Tugas kemanusiaan ke Palestina bukan sembarang tugas, siapapun yang diberi amanah untuk berangkat ke Palestina mesti jauh-jauh hari menyiapkan diri, membersihkan hati dan meluruskan niatnya agar tak terbersit sedikitpun hal-hal yang mengotori hati sehingga mengurangi keberkahan tugas itu. Buang jauh-jauh perasaan bahwa kita orang pilihan –baca; orang terbaik- di lembaga sehingga layak diberi amanah yang luar biasa seperti ini. Singkirkan pikiran bahwa kita ini hebat, sehingga tugas berat memang hanya untuk yang hebat. Bukan, bukan karena itu kawan. Bukan karena Anda orang terbaik atau terhebat sehingga diberi amanah ini, semuanya rahasia Allah. Bisa jadi justru sebaliknya, Allah tengah menguji orang-orang yang sesungguhnya lemah untuk menjadi kuat dengan tugas ini, memberi pelajaran bagi orang-orang yang selama ini kurang mengambil banyak hikmah di muka bumi ini.
Maka wajar ketika saya dan mas Imam ditunjuk untuk mengemban amanah ini, muncul keyakinan bahwa ini bukan karena kami yang terbaik, justru sebaliknya ini merupakan ujian buat kesabaran dan keyakinan kami. Beberapa pekan yang kami lakukan sebelum keberangkatan misi ke Palestina adalah memerbaiki diri, membersihkan hati, menguatkan mental dan senantiasa meluruskan niat. Kita bukan hendak menjadi pahlawan penolong rakyat Palestina, bukan, bukan itu kawan! Allah yang akan menentukan apakah kita bisa memasuki Gaza atau tidak sama sekali, meski sudah beberapa kali kita mencoba menembus blokade. Bukan Israel atau Pemerintah Mesir yang berkuasa, sangat mudah bagi Allah untuk mengatur semua yang ada di bumi ini, terlebih sekadar membuka pintu perbatasan di Rafah. Itu perkara sepele bagi Allah.
Allah yang akan menilai apakah orang-orang berlabel “relawan kemanusiaan” ini pantas atau tidak memasuki tanah suci Palestina. Pandangan Allah pasti menangkap sebutir debu yang mengotori hati para relawan, dan jika pada akhirnya perbatasan tetap tertutup boleh jadi karena Allah belum ridha tanah suci-Nya dimasuki oleh orang-orang yang hatinya kotor dan niatnya tidak lurus. Apakah setiap orang yang berhasil memasuki Gaza boleh dibilang hatinya bersih? Tidak juga, ini semua rahasia Allah semata. Nalar kita tidak akan pernah sampai untuk menganalisa kehendak Allah. Allah menghendaki siapa yang berhak dan siapa yang tidak, yang terpenting adalah berupaya tetap membuat Allah tersenyum dan akhirnya memberikan ridha-Nya untuk memasuki Gaza.
Salah satu cara Allah membersihkan niat dan hati saya adalah, dengan Allah memberi saya dua kesakitan dalam perjalanan menuju Palestina ini. Pertama ketika masih di Abu Dhabi, penyakit asam urat yang sudah lebih satu tahun tidak saya rasakan tiba-tiba terasa. Sehingga saya harus pincang-pincang ketika turun di Kairo. Bahkan sakitnya tidak tanggung-tanggung, kaki saya semakin bengkak dan belum pernah sebesar kali ini. “Ya Allah ini sakit sekali, saya ikhlas ya Allah jika ini untuk mencuci dosa-dosa saya,” gumam saya.
Sampai hari kedua di Kairo, kaki saya masih terasa sakit meskipun saya sudah mengonsumsi obat herbal yang dititipkan seorang sahabat di komplek rumah. Jika bukan karena tekad kuat untuk melakukan banyak hal di Kairo sebagai persiapan menuju perbatasan Rafah, mungkin saya hampir tidak kuat berjalan. “Saya tidak boleh kalah dengan rasa sakit ini, rakyat di Palestina jauh lebih menderita dari sekadar yang saya rasakan, bismillah…”
Saya baru tersadar, selain berharap rasa sakit itu bisa mengurangi dosa-dosa saya sebelum berangkat, saya pernah berkata, “Alhamdulillah, sudah satu tahun lebih saya tidak pernah lagi merasakan sakit asam urat berkat obat herbal tersebut,” beberapa teman pasti pernah mendengar ucapan saya ini. Sehingga saya merasa yakin penyakit ini tidak akan mengganggu perjalanan tugas kemanusiaan ke Palestina. Tetapi Allah Maha Berkuasa, tiba-tiba sakitnya datang disaat saya harus mengemban tugas ini. Masya Allah, ampuni hamba ya Allah…
Kedua, di hari kedua di Kairo, Jumat menjelang sore matahari terasa menyengat hingga hampir 50 derajat celcius, tiba-tiba saya merasa kedinginan. Saya panas dingin dan bilang ke mas Imam soal keadaan ini. Boleh jadi, menurut mas Imam, karena faktor cuaca. Tapi bagi saya tidak ketika saya menyadari ucapan saya yang lain ketika masih di tanah air jauh hari sebelum ada rencana keberangkatan ke Palestina. “Alhamdulillah sudah lebih empat tahun saya tidak pernah sakit, paling-paling hanya flu biasa”.
Di hari itu, saya demam, kepala pusing dan saya minta ke mas Imam agar kita kembali ke Wisma saja untuk beristirahat, meskipun saat itu sudah hampir pukul 19.00 waktu Kairo. Sampai di Wisma saya mencari obat yang dibekali Rini Maryani, salah satu tim program ACT dan langsung istirahat. Meski semalaman kedinginan, namun menjelang tengah malam berangsur pulih. Disaat itulah saya sadar, bahwa sakit demam ini juga teguran dari Allah atas ‘kesombongan’ saya semasa di tanah air.
Kepada diri saya sendiri saya menegur keras, “Jangan sombong kawan!”, ini pelajaran berharga buat saya yang tanpa sadar meski tipis dan tidak kelihatan namun tetap sombong, padahal sombong itu hak prerogatif Allah. Wallaahu ‘a’lam
Gaw, Kairo 11 Juli 2010
No comments:
Post a Comment