that open door
I believe I can fly
I believe I can fly
I believe I can fly
If i just spread my wings
I can fly
i can fly
I can fly
If I just spread my wings

I can fly
I can fly
I can fly
hum
fly!!!!!!

Friday, July 25, 2003

Love Will Keep Us Alive Eagles

I was standing all alone against the world outside
I was searching for a place to hide
Lost and lonely now I've found the will to survive
When we're hungry love will keep us alive

Don't you worry sometimes you've just gotta let it ride
The world is changing right before your eyes
Now I've found you there's no more emptiness inside
When we're hungry love will keep us alive

I would burn (will die) for you climb the highest mountain
There's nothing I wouldn't do



Sacrifice Elton John

It's a human sign when things go wrong
When the scent of her lingers
And temptation's strong
Into the boundary
Of each married man
Sweet deceit comes calling
And negativity lands
Cold cold heart
Hard done by you
Some things look better baby
Just passing through
And it's no sacrifice
Just a simple word
It's two hearts living
In two separate worlds
But it's no sacrifice
No sacrifice
It's no sacrifice at all
Mutual misunderstanding
After the fact
Sensitivity builds a prison
In the final act
We lose direction
No stone unturned
No tears to damn you
When jealousy burns



Love Me Tender Elvis Presley

Love me tender,
love me sweet,
never let me go.
You have made my life complete,
and I love you so.
Love me tender,
love me true,
all my dreams fulfilled.
For my darlin' I love you,
and I always will.

Love me tender,
love me long,
take me to your heart.
For it's there that I belong,
and we'll never part.

Love me tender,
love me true,
all my dreams fulfilled.
For my darlin' I love you,
and I always will.

Love me tender,
love me dear,
tell me you are mine.
I'll be yours through all the years,
till the end of time.

Love me tender,
love me true,
all my dreams fulfilled.
For my darlin' I love you,
and I always will.




Thursday, July 24, 2003

Rahasia Kasih Sayang

Seorang gadis kecil nampak tersedu karena tak memilki pakaian yang cukup bagus untuk dikenakan pada hari raya. Sementara di sekelilingnya, anak-anak lain bercanda riang dengan pakaian-pakaian mereka yang bagus. Tak berapa lama, seseorang mendekatinya dan bertanya gerangan apa yang membuatnya sedih.

“Aku tak punya pakaian bagus seperti mereka...” kata gadis itu murung.

Ketika ditanya keberadaan orangtuanya, laki-laki paruh baya yang tadi bertanya merasa terharu, karena ayah si gadis telah gugur dalam peperangan bersama Rasulullah dan kaum mukminin yang lain. Kemudian,

“Maukah kamu kalau Muhammad Rasulullah menjadi ayahmu, Aisyah menjadi ibumu dan Fatimah sebagai saudara perempuanmu?”. Segera gadis itu menyadari bahwa yang sedari tadi menyapanya tidak lain Rasulullah Saw.

Satu kata yang bisa menyimpulkan kisah diatas adalah Kasih Sayang. Kasih sayang seorang Rasul terhadap ummatnya, kasih sayang seorang ayah terhadap anak, kasih sayang mukmin terhadap mukmin lainnya. Rasulullah-lah yang kemudian dalam berbagai ajarannya menjadikan kasih sayang sebagai satu prinsip penting dan bagian utama ajaran Islam.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah menegaskan perintah berkenaan dengan Kasih Sayang tersebut. “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu ...” (QS. 49:10).

Jelaslah, bahwa apa yang dicontohkan Rasulullah kepada ummatnya untuk saling berkasih sayang merupakan cerminan dari perintah Allah karena hakikat mukmin yang bersaudara itu. Dalam banyak hadistnya Rasulullah menegaskan pentingnya memelihara kasih sayang dan cinta dalam persaudaraan.

Tentu bukan tanpa makna sehingga Rasulullah begitu menekankan kasih sayang ini agar menjadi koridor pergaulan antara sesama makhluk Allah. Tidak sekedar sesama manusia (terlepas dia muslim atau bukan), tapi juga terhadap makhluk Allah lainnya. Makna yang bisa ditangkap, tidak hanya dari hakikat manusia yang membutuhkan cinta dan kasih sayang dalam kehidupannya, melainkan jauh lebih luas dari pada itu.

Dennis E Waitley, ahli nasional tentang prestasi tingkat tinggi dan pengembangan pribadi asal AS, pernah menulis sebuah buku “Seeds Of Greatness” (1993) yang mengetengahkan 10 Benih Kebesaran, rahasia sukses total yang tersimpan secara sangat baik. Benih pertama yang dikemukakan Waitley dalam buku yang sudah diterjemahkan dalam 32 bahasa itu adalah “Benih Harga Diri”. Dalam bab tersebut ia bercerita tentang “Buckwheat” seekor anjing Yorkshire Terrier yang lucu dengan rambut panjang. Suatu ketika, setelah bermain lumpur di lapangan, rambut cantik anjing tersebut tidak bisa dibersihkan, bahkan harus dipotong hingga nyaris habis.

Sesampainya di rumah, Buckwheat bukan lagi anjing yang cantik dan lucu, rambutnya yang habis membuatnya lebih mirip tikus raksasa dari film cerita khayal ilmiah di TV saat itu. Leah dan Halie, anak pemilik anjing tersebut tertawa dan mengolok-olok Buckwheat karena tidak lagi menyerupai Yorkshire yang cantik. Reaksi Bukcwheat terhadap olok-olokan itu adalah dengan bersembunyi di bawah sofa ruang keluarga. Gemetaran dan ketakutan. Ia duduk di sudut di dalam rumah selama dua hari dan gemetar tak tertahankan kalau ada orang yang mendekatinya. Ia harus terus disayang-sayang, dipeluk, dan dielus-elus oleh keluarga selama beberapa hari sebelum ia yakin bahwa ia masih bisa diterima.

Waitley mengatakan, dirinya menceritakan kisah tersebut karena ada satu pelajaran yang sangat penting. Ketika Buckwheat kehilangan rambutnya yang cantik, ia kehilangan lebih dari kecantikan. Tawa yang mengejek menyatakan kepadanya bahwa ia tidak lagi termasuk dalam keluarga. Gemetarannya tidak terutama disebabkan oleh rasa dingin; ia merasa takut, sendirian, dan ditolak. Pendeknya, harga diri Buckwheat merosot sampai nol. Menggigilnya ketakutan tidak jauh berbeda dari gemetarnya beribu-ribu manusia yang bersembunyi dalam bayang-bayang penolakan. Dan kembalinya harga diri Buckwheat – yang hanya dapat dicapai dengan banyak elusan dan kasih sayang – dengan sempurna menggambarkan hadiah paling berharga yang dapat diberikan atau diterima: hadiah kasih sayang.

Ada banyak definisi dan interpretasi tentang kasih sayang. Waitley menterjemahkan kasih sayang sebagai penerimaan tanpa syarat dan mencari kebaikan. Dr. Gerald Jampolsky, seorang psikiater terkenal, penulis dan pendiri Center for Attitudinal Healing (pusat penyembuhan sikap) di Tiburon, California mengajar kepada anak-anak dan orang dewasa yang mengalami krisis emosional dan fisik bahwa “kasih sayang melepaskan rasa takut”.
Kasih sayang adalah nilai yang terbaik dari segala-galanya. Namun untuk bisa mencurahkan kasih sayang kepada orang lain, semestinya perasaan kasih sayang itu sudah ada terlebih dahulu dalam diri kita. Jika tidak terdapat perasaan tentang nilai yang dalam dan intern di dalam diri kita, maka kita tidak mempunyai apa-apa untuk memberi atau membagi dengan orang lain. Kita tidak dapat membagi atau memberi suatu emosi kepada orang lain, kecuali jika kita pertama-tama mempunyai emosi itu di dalam diri kita sendiri.

Ada teman yang pernah bertanya, “Adakah kaitan antara kesuksesan dengan pengalaman hidup masa lalu dan saat ini?”. Setelah mengetahui rahasia kasih sayang seperti diatas, dengan tenang saya mengatakan, Kasih sayang dapat menumbuhkan harga diri yang sangat berharga bagi seseorang. Dan itulah (harga diri) salah satu modal utama seseorang dalam meraih kesuksesan. (Bayu Gautama, 14/03/2003)

Wednesday, July 23, 2003

She

She
May be the face I can't forget
A trace of pleasure or regret
May be my treasure or the price I have to pay
She may be the song that summer sings
May be the chill that autumn brings
May be a hundred different things
Within the measure of a day.

She
May be the beauty or the beast
May be the famine or the feast
May turn each day into a heaven or a hell
She may be the mirror of my dreams
A smile reflected in a stream
She may not be what she may seem
Inside her shell

She
Who always seems so happy in a crowd
Whose eyes can be so private and so proud
No one's allowed to see them when they cry
She may be the love that cannot hope to last
May come to me from shadows of the past
That I'll remember till the day I die

She
May be the reason I survive
The why and wherefore I'm alive
The one I'll care for through the rough and ready years
Me I'll take her laughter and her tears
And make them all my souvenirs
For where she goes I've got to be
The meaning of my life is
She

Menjadi Manusia Kreatif

Pernah nonton film Mission Impossible? Film layar lebar yang dibintangi oleh Tom Cruise itu sebenarnya pernah menjadi film seri yang diputar setiap minggu di sebuah TV swasta di tahun 1990-an. Satu hal yang menarik dari film tersebut, se-impossible apapun misi yang diemban oleh Ethan Hawk (diperankan oleh Tom) namun endingnya selalu saja mengisahkan keberhasilan. Satu hal yang tergambarkan dengan jelas dalam film tersebut (baik layar lebar maupun seri-nya) adalah kebiasaan para tokoh yang tergabung dalam tim pengemban ‘misi yang tidak mungkin’ alias ‘mustahil’ dicapai itu untuk senantiasa memiliki plan A, plan B, bahkan plan C, sehingga hampir setiap film itu diakhiri dengan keberhasilan menjalankan misi.

Norman Vincent Peal, menuliskan buku best seller, You Can If You Think You Can , sebuah buku yang memberikan motivasi besar kepada para pembacanya untuk optimis meraih hal-hal yang sesungguhnya ‘bisa’ diraih.

Antara Norman (dan bukunya) dengan film Mission Impossible memang tidak ada kaitannya, hanya saja jika kita mau melihat sisi pelajaran yang mau diambil, tentu ada kaitannya. Roger Von Oech, lewat bukunya A Whack on Side of the Head, bisa menjelaskan keterkaitan antara keduanya. Karena lewat buku tersebut, Von Oech mengetengahkan sepuluh kebiasaan manusia kreatif, dimana tertulis “suka mencari jawaban kedua” sebagai kebiasaan pertama seorang yang kreatif. Menurut Oech, Anda jangan hanya punya satu solusi yang berati hanya punya satu pilihan. Kreativitas meminta Anda menemukan jawaban kedua yang mungkin lebih tepat. Nah, kesuksesan Ethan Hawk mengemban misi yang dianggap tidak mungkin dicapai itu adalah karena kebiasaan timnya untuk menyiapkan lebih dari satu solusi. Dan Norman menguatkannya dengan satu motivasi, bahwa tidak satupun yang ada dihadapan manusia itu tidak bisa diraih.

Dan yang perlu diketahui, Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat terakhir telah jauh terlebih dulu memberikan motivasi kepada setiap mukmin, bahwa Dia tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Masalahnya adalah sifat manusia yang sering kali memperturutkan hawa nafsunya, yang dalam hal ini salah satunya adalah sifat malas, dan enggan berusaha keras. Sehingga kemudian yang tampak didepannya adalah sebuah gunung batu menjulang tinggi yang tak mungkin dilewati, sebuah tembok raksasa yang mustahil ditembus.

Padahal sejarah pun mencatat, Rasulullah dengan 300 pasukan mukmin mampu memukul mundur pasukan kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dalam perang Badar. Orang dulu berpikir ruang angkasa adalah sesuatu yang invisible, namun para ahli Rusia membuktikan dengan mengirimkan Yuri Gagarin ke luar angkasa menggunakan Sputnik. Bahkan sekarang, orang sudah menjajaki pariwisata luar angkasa meski harus merogoh kocek yang tak sedikit. Sejarah lain juga ditorehkan oleh George Leigh Mallory dan Andrew Irvine yang disebut-sebut sebagai orang pertama menapakkan kakinya di puncak tertinggi dunia, Mount Everest pada 1924. Kini ribuan pendaki sudah membuktikan bahwa puncak tertinggi itu bisa ditapaki.

Menjadi manusia kreatif, tambah Oech, tidak cukup hanya dengan memiliki satu kebiasaan diatas. Oech juga memaparkan tentang kebiasaan lainnya, yakni suka berpikir lunak. “Kreativitas adalah pengembangan hasil otak kiri yang bersikap keras terhadap ide oleh otak kanan yang lunak yang mengabaikan batasan dan lunak terhadap berbagai ide,” kata Oech.

Kebiasaan ketiga adalah Suka menggugat aturan. Jika aturan telah membatasi pilihan maka Anda harus mencari tahu mengapa suatu aturan dibuat. Mungkin alasan itu tidak relevan lagi. Mungkin sekarang ada pemecahannya yang lebih efektif. Suka mencoba kemustahilan, adalah yang selanjutnya. Oleh karena itu, jangan sekali pun pernah membuang ide sepintas yang kelihatan mustahil. Merenungkan lagi ide yang muncul dapat memicu berbagai kemungkinan baru.

Toleran terhadap hal dilematis, disebut sebagai kebiasaan kelima. Dalam kenyataan, sering ide kretif lahir dari situasi dilematis atau kepepet. Adalah jarang inovasi muncul dari pola pikir yang tunggal, linier dan pasti. Kemudian yang keenam adalah, Melihat kesalahan sebagai peluang. Ada orang yang suka mencari aman dan menghindari dari kemungkinan salah atau gagal. Sesungguhnya kesalahan justru menempatkan kita memperoleh hal yang tak didapat bila melakukan dengan benar.

Gede Prama, pernah menyebut Dedi ‘Miing’ Gumelar sebagai satu dari sekian orang yang dijadikan sahabatnya. Alasannya, tidak banyak orang yang bisa membuat orang lain tertawa, meski tidak meninggalkan aspek kecerdasannya. Nampaknya, untuk yang satu ini, Oech juga sepakat, karena ia menempatkan Suka humor dan santai sebagai kebiasaan orang kreatif pada urutan selanjutnya. Memang ide kreatif muncul ketika terdesak situasi, tapi lebih banyak ide brilian dan segar lahir dari suasana santai dan gembira. Saat kita santai dan gembira pertahanan mental jadi longgar sehingga tidak pusing terhadap aturan, hal mustahil maupun yang keliru.

Orang yang sibuk melihat dunia dalamnya sendiri akan kehilangan banyak ide. Meninjau dunia luar adalah wahana meraih ide baru untuk dunia dalam kita. Maka dari itu, Suka meninjau dunia luar sebaiknya menjadi satu kebiasaan tersendiri bagi orang-orang kreatif. Selain itu, Berani berpikir beda seolah menjadi ciri yang paling khas dari orang kreatif. Umumnya orang berusaha menyesuaikan dengan budaya organisasinya. Padahal tekanan organisasi bisa memasung kretaivitas. Jadi, beranilah pro terhadap hal yang tidak disetujui mayoritas walau tidak harus terlalu terbuka. Dalam hal ini, bukan berarti mengesampingkan kebenaran, karena disini akan lebih bernilai jika sikap satu ini untuk berbeda terhadap mayoritas ketidakbenaran.

Dan yang terakhir disebutkan Oech, adalah senantiasa Terbuka terhadap gagasan baru. Orang yang mengaku bukan orang yang kreatif berarti telah memasung diri sendiri. Ingatlah, bahwa ide akan berkembang bila kita memberinya ruang. Baik dengan tambahan dari luar diri Anda atau tidak menekan ide yang telah dipunyai.

Sudahkah menjadi orang kreatif? Mulailah hari ini juga! (Bayu Gautama, 30/10/2002)

Tuesday, July 22, 2003

"Jangan dikira cinta datang dari keakraban yang lama
dan karena pendekatan yang tekun. Cinta adalah
kecocokan jiwa dan jika itu tidak pernah ada, cinta
tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan
abad"
(Kahlil Gibran)


Love Someone

Shakespeares Hamlet berkata :

"If you love someone so bad, you will let it go.
if it comes back to you, it is your forever.
If it doesn't, then it was never yours to begin with."

(gettooo ....)


Dimanapun engkau,
Dan dalam keadaan apapun,
Berusahalah dengan sungguh-sungguh
Tuk menjadi seorang pencinta

Tatkala cinta benar-benar tiba
Dan menyelimutimu
Maka selamanya kau akan menjadi seorang pencinta.
(Kearifan cinta, Jalaluddin Rumi)


Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan
Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan
Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta
Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada
Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari
Dan sebuah nyanyian kesyukuran tersungging di bibir senyuman

(Kahlil Gibran)







Monday, July 21, 2003

Lima Detik Pertama Penentu Sukses

Sukses, mungkin tidak satupun manusia di dunia ini yang tak ingin meraihnya, karena bahkan seorang yang berencana bunuh diripun tak ingin mengalami kegagalan. Maksudnya, orang akan menanggung malu teramat besar jika upaya bunuh dirinya ternyata tidak berhasil, meskipun seharusnya ia bersyukur. Mungkin terlalu ekstrim jika yang diambil contoh adalah soal bunuh diri, namun hal itu sekedar ingin memberikan gambaran bahwa untuk hal paling hina pun orang berusaha maksimal untuk merealisasikannya.

Apapun, untuk meraih sukses, kuncinya adalah rencana yang matang dan usaha yang maksimal untuk menjalankan semua yang telah terencana itu. Dalam prinsip manajemen, langkah ini biasa dikenal dengan, Rencanakan Apa Yang Hendak Dikerjakan, dan Kerjakan Apa yang Sudah Direncanakan. Artinya, jika keluar dari prinsip tersebut, bisa jadi satu keniscayaan bahwa kegagalan segera menghampiri Anda.

Namun, tahukah Anda apa yang paling menentukan dari semua proses awal menuju kesuksesan ketika hendak memulai satu upaya merealisasikan semua rencana? Rahasia sukses seseorang dalam meraih semua impiannya, entah itu berkenaan dengan karir, hubungan interpersonal atau apapun yang menjadi obsesinya ternyata ada pada lima detik pertama setiap langkah awalnya. Lima detik begitu menentukan? Tepat! Karena yang harus Anda lakukan pada lima detik pertama itu adalah kunci sukses nomor satu yang tidak boleh dilewatkan, satu hal yang sangat mudah dan praktis untuk dilakukan: Tersenyum. David J Lieberman dalam sebuah buku laris yang berjudul, Get Anyone To Do Anything menyebutkan, taktik nomor satu untuk menciptakan kesan pertama yang luar biasa tetapi mudah dilakukan adalah: Tersenyum.

Mengapa senyum? Jangan pernah pernah menganggap sepele tersenyum, karena Rasulullah pun memberikan nilai sedekah untuk setiap senyum yang kita berikan kepada saudara kita. Selain itu, senyum mampu menciptakan empat hal yang luar biasa: Menimbulkan rasa percaya diri, kebahagiaan, dan semangat. Dan yang lebih penting, tersenyum menandakan penerimaan yang tulus.

Orang yang tersenyum dianggap sebagai orang yang penuh percaya diri karena ketika kita sedang grogi atau tidak yakin dengan diri kita atau sekitar kita, kita cenderung untuk tidak tersenyum. Tentu saja tersenyum menimbulkan kebahagiaan sehingga akan mempertemukan kita kepada orang-orang yang bahagia karena kita melihat mereka dengan cara yang positif. Semangat sangat penting untuk menciptakan kesan yang baik karena semangat itu dapat menular kepada orang lain. Dengan tersenyum menunjukkan bahwa Anda menyenangi tempat dimana Anda berada dan senang bertemu dengan orang yang Anda temui sehingga pada gilirannya dia akan semakin tertarik untuk bertemu Anda. Pada akhirnya, tersenyum menunjukkan penerimaan yang tulus dan menyebabkan orang lain tahu bahwa Anda mau menerima dia dengan tulus.

Anda tentu masih ingat pesan sebuah iklan produk parfum pria yang pernah ditayangkan di TV yang berbunyi, “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda …”. Ya, kesan pertama, itulah yang harus Anda ciptakan untuk bisa memulai segalanya lebih lancar sehingga kesuksesan seolah sudah digenggaman Anda. Dan tersenyum, jelas cara yang paling ampuh untuk menciptakan kesan pertama yang mengagumkan. Berkenaan dengan kesan pertama ini, ada sesuatu yang disebut pengaruh pertama, yakni sebuah proses dimana kesan pertama kita terhadap orang lain menyebabkan kita menilai perilaku berikutnya atas dasar kesan pertama kita. Ini artinya, kesan pertama kita terhadap seseorang sangat penting karena segala sesuatu yang kita lihat dan kita dengar selanjutnya disaring melalui pendapat kita yang pertama. Akibatnya, Anda menciptakan citra orang tersebut sebagaimana ketika mula-mula Anda bertemu dengannya dan Anda melihat perilakunya pada masa-masa selanjutnya melalui citra ini. Jadi, apabila kesan pertama seseorang terhadap Anda baik, maka dia akan cenderung lebih baik dalam menilai anda pada masa-masa selanjutnya.

Dimanapun, kapanpun, bersama siapapun, sedang apapun ketika Anda tengah berinteraksi dengan orang lain, jadikan senyum sebagai modal utama Anda. Senyum bisa menjadi senjata yang paling ampuh dalam berbagai kondisi, seperti hubungan interpersonal dan interelasi, saat interview, wawancara dan lain sebagainya. Sebagai ingatan, jangan pernah sia-siakan momentum awal (detik-detik pertama) untuk tidak menjadikannya sebaik mungkin, karena percakapan dan hubungan Anda selanjutnya akan disaring melalui momentum awal ini, dengan demikian akan menciptakan kesan yang sangat baik. Itulah sebabnya mengapa tersenyum itu sangat penting. Lakukanlah dengan segera dan senyum akan menjelaskan banyak hal tentang diri Anda: Semuanya Positif. (Bayu Gautama, 18/12/2002)
Seputih Melati

Melati tak pernah berdusta dengan apa yang ditampilkannya. Ia tak memiliki warna dibalik warna putihnya. Ia juga tak pernah menyimpan warna lain untuk berbagai keadaannya, apapun kondisinya, panas, hujan, terik ataupun badai yang datang ia tetap putih. Kemanapun dan dimanapun ditemukan, melati selalu putih. Putih, bersih, indah berseri di taman yang asri. Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya. Pada angin ia menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu-debu itu agar ianya tetap putih berseri. Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa. Kekanan ia ikut, ke kiri iapun ikut. Namun ia tetap teguh pada pendiriannya, karena kemanapun ia mengikuti arah angin, ia akan segera kembali pada tangkainya.

Pada hujan ia menangis, agar tak terlihat matanya meneteskan air diantara ribuan air yang menghujani tubuhnya. Agar siapapun tak pernah melihatnya bersedih, karena saat hujan berhenti menyirami, bersamaan itu pula air dari sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes. Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang, karena hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya. Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya, untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran. Karena juga, hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan asanya. Tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk.

Pada tangkai ia bersandar, agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya, menserikan alam. Agar kelak, apapun cobaan yang datang, ia dengan sabar dan suka cita merasai, bahkan menikmatinya sebagai bagian dari cinta dan kasih Sang Pencipta. Bukankah tak ada cinta tanpa pengorbanan? Adakah kasih sayang tanpa cobaan?

Pada dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya. Karena dengan hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna putih. Jika daun itu tak lagi hijau, atau luruh oleh waktu, kepada siapa ia harus meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali membuatnya tak lagi putih?

Pada bunga lain ia bersahabat. Bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik, karena masing-masing memahami tugas dan peranannya. Tak pernah melati iri menjadi mawar, dahlia, anggrek atau lili, begitu juga sebaliknya. Tak terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena ia tahu semua fungsinya sebagai putih.

Pada matahari ia memohon, tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan sinarnya yang menghangatkan. Agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh yang telah beku oleh pekatnya malam. Sinarnya yang menceriakan, bias hangatnya yang memecah kebekuan, seolah membuat melati merekah dan segar di setiap pagi. Terpaan sinar mentari, memantulkan cahaya kehidupan yang penuh gairah, pertanda melati siap mengarungi hidup, setidaknya untuk satu hari ini hingga menunggu mentari esok kembali bertandang.

Pada alam ia berbagi, menebar aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap jiwa yang bersamanya. Indah menghiasharumi semua taman yang disinggahinya, melati tak pernah terlupakan untuk disertakan. Atas nama cinta dan keridhoan Pemiliknya, ia senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati baru, agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang putih. Yang tetap berseri disemua suasana alam.

Pada unggas ia berteriak, terombang-ambing menghindari paruhnya agar tak segera pupus. Mencari selamat dari cakar-cakar yang merusak keindahannya, yang mungkin merobek layarnya dan juga menggores luka di putihnya.

Dan pada akhirnya, pada Sang Pemilik Alam ia meminta, agar dibimbing dan dilindungi selama ia diberikan kesempatan untuk melakoni setiap perannya. Agar dalam berperan menjadi putih, tetap diteguhkan pada warna aslinya, tidak membiarkan apapun merubah warnanya hingga masanya mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas dan tanggungjawabnya. Jika pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap sebagai melati, seputih melati. Dan orang memandangnya juga seperti melati.

Dan kepada melatiku, tetaplah menjadi melati di tamanku. Karena, aku akan menjadi angin, menjadi hujan, menjadi tangkai, menjadi matahari, menjadi daun dan alam semesta. Tetapi takkan pernah menjadi debu atau unggas yang hanya akan merusak keindahannya, lalu meninggalkan melati begitu saja. (Bayu Gautama, 09/05/2003 )

Wednesday, July 16, 2003

(Cuma) Sekantong Gorengan ...

Seorang anak belasan tahun terduduk lemas di bawah pohon di pinggiran jalan. Matanya yang sayu tampak tengah mengamati antrian mobil di sepanjang jalan Wijaya, Jakarta Selatan. "Mobil-mobil mewah" pikirnya. Sejenak kuperhatikan matanya menerawang entah apa yang dipikirkannya, namun yang kutahu pasti ia sangat lelah. Itu bisa bisa dilihat dari seikat sapu lidi yang bertengger bersama tubuhnya di pohon rindang, juga seonggok sampah dalam sebuah keranjang besar. Kutahu, ia seorang penyapu jalanan yang setiap pagi tak pernah absen mengukur jalanan kota.

Tak kuasa rasanya kaki ini terus melangkah tanpa berhenti menyapanya. Matanya yang sayu namun tajam itu seperti menusuk hati ini dan memaku kuat kaki-kaki ini untuk tak terus berlalu. Bukan, bukan mobil-mobil mewah itu yang membuatnya menerawang, aku yakin, itu hanya pelampiasan satu rasa yang sampai pagi ini ditahannya. Dan kini, dari matanya, juga gerak lemah tubuhnya, aku bisa menangkap rasa yang tertahan itu.

"Sudah makan dik?" sapaku dengan senyum yang kupaksakan semoga menjadi yang termanis agar ia tak merasa sungkan atau takut.

"Belum ..." Benar dugaanku. Tubuhnya bergerak sedikit bergeser semakin merapat dengan pohon, namun matanya terus mengira-ngira siapa gerangan yang menyapanya. "Ini, ambillah ..." sebungkus gorengan yang baru saja kubeli di Prapatan dekat lampu merah serta sebotol Aqua langsung menjadi miliknya. Seperti menggotong gunung terbesar di dunia rasanya jika aku terus mendekap makanan kecil tersebut tanpa peduli rasa lapar yang ditahan anak itu.

"Nggak ... nggak usah ..." duh, ingin sekali hati ini menangis. Sudah pasti kutahu ia sangat lapar, tapi kenapa masih menolak pemberianku. Hmm, mungkin senyumku kurang manis, atau bisa jadi ia masih menangkap kekurang-ikhlasanku menyerahkan sarapan pagiku kepadanya. Bisa saja, mata hatinya merasai beratnya tangan ini saat terhulur bersama bungkusanku. Bukan tidak mungkin ia mampu melihat lebih dalam niat yang tersembul bersamaan dengan uluran tangan ini, yakni sekedar ingin mendapatkan pujian atau perhatian dari sekeliling.

Ah tidak. Takkan kubiarkan itu terjadi. Kulatih wajah dan bibirku untuk bisa memancarkan senyum terindah yang menyejukkan. Kurangkai betul-betul kalimat yang semestinya keluar dari mulut ini agar tak menakutkannya lagi, dan kuayun-ayunkan tangan ini seperti senam kesegaran jasmani yang entah sudah berapa tahun tak pernah kulakukan lagi, agar tangan ini begitu ringan saat terhulur. Ahaaa ... hatiku berteriak, mungkin karena sudah lama aku tak melakukan senam, sehingga tangan ini semuanya menjadi kaku. Tapi ... bukan, bersedekah itu tidak ada kaitannya dengan rajin senam, olahraga, apalagi angkat berat. Berarti, untuk apa juga kulatih wajah dan bibirku tadi, dan bersusah payah merangkai kata layaknyak seorang pujangga tengah menyusun syair keagungan hanya sekedar untuk menyodorkan sedekah.

"Ayo ... ambil saja ..." kali ini benar-benar kuperbaiki senyumku, juga uluran tangan yang lebih ringan. Tentu saja tanpa melakukan latihan-latihan terlebih dahulu. Karena ini sekedar mengulang satu hal yang sudah lama tak kulakukan. Ya! ... hatiku berteriak lagi.

Kutemukan jawabannya. Masalahnya bukan soal wajah dan senyumku yang harus dipaksakan semanis-manisnya, atau sudah sekian lamanya tak bersenam tangan. Sesungguhnya, diri ini sudah lama tak merasai duduk bersama, makan bersama dan berbagi dengan mereka, anak-anak yatim, fakir miskin, orang-orang yang lemah. Tangan ini sudah lama tak terhulur untuk mereka, bahkan seringkali wajah dan pandangan ini berpaling dari hentakan-hentakan kaki lapar mereka, juga erangan penderitaan yang semestinya memekakkan telinga ini.

Kuulangi tawaranku, tapi kali ini sambil duduk disampingnya. Kalau saja pohon itu cukup untuk berbagi sandaran, tentu aku akan bersandar pula dengannya, sekedar untuk membuatnya nyaman, bahwa aku adalah dia, dia adalah bagian dari aku. Itu saja intinya. Untungnya, pohon itu terlalu kecil untuk tempat berbagi, karena sesungguhnya, saat ini aku tidak lebih membutuhkan sandaran itu. Cukuplah itu untuknya, aku tak ingin merebut lahan kesejukannya. Mungkin saja, selama ini hanya pohon itulah tempatnya bersandar, memperdengarkan keluhannya, menempelkan peluhnya, dan sesekali menjadi bantal tidurnya.

Ia sangat tahu, seandainya pohon itu memiliki tangan, pastilah kehangatan pelukannya senantiasa dirasai. Tapi bukankah Tangan-Tangan Allah bertebaran dimana-mana? Saya yakin, keyakinan itulah yang menjadikannya terus bersandar di pohon ciptaan Allah itu, karena ia tahu, kapanpun, dimanapun ia memasrahkan diri, Allah selalu disana. Bersama orang-orang yang lemah, memeluk anak-anak yatim, dan sangat dekat dengan fakir miskin. Tanganku masih terhulur. Ia tak segera menyambutnya. Hanya keraguan yang menyemburat dari wajahnya.

"Kalau saya ambil ini, mas makan apa?" Degg. Kali ini aku tak ingin menangis. Ingin sekali kupeluk dia. Aneh rasanya, di zaman seperti ini, saat banyak orang tak peduli lagi dengan kepentingan orang lainnya, diwaktu manusia yang satu menginjak manusia yang lainnya untuk kepentingan pemuasan perutnya sendiri, dikala semakin punahnya orang-orang yang mau memikirkan nasib orang lain. Eh, anak ini, yang aku ikhlaskan sarapan pagiku karena aku masih bisa membelinya lagi, malah berbalik memikirkan 'nasib'ku. "mas makan apa?" terbayang nggak sih ...

"Sudah ... saya bisa beli lagi. Ini buat adik," Senyum diwajahnya memancarkan rasa syukur yang tak tergambarkan, meski hanya sekantong gorengan dan sebotol Aqua. Tanpa lupa mengucapkan terima kasih, ia menyambut hangat tanganku.

"Aku yang berterima kasih sama kamu dik. Kalau kamu tidak menerimanya, entah kapan lagi kesempatan terbaik ini datang lagi kepadaku. Mungkin tangan ini akan semakin kaku sehingga semakin sulit terhulur. Wajah dan pandangan ini bahkan bukan lagi sekedar berpaling saat kehadiranmu, tapi justru tak lagi melihat meski tangismu bagai halilintar didepan hidungku. Kaki-kaki ini tak lagi berhenti untuk sekedar mencari tahu, apa yang tengah terjadi denganmu hari ini. Dan tak ada lagi senyum keikhlasan dari hati ini untuk bisa duduk bersama denganmu". Aku teruskan langkahku tanpa menoleh kebelakang, ungkapan rasa syukurku terus terngiang mengiringi kelegaan dada yang tiba-tiba saja kurasakan, entah karena apa. (Bayu Gautama, 12/03/2003)

Batu-Batu Pijakan

Sabtu pagi. “Amru … dipanggil kepala sekolah!” lagi-lagi namaku dipanggil. Aku sudah tahu apa yang akan disampaikan kepala sekolah. Bulan lalu bu Isti wali kelasku memanggil menyampaikan salam untuk orangtuaku untuk segera membayar biaya SPP-ku yang sudah nunggak hampir 6 bulan. Sebulan sebelumnya bahkan bagian Tata Usaha sudah berkali-kali memanggilku hingga semua teman-teman tahu setiap kali aku dipanggil pasti urusannya dengan soal bayaran sekolah.

Sejak orangtuaku bercerai dan aku memutuskan untuk ikut ibu setahun yang lalu, kondisi ekonomi keluargaku memang semakin terdesak. Terlebih sejak ayah menyetop kiriman uang yang seharusnya menjadi kewajibannya 6 bulan lalu. Ibu yang hanya lulusan PGA (Pendidikan Guru Agama) menggunakan kemampuannya mengetuk satu persatu pintu orang-orang berada dan menawarkan jasanya untuk mengajar ngaji anak-anak mereka. Akibat kebutuhan yang mendesak itulah, ibu selalu kehabisan uang untuk biaya sekolahku, juga adik-adikku.

Ada Wicaksono, kami memanggilnya Sony, di kelas ia selalu menjadi biang keributan, sering membuat onar dan tidak jarang berbuat usil terutama kepada perempuan. Hampir semua anak dikelas tak menyukainya, selain ia juga sombong. Ia sangat suka pamer jika mempunyai barang-barang bagus yang baru dibelikan orangtuanya, seperti sepatu dan tas. Dilihat dari merk-nya sih, jelas tidak murah, bagus pula modelnya. Aku tak pernah iri kepadanya, hanya saja yang membuat aku membencinya lebih karena ocehannya setiap petugas tata usaha memanggilku. “Pinter-pinter nunggak …” atau sindiran lainnya.
Sore menjelang Ashar, dengan langkah gontai aku memasuki teras rumah. Kulihat ibu sedang menyapu lantai. Sejak dalam perjalanan pulang sudah kuputuskan untuk tidak menyampaikan surat panggilan kepala sekolah agar tidak menjadi beban pikiran ibu. Lagi pula mulai besok sampai minggu depan sekolah libur.

Satu minggu sesudah jadwal masuk aku masih belum mau ke sekolah. Aku ‘membohongi’ ibu dengan mengatakan bahwa libur sekolah diperpanjang. Hingga akhirnya Fauzan, seorang temanku datang dan mengajakku ke sekolah. Ada yang lain di sekolah, petugas TU yang biasanya tak pernah senyum kepadaku, hari ini begitu ramah. Di kelas, tak ada yang berubah kecuali Sony, teman-teman bilang ia telah berubah setelah mengikuti pesantren kilat selama liburan yang lalu. Tak ada lagi kesombongan dan sifat usilnya. Alhamdulillaah.

***

Itu dua belas tahun yang lalu, saat aku masih duduk dibangku SMA kelas 2. Kini aku tak pernah bertemu lagi dengan mereka, orang-orang yang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupku. Yang kutahu cuma satu, Fauzan, teman sekolahku dulu kini menjadi salah satu staf dalam perusahaan yang aku dipercaya menjadi General Managernya. Satu bulan lalu saat acara syukuran dikantor atas dipercayanya aku menjadi GM, Fauzan membisikkan sesuatu yang membuatku menitikkan airmata. “Masih ingat Sony? Dia menjual tas dan sepatu barunya untuk melunasi tunggakan biaya sekolah kamu dulu” Subhanallaah …

***

Sahabat sejati bukan memberi pada saat orang meminta, ia mempunyai mata pandang yang mampu menembus relung kebisuan sahabatnya. Ia memberi tanpa kata-kata, tanpa menepuk dada.

Saudaraku, mungkin sepanjang perjalanan hidup kita pernah ada orang-orang yang menjadikan dirinya batu pijakan sehingga kita bisa melangkah maju dan lebih jauh. Meski cuma batu kecil, namun keberadaannya mungkin telah menyelamatkan kita dari jurang kejatuhan yang melumpuhkan. Sayangnya, seringkali kita tak pernah menengok batu-batu pijakan itu dan melupakannya. Wallahu a’lam bishsowaab (Bayu Gautama, 20/09/2002, teruntuk orang-orang yang telah pernah menjadi batu pijakanku)
Sekali Lagi, Ciumlah Kaki Ibu


Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintangan untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah …


Anda pasti tahu kelanjutan syair lagu diatas, atau setidaknya pernah mendengar lagu tersebut. Iwan Fals dengan begitu puitis namun gamblang menggambarkan beratnya kehidupan yang harus dijalani seorang ibu demi mendidik dan membesarkan buah hatinya, Kita!

Mari hadirkan kembali wajah sang ibu dalam bayangan kita, dengan seizin Allah genangan air mata akan membanjiri kelopak mata yang mungkin sudah sekian lama kita biarkan tak menyapanya. Kerut di pipinya mengisyaratkan kelelahan yang sangat, tenaga yang mulai habis dimakan waktu seolah tak lagi sanggup sekedar mengangkat tubuh rapuhnya. Di bola matanya, nampak jelas guratan berat kehidupan yang telah dilaluinya. Semua itu, dilakukannya hanya untuk kita, yang dicintainya.

Cinta anak sepanjang gala, cinta ibu sepanjang masa. Pepatah yang biasa kita dengar untuk melukiskan betapa kita, anak-anak ibu, tidak akan pernah sanggup membayar (berapapun dan dengan apapun) cinta yang pernah diberikannya. Huwaish al Qorni, sahabat Rasulullah, rasa ingin membalas cinta sang ibu membuatnya rela ingin menggendong ibunya pulang pergi ibadah haji. Bahkan sahabat lain, dilarang pergi berperang bersama Rasul, lantaran tidak ada yang mengurus ibunya yang sudah renta. “rawat dan layani ibumu,” perintah Rasul kepada pemuda itu.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun… (QS. Lukman:14). Bahkan dalam ayat lain, begitu tegas Allah menekankan dan mengingatkan kesusahan ibu saat mengandung serta memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada ibu (QS.Al-Ahqaf:15).

Ketika Nabi SAW ditanya tentang siapa yang paling patut dihormati dan diperlakukan sebaik-baiknya, Nabi menjawab: “Ibumu”. Dan hal itu diulangnya sampai tiga kali, sebelum ia menyebut “bapakmu”. Dalam hadits lain yang masyhur, Nabi SAW berkata bahwa surga terletak dibawah telapak kaki kaum ibu.

Dalam perjalanan bersama ibu, perlakuan kasar kerap kita layangkan kepadanya. “Uf”, “ah,” “cis” menjadi kosa kata yang biasa terlontar dari mulut kotor ini. Tak pernah kita menghargai keringatnya kala menyiapkan sarapan dan makan malam. Andai kita tahu, air matanya tak pernah kering di pertengahan malam, kala ia mengadu kepada Allah perihal anak-anaknya. Bibirnya tak pernah berhenti berdo’a agar kita menjadi anak yang bisa dibanggakan. Tak peduli darah menjadi penghias kakinya demi menghantarkan sang buah hati menggapai cita.

Sekarang, imbalan apa yang diterima ibu dari anak-anak yang mungkin kinipun sudah beranak. Tidak jarang kesibukan kerja dan keluarga membuat kita melupakannya. Bahkan mungkin rasa cinta kepada istri dan anak-anak mengikis habis cinta kepada ibu (tentu cinta kepada Allah dan Rasulullah diatas segalanya). Tak sedikit waktu kita luangkan sekedar untuk tahu keadaannya, meski handphone tak pernah lepas dari tangan.

Sekarang, Kita semakin sombong, seolah tak membutuhkannya. Terlebih saat senang dan berkecukupan. Tak sadar kita, ia begitu ikhlas atas air susu dan keringatnya.

Begitu banyak masalah kehidupan kita hadapi. Terkadang kita mengeluh, putus asa, tidak tahan dengan berbagai cobaan yang menerpa. Tak sadar, semua yang kita alami saat ini sesungguhnya pernah dilalui ibu, dan berhasil!

Kita terlalu lemah, cengeng dan selalu merasa kalah dalam mengarungi bahtera hidup. Padahal sering kita memandang sebelah mata ‘kekuatan’ ibu yang sudah renta. Tak sadar kita, garis wajahnya jelas-jelas memancarkan kekuatan teramat dahsyat.

Ia hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia, meski ia tidak sebahagia yang kita bayangkan. Tak sadar, sesungguhnya kita butuh kembali kepadanya, memandangi keteduhan wajahnya, membelai tangan keriputnya, menciumi kakinya dan meminta do’anya.

Ingin ku dekap dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu do’a-do’a baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas, Ibu ...
(bayu gautama, 27/4/2001)
Izinkan Aku Menciummu, Ibu

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Bayu Gautama, 24/09/2002, Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)

Friday, July 11, 2003

Tuhan dulu pernah
aku menagih simpati
kepada manusia yang alpa jua buta

Semalam sudah sampai
ke penghujungnya
kisah seribu duka kuharap sudah berlalu

Tak ingin lagi
kuulangi kembali
gerak dosa yang menghiris hati

Tuhan
dosaku menggunung tinggi
namun rahmat Mu melangit luas
harga selautan syukurku
hanyalah setitik nikmat Mu di bumi

Tuhan
walau tobat sering kupungkir
namun pengampunan Mu tak pernah bertepi
bila selangkah kurapat pada Mu
seribu langkah Kau rapat padaku
Kau Bunga di tamanku
di lubuk hati ini
mekar dan kian mewangi
melati pujaan hati

Bersemilah sepanjang hari
mewarani hidupku
agar dapat kusadari
artimu bagiku

Kau
Melati putih nan bersih
kau tumbuh diantara belukar berduri
seakan tak peduli lagi
meski dalam hidupmu kau hanya memberi
kau tebar harum
sebagai tanda cinta yang tlah kau hadapi
di sepanjang waktu