Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Monday, July 19, 2010

ACT Road to Palestine; “Gaza, Terimalah Kami” (bag 8)

Ada satu kalimat yang cukup terkenal terkait dengan kesempatan, yakni “no second chance” yang terjemahan bebasnya berarti “tidak ada kesempatan kedua”. Kalimat ini sering dipakai oleh banyak orang untuk menggambarkan betapa pentingnya memanfaatkan setiap kesempatan yang ada –untuk melakukan sebaik-baiknya- karena belum tentu ada kesempatan kedua untuk melakukannya. Situasi ini menggambarkan sebuah semangat bagi siapapun untuk tidak menyia-nyiakan waktu, peluang, kesempatan sekecil apapun untuk berbuat yang terbaik. Sebab telat sedikit saja, atau lalai kita memanfaatkan peluang itu, akan merugilah kita. Pepatah barat lain mengatakan, “time is money”, yang saya lebih suka mengartikannya, “waktu sangat berharga, karena tidak bisa dihentikan, tidak akan pernah bisa diulang”.

Begitu pentingnya waktu, bahkan Sang Khaliq pun bersumpah atas nama waktu dan kerugian bagi mereka yang tidak bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Nilai takwa dan terus menerus berbuat kebaikan adalah cara terbaik agar tidak menjadi orang yang merugi, ditambah terus mengingati sesama untuk teguh pada kebenaran, serta mengajak –dirinya- dan orang lain untuk senantiasa bersabar.

Semangat memanfaatkan peluang inilah yang mendorong tim ACT untuk bergerak ke perbatasan Rafah pada Kamis, 15 Juli 2010, untuk mencoba menembus pintu perbatasan. Saya berani bilang, bahwa perbatasan itu bukan untuk membatasi melainkan sebuah tantangan untuk bisa melintasinya. Begitu pula dengan kehidupan ini, segala rintangan di hadapan itu bukan kemudian membuat kita berhenti melangkah, tetapi justru untuk membuat kita semakin percaya diri setiap kali mampu mengatasi rintangan yang ada.

Rabu tengah malam sebelumnya, kami mulai berkemas. Merapihkan pakaian dan memasukannya ke dalam tas besar serta memilih barang-barang penting untuk dibawa. Beberapa perlengkapan yang dirasa masih boleh ditinggal sementara kami tinggal dulu di Wisma. Kamis pagi, usai sholat subuh kembali mengecek semua barang-barang yang akan dibawa. Sekitar pukul 05.30, Taryudi Kasimun, relawan yang juga mahasiswa Al Azhar Kairo datang menjemput. Melajulah kendaraan itu menuju Rafah dengan empat penumpang, Imam Akbar, Bayu Gawtama, Arif Hendra dan Taryudi. Dua nama terakhir adalah mahasiswa Al Azhar Kairo yang menemani tim ACT selama di Mesir, sekaligus sebagai penerjemah bahasa.

Berbekal pengalaman tahun sebelumnya, Imam Akbari mengingatkan bahwa kita akan melewati sekitar tujuh atau delapan pos pemeriksaaan (check point/CP) untuk mencapai Rafah. Perjalanan dari Kairo sampai ke Rafah diperkirakan berlangsung selama kurang lebih lima jam. Sedangkan pihak imigrasi di Rafah biasanya dibuka pukul sepuluh pagi. Dengan demikian, jika tidak ada aral yang signifikan maka tim akan tiba di perbatasan Rafah tepat pada saat imigrasi dibuka. Pos pemeriksaan pertama, kami lewati meskipun memakan waktu cukup lama, hampir lima belas menit. “Baru satu CP saja sudah cukup lama, bagaimana melewati CP lainnya?” gumam saya sambil terus berdzikir agar bisa melewati ujian pertama ini.

Sukur alhamdulillah, ternyata di pos-pos berikutnya tidak seketat pada pos pemeriksaan pertama. Hanya di pos kedua kendaraan kami masih dihentikan petugas dengan menanyakan maksud kunjungan ke Rafah. Di pos pertama, Taryudi yang sama sekali tidak menggunakan atribut ACT, turun untuk menjelaskan kepada petugas. “Saya mengantar turis, melihat-lihat Terusan Suez dan Kota El Arish,” kilahnya. Memang untuk menuju Rafah, akan melewati jembatan yang sangat tinggi dan panjang yang melintasi Terusan Suez. Sedangkan El Arish adalah Kota Pelabuhan, kota terakhir sebelum memasuki wilayah Rafah. Jarak El Arish dan Rafah kurang lebih 40 km atau sekitar setengah jam perjalanan.

Seperti biasa, di setiap pos semua anggota tim diminta untuk memerlihatkan paspor atau kartu identitas lainnya termasuk SIM dan kartu mahasiswa Al Azhar. Hanya sampai pos dua pemeriksaan berlangsung ketat, sebab di pos-pos berikutnya tidak lagi dihentikan. petugas-petugas hanya mengawasi setiap kendaraan yang lewat. Di perjalanan, sebuah mobil melintasi kendaraan kami, rupanya rombongan tim kemanusiaan Dompet Dhuafa, sambil melambaikan tangan. “Saya kira mereka sudah berangkat ke Rafah sejak semalam, ternyata baru berangkat juga,” ujar Imam Akbari.

Sepanjang perjalanan, mas Imam terus mengontak dr. Arif dari tim MERC yang juga akan bertolak menuju Rafah. Hanya bedanya, mereka bukan dari Kairo melainkan dari El Arish. Sejak kedatangan mereka satu hari sebelumnya, mereka langsung menginap di El Arish. Beruntung bagi tim MERC, karena lima dari sepuluh anggota tim mereka sudah mengantongi izin masuk ke Gaza dari State Security Mesir. Kami cukup was-was, apakah bisa memanfaatkan masuknya tim MERC ini untuk ikut masuk juga. Bismillah, Allah yang mengatur segalanya, pikir kami.

Sekitar pukul 10.30, kami pun tiba di Rafah. Sebuah kota yang minim penduduknya, lebih mirip kota mati, sangat gersang dan tandus. Hampir tidak ada kehidupan di Rafah, El Arish merupakan tempat persinggahan terakhir sebelum ke Gaza. Menurut cerita mas Imam, ketika situasi darurat pada Januari 2009 lalu, Rafah benar-benar kota mati, di setiap sudut pasukan militer berjaga dengan senapan terhunus. Bahkan di setiap pos pemeriksaan yang tadi kami lewati dengan tenang, sangat ketat dan penuh pasukan militer di tahun 2009 itu.

Tak berapa lama tiba di Rafah, tim MERC pun tiba bersama Bang Joserizal sebagai komandannya. Sepuluh menit kemudian, tim DD pun datang. Mereka terlihat lebih santai kali ini, rupanya mereka sudah mengantongi izin dari State Security. Bambang Suherman, langsung mendatangi tim ACT dan bilang, “Insya Allah kami masuk duluan, kami doakan ACT segera masuk juga,” ia sangat yakin. Memang jalur yang ditempuh tim DD berbeda dengan yang kami tempuh, mereka mengatasnamakan media, sehingga pengurusan izinnya melalui Departemen Penerangan atau Press Centre, sehingga pihak Press Centre itulah yang menghubungi pihak Kemenlu dan State Security untuk memberi izin tim media itu masuk. Berbeda dengan kami yang atas nama lembaga kemanusiaan, maka satu-satunya jalan hanya melalui Kemenlu, kemudian ke State Security (SS).

Ratusan orang mulai memadati pintu gerbang perbatasan, orang-orang Palestina yang dari luar hendak masuk, sebagian mereka adalah warga Palestina yang tinggal di luar negeri dan pulang untuk berlibur ke negaranya. Tidak hanya orang-orang Palestina, orang asing dari berbagai negara, baik pekerja sosial, para relawan kemanusiaan seperti kami yang dari Indonesia dan berbagai orang dengan berbagai kepentingan lainnya mencoba masuk melalui gerbang Rafah.

Kami tak mau ketinggalan ikut dalam antrian, tim DD masuk lebih dulu, baru kemudian kami bisa ikut masuk dengan terlebih dulu melobi seorang penjaga gerbang bernama Muhammad. Arif, relawan kami ini rupanya pandai bicara juga, dan boleh dibilang sok akrab sama orang Mesir. “Ya Muhammad…” sapa Arif kepada penjaga gerbang. Yang disapa pun langsung membalas sapaan Arif dengan akrab. Soal rahasia keakraban ini, nanti saya ceritakan di bab berikutnya.

Ketika kami bisa masuk, sungguh bersyukur sekali, karena jarang sekali yang bisa melewati gerbang yang terkenal ketat itu. langkah-langkah tegap dan pasti kami ayunkan, saya dan mas Imam terus berdzikir sepanjang jalan dari pintu gerbang menuju kantor imigrasi yang berjarak sekitar seratus meter di hadapan kami. “Ya Allah, mudahkanlah urusan kami,” harapan kami, petugas tidak memanggil kami kembali ke gerbang karena kejanggalan dokumen. Petugas, di pintu gerbang memang memegang sepuluh surat untuk sepuluh relawan asal Indonesia. Kami tahu, sepuluh itu berarti lima dari MERC dan lima orang lagi dari DD. Kami tahu bahwa petugas tidak mengecek satu persatu, asalkan dari Indonesia sepanjang jumlahnya belum sepuluh orang akan diizinkan masuk. Setelah sampai di kantor imigrasi, barulah masalah timbul. Terutama setelah tim MERC yang berjumlah sepuluh orang juga hendak masuk. Saya, mas Imam dan Arif dipanggil lagi keluar gerbang. Setelah tim MERC masuk semua, kami kembali melobi petugas bernama Muhammad agar diberi izin masuk.

Alhamdulillah, Muhammad memang baik hati, terlebih dulu Arif memuji kebaikan petugas itu. “Kata orang KBRI kami, temui saja orang bernama Muhammad, dia petugas yang paling baik di gerbang,” si petugas pun tersipu-sipu dibuatnya. Kami pun kembali diizinkan masuk, kali ini kami bertambah yakin bahwa hari itu akan menjadi hari bersejarah untuk menginjakkan kaki di tanah Palestina. Pukul 12.50, kami memasuki kantor imigrasi untuk dilakukan pengecekan paspor dan surat izin lainnya.

Sepanjang kurang lebih dua jam, mulut ini tak berhenti berdzikir untuk menjamin segala proses pemeriksaan di imigrasi berjalan lancar. Saya duduk di lantai sambil men-charge handphone yang mulai lowbat. Dari jarak sekitar lima belas meter, saya melihat mas Imam juga nampaknya terus berdzikir. Saya tahu yang ada di benaknya, sama persis dengan yang saya pikirkan. Kami harus bisa melewati proses ini untuk bisa masuk ke Gaza. Sekitar pukul tiga sore, kami dipanggil pihak intelejen Mesir ke ruangannya. Di ruangan itu juga sudah ada dua orang tim DD dan dua orang tim MERC. Semua perwakilan tim kemanusiaan dari Indonesia dipanggil karena jumlah yang masuk ke kantor imigrasi tidak sesuai dengan jumlah izin yang sudah dikeluarkan pihak State Security.

Yang sudah mendapat izin masuk hanya sembilan nama, sedangkan seluruh relawan dari Indonesia yang ada saat itu delapan belas orang. Ini yang dipermasalahkan, sehingga mereka memproses terlalu lama. Mereka hanya bisa meloloskan sembilan nama, sedangkan sisanya diminta kembali ke luar pintu gerbang. Kami sempat bernegosiasi, perlu waktu hampir dua jam untuk terus melobi pihak imigrasi itu, namun hasilnya tetap nihil. Dengan berat hati, tim ACT bersama sebagian tim MERC harus keluar kembali ke gerbang perbatasan Rafah.

Di depan mata kami, tanah Palestina terbentang luas, bendera Palestina sudah terlihat berkibar hanya berjarak beberapa puluh meter saja. Namun ujian demi ujian harus kami hadapi dulu sebelum kami benar-benar siap menghadapi ujian sesungguhnya di Jalur Gaza. Proses panjang mulai dari gerbang perbatasan Rafah, masuk ke kantor imigrasi untuk melalui proses interogasi dan negosiasi yang alot, sampai mas Imam harus mengganti kaca matanya karena patah, adalah bagian dari ujian dan pengorbanan menuju Gaza. Semoga semua itu tercatat sebagai sebuah keberhasilan, bahwa tolak ukur keberhasilan sebuah perjuangan bukan pada hasil, tetapi pada proses yang ikhlas dijalani. Sekadar membuka pintu perbatasan, hal kecil bagi Allah jika Ia berkehendak. Tetapi kita memang diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani proses yang berlika liku ini agar kita semakin sadar bahwa perjuangan itu memang tidak mudah.

Ya Allah, hanya perlu selangkah lagi kami bisa menginjakkan kaki di bumi para pejuang, tanah Palestina yang suci. Kami akan tetap bertahan disini, untuk terus mencoba masuk sampai tanah Palestina bisa kami pijak. Sementara itu, beberapa hal penting masih harus kami urus, sambil menunggu izin dari State Security keluar untuk kami. Saya langsung mengirim pesan singkat ke isteri di rumah, bahwa kami gagal masuk hari ini. Sebuah jawaban SMS hadir menyejukkan hati, “Allah memang belum mengizinkan hari ini, kalau Allah sudah berkehendak, tidak satupun bisa menghalangi langkah Abi menuju Palestina. Insya Allah,” ah sejuknya mampu menghalau panas terik kota Rafah.

Dalam kaitannya dengan Gaza, kami senantiasa berkeyakinan, “Selalu ada kesempatan berikutnya”. Maaf, untuk kondisi seperti yang kami hadapi saat ini, kami buang jauh-jauh kalimat “No Second Chance” untuk sementara waktu. Kami sandarkan harapan tertinggi dan satu-satunya hanya kepada Allah, bukan yang lain. Kami mencoba meniru para pemuda Al Kahfi untuk bertawasul dengan amal shalih yang kami punya, semoga masih ada sedikit amal shalih yang masih pantas kami persembahkan untuk membuka pintu Rafah, seraya menunduk merendah, “Gaza, terimalah kami”.(Gaw, dari Rafah)

15 comments:

Anonymous said...

Hi, rebzya, this my first post cvxcbxvcbed ezoek
[url=http://transworld.net/author/codeine/]buy codeine[/url]
http://transworld.net/author/codeine/

shobria nurul said...

Perjalanan yg luar biasa...(jadi ngiri...)

Btw, bolehkah saya follow blog Bang Bayu? Saya dulu sering baca tulisan Bang Bayu di Eramuslim, cukup banyak menginspirasi. Terimakasih, sudah membagi banyak kisah bermakna...

Victoria Mc Mahon said...

Blog dan artikelnya bagus, komentar juga ya di web blog saya www.when-who-what.com

nurdin hoerrudin said...

aslmkm. saya izin baca...
luarbiasa subhanAllah.

Hello Kitty said...

Semoga Palestina ke depan lebih aman dan damai, komentar juga ya di blog saya www.indojobfair.com

Pinokio said...

Numpang komentar nih, blog dan artikelnya bagus juga, komentar juga ya di blog saya www.memebee.net

Rathnashikamani said...

Very interesting information.

no limit adventre said...

kunkungan sob :)

Propertykita said...

Artikelnya bagus bagus mas. Enak dibacanya. Tulisannya runut juga. Kapan mau diupdate lagi?

Lowongan Kerja said...

Terima kasih sudah memberikan kesempatan untuk berkomentar, postingan ini sangat bermanfaat buat saya ;).
Silahkan di hapus jika kurang berkenan :)

Lowongan Kerja
Artikel Terbaru Terbaik
Tips Kerja
Lowongan Kerja Terbaru
Prediksi Bola Togel

Addwin Net said...

Nice posting n Visit Back to ME on Jual Skripsi

Anonymous said...

Seo Go Serp
Point Serp
89k
Seruin
Gue Seo
Backlink Credit
AdDestroyer
Seo In Web Id
Seo In Gue
Seo Nego
Addsimple
Seo In aku
Pesan Gue
Token Backlink
87M
62M
92M
61M
51M
75B
76B

Unknown said...

Kunjungi juga www.goocap.com untuk info menarik lainnya. Thank youuu

BELAJAR BAHASA said...

Bantuan kemanusiaan dari MER C sangat bermanfaat untuk rakyat Gaza, Palestina

Lowongan Kerja said...

Perjalanan yang luar biasa...