Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Tuesday, February 22, 2005

Surga Bernama Keluarga

Malam belum larut saat langkah menapaki teras rumah, perlahan membuka pintu yang belum terkunci berharap orang-orang terkasih di dalam tak terbangun. Ternyata, kehadiran saya senantiasa ditunggu oleh isteri dan anak-anak saya yang rela menahan kantuk untuk sekadar mendaratkan ciuman hangat mereka. Satu persatu dua bidarari kecil itu menubruk tubuh lelahku, hilang semua kantuk mereka bersamaan dengan sirnanya lelahku.

Saya terbaring di sofa dan serta merta anak-anak menyerbu kaki saya untuk melepaskan kaus kaki. Lalu tangan-tangan kecil itu memijat kaki saya, “capek ya?” Sesaat kemudian tangan kecil itu beralih ke kening, “pusing ya?”. Memang tak seperti pijatan seorang tukang pijat, tapi sentuhan tangan-tangan mungil itu terasa jauh lebih menenteramkan, membasuh peluh dan mengangkat lelahku.

Giliran isteri cantikku datang dengan teh hangatnya, satu kecupan penuh cinta mampir sejenak di keningku. Sambutan yang tak pernah absen dilakukannya semenjak hari pertama pernikahan kami. Sambil menunggu makanan yang tengah dipanaskan, kalimat yang teramat sering saya dengar, “Bagaimana hari ini? Ada masalah? Berbagilah…” Kemudian hati dan kedua telinganya terbuka luas untuk menampung semua keluhku sepanjang hari.

Makanan tersaji, anak-anak ikut mengitari hidangan lesehan khas keluarga kami. Sesekali tangan mungil si bungsu mencomot lauk, sementara si sulung menyeruput teh hangat milikku. Sebenarnya mereka hanya ingin mendapatkan satu kalimat dari saya, “Ya, nanti kita lihat bintang ya”. Maka bubarlah mereka dan kembali sibuk dengan mainannya.

Adalah sebuah kenikmatan tersendiri mendengar suara-suara lucu berteriak mengamini bacaan Al-Fatihah saat sholat berjamaah. Biasanya mereka mengikuti bacaan Fatihah maupun surat pendek yang saya baca, lumayan membuat saya terhibur dan tenang berharap mereka lebih menyukai lantunan itu ketimbang lagu-lagu yang banyak diputar televisi.

Beruntung, langit cerah malam itu sehingga kami bisa menggelar tikar di halaman depan. Berempat kami berbaring memandang langit untuk menghitung bintang dan menikmati indahnya rembulan. Kupandang langit penuh bintang bertaburan/ berkelap-kelip seumpama bintang ceria/ … senandung itu yang kerap keluar dari mulut mungil kedua bintang kecilku.

Malam telah larut, saatnya saya menemani dua bidadari kecil itu beristirahat. Biasanya, takkan terpejam mata mereka sebelum dua atau tiga dongeng kuhantarkan sebagai pengiring tidur keduanya. Dongeng penuh hikmah yang kan membuai mereka hingga ke alam mimpi. Akhirnya mereka pun tidur dengan wajah berseri, kuduga mereka tengah bermimpi menjadi putri cantik berkereta kencana, berkuda gagah yang siap mengantarkan sang putri menuju istana. Ah, indahnya…

Selanjutnya, adalah waktu bagi sepasang suami isteri untuk berbagi, kasih, cinta, duka, gembira. Bercerita apa pun sepanjang malam, hingga terangkat semua beban hari itu, hingga terobati semua luka, hingga tersingkirkan semua kerikil penghambat, hingga keduanya kembali menjelang pagi dengan hati yang ringan.

***

Pagi belum beranjak, ayam jantan pun belum lama berkokok. Kecupan hangat dan seuntai doa mengiringi langkahku keluar rumah. Sejuta harap dari dua bidadari kecilku agar kembali dengan selamat berjinjing oleh-oleh berupa makanan kecil atau buah kesukaan mereka. Saya sering merasa berdosa ketika melihat wajah kecewa mereka saat mendapati tangan saya tak berbuah apa pun. Mereka sudah hapal dengan jawabanku sehingga mereka pun segera mengambil kesimpulan, “nanti kalau punya rezeki beliin buah ya”.

Hidup pun terus berputar, berbaring di sofa menunggu tangan-tangan kecil melepaskan kaus kaki kemudian memijatinya. Segelas teh hangat membasuh penat, dan hati yang terbuka luas siap menampung semua keluh sepanjang hari. Mendengarkan suara-suara lucu dari mulut-mulut mungil mencoba melafazkan doa sehari-hari atau mengeja huruf-huruf Alquran. Berbaring bersama di halaman depan memandangi langit, menghitung bintang dan menikmati indahnya rembulan.

Inilah yang saya sebut surga bernama keluarga. Adakah yang lebih indah dari keluarga?

Bayu Gautama

Friday, February 18, 2005

Take It Or Lose It

Dalam sebuah kelas pelatihan, saya mengambil selembar kertas polos kemudian menggunting-guntingnya menjadi beberapa bagian. Ada guntingan besar ada juga yang kecil. Tapi jumlahnya sengaja saya buat tak sama dengan jumlah peserta dalam kelas itu, dua puluh orang.

Kemudian saya meminta kepada peserta untuk mengambil masing-masing satu guntingan kertas yang tersedia di meja depan. “Silahkan ambil satu!” demikian instruksi yang saya berikan.

Dapat diduga, ada yang antusias maju dengan gerak cepat dan mengambil bagiannya, ada yang berjalan santai, ada juga yang meminta bantuan temannya untuk mengambilkan. Dua tiga orang bahkan terlihat bermalasan untuk mengambil, mereka berpikir toh semuanya kebagian guntingan kertas tersebut.

Hasilnya? Empat orang terakhir tak mendapatkan guntingan kertas. Delapan orang pertama ke depan mendapatkan guntingan besar-besar, yang berjalan santai dan yang meminta diambilkan harus rela mendapatkan yang kecil.

Lalu saya katakana kepada mereka, “inilah hidup. Anda ambil kesempatan yang tersedia atau Anda akan kehilangan kesempatan itu. Anda tak melakukannya, akan banyak orang lain yang melakukannya”.

Pagi ini di kereta saya mendapati seorang wanita hamil yang berdiri agak jauh. Saya sempat berpikir bahwa orang yang paling dekat lah yang ‘wajib’ memberinya tempat duduk. Tapi sedetik kemudian saya bangun dan segera memanggil ibu itu untuk duduk. Ini perbuatan baik, jika saya tak mengambil kesempatan ini orang lainlah yang melakukannya. Dan belum tentu esok hari saya masih memiliki kesempatan seperti ini.

Soal rezeki misalnya, saya percaya ia tak pernah datang sendiri menghampiri orang-orang yang lelap tertidur meski matahari sudah terik. “Bangun pagi, rezekinya dipatok ayam tuh!” Orang tua dulu sering berucap seperti itu. Dan entah kenapa hingga detik ini saya tak pernah bisa menyanggah ucapan orangtua perihal rezeki itu. Saya percaya bahwa orang-orang yang lebih cepat berupaya meraihnya lah yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Sementara mereka yang bersantai-santai atau bahkan bermalas-malasan, terdapat kemungkinan kehabisan rezeki.

Contoh kecil, datanglah terlambat dari jam kantor Anda yang semestinya. Perusahaan tidak hanya akan mengurangi gaji Anda akibat keterlambatan Anda, bahkan kinerja Anda dianggap minus dan itu mempengaruhi penilaian perusahaan terhadap Anda. Bisa jadi Anda tidak mendapatkan promosi tahun ini, sementara rekan Anda yang tak pernah terlambat lebih berpeluang.

Saya sering mendengar teman saya berkomentar negatif tentang apa yang dikerjakan orang lain, “Ah, kalau cuma tulisan begini sih saya juga bisa melakukannya” atau “Saya bisa melakukan yang lebih baik dari orang itu”. Kepadanya saya katakan, saya yakin Anda bisa melakukannya. Masalahnya, sejak tadi saya hanya melihat Anda terus berbicara dan tak melakukan apa pun. Sementara orang-orang di luar sana langsung berbuat tanpa perlu banyak bicara. Buktikan, jika Anda sanggup! Terus berbicara dan mengomentari hasil kerja orang lain tidak akan membuat Anda diakui keberadaannya. Hanya orang-orang yang berbuatlah yang diakui keberadaannya.

Kepada peserta di kelas pelatihan tersebut saya jelaskan, simulasi tadi juga berlaku untuk urusan ibadah. Saya tidak berhak mengatakan bahwa orang yang lebih tepat waktu akan mendapatkan pahala lebih besar, karena itu hak Allah dan juga tergantung dengan kualitas ibadahnya itu sendiri. Tapi bukankah setiap orang tua akan lebih menyukai anaknya yang tanggap dan cepat menghampiri ketika dipanggil ketimbang anak lainnya yang menunda-nunda? Jika demikian, buatlah Allah suka kepada Anda. Karena suka mungkin saja awal dari cinta. Semoga.

>Bayu Gautama

Thursday, February 17, 2005

Mentari Tak Jadi Bersinar Pagi Itu

“Abang mau kemana? Baru dua hari di rumah kok sudah mau pergi lagi. Abang nggak sayang sama Aya…”

Erat Hayati memegang pergelangan tangan Gagas. Ia seperti tak rela membiarkan abangnya pergi. Dadanya masih terasa sesak setelah kepergian bapak dan ibunya. Jilatan api yang mengganas tak hanya menghanguskan rumah mereka, tetapi juga dua orang yang teramat dicintainya.

Lidah api yang menjulur-julur berkelebatan terus menyambar dan menjalari semua sudut ruangan dalam rumah mungil itu. Adzan shubuh belum lagi tiba, tapi Hayati dan para tetangga bangun lebih pagi dan bersimbah dengan air. Bukan untuk berwudhu, tapi menyirami udara dingin pagi itu yang seketika menjadi panas yang menyesakkan.

Semua terbangun pagi itu, ayam jantan pun terbangun meski ia tak sempat berteriak memanggil pagi seperti biasanya. Tapi ada yang tak bangun pagi itu, dua sosok yang hangus terbakar berpelukan yang terlupa dibangunkan oleh Hayati. Dua sosok yang semestinya lebih dulu diselamatkan, kini menjadi penyesalan yang menyesakkan.

“Abang mau pergi. Pergi meninggalkan kedukaan ini,” aku Gagas sambil melepaskan pegangan tangan adiknya.

Perlahan tangis Hayati mengisak, mencoba menggerus perasaan abangnya dengan segukannya. Gagas tegap berdiri, dan tetap ingin pergi.

“Sudah lah ya, nggak perlu cengeng begitu,” pinta Gagas.

“Tapi abang masih menyalahkan Aya kan? Iya kan? Abang menganggap kematian bapak dan ibu karena Aya kan?” tangisnya menjadi, tak sekadar segukan.

Gagas tetap berdiri mematung. Sebentar kemudian ia raih pundak Hayati dan memeluknya erat.

“Abang tak pernah berkata begitu kan?”

“Tapi bang…”

“Adik abang yang manis, abang pergi bukan karena benci Aya. Bukan juga menyalahkan Aya atas semua ini. Abang cuma ingin…” Gagas tak melanjutkan kalimatnya.

Aya menatap harap wajah abangnya itu, menunggu barisan kata berikut menghujani telinganya. Namun sejujurnya ia hanya siap dihujani kalimat yang menenangkan, bukan yang kan mengombakkan lagi tangis di hatinya.

***

Empat tahun meninggalkan rumah berlayar jauh ke negeri jiran mengais rezeki menjadi kuli bangunan tak menyurutkan kesabaran Gagas. Bulir-bulir keringat di antara kepulan debu bangunan, tetesan darah yang sering terabaikan dari kaki yang tergores seakan berbicara tentang kesungguhan tekad lelaki muda itu mewujudkan sebuah mimpi Bapak. Pergi ke rumah Allah.

Lelaki kecil berperawakan kurus itu memanggul beban yang tak sebanding dengan bobotnya. Menahan seribu rindu akan buaian kasih tangan ibu dan untaian nasihat hangat dari Ayah.

Masih jelas senyumnya dengan mata menerawang membayangkan bapak dan ibunya mengenakan kain putih dan lantang menjawab panggilan Allah, “labbaikallahumma labbaik…” saat menggenggam gaji pertamanya.

Pupuslah rasa rindu, hadirlah bayang cinta bapak dan ibu menerima oleh-oleh cinta sang anak berupa kain putih dan mukena untuk ihram yang ia beli dari negeri jiran. Empat tahun hasil keringatnya dirasa cukup untuk biaya dua orang ke baitullah.

“Bapak, Abang pulang dua hari lagi. Insya Allah bapak bisa pergi haji tahun ini,” kalimat terakhir Gagas dari ujung telepon.

Tak pernah terbayang oleh Gagas bahwa kain putih yang dibawanya untuk dipakai bapak berihram, justru digunakan untuk membungkus tubuh hangus sang cinta. Begitu juga ibunya. Empat tahun membunuh rindu hanya untuk melihat dua sosok tubuh yang mengenaskan, bahkan Gagas pun kesulitan saat hendak mengecup kening bapak atau ibu.

“Kalau abang ada di rumah, Bapak dan ibu takkan begini,” ucap Gagas saat kecupnya mendarat di kening pekat bapak.

***

Hayati, gadis kecil itu hanya bisa menahan bayang Gagas yang semakin jauh meninggalkannya. Seperti daun kering yang terlepas dari dahannya, terbang tersapu angin menari mengikuti iramanya. Semakin tinggi membubung, merunduk sedikit sudah diterpa hembusan berikutnya, seterusnya begitu hingga lembar yang tak lagi berwarna hijau itu hilang di ujung pandangan.

Tinggal dahan kering yang tak berdaun, Hayati menunggu semu bayang yang tak pernah kembali. Berbilang minggu, purnama dan masa terlewati tanpa lelah di gerbang harap. Tapi daun yang telah kering itu tak lagi pernah kembali.

Kehadiran Gagas sempat menawarkan hangat mentari bagi Hayati. Tapi mentari benar-benar tak hendak bersinar pagi itu, ia terbang bersama bayang yang menyatu dengan cahayanya.

“Kepergian bapak dan ibu amat menyedihkan, tapi Alhamdulillah masih ada bang Gagas,” Hayati mulai menampakkan senyumnya kepada para tetangga yang bersimpati padanya.

Tapi belum hangat dahaga itu, Gagas pergi meninggalkannya. Hayati bisu seketika. Tatapannya kosong, matanya melambai melepas kepergian Gagas. Tapi ia hanya bisa diam, dan kepergian Gagas menyisakan sejuta tanya.

“Mengapa Abang pergi meninggalkan Aya? Abang mau kemana? Baru dua hari di rumah kok sudah mau pergi lagi. Abang nggak sayang sama Aya…”

Mungkin Hayati hanya bisa berharap. Berharap dan terus bermimpi. Kelak mentari membangunkannya di pagi hari dan mengajaknya terbang menyatu dengan bayang yang pernah meninggalkannya.

***

Nyanyian pagi menggugah Hayati membuka jendela kamarnya. Daun-daun dari pohon rambutan yang tumbuh persis di dekat jendela kamarnya memainkan irama yang khas. Irama yang keluar dari sentuhan burung pipit yang hinggap dari satu dahan ke dahan lain, satu, dua, lebih lima burung itu berputar dan berganti tempat hinggap. Seperti sekelompok balerina yang tengah mempertunjukkan kebolehan tarian angsa putih yang menawan, burung-burung itu tak hentinya berpindah.

Sesosok bayang muncul dari terpaan sinar mentari yang langsung masuk ke kamar gadis kecil itu. Sosok yang pernah dirinduinya. Perlahan mendekat bayangnya menjadi sosok yang jelas. Lelaki itu, bukan yang pernah ia rindui.

Sepucuk surat yang membawa kabar dari negeri jauh,

“Abang tidak akan pernah bisa menjawab kenapa Abang meninggalkan Aya. Karena abang pun tidak pernah mendapatkan jawaban dari bapak dan ibu kenapa mereka pergi meninggalkan kita”

Sebulir air sebesar jagung menyembul di sudut mata Hayati.

“Jika surat ini tiba di tangan Aya, mungkin abang sudah entah dimana. Sungguh abang terus mencari jawaban itu meski abang harus menempuh satu-satunya jalan: mengunjungi bapak dan ibu”

Tak hanya sebulir. Kolam tangis terbentang di bening mata gadis yang sendiri itu. Mentari benar-benar tak jadi bersinar pagi itu. Mungkin selamanya.

Bayu Gautama

Wednesday, February 16, 2005

Jilbab di STIS: Lagu Klasik!

Aneh, klasik, norak, atau entah kata apa lagi yang pantas diungkapkan untuk sebuah kebijakan yang berlaku di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, yang memperketat aturan berjilbab di kampus tersebut yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Para mahasiswi di kampus itu hanya diperbolehkan menggunakan jilbab kecil yang tak menutupi dada mereka. Kebijakan ini jelas melanggar kebebasan seseorang untuk menjalankan agamanya.

Negara menjamin setiap warga negaranya untuk menjalankan ajaran agamanya, dan rasanya sangatlah aneh di negara yang menjunjung tinggi alam demokrasi seperti saat ini, masih ada kebijakan yang mengekang kebebasan orang untuk menjalankan keyakinannya. Ini seperti lagu klasik yang coba diputar kembali, yang semestinya tak perlu terulang kembali. Terlebih di era setiap orang maupun lembaga yang melakukan pelanggaran HAM menjadi sorotan tajam.

Berita yang ditulis Harian Republika (14/2) menerangkan, STIS memperketat aturan berjilbab bagi mahasiswinya. Para mahasiswi tingkat I khususnya hanya diperkenankan mengenakan jilbab ukuran kecil, yang tak menutup bagian dada mereka. Mereka yang tak menghiraukan aturan tersebut terancam dikeluarkan dari perguruan tinggi di Jakarta Timur itu. Sebuah gaya lama ternyata masih berlaku di sekolah ini, sikap otoriter yang tak perlu.

Selain alasan keseragaman, tidak jelas kenapa pihak sekolah menerapkan kebijakan ini. Ketua STIS Jakarta, Satwiko Darmesto mengaku opsi untuk memberlakukan jilbab ukuran kecil itu untuk keragaman agar terlihat lebih bagus. “Ini agar terlihat seragam. Kalau dibiarkan ada yang menggunakan jilbab besar dan kecil, kan terlihat tidak bagus,” katanya. (republika, 16/2).

Agak aneh mendengar penjelasan Satwiko tersebut. Sebelumnya, diakui Satwiko, pihaknya memiliki dua opsi bagi mahasiswa untuk menggunakan jilbab kecil dan besar. Dan akhirnya dipilih untuk diseragamkan semua mahasiswa menggunakan jilbab kecil. Jika yang menjadi alasan adalah keseragaman agar terlihat bagus, kenapa juga tidak dipilih opsi jilbab besar saja. Pilihan ini tentu lebih aman dan tidak melanggar HAM seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Kecuali, jika pihak STIS mempunyai pandangan lain, bahwa jilbab besar itu tidak bagus, di sisi lain jilbab kecil lebih bagus. Ini tentu akan menimbulkan persoalan lain, dan perlu pula dipertanyakan. Misalnya, apakah pihak sekolah sengaja –dengan memilih opsi jilbab kecil- agar para mahasiswinya tetap terlihat seksi meski mengenakan jilbab?

Jilbab hakikatnya tak sekadar menutup aurat –selain wajah dan tapak tangan, semuanya adalah aurat bagi wanita yang harus tertutup- tapi juga bagian dari keyakinan seseorang yang menjalaninya. Jika seseorang atau institusi melakukan tindakan pelarangan atau membatasi orang lain untuk menjalaninya, tentu saja ini lebih dari sekadar pelanggaran HAM.

Menutup aurat dan menggunakan jilbab hukumnya wajib, karena dalilnya jelas. Meski diakui soal bentuk, ukuran, motif dan warnanya tidak aturan yang mutlak. Kewajiban setiap mukmin untuk menutup auratnya memang tidak mesti harus dengan jilbabnya yang panjang ke bawah, seseorang yang mengenakan jilbab ukuran kecil serta mengenakan pakaian lain yang menutupi bagian lainnya, tentu sudah dianggap menutup aurat. Tetapi jika ada seseorang yang mengenakan jilbab berukuran panjang untuk menutupi lekukan tubuhnya –terutama bagian dada- berdasarkan keyakinannya, tentu saja merupakan hak mereka yang juga harus dihormati atas dasar HAM. Orang yang terinjak kakinya saja bisa marah, apalagi yang menyangkut asasi untuk menjalankan keyakinannya.

Nampaknya pihak STIS perlu menengok kembali kebijakannya tersebut, serta membiarkan para mahasiswanya menjalankan keyakinannya. Yang mau jilbab pendek yang biarkan, yang berkeyakinan untuk mengenakan jilbab panjang juga jangan dihambat. Terlalu banyak ‘pekerjaan rumah’ yang perlu dilakukan umat dan bangsa ini, dan tak perlu direcoki lagi dengan urusan klasik seperti kasus STIS ini. Dan alasan keseragaman itu nampaknya terlalu mengada-ada.

Ummu Iqna

Thursday, February 10, 2005

31 Tahun Sudah

Dini hari sebuah kecupan manis mampir di keningku yang masih basah keringat, demamku mulai turun. Kecupan itu menandai perjalanan panjangku yang telah menapaki angka 31.

Terima kasih yang, hampir lima tahun kau menemaniku dalam suka dan duka. Dan dua buah hati kecil kita, tanda cinta kasih kita berdua, mereka seperti malaikat-malaikat kecil yang senantiasa membuat kita tak pernah berhenti bersyukur.

Allah, begitu indah nian hidup yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, kepada kami.

Terima kasih Allah

Bayu Gautama
10 Februari 2005

Thursday, February 03, 2005

Yang Muda Yang Rapuh!

Allah tahu saya belum berinfak hari ini, karenanya Dia mengirimkan Pak Ugi untuk mendekat ke saya. Pagi itu kereta teramat penuh, dari Stasiun Depok naiklah seorang tua ditemani isterinya. Mereka tampak kelelahan, dan saya persilahkan isterinya untuk duduk.

"Bapak jalan kaki dik dari Banten ke Depok," ujar Pak Ugi tanpa merinci daerah bagian mana di Banten yang ia maksud.

Saya tertegun membayangkan betapa lelahnya mereka berdua. Dan yang lebih membuat saya terhenyak, mereka melakukan itu karena telah kehilangan perbekalan mereka, antara lain uang sejumlah tujuh ratus ribu rupiah.

"Saya ingin pulang ke Pamanukan, tapi sudah tidak punya ongkos," lanjutnya sambil bercerita, beberapa orang yang ditemuinya menyarankan ia mengamen saja berdua dengan isterinya. Bahkan seorang yang lain berkata, "Bapak kan pakai peci, jadiin modal buat minta-minta saja...".

Pak Ugi langsung mengurut dada, ia tak menyangka mendapat perlakuan demikian. Ia katakan kepada pemuda itu bahwa ia tak pernah meminta apa-apa darinya, dan ia juga bukanlah pengemis. Isterinya sempat menangis mendengar ucapan pemuda itu. Pak Ugi pun menghibur isterinya dengan mengajaknya ke masjid, sholat dan berdoa agar Allah memberinya jalan.

"Doa saya dik, cuma satu, agar Allah memberikan saya kemudahan dan mempertemukan saya dengan orang-orang baik," katanya.

Ia pun bercerita tentang tujuannya, mereka hendak ke Stasiun Kota untuk kemudian pulang ke kampungnya di Pamanukan. Sambil cerita, ia berbisik, "Petugas KA sudah periksa karcis belum? Saya nggak beli karcis, takut disuruh turun".

Saya hanya berdiri mematung, meringis mendengar cerita Pak Ugi. Satu pelajaran berharga saya dapatkan hari ini, betapa seorang tua seperti Pak Ugi pantang bermental pengemis meski dalam keadaan tak berdaya sekali pun.

saya yang muda, teramat sering mengeluh, terlalu sering berharap orang lain melihat dan mendengarkan keluhan saya dan tak henti-hentinya berharap uluran tangan dari orang lain. Padahal dengan segala kemampuan dan kekuatan yang ada, saya semestinya jauh lebih kuat dari Pak Ugi.

Benarlah, semakin tua seseorang semakin kuat ia. Karena sesungguhnya ia telah banyak melalui berbagai rintangan yang belum pernah ditemui oleh yang muda. Secara fisik mereka yang tua memang terlihat lemah, tapi mental kita yang muda terkadang lebih rapuh.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Pak Ugi atas pelajaran berharganya, saya berpikir sejenak dan kemudian, sebelum satu stasiun lagi saya turun, saya selipkan sejumlah uang yang mudah-mudahan bisa mengantarkan mereka berdua sampai ke kampungnya. Semoga.

Sungguh, ia tak memintanya, tapi saya yang memaksanya menerima pemberian yang tak sebanding dengan pelajaran berharga yang saya terima. Semoga Allah melindungi mereka.

Bayu Gautama