Ada gemuruh di dada di Rabu siang itu, usai sholat dzuhur berjamaah, Presiden ACT, Ahyudin, memanggil semua karyawan dan relawan untuk berkumpul di ruang meeting lantai 3, Gedung ACT, di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Satu persatu wajah-wajah yang sangat bersahaja itu berdatangan, rasanya semakin keras gemuruh di dada ini. Saat pelepasan pun tiba, suasana sangat mengharukan, ketika kembali saya memandangi setiap wajah di ruangan itu, gemuruhnya bertambah keras. ACT Indonesia Humanitarian Team for Palestina 2010, segera siap diberangkatkan dari kantor menuju bandara Soekarno Hatta. Wajar, bila kemudian ada airmata yang tak tertahankan tumpah di ruangan itu, tugas kemanusiaan ke Palestina, meski bukan kali pertama bagi lembaga ini, tetap saja menghadirkan nuansa penuh emosional. Siapapun yang berangkat, meski berat untuk melepaskannya, namun tugas tetap harus ditunaikan.
Emosi membuncah, tumpah dan meledak, teriak takbir membahana di seisi kantor dan menggetarkan empat lantai Gedung ACT. Imam Akbari, Vice President Program dan Bayu Gawtama, Direktur Program ACT, siap menuju Palestina hari ini, Rabu, 7 Juli 2010. Jelas penuh emosi di hari itu, bukan hanya dirasakan dua orang terpilih yang akan berangkat, melainkan semua yang hadir dan membersamai perjalanan ACT selama ini. "Siapa yang tidak mau ke Palestina?" tidak satupun orang di ACT yang akan mengacungkan jarinya jika mendapat pertanyaan seperti ini. Artinya, semua orang di lembaga ini, karyawan maupun relawan, laki-laki atau perempuan, sangat ingin mendapatkan tugas mulia ini. Meskipun mereka sadar, tugas ke Palestina akan sangat berbeda resikonya dari berbagai tugas kemanusiaan yang sudah biasa dijalani di lokasi-lokasi bencana seperti gempa, banjir bandang, gunung meletus dan lain sebagainya. "Jelas kami tahu, justru semakin kami tahu semakin ingin kami berangkat ke Palestina..." begitu kira-kira suara yang mewakili hampir seluruh personil di ACT.
Satu jam berselang, sekitar pukul 14.30 WIB, tim pun bersiap menuju bandara. sekitar enam kendaraan roda empat mengiringi perjalanan tim ke bandara. Ini adalah sebuah tim besar, meski yang berangkat hanya dua orang, namun yang bekerja untuk program kemanusiaan mulia ini adalah seluruh anggota tim di lembaga ini, termasuk ribuan relawan yang tergabung di MRI - Masyarakat Relawan Indonesia di berbagai wilayah dan daerah. Dan yang tak kalah pentingnya, misi tim ini juga membawa dukungan dari segenap masyarakat Indonesia di dalam dan luar negeri yang mendukung penuh program kemanusiaan untuk Palestina. ACT mengusung kepedulian untuk anak-anak dan pendidikan, ini fokus program yang kami pilih karena anak-anak adalah komunitas paling rentan dari setiap kejadian bencana ataupun konflik. Selain itu, anak-anak adalah penerus dari sebuah bangsa, generasi harapan yang akan menjadi pemimpin bangsa. Menyelamatkan anak-anak adalah juga menyelamatkan bangsa tersebut, menjamin keberlangsungan bangsa itu untuk terus bertahan.
Tiba di Bandara, tim disambut beberapa media. Meski penting kehadiran sebuah media dalam mendukung sosialiasi program ACT, namun fokus kami, terutama yang akan berangkat hari itu adalah meyakinkan semua persiapan tidak ada masalah, sehingga perjalanan lancar dan mudah. Keharuan kembali membuncah, emosi kembali meledak, bahkan lebih dahsyat dari yang terjadi di kantor siang tadi. Usai mengurus check-in dan bagasi yang sempat rumit karena kelebihan muatan sehingga harus mengurangi muatan dan repackage, pukul 17.00 siap berangkat.
Waktunya berpisah, terutama dengan keluarga yang ikut mengantar ke bandara. Raissa, putri ketiga Gaw, tidak mau lepas dari gendongan dan menolak dialihkan ke Umminya. Begitu juga putra putri dari mas Imam. Berat memang meninggalkan mereka, tetapi inilah ujiannya. Setiap orang yang bekerja di lembaga kemanusiaan seperti ACT, mau tidak mau senantiasa melibatkan kesiapan keluarga dalam menjalankan tugas kemanusiaan. Yang bersangkutan boleh siap, tetapi kalau keluarga tidak siap, maka akan semakin berat langkahnya. Beruntung, keluarga Imam dan Gaw, merupakan keluarga yang selalu siap dan memang sudah terbiasa juga ditinggal kepala keluarganya menjalankan tugas kemanusiaan.
Panggilan untuk para penumpang Etihad sayup-sayup terdengar, pukul 18.40 WIB waktu take off, boarding pun sudah dibuka. Airmata lagi-lagi tak tertahankan, boleh jadi ini pertemuan terakhir dengan keluarga dan sahabat-sahabat di ACT. Mungkin akan kembali, mungkin juga tidak. "Gaza itu unpredictable, tugas ke sana harus siap segalanya, termasuk siap tidak kembali..." begitu ucap seorang teman yang pernah ke Gaza.
Langkah tegap harus diambil, tak boleh menunduk, tetap tersenyum dengan langkah meyakinkan. Ini tugas mulia, semua pasti mendukung, anak-anak hanya belum mengerti kenapa Ayah mereka selalu pergi, insya Allah suatu saat mereka akan mengerti kemuliaan tugas sang Ayah. Lambaian tangan tak boleh menyurutkan langkah, tangisan keluarga tak sedikitpun membuat mundur, peluk cium para sahabat justru menguatkan perjalanan ini, bahwa tim ini dilepas dengan cinta.
Terima kasih dukungan dari semua pihak, babak baru perjalanan ke Palestina dimulai lagi. Kami akan sampaikan salam Indonesia untuk Palestina, salam anak-anak Indonesia untuk anak Palestina melalui ribuan lembar kartu pos yang telah tertulis pesan semangat dan juga cinta.
Bersambung ... di tulisan kedua nanti ya (tunggu sabar ya...)
Gaw, dari bandara Abu Dhabi, UAE
No comments:
Post a Comment