Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Monday, September 27, 2004

Papa Ron's, Nomat, SMS, ...

Lampu merah, seberang istana Bogor.

Hampir setiap hari, saat berangkat maupun pulang kantor saya selalu melewatinya. Saya pun jadi hapal baliho iklan apa yang ada di sebelah kanan jalan, dan di kiri jalan. Spanduk apa saja yang setiap hari terpampang dan bahkan saya pun tahu pergantian dari spanduk satu ke spanduk yang lainnya. Dan, satu lagi yang akhir-akhir ini cukup menarik perhatian saya, yaitu anak-anak jalanan.

Jika tak salah, belum dua tahun lalu jumlah anak jalanan yang mengamen di sekitar lampu merah hingga stasiun kereta api Bogor masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Tapi kini, saya jadi penasaran dengan semakin tak terhitungnya jumlah mereka. Usia mereka pun beragam, dari yang masih pantas minum susu sampai yang sudah tak lagi pantas menyandang predikat “anak” jalanan.

Kemarin sore, selepas maghrib saya sempatkan menghampiri seorang anak yang tengah bersiap bergegas pergi dari pelataran masjid agung Bogor. Nampaknya ia baru saja sholat sementara beberapa temannya menunggu di halaman masjid. Mereka adalah anak-anak yang setiap hari menggantungkan nasibnya dengan bergelantungan di pintu angkot sambil mengayunkan ‘kerecek’ -alat musik terbuat dari setumpuk tutup botol yang dipipihkan- dan menyanyikan bait lagu yang tak lengkap. Saya tahu, anak itu tak mungkin mau berlama-lama ngobrol, karena ia harus kembali bekerja. Jadi, waktu yang singkat itu saya manfaatkan untuk melontarkan satu pertanyaan, “buat apa kamu ngamen?”

Jawabnya,”buat biaya sekolah”!

Stop disini.

Saya tak terlalu peduli dengan omongan banyak orang bahwa anak-anak jalanan yang jumlahnya terus bertambah itu diorganisir oleh sekelompok orang yang memanfaatkan tenaga mereka, dan anak-anak itu harus menyetor sekian rupiah dalam sehari. Bahkan kalau tidak setor, mereka akan menerima hukuman, entah apa bentuknya.

Saya pun tak peduli ketika seorang teman mengatakan, sebagian anak-anak itu justru disuruh oleh orang tua mereka untuk turut membantu mencari nafkah. Anak-anak itu bahkan dilarang sekolah dengan dalih sekolah tak menghasilkan uang, mendingan ngamen bisa dapat uang, tambahnya. “Sekolah cuma banyak menghasilkan para koruptor yang menjadikan kita miskin, yang menghantarkan anak-anak kami ke pinggir jalanan,” begitu ucap seorang ibu yang anaknya juga seorang anak jalanan.

Satu kalimat penutup dari teman saya, “orang tua macam apa itu, harusnya mereka yang bertanggungjawab mencarikan nafkah untuk anak-anaknya”.

Selanjutnya,

Teman saya menyebutnya “child abuse”. Ah, kalau soal ini betapa banyak di negeri ini sektor yang memanfaatkan anak-anak untuk mendapatkan keuntungan. Sejumlah pabrik masih mempekerjakan anak-anak di bawah umur, tak terhitung anak-anak yang bisa kita temui di tempat-tempat wisata. Dan nyatanya, siapa yang pernah menghitung jumlah anak yang harus mati terjatuh dari kereta, bis, angkot, atau sakit karena terlalu keras bekerja. Tentu sama sulitnya dengan menghitung berapa jumlah uang yang sudah kita belanjakan Papa Ron's setiap akhir pekan. Sama rumitnya dengan mengkalkulasi jumlah pembelian voucher pulsa telepon genggam selama sekian tahun.

Saya kira, kita tak keberatan untuk sesekali tidak nomat (nonton hemat) dalam satu bulan –dengan asumsi Anda nomat setiap pekan- dan mengalokasikan dana tersebut buat mereka yang kekurangan. Mungkin saja bisa pekan depan tak perlu mampir ke Papa Ron's dan kemudian memberikan uangnya kepada fakir miskin. Coba hitung berapa jumlah SMS yang sebenarnya tak perlu dan terbuang sia-sia setiap bulannya, kemudian kalikan dengan biaya per SMS tersebut. Bagaimana jika jumlahnya itu yang setiap bulannya juga kita infakkan?

Seorang teman yang lain berkomentar. Ah, percuma. Mestinya ini tugas pemerintah. Kita punya Menteri Sosial kan? Wallahu a’lam.

Bayu Gautama
catatan: Ada sekian persen dari setiap pembelian Papa Ron's untuk anak jalanan

Friday, September 24, 2004

Tell Her Now That U Love Her

“I luv u”

Setiap pagi aku menerima SMS bernada seperti itu. Kadang berupa gambar yang melambangkan cinta. Bukan siapa-siapa, karena wanita yang rajin tak pernah absen mengirimiku ungkapan cinta itu tak lain adalah istriku sendiri. Kemarin kuberitahu dia bahwa tindakannya itu memalukan, untuk sebuah keluarga yang sudah memiliki dua anak, tidak usahlah ‘cinta-cinta-an’ seperti halnya orang pacaran atau pengantin baru. Tapi ia tidak menggubrisnya, bahkan ia semakin sering dengan menambah rutinitas itu pada setiap sorenya.

Enam setengah bulan lalu, malah dia melakukan satu seremoni yang bagiku hanyalah buang-buang uang saja dan tak selayaknya ia melakukan itu. Malam itu sesampainya aku di rumah, kudapati rumahku hanya diterangi oleh lampu yang remang-remang. Rupanya istriku mengganti lampu ruangan makan kami, agar terkesan lebih romantis, katanya. Sementara dua anakku sudah terlelap menikmati mimpinya, kulihat beberapa batang lilin menyala di atas meja makan yang sudah tersedia hidangan penuh selera kesukaanku. Dengan gaun malamnya, ia terlihat begitu cantik. Aku baru ingat, hari itu adalah ulang tahun ketiga pernikahan kami.

Bahkan satu bulan sebelumnya, ia mengajakku keluar bersama anak-anak. Kami makan di sebuah restoran yang cukup bagus. Ia yang membayar semuanya, katanya. Pikirku, dari mana ia mendapatkan uang, toh ia tak bekerja. Akhirnya kuketahui itu uang yang ia sisihkan dari jatah bulanan yang kuberikan. Hanya saja bagiku, sekadar merayakan ulang tahunku tidak perlu repot-repot dan mahal seperti ini. Cukup dengan membeli makanan di pasar dan dimakan bersama-sama, selesai, yang penting kita bersyukur kepada-Nya bahwa kita masih diberikan kekuatan dan kesabaran dalam mengemban amanah-Nya sampai usia kita bertambah hari itu. Yang kuheran, malam sebelumnya tepat pukul 00.01 WIB ketika detik pertama pada tanggal kelahiranku, sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. Kubuka perlahan mataku dan kudapatkan senyumannya yang manis. Malam itu ia menghadiahiku sebuah jam tangan yang di dalam bungkus kadonya terdapat sebuah kartu ucapan bertuliskan: “Take My Heart In Your Arm”.

O ya, sekedar memberitahu, handphone yang kupakai sekarang ini adalah hadiah darinya pada saat ulangtahun pernikahan kami enam setengah bulan yang lalu itu. Aku sempat menolaknya, karena handphone-ku sebelumnya juga masih bagus. Dengan sedikit senyum ia menghulurkan sebungkus kado cantik itu. Di dalamnya, kutemukan kembali sebuah kartu bertuliskan sebuah pesan (harap) singkat: “Keep In Touch, Please …”. Lucunya, aku lupa bertanya, bagaimana cara ia mendapatkan barang semahal itu. Ah mungkin karena aku sedang terkagum-kagum saja kepada istriku itu, yang membuat aku lupa.

SMS terakhir yang aku terima pagi ini, masih sama isinya. Namun entah kenapa hari ini aku menitikkan air mata. Kuperhatikan kembali rangkaian kata-kata dalam pesan itu, padahal setiap hari aku membacanya. I-L-U-V-U … kuperhatikan satu persatu huruf yang terangkai singkat itu, namun titik air dari mataku semakin bertambah. Aku jadi teringat dengan handphone hadiah darinya, teringat dengan makan malam istimewa nan romantis saat ulang tahun pernikahanku enam setengah bulan yang lalu, jam tangan hadiah darinya saat ulangtahunku, semua perhatian, cinta dan kasih sayangnya kepadaku. Ooh …

Tiba-tiba mataku menatap lingkaran merah di satu tanggal pada kalender mejaku. Di situ tertulis, “Ultah istriku”. Ya Allah … aku hampir saja lupa kalau besok hari ulang tahunnya. Sementara hari sudah sore, aku bingung harus menyiapkan hadiah apa untuknya, padahal uangku sudah habis, tak mungkinlah jika aku meminta kepadanya untuk membeli hadiah untuknya, jelas nggak surprise.

Akhirnya, aku nekat menelepon beberapa teman dan karibku, atau siapapun yang bisa kupinjam uangnya. Aku ingin memberinya sesuatu. Namun, apa daya, tak satupun dari mereka bisa meminjamkannya karena memang selain mendadak, bukan tanggal yang tepat bagi siapapun untuk meminjam uang di tanggal tua.

Aku lemas, hari sudah terlalu malam bagiku untuk mengetuk pintu orang kesekian untuk kupinjami uangnya. Lagipula toko-toko mulai tutup, kalaupun aku mendapatkan uangnya, sudah terlambat untuk membeli sesuatu. Langkahku gontai, aku malu jika pulang tak membawa apa-apa. Aku menyesal, rupanya kesibukan dan sifat egoisku yang selama ini menutupi semua perhatian dan cinta yang diberikannya, hingga tak sekalipun aku membalasnya. Sambil berjalan, lalu terbetik sebuah ide kecil di benakku …

Aku pulang, kudapati rumahku sudah sepi, istri dan kedua anakku sudah terlelap. Aku tak ingin membangunkan mereka. Belum juga mataku merapat karena masih membayangkan betapa menyesalnya aku yang telah mengabaikan perhatian dan kasih sayangnya selama ini, bahkan tak sepatah kata ‘terima kasih’ pun aku ucapkan untuk semua cintanya itu. Satu jam kemudian, istriku terbangun untuk menunaikan sholat malamnya. Biasanya ia membangunkan aku (atau sebaliknya jika aku bangun terlebih dulu) untuk sholat bersama. Namun ia tak segera, karena kuyakin matanya langsung menatap setangkai bunga mawar merah yang kuletakkan di samping bantal tidurnya. Sementara aku masih berpura-pura terlelap, namun mataku sesekali menangkap senyuman di bibirnya ketika ia membaca kertas kecil yang kuikatkan di tangkai bunga itu, “Maafkan abang dik, yang telah melupakan perhatian dan cinta adik. Bunga ini memang tidak akan mampu membalas semua yang telah adik berikan … with luv …”

Bayu Gautama
ulang tahun istriku, Juni 2002

Orang Sopan Makin Langka

"Weyy... kalo nyeberang mata dipake donk...!!!" bentak supir angkot kepada seorang pejalan kaki setengah baya yang nyaris terserempet kendaraan tersebut. Saya yang berada di angkot tersebut tak tahu persis harus berbuat apa. Meski cukup sering mendengar umpatan serupa dari seorang pengendara mobil kepada pejalan kaki, saya tetap merasa tak semestinya mereka mengeluarkan kata-kata kasar semacam itu.

Suatu kali secara kebetulan saya pernah mendengar omelan seorang pejalan kaki yang terciprat air genangan sisa-sisa hujan yang dihempaskan oleh sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Serta merta, sederet sumpah serapah keluar yang kalau dibayangkan, isinya itu sangat mengerikan, seperti "Gue sumpahin tabrakan luh!" atau semacamnya. Bagaimana jika umpatan atau sumpah itu bernilai do'a di mata Allah? bukankah mereka tak bedanya seperti orang-orang yang terzalimi? Jadi, jangan sembarangan mengumpat seorang pejalan kaki yang belum tentu benar-benar salahnya. Bisa jadi, Anda yang justru bersalah.

Sebenarnya, ini soal etika berkendaraan di jalan umum. Namanya juga jalan umum, jadi siapapun tidak bisa merasa harus dipentingkan, siapapun tak boleh memaksakan kehendaknya, dan siapapun tak berhak atas jalan tersebut layaknya jalan milik pribadi.

Yang namanya jalan umum boleh digunakan oleh siapapun, pemilik kendaraan dari roda dua, tiga, empat sampai enam belas, atau pun pejalan kaki. Yang penting kan semuanya ada aturannya. Nah, ngomong-ngomong soal aturan, ternyata tidak semua etika berkendara di jalan masuk dalam aturan yang sudah ada.

Begini, saya pernah menumpang mobil seorang rekan sepulang kondangan. Namanya Edi. Malam itu terasa sangat segar, sehingga kami tak perlu memasang AC karena sore tadi Jakarta baru saja diguyur hujan yang lumayan deras. Mobil melaju tidak terlalu kencang ketika kami merasa mobil kami telah menghempaskan genangan air di pinggir jalan dan... mengenai seorang ibu pejalan kaki. Ciiiitttt!!! Edi segera menghentikan mobilnya dan mundur sejauh tidak kurang dari 70 meter dari genangan air tadi.

"Kena nggak?" tanya Edi. Yang dimaksud adalah, apakah hempasan mobilnya terhadap genangan air tersebut telah menyebabkan pejalan kaki tadi terciprat atau tidak. Agak sedikit ragu, saya katakan, "Kena...".

Sesampainya di depan ibu pejalan kaki tadi, Edi segera turun dan meminta maaf atas tindakannya tadi. Pejalan kaki yang tengah mengibas-ngibaskan tangannya ke beberapa bagian pakaiannya yang kotor terlihat tersenyum, apalagi setelah kami menawarkan diri untuk mengantarnya sampai ke tempat tujuannya.

Dalam perjalanan berikutnya, saya tanyakan kepada Edi tentang sikapnya tersebut, seraya memberikan asumsi bahwa ibu pejalan kaki tersebut terlihat ramah dan 'ikhlas', mungkin Edi tak perlu memundurkan mobilnya untuk meminta maaf pada pejalan kaki tersebut.

Sekarang coba Anda pikirkan kenapa saya terus tersenyum sampai di rumah setelah mendengar jawaban Edi seperti ini, "Kamu betul, mungkin ibu itu ikhlas dan tak marah, bahkan mungkin saya tak perlu berhenti setelah 70 meter dari genangan air tersebut. Tapi bagaimana kalau Allah yang tidak ikhlas, dan menjadikan 10 meter berikutnya adalah kesempatan terakhir saya mengendarai mobil ini?"

Hmm, Edi, Edi ... saya dengar, kalau sedang bersepeda atau naik motor, anak muda satu ini juga akan turun dan menuntun kendaraannya saat melewati orang-orang yang tengah duduk di pinggir jalan di sebuah gang, satu kebiasaan yang saya kira telah hilang sekitar 15 atau 20 tahun yang lalu.

Bayu Gautama

Thursday, September 23, 2004

Semua Karena Cinta

Pagi belum lagi tiba, bahkan fajar pun belum menggantikan langit sisa semalam. Segera bangun mendahului ayam jantan yang biasa bertugas memulai hari, bahkan jauh lebih dulu dari petugas masjid sebelum ia membangunkan orang untuk sholat subuh. Aku sudah harus menggigil kedinginan bergumul dengan air kamar mandi. Pagi ini, pagi kemarin dan pagi seterusnya tetap begitu agar tak terlambat tiba di kantor.

Kecup kening istri, usap lembut kepala anak-anak yang masih terbuai mimpi-mimpinya. Usai mengucap salam, diri ini bergegas meninggalkan halaman rumah, membuang sisa kantuk semalam, melangkah cepat menyusuri jalan melewati masjid yang kutinggalkan lebih awal dan menyisakan segelintir hamba Allah yang khusyuk dengan dzikir mereka. Seperti biasa, seringkali kulafazkan dzikirku di perjalanan, sambil merapal beberapa ayat yang masih kuhapal.

Tiba di stasiun kereta api Bogor. Bersyukur jika masih tersisa bangku kosong agar dapat sedikit menuntaskan lelah dan kantuk yang tertunda sejak semalam. Lumayan untuk mengumpulkan energi agar nampak lebih segar tiba di kantor dan meniti hari tanpa menguap. Tapi nyatanya, tak semua yang kita bayangkan akan menjadi kenyataan karena aku lebih sering mendapati kereta dalam keadaan sesak penuh bahkan sebelum kereta beranjak. Maka dimulailah hari demi hari, dan setiap hari dengan berhimpit, berdesak, dan menahan panas, pengap, juga bau keringat ratusan orang di satu gerbong.

Berdiri selama tidak kurang satu jam sebelum tiba di stasiun tujuan, dengan mata terus awas terhadap gangguan tangan jahil. Kalau pun mendapatkan tempat duduk, biasanya tak bisa menikmati dengan bebas karena biasanya baru beberapa menit saja harus tergantikan oleh wanita hamil, ibu yang menggendong anaknya, atau mereka yang lanjut usia dan cacat.

Begitulah aku mengawali pagi. Setiap hari.

Sore. Setelah seharian berkutat dengan tugas-tugas kantor, hampir sama episode yang berlangsung setiap sore dan malam. Adzan maghrib berkumandang sementara kereta belum juga tiba, segera kutinggalkan peron untuk menghadap-Nya. Usai sholat maghrib berlari kembali menuju peron ternyata kereta baru saja lewat dan aku harus menunggu kereta berikutnya seperempat hingga setengah jam ke depan.

Masih dengan suasana yang tak jauh berbeda dengan pagi hari. Berhimpit, berdesak dan menahan keseimbangan, juga berpeluh di tengah kerumunan ratusan orang di sebuah gerbong. Bedanya, aromanya jelas tidak senyaman pagi hari.

Tiba di rumah. Tak jarang kujumpai istriku sudah terlelap lelah setelah seharian mengurus dan mendidik anak-anak. Kuketuk pintu berulang kali. Sekali lagi. Menunggu beberapa saat dan akhirnya, dengan segurat wajah lelahnya istriku membukakan pintu.

Begitulah malam menutup hariku. Setiap hari.

***

Dik, Aku memang harus melupakan banyak waktu bersamamu, melewatkan detik-detik menyenangkan melihat tingkah dan tawa anak-anak. Bahkan aku terlalu sering tak bertemu dengan anak-anak lantaran mereka belum bangun saat aku berangkat dan sudah terlelap sesampainya aku di rumah. Hanya wajah-wajah polos tanpa dosa yang menyambutku dalam lelapnya yang hanya bisa kukecup lembut agar tak membuyarkan mimpinya.

Kulakukan semua itu karena cinta. Cinta kepada Allah yang menganugerahkan cinta dan kehidupan ini, yang memperkenankan aku hidup bersama orang-orang yang mencintaiku. Cinta lah yang tetap membuatku tegar menjalani hidup, seberat apapun itu.

Bayu Gautama
bayugautama@yahoo.com
salam cinta buat orang-orang terkasih

Wednesday, September 22, 2004

Semur Tahu Buatan Ibu

Minggu siang di seberang terminal Pasar Minggu...

"Mak, lapar mak..." seorang anak kecil, belum sembilan tahun. Rambut kumal dan pakaian lusuhnya nyaris mengelabui mataku untuk sekejap melihat tubuhnya yang kurus, juga mata cekungnya.

"Lapar?... nih cari makan dulu, baru bisa makan..." bentak sang ibu sambil melemparkan sebuah alat musik terbuat dari botol Yakult yang diisi pasir, yang biasa dipakai para pengamen jalanan.

Saya jadi ingat masa sekolah dulu. Ibu selalu memaksaku untuk sarapan sebelum berangkat sekolah. Ibu selalu khawatir saya jatuh pingsan lagi di sekolah gara-gara tidak sempat sarapan. Itu belum cukup, meski sekolahku cuma sampai pukul 11.00 WIB, ibu masih memasukkan dua tangkap roti lapis mentega bertabur coklat atau selai kacang kesukaanku.

Tapi, tidak jarang saya katakan sama ibu kalau saya malu membawa makanan ke sekolah, "Saya kan laki-laki bu, cuma anak perempuan yang membawa makanan ke sekolah. Lagipula..."

"Ah sudah bawa saja. Disuruh makan saja susah, apalagi disuruh kerja...," sela ibu tanpa bisa kubantah lagi.

Sudah hampir empat puluh menit saya masih di Pasar Minggu, tak jauh dari tempat tadi.

"Mak, kok dari kemarin makannya nasi uduk melulu. Beli ayam dong, Diding kan pengen makan ayam..."

"Orang susah kok pengen makan ayam Ding, bapakmu kan cuma tukang sampah. Masih sukur ada yang bisa kita makan," ujar sang ibu sambil menyuapi anaknya yang lain. Juga dengan nasi uduk.

Saya menghela nafas panjang. Kemudian bayangan masa kuliah saya pun melintas. Saya masih ingat setiap kali ibu selalu setia menyiapkan makan untuk anaknya ini sebelum berangkat ke kampus. Tapi yang sering kulakukan...

Nasi goreng sosis lengkap dengan cabai bawang iris sering tak tersentuh hingga sore. Sekembalinya saya dari kampus, masih tertata rapih di meja makan, tapi pasti sudah dingin.

Setangkap roti berlapis selai kacang, ditambah segelas susu coklat selalu terbuang percuma karena hanya kucuil sedikit. Kubayangkan wajah ibu termenung sambil menatap sisa roti dan susu coklat utuh yang tak lagi hangat.

Dan entah berapa banyak lagi makanan yang terbuang sia-sia. Anehnya, ibu tak pernah berhenti untuk tetap setia menyiapkan makanan kesukaan anaknya ini.

Selepas Ashar. Di depan pelayan sebuah restoran cepat saji.

"Silahkan pak, makan di sini atau dibungkus..."

Belum sempat kupesan makanan, kubuka SMS yang masuk,
... dari ibu, "Pulang ke rumah ibu nggak? Ibu masak semur tahu kesukaan kamu nih. Sudah dua pekan lho kamu nggak pulang."

***

Di luar restoran. Saya panggil beberapa anak jalanan dan membagikan uang seharga satu paket ayam plus segelas softdrink kepada mereka.

Bayu Gautama
Mom, thanks for All

Bayaran Langsung

Beberapa tahun lalu, yang terpikirkan olehku adalah bagaimana menjadikan hidup ini menyenangkan. Punya pekerjaan bagus, posisi lumayan dengan penghasilan yang memuaskan. Maka, jadilah hidup yang ingin aku jalani hanya berputar dari mencari uang dan menghabiskannya dengan memanjakan diri sendiri. Entahlah, waktu itu tidak pernah ada dalam benakku untuk memikirkan kesulitan orang lain.

Namun kenyataan yang aku dapatkan lain dari bayangan, karena begitu sulitnya mencari pekerjaan. Alhasil, jangankan untuk memanjakan diri, sekadar untuk mencari sesuap nasi pun terasa begitu berat. Namun demikian kondisi tersebut mampu merubah kepribadianku hingga menjadi orang yang sedikit peduli sesama orang lain. Hanya saja, pemahamanku yang minim tentang agama tidak membuatku giat bersedekah. “Kalau lagi ada ya ngasih, kalau nggak ada ya buat sendiri dulu”. “Orang lain nanti dululah, aku sendiri sedang kesusahan”. Selain juga aku selalu beranggapan bahwa setiap amal dan sedekah merupakan bekal kita di akhirat nanti.

Yang masih kuingat, terakhir aku mengajak seorang peminta-minta tua untuk makan bersamaku. Waktu itu aku di sebuah warung nasi, tak sengaja mataku menangkap orangtua tersebut menelan ludah saat menatapku yang begitu bersemangat melahap santapan siangku. Segera aku turunkan kakiku yang naik bersilah di atas bangku warung dan menghampirinya. Kuajak dia masuk dan memesankan sepiring nasi beserta lauk untuknya kepada penjual nasi. Seperti halnya aku, ia pun tak kalah gesitnya melahap makanan itu, hingga kami berdua seolah tengah berlomba makan. “Biar saya yang bayar pak” tak lupa kuselipkan uang seribu perak ke kantong bajunya. Kemudian kuperhatikan orangtua itu berdo’a yang isinya samar-samar kudengar agar aku diberikan rizki yang banyak atas kebaikanku padanya. Bukan aku tak senang dengan do’anya, tapi kupikir, kenapa ia tidak mendo’akan dirinya saja agar bisa hidup lebih baik lagi tanpa harus menjadi peminta-minta.

Beberapa saat kemudian aku baru sadar bahwa uangku tidak cukup untuk membayar dua piring nasi. Aku ingin lari saja seperti dulu sewaktu masih di sekolah, tapi, “Ah tidaklah, itu dosa masa lalu” pikirku. Aku mencari cara dan alasan bagaimana caranya agar bisa berhutang dan besok-besok kalau sudah punya uang baru aku bayar. Namun nampaknya mbok penjual warung sudah menangkap gelagat tidak baik yang akan aku lakukan sehingga akhirnya kutitipkan arloji kesayanganku. “Besok saya tebus mbok, dompet saya hilang nih,” aku ngeloyor pergi setelah berpura-pura kehilangan dompet. “ndak punya duit aja sok-sok-an mbayarin orang makan” kata-kata itu sempat tertangkap sesaat sebelum aku pergi meninggalkan malu di warung itu.

Satu hari, dua hari, sampai satu minggu aku tak kembali ke warung itu. Gajian masih enam belas hari lagi … ya sudahlah, nanti saja setelah gajian aku bayar, kalau perlu berikut dendanya, pikirku. Pas hari gajian tiba, segera aku ke warung hendak menebus arloji antik pemberian dari mendiang ayahku itu. Namun, kecewanya aku karena barang itu sudah dijual oleh simbok penjual nasi. “Sampean janjinya besok, ini sudah lebih dua minggu. Jadinya arloji itu milik saya”. Inginnya sih marah-marah, tapi sudahlah, wong aku yang salah kok.

Hidup terkadang harus dijalani apa adanya, kalau lagi senang ya tersenyumlah sewajarnya. Kalau kesulitan melanda, hadapi dengan ikhlas dan sabar. Toh, aku pikir masih banyak orang yang jauh lebih susahnya ketimbang aku. Hingga suatu ketika aku mengalami kesulitan yang begitu memberatkan, ibuku sakit dan harus segera dibawa ke dokter. Sebenarnya ia sudah lama sakit hanya saja selama ini dipaksakan untuk tidak memeriksakan ke dokter karena kami tak punya biaya. Disaat kebingungan itulah, Allah mengirimkan seorang ‘malaikat’ ke rumah kami. Kamil, sahabat lama yang entah sudah sekian tahun tak bertemu. Sudah hebat dia, bermobil pula.

Allah memang Maha Adil. Disaat orang lain kesulitan, Dia mengirimkannya kepadaku. Dan kini disaat aku yang kebingungan, ia kirimkan seorang penunjuk jalan. Kejadian yang baru saja kualami, kembali memberikan satu hikmah kepadaku. Kini, meski juga masih dalam kekurangan aku akan selalu menebar kebaikan kapanpun dan kepada siapapun. Karena kini aku yakini, amal yang sekarang kita kerjakan tidak hanya menjadi bekal di akhirat. Allah bayarkan juga kebaikan kita di dunia. Ini seperti menebar benih yang hasilnya bisa langsung dipetik di kemudian hari, seperti menabung yang isinya bisa kita dapatkan kapan saja, namun tak mengurangi jumlahnya. Malah bertambah dan terus bertambah ratusan kali lipat. Mungkin bukan untuk kita, tapi bisa untuk orang yang kita cintai. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti disaat kita begitu membutuhkannya. Dan mungkin tidak langsung dari orang yang pernah merasakan kebaikan kita, tapi bayaran langsung dari-Nya itu bisa datang melalui tangan siapa saja yang tidak diduga kedatangannya.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (2:261)

23/09/2002 -
Bayu Gautama, terima kasih kepada semua yang telah memberikan kesempatan untukku berbuat kebaikan

Tuesday, September 21, 2004

Rasanya Baru Kemarin

Rasanya baru kemarin pohon mangga di depan rumah kutanam. Saya mengambilnya dari kebun liar selagi ia masih sebesar daun ketela yang masih muda. Hati-hati saya membawanya dengan setangkup tangan yang terus merapat sampai ke rumah. Sesampainya di rumah saya langsung menanamnya di halaman depan, memagarinya, memberinya pupuk, menyiraminya setiap pagi dan sore, menghalau setiap unggas yang berupaya memaruh daunnya.

Tapi, kemarin sore kami terpaksa menebang pohon mangga itu setelah sekian tahun tak lagi berbuah. Daun-daunnya yang mulai rontok, badannya yang besar tak sanggup lagi kurangkul. Masih bertengger di persimpangan dahan besarnya sebuah rumah kayu kecil yang dulu menjadi tempat saya membaca buku.

Rasanya belum lama, saya masih senang berpangku di pelukan ibu, bermanja mengharap dongeng pengantar tidur darinya. Ibu mengerti, saya tak akan pernah tidur sebelum ia mengusap lembut punggungku selama beberapa menit sambil menggumamkan senandung nina bobo atau sholawat nabi.

Tapi hari ini, tangan lembut ibu yang biasa membelai punggungku itu sudah keriput, walau masih terasa halus tatkala kuangkat dan kulekatkan ke pipiku, atau saat aku menciumnya sebelum berangkat kerja.

Sore itu, rasanya baru saja saya menanggalkan pakaian merah putih seragam Sekolah Dasar untuk bergegas bermain sepak bola dengan teman-temanku. Masih terngiang sangat jelas di telinga ini makian ibu sepulang saya main bola lantaran tak terlebih dulu merapihkan seragam sekolah dan menggantungnya di belakang pintu kamar. Atau karena kaos yang berlumur tanah dan memberatkan ibu mencucinya.

Tapi pagi ini, seperti pagi sebelumnya, saya mencium pipi ibu sebelum berangkat ke kantor meminta ridhanya. Hari ini, tepat tujuh tahun yang lalu ibu menangis bangga melihat anaknya di wisuda.

Rasanya belum terlalu lama, saya mulai mengenal lawan jenis. Padahal saat itu saya masih bercelana pendek warna biru setiap ke sekolah. Ada seorang teman wanita yang menaruh hati karena satu hal, saya sering jadi partner belajarnya sehingga kami sering meraih ranking kelas bergantian.

Pagi menjelang subuh tadi, sebuah kecupan hangat dari istriku membangunkanku dari mimpi. Dan seperti biasa setiap minggu pagi saya mengajak dua putri cantik saya ke depan istana Bogor untuk melihat dan memberi makan rusa dari balik pagar besi istana itu. Jika masih tersisa waktu, kami sempatkan untuk beristirahat di kebun raya dan membiarkan dua peri cantik itu berlari ke sana kemari mengukur luasnya kebun.

Dan ini benar-benar, rasanya baru semalam seorang sahabat meneleponku dan berbincang lama tentang apapun. Seakan tak ada waktu lagi esok hari sehingga ia rela menghabiskan pulsanya untuk berjam-jam ngobrol denganku.

Pagi ini teleponku berdering. Di ujung telepon sana, seorang wanita menangis memberi kabar tentang kepergian suaminya menghadap Allah. Dan suaminya itu, sahabat yang semalam meneleponku.

Sahabat, demikian cepat waktu berlalu. Sementara, sekian banyak waktu itu terbuang tanpa banyak hal yang kita perbuat menjelang ajal yang datangnya pasti. Mungkin besok. Wallahu a’lam.

Bayu Gautama.
Mengenang seorang sahabat. “Rid, mungkin hari ini, besok atau lusa kita bertemu”

Virus Berbagi*

Senja, menjelang maghrib, kesibukanku dimulai lagi. Seperti biasa setiap sore ibu telah menyiapkan beberapa mangkuk penganan berbuka puasa untuk dibagikan kepada para tetangga terdekat. Berbeda dengan kemarin, sore ini ibu membuat kacang hijau. Hmm, dari aromanya pastilah nikmat sekali. Tapi, apapun makanan buatan ibu sudah pasti saya suka.

Hantaran pertama, ke rumah bu Citro, tetangga sebelah rumah yang temboknya jadi satu dengan tembok rumah kami. Kalau malam, bu Citro –nenek berusia 74 tahun- pasti sering terganggu oleh suara gaduhku dan adik-adik yang hiruk pikuk bercanda hingga larut malam.

Mangkuk kedua, saya yang ditemani adik mengantarkan kacang hijau buatan ibu ke rumah pak Mamo. Pak Mamo itu dulu bekas sopir ayah yang kini sudah tak lagi menjadi sopir karena matanya tak lagi seawas dulu ketika masih muda. Ia kini tinggal bersama anaknya. Istrinya,sudah empat belas tahun yang lalu berpulang.

Setelah dari rumah pak Mamo, mangkuk berikutnya kami hantarkan ke rumah bu Lastri, tetangga kami yang rumahnya paling besar di kampung. Bu Lastri ini sebenarnya termasuk yang paling pelit, dan kepelitannya itu bahkan sudah terkenal pula warga RW sebelah. Saya sempat bertanya, “Ibu kok ngirim ke bu Lastri sih, kan bu Lastri nggak pernah ngasih apa-apa ke kita.”

Kata ibu, “Memberi ya memberi saja, nggak perlu harus dilihat dia itu siapa dan pernah ngasih apa ke kita, nanti disangkap pamrih.” Untuk anak usia 6 tahun sepertiku, kata-kata ibu itu hanya ditanggapi dengan kata, “Ooh gitu”.

Mangkuk berikutnya, ini sebenarnya yang paling berat, karena saya harus mengantarnya ke rumah bu Iyak. Pasalnya, Sakti, anak bu Iyak itu adalah musuh bebuyutanku. Dibilang musuh bebuyutan bukan dalam artian bahwa kami ini selalu berkelahi kalau bertemu. Hanya saja, dalam setiap permainan Sakti tidak akan pernah mau satu tim denganku, begitupun juga denganku, lebih senang untuk beradu jago dengannya. Rasanya, ada kepuasan tersendiri jika bisa mengalahkan Sakti dengan timnya, misalnya dalam permainan bola sepak.

“Kamu aja deh dik yang nganter ya, abang tunggu di luar,” kataku kepada adikku yang mengangguk saja memenuhi permintaanku. Tapi, suara ibu dari dapur menggagalkan niatku, “Abang langsung temuin bu Iyak ya, bilang nanti malam ibu ada perlu dengannya sepulang sholat tarawih”.

Tibalah untuk waktunya mengantar mangkuk terakhir ke rumah bu Asih. Sampai di rumahnya, ibu Asih tidak ada di tempat. Hanya ada mbok Sumi pembantunya. Diikuti langkah kecil adikku, saya urung memberikan kacang hijau itu ke mbok Sumi. Dan kembali ke rumah.

“Loh, kok dibawa pulang?” tanya ibu.

“Bu Asih-nya nggak ada bu, yang ada cuma mbok Sumi. Makanya abang bawa pulang lagi…”

“Ya nggak apa-apa abang, kasih aja ke mbok Sumi, kan sama aja,” lanjut ibu.

“Abang nggak mau. Abang kan harus bilang langsung ke bu Asih kalau kacang hijau ini dari ibu…”

“Ya ampuun abang. Kalau memberi itu ya nggak perlu pake nyebut-nyebut nama segala dong. Kalau kita ikhlas, Allah lebih senang,” terang Ibu.

“Ooh gitu…”

***

Saya tidak pernah menyadari, bahwa kenangan bulan Ramadhan 24 tahun yang lalu itu masih membekas hingga sekarang. Dulu, saya tak pernah mengerti mengapa ibu selalu repot-repot setiap sore menyediakan beberapa mangkuk makanan berbuka untuk para tetangga. Kini, saya mengerti, saat itu ibu tengah menanamkan semangat berbagi kepada anak-anaknya.

Dulu, 24 tahun yang lalu, saya juga tak mengerti kenapa bu Iyak keesokan harinya mengantarkan semangkuk sup ke rumah. Atau ketika bu Lastri tiba-tiba datang membawakan sekantong es campur buatannya sendiri.

Atau ketika bu Asih mengetuk pintu dan berkata, “Terima kasih ya kiriman bubur kacang hijaunya. Dari rasanya, dan mangkuknya, saya tahu itu kiriman dari ibu. Tidak ada yang bisa membuat kacang hijau seenak buatan ibu”.

Bayu Gautama
Special for Relawan 1001buku dan KKS Melati
*
judul awal, Semangat Berbagi, tapi atas saran Rini KKS Melati diganti jadi Virus Berbagi

Saturday, September 18, 2004

Dan Anak-Anak Kami pun Bingung

Semalam sebelum tidur ummi berpesan agar Hufha tidak boleh nakal sama teman. Meskipun teman itu memukul, ummi bilang, lebih baik memaafkan daripada membalas. Tapi Hufha bingung, kakak-kakak, juga om dan tante di tayangan TV mengajarkan berbeda. Mereka kok boleh memukul temannya sendiri, mereka juga nggak dilarang oleh ibunya menjahati temannya sendiri bahkan dengan bentuk kejahatan yang tidak pernah Hufha lihat di lingkungan tempat tinggal Hufha.

Sore hari sebelum malam itu, Hufha ditegur ummi karena membentak Iqna (adik Hufha) gara-gara Iqna merebut mainan Hufha. Iqna langsung nangis dan lari ke pelukan ummi. Kata ummi, “Teteh, kalau ngomong nggak boleh keras-keras gitu, apalagi membentak. Rasulullah tidak pernah mengajarkan ummatnya seperti itu.” Hufha tidak tahu mana yang harus didengar, karena sinetron dan film-film di TV justru penuh dengan kata-kata kasar, keras, kotor, seronok dan kata-kata yang tidak pernah Hufha dengar sekalipun di rumah.

Pagi hari sesaat sebelum mandi, lagi-lagi ummi menasihati Hufha sewaktu Hufha berlari ke luar rumah dengan hanya mengenakan baju tidur dan bagian bawah hanya tinggal (maaf) celana dalam saja. “Nggak boleh keluar rumah dengan pakaian seperti itu, malu tuh auratnya kemana-mana”. Aneh juga omongan ummi itu, kok tante-tante di TV nggak pernah ada yang ngomelin meski puser dan auratnya ditonton banyak orang?

Abi Hufha pernah kaget waktu Hufha menunjukkan kebolehan Hufha bergoyang seperti tante-tante penyanyi dangdut. Abi bilang, “Hufha, Abi nggak mau lihat Hufha seperti itu lagi”. Hufha balik bilang ke Abi, kalau Hufha nggak boleh, kenapa tante di TV itu boleh?

Gara-gara banyak tayangan misteri, sampai sekarang Hufha masih takut kalau ke kamar mandi sendirian malam-malam. Setiap malam kalau mau pipis, Hufha pasti minta antar sama ummi. Bahkan kalau lagi ‘e‘e pun Abi harus nungguin di depan pintu kamar mandi sampai Hufha selesai. Abi bilang, makhluk gaib seperti setan itu memang ada tapi Hufha nggak perlu takut. Tapi, kenapa orang-orang di TV itu banyak yang ketakutan?

Hufha sering lihat om dan tante di TV berpelukan dan ciuman. Kata Abi, ciuman dan berpelukan hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah menikah. Berarti om dan tante yang di TV itu sudah menikah semuanya ya?

Selepas isya Hufha setel TV, belum apa-apa Abi sudah bilang, “Jangan tonton yang itu, itu mengajarkan kekerasan”. Pindah ke saluran yang lain, giliran ummi yang bersuara, “ Ganti yang lain nak, yang itu mengajarkan permusuhan”. Begitu banyak saluran TV, dan begitu banyak pula acara yang ditayangkan, herannya, sebegitu banyak juga yang tidak boleh Hufha tonton. Jadi, tontonan yang mana yang boleh buat Hufha?

Ah kasihan anakku...

Bayu Gautama

Friday, September 17, 2004

Tak Semahal Conello

Anak saya, Hufha, makin semangat mengaji di TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an) Masjid dekat rumah kami. Pasalnya, ia memiliki teman yang setia menjemputnya setiap sore. Ia tampak senang berangkat bersama Sita, yang usianya hanya tiga bulan lebih tua darinya. Mereka berdua belum bersekolah, untungnya, TPA tersebut membuka kelas untuk anak-anak seusia Hufha dan Sita. Namun ada yang membuatnya kelihatan tak bersemangat beberapa hari ini, dan setelah saya selidiki, penyebabnya adalah karena Sita, tak bisa mengaji lagi.

Sudah hampir satu pekan Sita tak mengaji, saya mencoba menghibur Hufha untuk tetap semangat mengaji walaupun temannya tak lagi mengaji, "Yang pinter nanti juga kan kamu nak, sebaiknya kamu tetap mengaji meski teman yang lain tidak mengaji," bujuk saya suatu kali. Tak seperti dugaanku, ternyata ia tetap tak bersemangat, meski ia tetap berangkat ke TPA.

Sita, anak tetangga rumah kami itu merupakan teman bermain Hufha. Hampir tak ada hari yang terlewatkan oleh mereka berdua untuk bermain bersama. Saya cukup senang, karena kami yang merupakan warga baru di wilayah tersebut nampaknya diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar, termasuk Hufha yang cepat mendapatkan teman, Sita salah satunya. Tak banyak yang saya ketahui tentang anak tersebut kecuali ia adalah anak yatim. Ayahnya meninggal saat ia masih berumur satu tahun akibat sebuah kecelakaan. menurut cerita para tetangga, Pak Sahid, ayah Sita yang sehari-harinya bekerja sebagai tenaga angkut sayuran di pasar, tertabrak sebuah angkutan umum selepas subuh saat ia tengah menuju pasar tempatnya mengais rezeki. Kasihan Sita, anak seusianya sudah harus kehilangan ayah sekaligus lelaki pencari nafkah keluarganya.

Untuk menghidupi Sita dan dua kakaknya, Ibu Sahid mendapatkan upah dari mencuci pakaian para tetangganya. Itupun tak seberapa, sehingga ia masih harus melakukan beberapa pekerjaan lainnya, antara lain menjadi pembantu paruh waktu di salah satu rumah tak jauh dari tempat mereka tinggal.

Sepengetahuan saya juga, keluarga mereka termasuk keluarga yang taat beribadah, sehingga agak mengherankan bagi saya kalau ibunya membiarkan Sita tak lagi mengaji di TPA. Jelas bukan soal uang infaq TPA yang menjadi penyebabnya, karena TPA tersebut justru membebaskan anak-anak yatim seperti Sita dari infaq atau dana apapun.

Malam itu, Hufha buka suara. Sambil mengemas dua pasang sandalnya yang tak pernah lagi disentuhnya, ia mengatakan bahwa Sita masih sangat ingin mengaji. Yang menjadi masalah adalah, Sita malu kalau harus pergi mengaji tak menggunakan alas kaki. Sandalnya hilang beberapa waktu yang lalu sepulang mengaji, dan Sita tak berani meminta kepada ibunya untuk membelikan sepasang sandal baru.

Mendengar cerita anakku, tubuhku langsung lemas. Bagaimana mungkin saya bisa lalai untuk hal sepele seperti itu. Mungkin yang dibutuhkan Sita bukanlah sandal cantik berhias bunga melati diatasnya, atau selop merah muda berpita halus seperti yang dipunyai Hufha. Untuk bisa berangkat ke TPA -bersama anak saya- mungkin Sita hanya butuh sandal jepit yang harganya tak separuh harga Ice Cream Conello yang biasa dimakan Hufha.

Bayu Gautama

Thursday, September 16, 2004

Kado Istimewa

Bisa jadi saya anak yang paling malang di antara anak-anak lain di kampung. Bukan hanya karena ibu jarang memberi uang untuk jajan di sekolah, sehingga saya sering menghabiskan waktu istirahat sekolah untuk mereka-reka berapa uang jajan si Adi, apa yang selalu dibeli Rena, atau memperhatikan nikmatnya es doger di tangan Sukma. Bahkan untuk merayakan hari ulang tahunku yang setahun sekali pun ibu tak melakukannya.

Tidak ada tepuk meriah teman-teman, tidak juga tiupan lilin di atas kue tart yang selalu saya saksikan di setiap perayaan ulang tahun Rommy, Hilda, juga Siska. Tidak ada balon, hiasan khas ulang tahun, dan yang pasti, tidak mungkin saya berharap ada kado ulang tahun. Siapa yang mau ngasih? Tak ada pesta, ya tak ada kado.

"Ibu yang akan kasih kamu kado..." sapa ibu mengagetkan lamunanku. Sejenak kemudian saya masih terdiam membayangkan gerangan kado apa yang akan diberikan ibu. Sampai akhirnya, sebuah doa terajut dari mulutnya disertai kecupan hangat di kening dan pipiku.

Seketika, sebalut kehangatan terasa menelusup ke setiap aliran darahku. Doa ibu, jauh lebih indah dari hiruk pikuk tepuk tangan, tak bisa dibandingkan dengan kue tart termahal sekalipun. Lilin merah dengan api menyala, balon dan hiasan ulang tahun jelas tak seindah doa ibu. Untaian kalimat pinta yang dirajut ibu, bahkan lebih sempurna dari gaun ulang tahun milik siapapun.

Kehangatan kecupan ibu jelas lebih sejuk dari jutaan ucapan selamat dari siapapun. Tak ada satupun bingkisan ulang tahun yang mampu menandinginya, kecupan ibu adalah kado termahal yang pernah kuterima.

Kemarin, saya terjatuh saat pertama kali belajar naik sepeda. Saya menangis karena dua sebab, kaki saya memar dan sedikit berdarah tepat di lutut kanan, dan kemudi sepeda saya bengkok. Bapak segera mengangkat sepeda sementara ibu langsung mendekapku. Tak ragu, ibu mengusap air mataku dan memberikan satu kecupan pada luka di kakiku.

Kecupan ibu juga yang mengantarku masuk ke ruang kelas saat hari pertama sekolah. Mulanya saya takut, mungkin ini juga yang dirasakan setiap anak yang baru pertama kali masuk sekolah. Dalam pandanganku, bangku-bangku sekolah dasar, papan tulis, juga meja belajar itu lebih mirip makhluk aneh yang siap menerkamku. Guru dan teman-teman baru itu, lebih terlihat seperti monster menyeramkan bagiku. Tapi, dengan sekali kecupan di ubun-ubunku, ibu berkata, "Masuklah, anak ibu kan jagoan..."

Selang sepekan hari sekolah, tepat di pekan kedua, seharusnya saya kembali masuk sekolah. Tapi demam yang menyerangku sejak malam tak kunjung reda di pagi harinya. Saya sedih tidak bisa sekolah hari itu, sedih juga karena tak bertemu teman-teman baik di kelas, dan yang paling menyedihkan tentu saja saya harus tertinggal pelajaran di kelas. Namun ternyata bukan hanya saya yang sedih saat itu, tepat di pinggir tempat tidurku sesosok anggun terlelap lelah setelah semalaman terjaga menungguku, memberiku obat, mendengarkan setiap keluhanku, membetulkan selimutku dan mendekapku erat saat tubuh ini menggigil kedinginan. Di sudut matanya, masih tersisa bekas air mata semalam.

Kini, saya sadari, doa dan kecupan ibu lah kado yang paling kuharapkan di setiap hari ulang tahunku. Dan tentu saja, kehadiran ibu senantiasa lebih kuinginkan dari sekadar ratusan undangan lengkap dengan ratusan kadonya.

Bagi saya, ibu adalah kado terindah di setiap ulang tahunku. Terima kasih Allah yang masih memberikan kesempatan saya untuk bersama ibu di hari terindah ini. Dan saya selalu berharap, di tahun depan ibu masih tetap menjadi kado istimewa.

Ibu, Semakin kumengerti hadirmu

Bayu Gautama

Sepenggal kisah tersisa di hari jadi ke enam