Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, August 14, 2008

Memaksa Allah di Pondok Indah

Minggu tengah malam, telepon seluler saya berdering, suara isak tangis sesegukan di seberang telepon, “Bang, tolongin Ade bang… Ade nabrak orang bang, buruan kesini bang…” saya masih setengah sadar mendapat telepon itu. Suara si bungsu, adik perempuan saya terdengar sangat parau dan mudah terbaca hatinya sangat kacau.

Rupanya, minggu malam itu, sekitar pukul 20.00 WIB, ia dan suaminya beserta ibu tengah menuju Jakarta sepulang kondangan di Ciamis. Di daerah Cileunyi, beberapa kilometer sebelum masuk tol, menabrak seorang wanita yang menyeberang jalan. Kondisi wanita itu kritis dan dalam keadaan koma.

Saya mencoba menenangkan hatinya, “Besok pagi-pagi Abang langsung ke Bandung,” itu saja janji saya.

Senin pagi saya langsung menghubungi sebuah agen shuttle bus untuk memesan seat ke Bandung. Rupanya Allah belum mengizinkan saya lebih awal ke Bandung, karena baru dapat seat pukul 14.30 WIB. Usai dzuhur langsung memacu motor ke arah Bendi Raya, Tanah Kusir, untuk menitipkan motor dan minta diantar seorang teman.

Dari Bandung, adik tak henti menelepon, “Abang bisa lebih cepat ke Bandung? Butuh darah A+ jenis PRC tujuh kantong sekarang juga, karena dia mau dioperasi, cepat carikan bang…”

Wah, saya jadi ikut panik. Namun tak berapa lama saya menghubungi Bambang, sahabat saya. Bambang pun segera mengontak Syamsudin, rekan kami di Bandung. Dalam hati, kenapa saya tidak terpikir menghubungi langsung Syamsudin ya…

Rupanya di Bandung Syamsudin tengah berada dalam suasana kampanye calon walikota. Ia memanfaatkan moment itu untuk mengumumkan kepada khalayak soal kebutuhan darah itu. Alhamdulillah, satu masalah teratasi.

Kembali ke rencana perjalanan ke Bendi Raya, di tengah jalan motor kehabisan bensin, mampirlah ke pom bensin. Mulanya saya cukup kaget karena ternyata hanya mengantongi uang sebelas ribu rupiah. Akhirnya, sepuluh ribu saya belikan bensin. “Nanti ambil uang dulu di ATM buat bayar travel” pikir saya.

Pukul 14.10, saya sudah tiba di Pondok Indah di pool shuttle bus. Namun sebelumnya saya harus mencari ATM guna mengambil sejumlah uang untuk membayar shuttle bus.

Masya Allah, saya kembali terkaget, kali ini lantaran kartu ATM yang saya bawa saya yakini tidak ada uangnya. Sedangkan kartu ATM yang ada uangnya tertinggal di rumah. Saya pun agak bingung, karena beberapa menit lagi jadwal keberangkatan. Saya pun memutuskan untuk tetap mengecek di ATM, siapa tahu masih ada yang bisa diambil. Something stupid, lagi-lagi saya melakukan kebodohan, sudah tahu tidak ada uang masih saja penasaran mengecek saldo.

Saya pun memutuskan untuk kembali ke agen shuttle bus dan meminta saya dijadwalkan pukul 15.30 saja. Sebelumnya saya menelepon teman agar mentransfer sejumlah uang, sekadar untuk ongkos travel. Beberapa menit kemudian, segera saya kembali lagi ke ATM, dengan keyakinan sudah ada uang di rekening saya.

Kembali saya harus menelan ludah, saldonya masih tetap sama seperti semula. Beberapa kali menelepon teman, dan beberapa kali mengecek saldo, hasilnya tetap belum berubah. Saya hampir putus asa, saya ingin pulang saja dan batal ke Bandung. Tapi saya teringat adik saya, ia pasti tengah kebingungan, sebingung saya yang terdampar di tengah hari di Pondok Indah.

Kembali ke Bendi pun bingung, uang di kantong tinggal seribu. Pilihannya, naik bis dengan resiko diomelin kondektur atau beli air mineral untuk membasahi kerongkongan. Tapi dua opsi itu tak saya ambil, biarkan saja uang seribu ini tetap bersemayam di kantong.

Pukul 15.25 WIB, artinya 5 menit lagi waktu keberangkatan shuttle bus. Saat itulah, di depan ATM saya berdoa dan sedikit memaksa, “Ya Allah, kalau memang saya ditakdirkan ke Bandung sore ini, pasti ada jalannya. Tapi kalau gagal, memang Engkau belum mengizinkan…”

Belum sepuluh detik, saya mengangkat tangan lagi, “Tapi ya Allah, tolong ya Allah, uang saya tinggal seribu, saya bisa apa?? Biarkan saya ke Bandung ya Allah, terserah Engkau bagaimana caranya…” kali ini lebih memaksa.

Mungkin saya akan kembali melakukan kebodohan dengan memasuki lagi ruang ATM. Dalam hitungan saya, sudah empat kali saya bolak-balik ruang itu. Mungkin tukang parkir di depan bank itupun ikut menghitungnya.

Tetapi, Subhanallah, Allaahu Akbar!!! dugaan saya salah, ini bukan kebodohan, ini keberuntungan, dan Allah meridhoi saya ke Bandung. Ada uang 150 ribu di rekening saya, saya tak peduli uang dari mana, langsung tarik dan duduk manislah saya di shuttle bus.

Dalam perjalanan ke Bandung, teman yang tadi janji transfer menelepon, “Maaf, belum bisa transfer…” Nah loh, saya bingung, mulanya saya pikir ini uang dia yang mengirimnya. Tapi saya tidak mau ambil pusing, ini rezeki dari Allah, selalu datang dari arah yang tidak diduga.

Selang satu jam, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya, “Pak, honor tulisan bulan ini sudah saya transfer ya, maaf telat baru hari ini”

Maha Suci Allah yang telah mengatur segalanya. Andai ia tepat waktu mengirim honor tulisan itu, mungkin saya benar-benar gigit jari tak jadi ke Bandung. Pelajaran penting buat saya, Allah selalu tepat waktu dalam memberikan rezeki maupun pertolongan, meski kita kerap berpikir sebaliknya.

Gaw

Wednesday, August 13, 2008

Buku Terbaru Gaw, "Tangan Allah di Seutas Tali"


Saat nyawa di ujung tanduk, saat kematian di depan mata, saat tali-tali mulai putus, saat pengharapan mulai sirna, saat pintu-pintu tertutup, saat wajah mulai pucat pasi, kemana hati dan jiwa hendak meminta pertolongan? Kemana diri akan pergi menyelamatkan diri? Apakah kepada manusia yang kemampuan dan usahanya terbatas? atau kepada Tuhan manusia yang kekuatan dan kemampuan-Nya tiada terbatas?

Benar, hanya ada satu tali yang tak pernah putus. Hanya ada satu pintu yang tak pernah tertutup. Hanya ada satu tangan yang senantiasa terbuka. Itulah tangan Allah. Tangan-Nya senantiasa terbuka menerima dan memberi. Menerima taubat dan doa hamba-Nya. Memberi pertolongan dan kemudahan kepada siapa saja yang dikehendaki. Tiada pamrih dalam memberi dan terus memberi meski sering dikecewakan.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan kisah nyata yang sarat makna. Bahasanya sederhana, namun kalimat demi kalimat dirangkai dengan indah, menyentuh bahkan tidak jarang mampu meneteskan air mata.

Ada banyak pelajaran, wawasan dan inspirasi yang terkandung dalam setiap kisahnya. Semoga dapat membuka pintu kearifan pembaca dalam menjalani kehidupan ini.

Detail buku:

Judul : Tangan Allah di Seutas Tali
Penulis : Bayu Gawtama
Penerbit : Kuwais
Bulan dan tanggal terbit : Juli 2008 (cetakan I)
Halaman : 225 halaman
Warna cover : hitam
Harga : Rp. 35.000,-

Pemesanan bisa sms langsung ke: 087 87 877 1961 atau email ke bayugautama@yahoo.com

Tuesday, August 12, 2008

SOL, Chapter "Mengakui Kesalahan, Sanggup?" 16 & 23 Agustus 2008

Setiap manusia pernah melakukan kesalahan, bedanya, tidak semua berani mengakui kesalahannya. Ada yang merasa berat, malu, gengsi, atau alasan psikologis lainnya. Ada yang takut resikonya, ada yang tak berani menanggung akibatnya, ada pula yang tak ingin orang lain tahu kesalahan yang telah diperbuatnya.

Akibatnya, ada yang rela memendam rasa bersalah bertahun-tahun, ada yang terus menerus membohongi diri, menutupi kebohongan dengan kebohongan berikutnya. Bahkan yang lebih buruk, ada yang nekad mengambil jalan pintas -bunuh diri- daripada menanggung malu.

Setiap orang memang pernah dan kerap melakukan kesalahan. Manusia yang melakukan kesalahan bukan berarti ia lemah. Sebaliknya, manusia yang lemah yakni yang terus menerus membohongi diri sendiri, dan memendam kesalahannya. Sepertinya ia begitu kuat dengan menyimpan terus kesalahannya, padahal ia akan sampai pada puncaknya dan tak tahu lagi bagaimana harus mengakhirinya.

Mudahkah mengakui kesalahan? Sanggupkah? Bagaimana caranya? baik kesalahan yang bersifat pribadi maupun menyangkut kepentingan banyak orang. Apakah semua kesalahan harus diakui? atau ada kesalahan yang cukup disimpan untuk kemudian meminta ampun kepada Allah saja??

Berbagi pengalaman, Insya Allah akan meringankan beban diri maupun saudara kita. School of Life (SOL) menyajikannya dalam chapter "Mengakui Kesalahan, Sanggup?"

Sabtu, 16 Agustus 2008
Pukul 08.30 - 12.00 WIB
Executive Lounge, Graha Elnusa, Lt. 16
Jl. TB. Simatupang, Jakarta Selatan

Sabtu, 23 Agustus 2008
Pukul 15.30 - 18.00 WIB
Hotel Panghegar, Bandung

Info: Andips 0856 111 5545
Bambang 0852 843 80000
Novi 0813 22455369

email info dan confirmasi: schooloflife.gaw@gmail.com
http://bayugawtama.net

acara ini didukung pula oleh PT. Elnusa

Monday, August 11, 2008

Jangan panik kalau anak "ditempeli"

Sabtu kemarin, saya membawa isteri dan anak-anak ke Bogor (rumah keluarga isteri) karena nenek isteri meninggal dunia.

Singkat cerita, rumah itu penuh baik sebelum pemakaman maupun sesudah pemakaman. puluhan orang dari anggota keluarga usai pemakaman berkumpul di rumah dan menurut dugaan saya sementara, dari sinilah 'kejadian' bermula...

ceritanya begini, minggu pagi saya dan keluarga kembali pulang ke Sawangan, depok. Sejak usai dzuhur sampai menjelang sore, Raissa, putri bungsu saya yang masih berusia kurang 3 bulan, terus menangis dan gak brhenti. Para tetangga bingung, sebab biasanya Rai gak prnah rewel dan dikenal sebagai bayi yang anteng.

Isteri saya menduga ia masuk angin karena kami naik taksi dari bogor. awalnya saya pun menduga demikian, tapi saya tetap menaruh curiga. Saya minta isteri saya terus berdzikir sambil menyusui atau membaca beberapa ayat suci.

Tapi kenapa masih nangis terus?

Hingga menjelang maghrib, Rai tetap nangis. Saat itu saya sedang mandi untuk berniat ke masjid. Namun usai mandi, saya urungkan ke masjid dan memilih sholat maghrib di rumah. Segera saya ambil Rai dari isteri saya dan saya menggendongnya, saya mendekatkan telinganya kemudian saya bilang, "dari pada nangis, kita dzikir yuk de..."

Dugaan saya kuat, ada yang "ikut" dari Bogor, sebab sebelumnya, semenjak Rai lahir atau bahkan semenjak keluarga kami tinggal di Sawangan, tidak pernah ada kejadian seperti ini. rumah kami selalu kami hiasi dengan dzikir dan bacaan al quran.

mulailah saya berdzikir, dan subhanallah, baru terucap kalimat, "Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallaah..." Rai langsung diam. saya teruskan berdzikir dan membaca beberapa ayat, mulai dari alfatihan, al ikhlas, annaas, al falaq, al baqarah (termasuk ayat qursy), al mulk dan lain-lain.

Raissa pun terus diam dan lama-lama ia tertidur. saya pikir ketika ia sudah terlelap bisa saya tinggal, saya brhenti berdzikir, tiba-tiba Rai bangun dengan mata terbelalak dan wajah ketakutan, saya kembali peluk tubuh mungilnya dan membisikkan kembali lafadz2 dzikir di telinganya, ia pun tenang kembali, hingga tertidur. Kejadian ini berulang sampai ketiga kali, setiap kali saya berhenti berdzikir, Rai bangun dengan wajah ketakutan.

Kemudian saya sempat berbicara, "Sudah ya, kamu pulang saja, jangan ganggu Raissa, ia masih kecil dan ingin istirahat" saya melihat wajahnya sangat lelah sekali, sejak siang tidak bisa tidur.

Pukul 20.10, Rai benar-benar terlelap dan saya bisa bernafas lega, sebab sampai menjelang subuh ia baru terbangun lagi. Rai sudah bisa tersenyum pagi ini dan semoga tidak ada yang mengganggunya lagi.

Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallaahu wallaahu akbar...

Gaw

Maaf, Saya Harus Mencari Penggantimu

Maaf, sekali maaf, setelah sekian tahun kebersamaan kita. Setelah teramat banyak ujian dan cobaan kita lalui bersama, setelah berpindah-pindah rumah sampai akhirnya kita punya rumah sendiri saat ini, dirimu selalu menyertai.

Tetapi maaf, berat sekali saya harus mengatakan ini kepadamu, tetap saya memang harus mencari pengganti dirimu. Anak-anak sudah bosan denganmu, tak lagi menyayangimu, mereka memintaku untuk mencari yang baru, yang akan selalu menyertaimu kemana pun pergi. Menjadi teman tidur mereka, sahabat bermain, juga bercerita.

Mereka benar-benar tak lagi menyukaimu, lantaran penampilanmu yang tak lagi secantik dulu. Coba lihat dirimu, sedikit kumal dan benar-benar tak menarik. Pakaianmu yang sobek dan tak pernah ganti. Mereka malu jalan-jalan bersamamu, mereka takut dibilang anak kampungan bila bersisian denganmu.

Maaf, ini demi anak-anak. Bukan saya tak mencintaimu, sungguh saya masih sangat mencintaimu, tetapi jujur saya lebih mencintai anak-anak. Saya memang benar-benar harus mencari pengganti dirimu, mencari yang lebih cantik, lebih segar, penampilan lebih menarik, sehingga anak-anak pun tak malu jika jalan-jalan bersamanya.

Demi Allah, ini bukan kemauanku, bukat hasrat dan kepentinganku. Kepentingan dan kebahagiaan anak-anak jauh diatas urusanku sendiri. Dan saya akan melakukan apapun untuk mewujudkan kebahagiaan mereka, meskipun harus mengorbankan dirimu, bahkan mencampakkan dirimu.

Kamu boleh protes, marah atau memaki-maki jika itu diperlukan. Silahkan, sekali lagi maaf, calon penggantimu sudah saya persiapkan.

Selamat tinggal sayang, semoga masih ada yang mau menjadi teman sejatimu.

---------------------------

Surat terbuka untuk Choky, boneka anjing kesayangan Hufha dan Iqna, yang saya beli sejak hari pertama Hufha lahir.

Gaw, sedang mencari pengganti Choky nih