“Ini siapa yang makan kue tidak dihabiskan?” tanya saya kepada isteri malam itu. Di meja makan, terdapat sepotong kue yang tak habis termakan. "Itu potongan untuk Abang. Anak-anak dapat kue dari tetangga siang tadi, tapi mereka ingin membaginya untuk abi," jelas isteri saya. "Ini Hufha, ini buat dede Iqna, ini Ummi, dan ini buat Abi," begitu katanya setelah memotong empat bagian kue itu. Anak-anak sudah tidur, semoga dalam mimpinya mereka melihat saya menikmati kue yang sengaja disisakannya. Saya selalu ingat setiap kali anak-anak mendapatkan kue atau makanan enak lainnya, mereka tak lupa menelepon saya di kantor untuk sekadar memberitahu kalau saya tak perlu khawatir, karena mereka akan menyisihkannya untuk saya.
Pagi hari, pertanyaan pertama anak-anak adalah, "Kuenya dimakan nggak bi?"
***
Saya pernah diprotes isteri karena pulang terlambat. Padahal sebelumnya saya sudah berjanji untuk mengajak mereka jalan-jalan ke Mall. Setiap akhir bulan, anak-anak sudah hafal betul jadwal belanja bulanan kami. Meski masih terlalu kecil, mudah bagi mereka menandakan waktunya belanja bulanan. Jika persediaan susu mereka sudah menipis, itulah waktunya belanja. Saya menjanjikan akhir pekan ini akan mengajak mereka berbelanja, itu yang membuat mereka rela menahan kantuk tidak tidur siang karena takut ditinggal. Walaupun waktu belanja kami biasanya sesudah maghrib, sejak jam 16.00 anak-anak itu sudah cantik dengan baju pilihan mereka sendiri. Tapi, hari itu saya membuatnya kecewa. Pukul 21.15 malam saya baru tiba di rumah dan mendapati kedua anak saya terlelap di sofa masih lengkap dengan baju bagus, sepatu dan jilbab yang tak lepas.
Pagi hari, mereka tak marah. "Hari ini kerja nggak? pulangnya jangan malam-malam ya, kan sudah janji mau ke Mall," Saya tak berani berjanji, tapi saya akan menepatinya. Sungguh.
***
"Mi, nanti kalau abi pulang bangunin ya," pesan anak pertama saya yang ingin membanggakan lima bintang yang diterimanya hari ini untuk pelajaran melukis di sekolah. Cerita isteri saya, sejak pulang sekolah kertas hasil lukisannya itu selalu dibawa-bawa dan tak boleh disentuh siapapun. Tak satu pun yang boleh melihatnya sebelum saya melihatnya dan mengatakan, "Duuh pinternya cantik abi". Setelah mandi sore, tercatat sebelas kali ia bertanya jam berapa saya pulang. Selepas maghrib, entah untuk keberapa kali ia bertanya, "Abi kok belum pulang sih?" tentu saja dengan kertas lukisan masih di tangannya. Ia pun berjaga-jaga di sofa menunggu kepulangan saya, agar apa yang saya dapatkan begitu membuka pintu adalah wajah cerianya sambil menunjukkan lima bintang di kertas lukisannya.
Yang dinanti tak kunjung tiba. Kantuk pun tak kuasa ditahannya, lima bintang pun ikut terlelap dalam dekapannya. Hari masih terlalu dini, ia sudah bangun membawa kertas lukisannya ke kamar saya. Matanya masih terlihat mengantuk ketika ia menggugah saya, "bi, sudah lihat gambar Hufha? dapat bintang lima nih".
***
Pekerjaan saya saat ini banyak menyita waktu yang semestinya merupakan waktu untuk keluarga. Tak jarang mereka protes dengan kalimat, "kerja melulu, kapan liburnya?". Ya, saya sering merasa bersalah setiap harus pergi untuk urusan pekerjaan di hari libur. Terlebih ketika harus membatalkan acara yang sudah direncanakan jauh hari. Cara mereka mengingatkan saya akan teramat banyak hutang kehadiran saya untuk mereka cukup unik, yakni dengan menyebut jumlah dongeng yang belum saya lakukan. Kalau saya pergi tiga hari, maka di malam saya menemani tidurnya, mereka akan minta saya merapel cerita jadi empat. satu jatah malam ini, tiga cerita adalah untuk hari yang terlewati tanpa dongeng.
Kalau pun saya terlalu lelah untuk empat dongeng malam itu, mereka pun tak marah. Hanya saja, "tapi besok jadi lima ya".
***
Hari Minggu kemarin, saya baru pulang ke rumah pukul 20.30 malam. Siang harinya saya berjanji untuk pulang sore dan mengajak mereka berputar-putar dengan motor. Senja hampir tiba, mereka masih yakin saya akan segera pulang. Karenanya mereka menunggu saya sambil bersembunyi. Rupanya, mereka berniat mengejutkan saya dari balik pintu. Malam sudah tiba, anak-anak masih di balik pintu, kali ini mereka tak berdiri, tapi sudah duduk. Mungkin lelah menunggu. Waktu terus berjalan, sampai mereka pun terlelap di balik pintu, tak peduli kata-kata umminya bahwa saya akan terlambat pulang. "Nggak, Abi bilang sebentar kok perginya," ujar si kecil.
***
Terlalu sering saya membuat anak-anak kecewa. Namun tak pernah saya mendapatkan wajah cemberut mereka meski saya tak tahu lagi dengan cara apa mengucap maaf. Tanpa meminta maaf pun, ternyata mereka sudah lebih dulu memaafkan. Mestinya saya belajar mencinta seperti mereka, dan cinta punya mereka adalah cinta yang putih. Seputih hatinya.
Bayu Gawtama
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Friday, December 23, 2005
Thursday, December 22, 2005
Bahasa Ibu, Bahasa Kalbu
Tak ada satu patah pun terucap dari bibirnya, pun tak terdengar suaranya. Ia hanya memainkan sedikit matanya untuk membuat kami mundur teratur beberapa langkah dan urung masuk ke dalam rumah. Rupanya, ibu tengah menerima beberapa orang tamu dan nampak sedang serius. Saya sempat berpikir, bahwa tamu-tamu itu hanya orang biasa, bukan orang penting yang tidak bisa diganggu sekian detik oleh kehadiran anak-anak kecil yang baru pulang sekolah. Saya juga tidak berniat mengganggu mereka, hanya sekadar mencium punggung tangan ibu beberapa detik, kemudian meluncur ke kamar.
Tapi maksud ibu berbeda, siapapun tamunya, penting atau tidak penting kedatangannya dan dari manapun datangnya tetap harus dihormati. Jadilah saya, abang dan adik-adik menunggu cukup lama di depan rumah. Tak berani masuk, apalagi memanggil-manggil ibu. Empat puluh menit sudah, si bungsu bahkan sudah terlelap di pojok teras rumah, keringatnya membasahi baju seragamnya yang kotor. Akhirnya, para tamu pun pamit pulang. "Eeh, baru pulang sekolah ya?” tanya mereka. Belum sempat kami menjawab, “Iya, baru sampai tuh,” sergah ibu. Sekali lagi, menjaga hati para tamu agar tak merasa tak enak hati.
Tak selalu begitu memang. Tapi dalam beberapa kesempatan, ibu sering mengajarkan kepada kami tentang sopan santun dan tatakrama. Maklum, sebelum-sebelumnya kami sering membuat ibu malu di hadapan tamunya dengan segala polah yang tak terkontrol. Yang minta minumlah, minta dibukakan sepatu, atau ini yang bikin ibu tambah malu, “Bu, belum masak ya? lapar nih...”
***
Hari ibu tiba. Ini hari yang paling ditunggu oleh kami, karena hari ini adalah jadwal acara memasak bersama, tanpa ibu. Kami akan membiarkan ibu duduk mendampingi kami yang berjibaku dengan kompor dan peralatan masak. Sesekali saya menangkap wajah khawatir ibu saat saya menyalakan kompor minyak. Meski sudah sering dan bisa dibilang mahir saya melakukan pekerjaan itu, tetap saja mata ibu tak lepas dari tangan kecil ini yang menyulutkan api ke sumbu kompor. Begitu api menyala, cerialah wajahnya. Begitu juga ketika si bungsu memotong-motong wortel dan kentang dengan pisau yang ukurannya lebih besar dari tangannya. Maklum, si kecil itu teramat sering terluka jarinya oleh benda tajam itu. Setiap irisan wortel, setiap kali itu pula nafas ibu tertahan. Urusan barang pecah belah, ini urusan “orang gede”. Mulai dari mengambil dari rak piring, menatanya di meja makan, sampai mencucinya setelah pesta usai. Untuk satu hal ini, ibu harus merelakan beberapa benda kesayangannya benar-benar menjadi benda pecah-belah alias benar-benar pecah.
Hidangan pun tersaji, waktunya makan. Karena hari ibu, ibulah yang mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang mencicipi masakan kami. Srrup... sesendok kuah sayur sup olahan kami pun diseruput ibu, dan... matanya menyeripit, bibirnya seperti menahan sesuatu, perlahan tenggorokannya terlihat seolah tak rela membiarkan kuah yang ada di lidahnya masuk ke perut. Seketika, lima wajah kami pun serempak mengerut, “kenapa?”
“Sup ini... sup paling nikmat yang pernah ibu rasakan,” wajahnya kembali tenang dan ia pun mempersilahkan kami menikmati makan bersama hari itu. Namun sebelumnya, ibu mengajukan saran, “Sup ini sudah nikmat, tapi menurut ibu, kalau mau lebih nikmat airnya perlu ditambah ya.” Tangan terampil ibu pun mengolah kembali sup tersebut dengan menambah bumbu lainnya. Sepuluh menit berikutnya, barulah pesta sebenarnya dimulai. Sungguh, kami tak tahu apa yang terasa dilidah ibu dengan sup hasil olahan kami.
***
Suatu pagi, ibu mengaku kehilangan sejumlah uang belanjanya. Dikumpulkanlah lima anaknya untuk ditanya satu persatu. Meski ada orang lain selain kami, ibu tetap menganggap perlu untuk mengumpulkan anak-anaknya terlebih dulu. “Ibu menuduh kami?” tanya saya tergagap. “Bukan. Ibu hanya memberi tahu bahwa kita tidak masak hari ini, karena uang belanja ibu tidak ada,” ujar ibu lembut.
Kami pun berangkat sekolah dengan perasaan berat dan saling curiga, siapa yang tega mengambil uang ibu. Tidak sampai di situ, kami pun terbayang siang ini akan dilewati dengan perut lapar. Pulang sekolah, jangan harap ada makanan tersaji di meja makan. Saya sempat berpikir, akan saya pukul orang yang mengambil uang ibu. Karena dia akan menyebabkan semuanya kelaparan.
Kembali dari sekolah, aroma semur tahu kesukaan saya sudah tercium dari pagar depan rumah. Saya berlari ke dapur dan mendapati ibu sedang memasak. “Kok ibu masak? Uangnya sudah ketemu? Siapa yang mengambilnya?” pertanyaan beruntun saya dijawab ibu dengan senyum. “Siapapun dia, yang jelas dia sudah mengerti kepentingan keluarga lebih utama dari kepentingan sendiri,” jelas ibu. Saya tahu, ibu tak akan memberi tahu siapa orang dimaksud, karena ibu tak ingin kami membencinya. Apalagi memukulnya, seperti niat saya sebelumnya.
***
Ibu, rindu rasanya saya pada masa-masa indah seperti dulu. Semoga masih selalu ada waktu untuk kita mencipta terminal kenangan yang tak kalah indahnya dengan masa lalu. Sungguh, kadang ibu memang cerewet, tapi saya tahu semua itu adalah bahasa kalbu ibu yang selalu menyejukkan hati.
Happy mothers day, mom...
Bayu Gawtama
Tapi maksud ibu berbeda, siapapun tamunya, penting atau tidak penting kedatangannya dan dari manapun datangnya tetap harus dihormati. Jadilah saya, abang dan adik-adik menunggu cukup lama di depan rumah. Tak berani masuk, apalagi memanggil-manggil ibu. Empat puluh menit sudah, si bungsu bahkan sudah terlelap di pojok teras rumah, keringatnya membasahi baju seragamnya yang kotor. Akhirnya, para tamu pun pamit pulang. "Eeh, baru pulang sekolah ya?” tanya mereka. Belum sempat kami menjawab, “Iya, baru sampai tuh,” sergah ibu. Sekali lagi, menjaga hati para tamu agar tak merasa tak enak hati.
Tak selalu begitu memang. Tapi dalam beberapa kesempatan, ibu sering mengajarkan kepada kami tentang sopan santun dan tatakrama. Maklum, sebelum-sebelumnya kami sering membuat ibu malu di hadapan tamunya dengan segala polah yang tak terkontrol. Yang minta minumlah, minta dibukakan sepatu, atau ini yang bikin ibu tambah malu, “Bu, belum masak ya? lapar nih...”
***
Hari ibu tiba. Ini hari yang paling ditunggu oleh kami, karena hari ini adalah jadwal acara memasak bersama, tanpa ibu. Kami akan membiarkan ibu duduk mendampingi kami yang berjibaku dengan kompor dan peralatan masak. Sesekali saya menangkap wajah khawatir ibu saat saya menyalakan kompor minyak. Meski sudah sering dan bisa dibilang mahir saya melakukan pekerjaan itu, tetap saja mata ibu tak lepas dari tangan kecil ini yang menyulutkan api ke sumbu kompor. Begitu api menyala, cerialah wajahnya. Begitu juga ketika si bungsu memotong-motong wortel dan kentang dengan pisau yang ukurannya lebih besar dari tangannya. Maklum, si kecil itu teramat sering terluka jarinya oleh benda tajam itu. Setiap irisan wortel, setiap kali itu pula nafas ibu tertahan. Urusan barang pecah belah, ini urusan “orang gede”. Mulai dari mengambil dari rak piring, menatanya di meja makan, sampai mencucinya setelah pesta usai. Untuk satu hal ini, ibu harus merelakan beberapa benda kesayangannya benar-benar menjadi benda pecah-belah alias benar-benar pecah.
Hidangan pun tersaji, waktunya makan. Karena hari ibu, ibulah yang mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang mencicipi masakan kami. Srrup... sesendok kuah sayur sup olahan kami pun diseruput ibu, dan... matanya menyeripit, bibirnya seperti menahan sesuatu, perlahan tenggorokannya terlihat seolah tak rela membiarkan kuah yang ada di lidahnya masuk ke perut. Seketika, lima wajah kami pun serempak mengerut, “kenapa?”
“Sup ini... sup paling nikmat yang pernah ibu rasakan,” wajahnya kembali tenang dan ia pun mempersilahkan kami menikmati makan bersama hari itu. Namun sebelumnya, ibu mengajukan saran, “Sup ini sudah nikmat, tapi menurut ibu, kalau mau lebih nikmat airnya perlu ditambah ya.” Tangan terampil ibu pun mengolah kembali sup tersebut dengan menambah bumbu lainnya. Sepuluh menit berikutnya, barulah pesta sebenarnya dimulai. Sungguh, kami tak tahu apa yang terasa dilidah ibu dengan sup hasil olahan kami.
***
Suatu pagi, ibu mengaku kehilangan sejumlah uang belanjanya. Dikumpulkanlah lima anaknya untuk ditanya satu persatu. Meski ada orang lain selain kami, ibu tetap menganggap perlu untuk mengumpulkan anak-anaknya terlebih dulu. “Ibu menuduh kami?” tanya saya tergagap. “Bukan. Ibu hanya memberi tahu bahwa kita tidak masak hari ini, karena uang belanja ibu tidak ada,” ujar ibu lembut.
Kami pun berangkat sekolah dengan perasaan berat dan saling curiga, siapa yang tega mengambil uang ibu. Tidak sampai di situ, kami pun terbayang siang ini akan dilewati dengan perut lapar. Pulang sekolah, jangan harap ada makanan tersaji di meja makan. Saya sempat berpikir, akan saya pukul orang yang mengambil uang ibu. Karena dia akan menyebabkan semuanya kelaparan.
Kembali dari sekolah, aroma semur tahu kesukaan saya sudah tercium dari pagar depan rumah. Saya berlari ke dapur dan mendapati ibu sedang memasak. “Kok ibu masak? Uangnya sudah ketemu? Siapa yang mengambilnya?” pertanyaan beruntun saya dijawab ibu dengan senyum. “Siapapun dia, yang jelas dia sudah mengerti kepentingan keluarga lebih utama dari kepentingan sendiri,” jelas ibu. Saya tahu, ibu tak akan memberi tahu siapa orang dimaksud, karena ibu tak ingin kami membencinya. Apalagi memukulnya, seperti niat saya sebelumnya.
***
Ibu, rindu rasanya saya pada masa-masa indah seperti dulu. Semoga masih selalu ada waktu untuk kita mencipta terminal kenangan yang tak kalah indahnya dengan masa lalu. Sungguh, kadang ibu memang cerewet, tapi saya tahu semua itu adalah bahasa kalbu ibu yang selalu menyejukkan hati.
Happy mothers day, mom...
Bayu Gawtama
Wednesday, December 21, 2005
Ayahku, Idolaku
Saya akan senantiasa mengecup kening, pipi dan ubun-ubun kepalanya di pagi, siang, dan malam hari. Sejak ia baru membuka matanya di waktu fajar hingga menjelang menutup mata. Bahkan saya bangunkan ia dengan beberapa kecupan hangat, agar senyum manisnya lah yang membuka paginya. Andai ia tahu, di setiap pertengahan malam saat ia terlelap dibuai mimpi pun akan selalu ada kecupan lembut menghangatinya. Saya lakukan itu agar sampai kapanpun ia takkan pernah lupa, ada sosok penuh cinta yang setiap tuturnya bermakna sayang, dan setiap dengusan nafasnya berarti kasih.
Saya akan menjadi apapun untuknya. Kadang menjadi harimau yang menerjang-nerjang dengan auman keras yang membuatnya berteriak, sesekali menjadi kodok yang melompat-lompat lucu, atau menjadi burung yang hinggap dari satu ranting ke ranting lainnya. Pagi hari menjadi ayam ber-kukuruyuk membelah fajar dan malamnya menjadi bintang-bintang yang menemani tidurnya hingga malam berlalu. Saya tak akan bosan mendongeng untuknya kapan pun, dimana pun, kalau perlu sampai ia bosan. Walau pun saya tahu, sebanyak apapun cerita yang saya dongengkan, ia takkan pernah bosan. Baginya, sayalah pendongeng terhebat di dunia. Yang mampu membuatnya tertawa tergelak dan terkekeh, kadang membuatnya menjerit ketakutan, atau memaksanya mengeluarkan air mata.
Berangkat bersama fafar yang beranjak pergi, pulang dari kantor ditemani lampu jalan dan dinginnya malam. Pekerjaan apa pun rela saya tempuhi untuk sebuah keyakinan ia mendapatkan makanan yang baik, cukup dan halal, setidaknya untuk hari ini. Untuk sebuah harapan agar ia mendapatkan pendidikan yang layak untuk masa depannya. Inilah bentuk pengorbanan yang tak pernah saya meminta balasan apa pun darinya kelak. Bagi seorang Ayah, mendapati senyum si buah hati tetap menghiasi hari-harinya, itu sudah cukup.
Sahabat. Inilah kata yang selalu saya sebutkan kepadanya tentang siapa saya. Saya bukan sekadar Ayah baginya, melainkan sahabat. Saya akan menjadi sahabat terbaiknya, yang menyediakan hati sehamparan bumi dan telinga seluas lautan. Yang akan mendengarkan semua kesahnya dan menampung sebanyak apapun airmatanya. Yang akan bersedia menangis bersamanya saat ia sedih, dan tertawa bersamanya di hari-hari bahagianya. Yang akan senantiasa hadir untuknya kapan pun, dimanapun ia membutuhkan. Dada ini setegar karang di laut yang siap menjadi tambatan kepalanya, dengan segunung persoalan yang dihadapinya.
Dalam setiap sujud dan tengadah jemari, namanya tak pernah alpa terucap. Sepanjang doa yang terlantun, tak pernah sekalipun namanya terlupa. Kepada Allah senantiasa terpinta agar seribu malaikat membimbing setiap jengkal langkahnya, agar sejuta cahaya tak pernah padam menerangi jalannya, dan tak terbilang tangan menjaganya dari jalan yang menyimpang. Tak jarang, airmata ini menetes tak tertahan memandang wajah polosnya, berharap tak banyak dosa yang mengotori perjalanan hidupnya, meminta tak banyak aral melintangi langkah kecilnya, dan tak tersebar onak yang akan menghambat jalannya. Kebahagiaannya, adalah kata kunci dalam setiap pinta saya kepada Allah.
Saya sadar betul, tak patut berharap ia akan membalas cinta seperti yang saya curahkan kepadanya. Apalah lagi menakar-nakar agar ia tahu betapa tak terhitung kasih yang saya berikan kepadanya. Pun tak mungkin saya menuntutnya untuk mengganti semua peluh yang bercucuran untuknya. Tak sedikit pun saya meminta bayaran untuk setiap airmata yang luruh sepanjang hidupnya semenjak kecil. Bukan karena saya tahu ia takkan pernah sanggup membayarnya, tapi sekadar ia tahu bahwa cinta ini begitu tulus, jujur, bersih namun sederhana. Tak ada yang sanggup menggantinya, berapapun yang ditawarkannya.
Sungguh, saya melakukan ini semua demi satu harapan. Kelak sampai kapan pun ia tak perlu mencari figur lain yang ia banggakan, tak sulit untuk menyebut sosok yang ia dambakan kehadirannya, yang ia tangisi kepergiannya. Karena, sampai kapan pun ia akan berkata kepada dunia, “Ayahku, Idolaku”.
Bayu Gawtama
Coretan kecil untuk anak-anak Abi
Saya akan menjadi apapun untuknya. Kadang menjadi harimau yang menerjang-nerjang dengan auman keras yang membuatnya berteriak, sesekali menjadi kodok yang melompat-lompat lucu, atau menjadi burung yang hinggap dari satu ranting ke ranting lainnya. Pagi hari menjadi ayam ber-kukuruyuk membelah fajar dan malamnya menjadi bintang-bintang yang menemani tidurnya hingga malam berlalu. Saya tak akan bosan mendongeng untuknya kapan pun, dimana pun, kalau perlu sampai ia bosan. Walau pun saya tahu, sebanyak apapun cerita yang saya dongengkan, ia takkan pernah bosan. Baginya, sayalah pendongeng terhebat di dunia. Yang mampu membuatnya tertawa tergelak dan terkekeh, kadang membuatnya menjerit ketakutan, atau memaksanya mengeluarkan air mata.
Berangkat bersama fafar yang beranjak pergi, pulang dari kantor ditemani lampu jalan dan dinginnya malam. Pekerjaan apa pun rela saya tempuhi untuk sebuah keyakinan ia mendapatkan makanan yang baik, cukup dan halal, setidaknya untuk hari ini. Untuk sebuah harapan agar ia mendapatkan pendidikan yang layak untuk masa depannya. Inilah bentuk pengorbanan yang tak pernah saya meminta balasan apa pun darinya kelak. Bagi seorang Ayah, mendapati senyum si buah hati tetap menghiasi hari-harinya, itu sudah cukup.
Sahabat. Inilah kata yang selalu saya sebutkan kepadanya tentang siapa saya. Saya bukan sekadar Ayah baginya, melainkan sahabat. Saya akan menjadi sahabat terbaiknya, yang menyediakan hati sehamparan bumi dan telinga seluas lautan. Yang akan mendengarkan semua kesahnya dan menampung sebanyak apapun airmatanya. Yang akan bersedia menangis bersamanya saat ia sedih, dan tertawa bersamanya di hari-hari bahagianya. Yang akan senantiasa hadir untuknya kapan pun, dimanapun ia membutuhkan. Dada ini setegar karang di laut yang siap menjadi tambatan kepalanya, dengan segunung persoalan yang dihadapinya.
Dalam setiap sujud dan tengadah jemari, namanya tak pernah alpa terucap. Sepanjang doa yang terlantun, tak pernah sekalipun namanya terlupa. Kepada Allah senantiasa terpinta agar seribu malaikat membimbing setiap jengkal langkahnya, agar sejuta cahaya tak pernah padam menerangi jalannya, dan tak terbilang tangan menjaganya dari jalan yang menyimpang. Tak jarang, airmata ini menetes tak tertahan memandang wajah polosnya, berharap tak banyak dosa yang mengotori perjalanan hidupnya, meminta tak banyak aral melintangi langkah kecilnya, dan tak tersebar onak yang akan menghambat jalannya. Kebahagiaannya, adalah kata kunci dalam setiap pinta saya kepada Allah.
Saya sadar betul, tak patut berharap ia akan membalas cinta seperti yang saya curahkan kepadanya. Apalah lagi menakar-nakar agar ia tahu betapa tak terhitung kasih yang saya berikan kepadanya. Pun tak mungkin saya menuntutnya untuk mengganti semua peluh yang bercucuran untuknya. Tak sedikit pun saya meminta bayaran untuk setiap airmata yang luruh sepanjang hidupnya semenjak kecil. Bukan karena saya tahu ia takkan pernah sanggup membayarnya, tapi sekadar ia tahu bahwa cinta ini begitu tulus, jujur, bersih namun sederhana. Tak ada yang sanggup menggantinya, berapapun yang ditawarkannya.
Sungguh, saya melakukan ini semua demi satu harapan. Kelak sampai kapan pun ia tak perlu mencari figur lain yang ia banggakan, tak sulit untuk menyebut sosok yang ia dambakan kehadirannya, yang ia tangisi kepergiannya. Karena, sampai kapan pun ia akan berkata kepada dunia, “Ayahku, Idolaku”.
Bayu Gawtama
Coretan kecil untuk anak-anak Abi
Tuesday, December 20, 2005
Hidup Tanpa Menuding
Konon, salah satu pekerjaan paling mudah di dunia ini adalah menuding alias menyalahkan orang lain di setiap kegagalan yang terjadi. Pengkambinghitaman orang lain kerap menjadi reaksi pertama setiap kali kita melakukan kesalahan. Terlebih kesalahan itu berefek besar terhadap kepentingan banyak orang. Rupanya, dari hal kecil semacam dapat hasil buruk dalam ujian matematika, hingga urusan keretakan rumah tangga, selalu ada orang lain yang dianggap ikut andil memunculkan masalah tersebut.
Ketika angka 4 yang tertera di atas lembar nilai ujian matematika, guru sering menjadi alamat tudingan, “Gurunya ngajarnya nggak becus” atau “Memang sejak lama guru matematika itu sentimen sama saya”. Sewaktu gagal masuk perguruan tinggi negeri, mudahnya kita berujar, “suasana kelas tidak kondusif dan kotor. Jelas sangat mengganggu konsentrasi”. Saat kita terlambat memberikan bahan laporan yang diminta atasan, padahal batas waktu yang diberikan sudah lewat, komputer menjadi sasaran. “Komputernya error terus pak”. Presentasi yang gagal dan menyebabkan kerjasama dengan pihak lain tidak terealisasi, rekan sekerja pun tertuding, dianggap tidak banyak membantu.
Begitu juga dalam rumah tangga. Soal tuding menuding ini nampaknya sudah lumrah terjadi. Anak kesayangan pulang sambil menangis dan mengaku dipukul teman bermainnya, sang ibu pun mencak-mencak dengan sejuta makian tanpa mau tahu siapa yang salah, dan siapa yang memulai. Bahkan kehancuran mahligai rumah tangga pun tak jarang memunculkan orang ketiga sebagai kambing hitamnya. Padahal bisa jadi, berbagai kekurangan yang terlupa kita tutupi selama bertahun-tahun berumah tangga lah yang sebenarnya menjadi penyebab utama.
Dalam kerja tim pun demikian. Agar terhindar dari penilaian buruk atas prestasi kerja kita, maka partner kerja pun dijadikan alasan kegagalan dalam laporan kepada atasan. Kita lupa, bahwa kesuksesan maupun kegagalan kerja tim, yang dinilai adalah tim itu sendiri, bukan individunya. Kegagalan anggota tim, pasti ada andil pimpinan tim yang menyebabkannya. Dan siapa pun yang menjadi pimpinan tim, harus siap menanggung resiko lebih besar. Bukankah pimpinan tim juga mendapatkan keuntungan lebih besar dari keberhasilan yang dicapai?
Cobalah telusuri lagi setiap permasalahan yang terjadi, pasti ada celah kesalahan yang alpa kita antisipasi dan itu benar-benar murni kesalahan kita. Masalahnya, seringkali mata ini tertutupi oleh rasa kecewa yang begitu besar sehingga tak mampu melihat permasalahan lebih jernih. Kalaulah kita sudah mengantisipasi setiap inci faktor penyebab kesalahan pada diri sendiri, jangan-jangan kita lupa mengingatkan anggota tim lainnya untuk melakukan hal yang sama; Meminimalisir faktor kesalahan.
***
Hidup tanpa menyalahkan atau menuding orang lain di balik kegagalan yang terjadi semestinya dibiasakan. Sejak detik ini, dan mulai dari diri sendiri. Jika kita mampu menerapkannya dalam diri, barulah mengajak anggota keluarga yang lain untuk memulainya. Terus berlanjut ke lingkungan sekitarnya untuk menularkan kebiasaan ini. Duh, indahnya membayangkan sebuah kampung yang berisi orang-orang yang mau berunjuk diri, dan berani mengakui kesalahan tanpa menuding orang lain. Nikmatnya hidup di sebuah negeri yang masyarakatnya berani berdiri paling depan untuk bertanggungjawab atas kegagalan, kekeliruan, dan kealpaan yang terjadi. Tentu teramat bahagia jika kita sendiri yang mau memulainya; hidup tanpa menuding. Pasti bisa.
Bayu Gawtama
yang belajar hidup tanpa menuding
Ketika angka 4 yang tertera di atas lembar nilai ujian matematika, guru sering menjadi alamat tudingan, “Gurunya ngajarnya nggak becus” atau “Memang sejak lama guru matematika itu sentimen sama saya”. Sewaktu gagal masuk perguruan tinggi negeri, mudahnya kita berujar, “suasana kelas tidak kondusif dan kotor. Jelas sangat mengganggu konsentrasi”. Saat kita terlambat memberikan bahan laporan yang diminta atasan, padahal batas waktu yang diberikan sudah lewat, komputer menjadi sasaran. “Komputernya error terus pak”. Presentasi yang gagal dan menyebabkan kerjasama dengan pihak lain tidak terealisasi, rekan sekerja pun tertuding, dianggap tidak banyak membantu.
Begitu juga dalam rumah tangga. Soal tuding menuding ini nampaknya sudah lumrah terjadi. Anak kesayangan pulang sambil menangis dan mengaku dipukul teman bermainnya, sang ibu pun mencak-mencak dengan sejuta makian tanpa mau tahu siapa yang salah, dan siapa yang memulai. Bahkan kehancuran mahligai rumah tangga pun tak jarang memunculkan orang ketiga sebagai kambing hitamnya. Padahal bisa jadi, berbagai kekurangan yang terlupa kita tutupi selama bertahun-tahun berumah tangga lah yang sebenarnya menjadi penyebab utama.
Dalam kerja tim pun demikian. Agar terhindar dari penilaian buruk atas prestasi kerja kita, maka partner kerja pun dijadikan alasan kegagalan dalam laporan kepada atasan. Kita lupa, bahwa kesuksesan maupun kegagalan kerja tim, yang dinilai adalah tim itu sendiri, bukan individunya. Kegagalan anggota tim, pasti ada andil pimpinan tim yang menyebabkannya. Dan siapa pun yang menjadi pimpinan tim, harus siap menanggung resiko lebih besar. Bukankah pimpinan tim juga mendapatkan keuntungan lebih besar dari keberhasilan yang dicapai?
Cobalah telusuri lagi setiap permasalahan yang terjadi, pasti ada celah kesalahan yang alpa kita antisipasi dan itu benar-benar murni kesalahan kita. Masalahnya, seringkali mata ini tertutupi oleh rasa kecewa yang begitu besar sehingga tak mampu melihat permasalahan lebih jernih. Kalaulah kita sudah mengantisipasi setiap inci faktor penyebab kesalahan pada diri sendiri, jangan-jangan kita lupa mengingatkan anggota tim lainnya untuk melakukan hal yang sama; Meminimalisir faktor kesalahan.
***
Hidup tanpa menyalahkan atau menuding orang lain di balik kegagalan yang terjadi semestinya dibiasakan. Sejak detik ini, dan mulai dari diri sendiri. Jika kita mampu menerapkannya dalam diri, barulah mengajak anggota keluarga yang lain untuk memulainya. Terus berlanjut ke lingkungan sekitarnya untuk menularkan kebiasaan ini. Duh, indahnya membayangkan sebuah kampung yang berisi orang-orang yang mau berunjuk diri, dan berani mengakui kesalahan tanpa menuding orang lain. Nikmatnya hidup di sebuah negeri yang masyarakatnya berani berdiri paling depan untuk bertanggungjawab atas kegagalan, kekeliruan, dan kealpaan yang terjadi. Tentu teramat bahagia jika kita sendiri yang mau memulainya; hidup tanpa menuding. Pasti bisa.
Bayu Gawtama
yang belajar hidup tanpa menuding
Mobile Social Rescue (MSR) ACT-Aksi Cepat Tanggap
Nurul Hanifah yang menderita gizi buruk, Nur Azizah yang tigabelas tahun tergolek di tempat tidur karena polio, H. Lucky sang mualaf yang miskin dan rumahnya hampir ambruk terkena angin ribut, Ruminah yang nyaris tak tertolong jiwanya karena selama sembilan bulan paru-parunya penuh cairan, nama-nama itu adalah sebagian orang yang telah dibantu ACT-Aksi Cepat Tanggap melalui program Mobile Social Rescue (MSR).
Jauh sebelum nama-nama di atas, telah banyak pula sederet nama lain yang dibantu ACT-Aksi Cepat Tanggap, baik dalam pengobatan langsung ke rumah sakit, advokasi pembuatan kartu Gakin (keluarga miskin) agar mendapatkan keringanan biaya rumah sakit, juga pemberian makanan dan asupan gizi langsung bagi para penderita gizi buruk.
MSR adalah program yang baru-baru ini dimunculkan ACT seiring dengan sering terjadinya masalah-masalah sosial di masyarakat Indonesia, antara lain kesehatan, kemiskinan dan pendidikan. Orang-orang seperti Nurul Hanifah, Nur Azizah, H. Lucky, Ruminah dan lain-lain memang harus dibantu. Karenanya, ACT mengaktifkan Tim ACT Rescue yang ada untuk menjalankan program MSR. Sedianya, Tim ACT Rescue yang dikomandani Eko Yudho ini adalah mereka yang diturunkan ACT ketika dalam fase darurat bencana alam. Yakni untuk membantu evakuasi korban bencana alam.
Bencana sosial tak kalah pentingnya untuk segera ditangani seperti halnya bencana alam. Atas dasar itulah, program MSR ini diaktifkan. Target dan sasaran program untuk sementara masih di wilayah Jabodetabek, karena masalah sosial di wilayah ini pun terbilang sangat banyak dan belum tertangani. “Kalau kita bisa sampai ke Aceh, Papua, dan bahkan luar negeri untuk membantu saudara-saudara kita, kenapa yang dekat tidak kita bantu?” ujar Ahyuddin, Direktur ACT-Aksi Cepat Tanggap soal program MSR ini.
Selain kesiapan tim untuk menjalankan program ini, tentu kami takkan melupakan jasa pihak lain yang ikut melancarkan program MSR. Mereka adalah pelapor kondisi korban, dan yang tak kalah pentingnya adalah para donor yang tak henti membantu ACT. Beberapa orang yang ditangani ACT saat ini cukup terbantu atas sumbangsih para donor tersebut.
Saat ini masih ada Urip, si cacat tubuh yang tak kenal menyerah menjalani kerasnya hidup, atau Rani yang rela berjalan kaki 10 kilometer tanpa uang saku pergi-pulang ke sekolah agar tak memberatkan beban orang tuanya. Pulang sekolah, ia masih harus mencari tambahan uang dengan cara menjadi pembersih mushola sekolahnya. Akan ada banyak lagi yang akan ditangani Tim ACT Rescue lewat program MSR ini, mengingat semakin banyaknya laporan yang masuk ke kantor kami. Partisipasi Anda dalam program ini, tentu akan sangat memperlancar jalannya MSR, dan yang pasti akan semakin banyak orang terbantu.
Mari bersama bantu mereka
ACT-Aksi Cepat Tanggap
Komplek Perkantoran Ciputat Indah Permai Blok B-8
Jl. Ir. H. Juanda No. 50 Ciputat 15419
Telp. +61 21 7414482, Fax. +62 21 7420664
www.aksicepattanggap.com
email: info@aksicepattanggap.com
Contact Person: Bayu Gawtama (0852 190 685 81)
Maya Dwi Lestari (0856 115 4124)
Jauh sebelum nama-nama di atas, telah banyak pula sederet nama lain yang dibantu ACT-Aksi Cepat Tanggap, baik dalam pengobatan langsung ke rumah sakit, advokasi pembuatan kartu Gakin (keluarga miskin) agar mendapatkan keringanan biaya rumah sakit, juga pemberian makanan dan asupan gizi langsung bagi para penderita gizi buruk.
MSR adalah program yang baru-baru ini dimunculkan ACT seiring dengan sering terjadinya masalah-masalah sosial di masyarakat Indonesia, antara lain kesehatan, kemiskinan dan pendidikan. Orang-orang seperti Nurul Hanifah, Nur Azizah, H. Lucky, Ruminah dan lain-lain memang harus dibantu. Karenanya, ACT mengaktifkan Tim ACT Rescue yang ada untuk menjalankan program MSR. Sedianya, Tim ACT Rescue yang dikomandani Eko Yudho ini adalah mereka yang diturunkan ACT ketika dalam fase darurat bencana alam. Yakni untuk membantu evakuasi korban bencana alam.
Bencana sosial tak kalah pentingnya untuk segera ditangani seperti halnya bencana alam. Atas dasar itulah, program MSR ini diaktifkan. Target dan sasaran program untuk sementara masih di wilayah Jabodetabek, karena masalah sosial di wilayah ini pun terbilang sangat banyak dan belum tertangani. “Kalau kita bisa sampai ke Aceh, Papua, dan bahkan luar negeri untuk membantu saudara-saudara kita, kenapa yang dekat tidak kita bantu?” ujar Ahyuddin, Direktur ACT-Aksi Cepat Tanggap soal program MSR ini.
Selain kesiapan tim untuk menjalankan program ini, tentu kami takkan melupakan jasa pihak lain yang ikut melancarkan program MSR. Mereka adalah pelapor kondisi korban, dan yang tak kalah pentingnya adalah para donor yang tak henti membantu ACT. Beberapa orang yang ditangani ACT saat ini cukup terbantu atas sumbangsih para donor tersebut.
Saat ini masih ada Urip, si cacat tubuh yang tak kenal menyerah menjalani kerasnya hidup, atau Rani yang rela berjalan kaki 10 kilometer tanpa uang saku pergi-pulang ke sekolah agar tak memberatkan beban orang tuanya. Pulang sekolah, ia masih harus mencari tambahan uang dengan cara menjadi pembersih mushola sekolahnya. Akan ada banyak lagi yang akan ditangani Tim ACT Rescue lewat program MSR ini, mengingat semakin banyaknya laporan yang masuk ke kantor kami. Partisipasi Anda dalam program ini, tentu akan sangat memperlancar jalannya MSR, dan yang pasti akan semakin banyak orang terbantu.
Mari bersama bantu mereka
ACT-Aksi Cepat Tanggap
Komplek Perkantoran Ciputat Indah Permai Blok B-8
Jl. Ir. H. Juanda No. 50 Ciputat 15419
Telp. +61 21 7414482, Fax. +62 21 7420664
www.aksicepattanggap.com
email: info@aksicepattanggap.com
Contact Person: Bayu Gawtama (0852 190 685 81)
Maya Dwi Lestari (0856 115 4124)
Monday, December 19, 2005
Dalam Kepasrahan Pasti Ada Jalan
“Bang, baru hari kedua saja kita sudah harus bayar 1,5 juta. Bagaimana kalau seminggu? Kita nggak punya uang lagi nih?” Pesan singkat itu masuk ke telepon genggam saya menjelang siang ini. Tentu saja itu SMS dari isteri saya yang tengah menemani Hufha, anak pertama saya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Minggu pagi, usai Subuh, isteri saya mendapati sulung kami itu dalam keadaan demam tinggi. Yang membuat panik, di sekujur tubuhnya terdapat bercak-bercak merah. Karuan saja bayangan kami langsung ke penyakit yang sedang ngetop saat ini, demam berdarah. Tak ambil pusing, dan tak peduli nanti biaya dari mana, kami langsung melarikan Hufha ke UGD RS Al-Qadr, Tangerang. Setelah diperiksa dokter dan melalui tes darah, dipastikan bukan DBD, melainkan Tampak. Orang betawi menyebutnya Tampek. Saya tidak tahu apa bedanya dengan Campak, karena sebagian orang pun menyebutnya demikian.
Karena penyakit tersebut menular, dianjurkan dokter agar dirawat di ruang isolasi. Saya pun menyetujuinya, meski saya sempat menangkap mata isteri saya yang masih bingung. Tentu saya tahu apa yang dipikirkannya saat itu, dan perlahan saya berbisik, “ini yang terbaik bagi kesembuhan Hufha, jangan pikirkan soal itu dulu”.
Saya bukannya tak mengerti apa yang dipikirkan isteri. Sampai anak kami masuk ruang perawatan pun, lagi-lagi isteri bertanya soal biaya rumah sakit. Maklum, saya baru saja bekerja setelah pindah dari tempat sebelumnya. Dan di tempat kerja yang baru ini belum ada jaminan asuransi seperti sebelumnya. Saya rasa itulah yang membuat isteri saya sedikit keberatan. “Harus dirawat di rumah sakit ya dok? Nggak bisa kalau di rumah saja?” kalimat itu sempat terucap kepada dokter yang memeriksanya.
Saya hanya patut bersyukur masih memiliki keberanian untuk membawa anak saya ke rumah sakit. Padahal saya banyak tahu tentang orang-orang di sekitar yang bahkan untuk berobat ke klinik pun tak berani, bayangan mereka langsung pada setumpuk uang yang harus mereka bayarkan untuk sebuah nikmat bernama kesehatan. Sebenarnya, bukan cuma keberanian yang saya punya, melainkan ketenangan dan yang pasti kepasrahan kepada Allah. Usaha memang harus tetap dilakukan, tapi terpenting dari usaha itu adalah keikhlasan kita untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah. Biarkan Allah campur tangan terhadap semua masalah kita, pasti yang terbaiklah yang dilakukan-Nya. Hasilnya? Jangan pernah meragukan hasil kerja Allah.
Ya, keberanian, ketenangan dan kepasrahan ini pula yang saya miliki sewaktu Hufha masuk rumah sakit Desember tahun lalu akibat Typhus. Yang penting sembuh dulu, soal bayar rumah sakit, dipikirkan selanjutnya. Intinya, kalau pun harus menggadaikan diri untuk kesembuhan orang-orang tercinta, saya akan lakukan. Heroik? Bukan, saya menyebutnya cinta. Cinta yang saya yakini akan berbalas cinta yang sebanding, bahkan lebih.
Pesan singkat isteri saya masuk lagi siang ini, “Gimana? Sudah ada belum uangnya?” Saya tahu dia begitu panik, karena langsung berhadapan dengan tagihan itu. Sedangkan saya, masih sibuk dengan setumpuk pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Sambil tersenyum saya kirim balasan pesan singkatnya, “Cukup abang saja yang pusing soal itu, yang penting temani saja Hufha dengan senyum ya”.
Lalu SMS kedua saya pun meluncur menyusul pesan sebelumnya, “Dalam kepasrahan, pasti ada jalan. Ingat tahun lalu deh”. Alhamdulillah, pesan singkat itu pun terbalas cepat dengan sebuah ikon ‘smile’.
Bayu Gawtama
Minggu pagi, usai Subuh, isteri saya mendapati sulung kami itu dalam keadaan demam tinggi. Yang membuat panik, di sekujur tubuhnya terdapat bercak-bercak merah. Karuan saja bayangan kami langsung ke penyakit yang sedang ngetop saat ini, demam berdarah. Tak ambil pusing, dan tak peduli nanti biaya dari mana, kami langsung melarikan Hufha ke UGD RS Al-Qadr, Tangerang. Setelah diperiksa dokter dan melalui tes darah, dipastikan bukan DBD, melainkan Tampak. Orang betawi menyebutnya Tampek. Saya tidak tahu apa bedanya dengan Campak, karena sebagian orang pun menyebutnya demikian.
Karena penyakit tersebut menular, dianjurkan dokter agar dirawat di ruang isolasi. Saya pun menyetujuinya, meski saya sempat menangkap mata isteri saya yang masih bingung. Tentu saya tahu apa yang dipikirkannya saat itu, dan perlahan saya berbisik, “ini yang terbaik bagi kesembuhan Hufha, jangan pikirkan soal itu dulu”.
Saya bukannya tak mengerti apa yang dipikirkan isteri. Sampai anak kami masuk ruang perawatan pun, lagi-lagi isteri bertanya soal biaya rumah sakit. Maklum, saya baru saja bekerja setelah pindah dari tempat sebelumnya. Dan di tempat kerja yang baru ini belum ada jaminan asuransi seperti sebelumnya. Saya rasa itulah yang membuat isteri saya sedikit keberatan. “Harus dirawat di rumah sakit ya dok? Nggak bisa kalau di rumah saja?” kalimat itu sempat terucap kepada dokter yang memeriksanya.
Saya hanya patut bersyukur masih memiliki keberanian untuk membawa anak saya ke rumah sakit. Padahal saya banyak tahu tentang orang-orang di sekitar yang bahkan untuk berobat ke klinik pun tak berani, bayangan mereka langsung pada setumpuk uang yang harus mereka bayarkan untuk sebuah nikmat bernama kesehatan. Sebenarnya, bukan cuma keberanian yang saya punya, melainkan ketenangan dan yang pasti kepasrahan kepada Allah. Usaha memang harus tetap dilakukan, tapi terpenting dari usaha itu adalah keikhlasan kita untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah. Biarkan Allah campur tangan terhadap semua masalah kita, pasti yang terbaiklah yang dilakukan-Nya. Hasilnya? Jangan pernah meragukan hasil kerja Allah.
Ya, keberanian, ketenangan dan kepasrahan ini pula yang saya miliki sewaktu Hufha masuk rumah sakit Desember tahun lalu akibat Typhus. Yang penting sembuh dulu, soal bayar rumah sakit, dipikirkan selanjutnya. Intinya, kalau pun harus menggadaikan diri untuk kesembuhan orang-orang tercinta, saya akan lakukan. Heroik? Bukan, saya menyebutnya cinta. Cinta yang saya yakini akan berbalas cinta yang sebanding, bahkan lebih.
Pesan singkat isteri saya masuk lagi siang ini, “Gimana? Sudah ada belum uangnya?” Saya tahu dia begitu panik, karena langsung berhadapan dengan tagihan itu. Sedangkan saya, masih sibuk dengan setumpuk pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Sambil tersenyum saya kirim balasan pesan singkatnya, “Cukup abang saja yang pusing soal itu, yang penting temani saja Hufha dengan senyum ya”.
Lalu SMS kedua saya pun meluncur menyusul pesan sebelumnya, “Dalam kepasrahan, pasti ada jalan. Ingat tahun lalu deh”. Alhamdulillah, pesan singkat itu pun terbalas cepat dengan sebuah ikon ‘smile’.
Bayu Gawtama
Friday, December 16, 2005
Menangislah untuk Yahukimo
Tatapan matanya begitu tajam, sepasang anak dan ibu itu terus membuntuti saya lewat tatapannya. Semakin menjauh saya semakin memicing matanya, seolah tak ingin melepaskan saya yang semakin jauh. Beberapa kali saya menengok ke belakang, masih saja dua pasang mata itu menatap, semakin tajam terasa bahkan. Tapi, jauh di dalam ketajaman matanya itu teramat jelas sejarah panjang tanah tempat tinggalnya yang teramat jauh dari peradaban. Sebuah kampung yang berada di lembah, dengan pegunungan di sekelilingnya. Hanya sebuah pesawat kecil yang mampu menjangkau tempat tinggalnya.
Yahukimo, baru-baru ini namanya terdengar. Sebagian orang masih terpeleset lidahnya karena terbiasa menyebut Yohokama, salah satu kota di Jepang. Tapi Yahukimo bukan di Jepang, ia berada di Indonesia, tepatnya di Papua. Lebih tepat lagi, berada di daerah Jawawijaya. Kabupaten Yahukimo adalah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Selain Yahukimo, dua kabupaten lainnya adalah Tolikara dan Pegunungan Bintang. Namun, di banding tiga kabupaten lainnya, Yahukimo lah yang bernasib paling buruk. Dan baru-baru ini, orang Indonesia di berbagai kota baru sadar, ada satu daerah di Papua yang bernama Yahukimo.
Yahukimo mendadak terkenal bukan karena di tanah itu terdapat kandungan emas, seperti halnya Timika. Bukan juga karena di daerah itu tempat kelahiran seorang artis ternama ibukota. Tak ada tambang emas di Yahukimo, pun tak ada artis yang dilahirkan di salah satu dari 34 Distrik yang ada di Kabupaten Yahukimo. Justru, kabar yang membuat Yahukimo begitu terkenal baru-baru ini adalah sebuah kabar memilukan, puluhan orang diduga mati kelaparan.
Miris mendengarnya. Tentu saja. Karena Yahukimo bukan di Ethiopia, bukan pula di negara lain yang menjadi langganan bencana kelaparan. Tapi Yahukimo masih berbendera Indonesia dan berbahasa yang sama dengan orang Jakarta. Suku-suku di Papua memang berbeda bahasa, namun justru yang menyatukan mereka adalah bahasa Indonesia. Bahasa negara yang menjadi tumpuan mereka, agar nasib mereka setidaknya tak jauh berbeda dengan orang-orang di Jakarta.
Saya dan Eko Yudho, Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang langsung dikirim begitu kabar pilu itu menyeruak, tak kuasa menahan tangis tatkala melihat langsung kondisi masyarakat Distrik Holuwon, salah satu distrik di Kabupaten Yahukimo. Siburuh, begitu sebutan mereka untuk umbi-umbian yang menjadi makanan utama masyarakat Yahukimo. Tak ada lagi siburuh untuk dimakan, adalah hujan lebat yang terus menerus mengguyur tanah mereka sejak Mei 2005, menyebabkan warga gagal panen. Siburuh yang mereka tanam, tumbuh tanpa isi dan lembek. Akibatnya, tak satu pun yang bisa dimakan. Alternatif makanan mereka saat ini adalah buah merah, yang bagi sebagian orang Jakarta dijadikan obat yang lumayan mahal harganya.
Menurut catatan Kepala Pos Distrik Holuwon, Bernard Yahole, 25 orang sudah meninggal akibat kelaparan di Distriknya. Distrik Holuwon dihuni oleh 8975 penduduk yang tersebar di 15 Kampung. Mereka yang meninggal terdiri dari anak-anak dan orang dewasa. Meski Bernard secara tegas bahwa 25 warganya memang meninggal akibat kelaparan. Mungkin tidak serta merta seluruhnya meninggal akibat kelaparan, bisa jadi sebagian mereka meninggal karena sakit. Bernard pun menjelaskan, bahwa di distriknya bukan hanya bencana kelaparan yang tengah terjadi, ditambah wabah penyakit. Selain Malaria yang sudah menjadi endemi di Papua, diare, penyakit pernafasan dan juga penyakit yang disebabkan oleh bakteri amoeba pun menyerang warga Holuwon. Sangat mungkin, mereka yang awalnya kelaparan, sangat mudah terserang penyakit lantaran daya tahan tubuh mereka melemah. Kemudian, ajal pun siap menjemput.
Tragis memang. Puluhan orang harus mati kelaparan. Mereka meninggal sebagai warga negara Indonesia. Sementara para pejabat Kabupaten Yahukimo, justru lebih banyak berada di kota, bahkan lebih sering ke Jakarta. Wajarlah, bila orang yang kelaparan hingga mati di wilayahnya tak pernah terdeteksi. Dan terperanjatlah mereka setelah tahu ada warganya yang mati. Mati kelaparan.
Menangiskah kita untuk Yahukimo? Atau berita kelaparan Yahukimo sekadar menjadi berita hangat peneman teh panas di pagi hari kita, tanpa ada tangan terhulur untuk mereka. Ah, jangan-jangan kita begitu mudah berujar, "Itu sudah menjadi tugas pemerintah".
Saya benar-benar masih terus terbayang wajah sepasang anak dan ibu itu. Tatapan matanya tajam, tapi kosong. Sekosong perut mereka pastinya.
Bayu Gawtama
Yahukimo, baru-baru ini namanya terdengar. Sebagian orang masih terpeleset lidahnya karena terbiasa menyebut Yohokama, salah satu kota di Jepang. Tapi Yahukimo bukan di Jepang, ia berada di Indonesia, tepatnya di Papua. Lebih tepat lagi, berada di daerah Jawawijaya. Kabupaten Yahukimo adalah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Selain Yahukimo, dua kabupaten lainnya adalah Tolikara dan Pegunungan Bintang. Namun, di banding tiga kabupaten lainnya, Yahukimo lah yang bernasib paling buruk. Dan baru-baru ini, orang Indonesia di berbagai kota baru sadar, ada satu daerah di Papua yang bernama Yahukimo.
Yahukimo mendadak terkenal bukan karena di tanah itu terdapat kandungan emas, seperti halnya Timika. Bukan juga karena di daerah itu tempat kelahiran seorang artis ternama ibukota. Tak ada tambang emas di Yahukimo, pun tak ada artis yang dilahirkan di salah satu dari 34 Distrik yang ada di Kabupaten Yahukimo. Justru, kabar yang membuat Yahukimo begitu terkenal baru-baru ini adalah sebuah kabar memilukan, puluhan orang diduga mati kelaparan.
Miris mendengarnya. Tentu saja. Karena Yahukimo bukan di Ethiopia, bukan pula di negara lain yang menjadi langganan bencana kelaparan. Tapi Yahukimo masih berbendera Indonesia dan berbahasa yang sama dengan orang Jakarta. Suku-suku di Papua memang berbeda bahasa, namun justru yang menyatukan mereka adalah bahasa Indonesia. Bahasa negara yang menjadi tumpuan mereka, agar nasib mereka setidaknya tak jauh berbeda dengan orang-orang di Jakarta.
Saya dan Eko Yudho, Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang langsung dikirim begitu kabar pilu itu menyeruak, tak kuasa menahan tangis tatkala melihat langsung kondisi masyarakat Distrik Holuwon, salah satu distrik di Kabupaten Yahukimo. Siburuh, begitu sebutan mereka untuk umbi-umbian yang menjadi makanan utama masyarakat Yahukimo. Tak ada lagi siburuh untuk dimakan, adalah hujan lebat yang terus menerus mengguyur tanah mereka sejak Mei 2005, menyebabkan warga gagal panen. Siburuh yang mereka tanam, tumbuh tanpa isi dan lembek. Akibatnya, tak satu pun yang bisa dimakan. Alternatif makanan mereka saat ini adalah buah merah, yang bagi sebagian orang Jakarta dijadikan obat yang lumayan mahal harganya.
Menurut catatan Kepala Pos Distrik Holuwon, Bernard Yahole, 25 orang sudah meninggal akibat kelaparan di Distriknya. Distrik Holuwon dihuni oleh 8975 penduduk yang tersebar di 15 Kampung. Mereka yang meninggal terdiri dari anak-anak dan orang dewasa. Meski Bernard secara tegas bahwa 25 warganya memang meninggal akibat kelaparan. Mungkin tidak serta merta seluruhnya meninggal akibat kelaparan, bisa jadi sebagian mereka meninggal karena sakit. Bernard pun menjelaskan, bahwa di distriknya bukan hanya bencana kelaparan yang tengah terjadi, ditambah wabah penyakit. Selain Malaria yang sudah menjadi endemi di Papua, diare, penyakit pernafasan dan juga penyakit yang disebabkan oleh bakteri amoeba pun menyerang warga Holuwon. Sangat mungkin, mereka yang awalnya kelaparan, sangat mudah terserang penyakit lantaran daya tahan tubuh mereka melemah. Kemudian, ajal pun siap menjemput.
Tragis memang. Puluhan orang harus mati kelaparan. Mereka meninggal sebagai warga negara Indonesia. Sementara para pejabat Kabupaten Yahukimo, justru lebih banyak berada di kota, bahkan lebih sering ke Jakarta. Wajarlah, bila orang yang kelaparan hingga mati di wilayahnya tak pernah terdeteksi. Dan terperanjatlah mereka setelah tahu ada warganya yang mati. Mati kelaparan.
Menangiskah kita untuk Yahukimo? Atau berita kelaparan Yahukimo sekadar menjadi berita hangat peneman teh panas di pagi hari kita, tanpa ada tangan terhulur untuk mereka. Ah, jangan-jangan kita begitu mudah berujar, "Itu sudah menjadi tugas pemerintah".
Saya benar-benar masih terus terbayang wajah sepasang anak dan ibu itu. Tatapan matanya tajam, tapi kosong. Sekosong perut mereka pastinya.
Bayu Gawtama
Friday, December 09, 2005
Musibah Kelaparan di Hari Ketahanan Pangan Nasional, Gaw Terbang ke Papua
Ironis. Sekaligus mengejutkan. Negeri gemah ripah loh jinawi seperti Indonesia harus mengalami musibah kelaparan, bahkan telah memakan korban jiwa hingga 55 orang. Papua, pulau terjauh dari pusat pemerintahan Indonesia menggemparkan dengan berita terbarunya. 55 orang meninggal dan 112 orang sakit berat di Kabupaten Yahokimo, Papua, akibat kelaparan.
Bahkan, berita yang dilansir di beberapa media hari ini, bencana kelaparan terjadi di tujuh distrik dan 10 pos pemerintahan di Kabupaten Yahokimo, Papua, sejak 11 November 2005. Sekitar 55.000 penduduk di tujuh distrik itu kehabisan makanan umbi-umbian karena terlambar menanam. Daerah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya ini hanya dapat dijangkau dengan pesawat terbang.
Kejadian ini sungguh sebuah ironi di negeri ini, bukan hanya karena Indonesia terkenal sebagai negeri subur dengan sumber daya alam yang berlimpah, tetapi karena musibah ini terjadi bertepatan dengan Hari Ketahanan Pangan Nasional.
Akibat bencana ini, dua relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT), Bayu Gawtama dan Eko Yudho, Sabtu malam (10/12) direncanakan terbang ke Yahokima guna memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. “kami berharap, ini menjadi perhatian serius pemerintah. Musibah yang sampai luput dari perhatian pemerintah ini harus segera ditangani. Dan kami berusaha membantu semampunya, tentu dengan bantuan dari berbagai elemen masyarakat, “ ujar Ahyuddin, Direktur ACT.
Seperti biasanya, aksi ACT akan sangat memanfaatkan sumber daya lokal yang ada, baik relawan maupun dalam pengadaan bahan bantuan. ACT hanya membawa sejumlah uang untuk kemudian membelanjakan bahan makanan dan obat-obatan di Papua sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat lokal.
Diharapkan, keberangkatan relawan ACT ke Papua ini juga mendapatkan sokongan dari seluruh elemen masyarakat di Indonesia, kalau perlu dunia internasional. Agar lebih banyak bantuan yang tersampaikan untuk saudara-saudara kita di Papua. (Bayu Gawtama)
Bantuan bisa disalurkan melalui
Rekening kemanusiaan ACT:
BCA 676 0 30 31 33
Mandiri 128 000 4555 808
BSM 004 011 9999
Muamalat 304 0022 915
Informasi : Maya Dwi Lestari
021-7414482
Bahkan, berita yang dilansir di beberapa media hari ini, bencana kelaparan terjadi di tujuh distrik dan 10 pos pemerintahan di Kabupaten Yahokimo, Papua, sejak 11 November 2005. Sekitar 55.000 penduduk di tujuh distrik itu kehabisan makanan umbi-umbian karena terlambar menanam. Daerah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya ini hanya dapat dijangkau dengan pesawat terbang.
Kejadian ini sungguh sebuah ironi di negeri ini, bukan hanya karena Indonesia terkenal sebagai negeri subur dengan sumber daya alam yang berlimpah, tetapi karena musibah ini terjadi bertepatan dengan Hari Ketahanan Pangan Nasional.
Akibat bencana ini, dua relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT), Bayu Gawtama dan Eko Yudho, Sabtu malam (10/12) direncanakan terbang ke Yahokima guna memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. “kami berharap, ini menjadi perhatian serius pemerintah. Musibah yang sampai luput dari perhatian pemerintah ini harus segera ditangani. Dan kami berusaha membantu semampunya, tentu dengan bantuan dari berbagai elemen masyarakat, “ ujar Ahyuddin, Direktur ACT.
Seperti biasanya, aksi ACT akan sangat memanfaatkan sumber daya lokal yang ada, baik relawan maupun dalam pengadaan bahan bantuan. ACT hanya membawa sejumlah uang untuk kemudian membelanjakan bahan makanan dan obat-obatan di Papua sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat lokal.
Diharapkan, keberangkatan relawan ACT ke Papua ini juga mendapatkan sokongan dari seluruh elemen masyarakat di Indonesia, kalau perlu dunia internasional. Agar lebih banyak bantuan yang tersampaikan untuk saudara-saudara kita di Papua. (Bayu Gawtama)
Bantuan bisa disalurkan melalui
Rekening kemanusiaan ACT:
BCA 676 0 30 31 33
Mandiri 128 000 4555 808
BSM 004 011 9999
Muamalat 304 0022 915
Informasi : Maya Dwi Lestari
021-7414482
Thursday, December 08, 2005
Dosa Kala Derita
Dua hari ini dua anggota keluarga saya sakit. Hari pertama isteri saya demam disertai panas tinggi. Setelah panasnya mereda, sehari kemudian giliran anak pertama saya yang terserang demam, panas dan batuk. Dan dalam dua hari itu pula, saya mengantar ke dokter yang sama, dokter yang sudah menjadi langganan keluarga kami. Seperti saat berobat sebelumnya, saya selalu meminta kwitansi pengobatan karena biasanya akan mendapat penggantian dari kantor.
Yang menarik, setiap kali hendak menuliskan nominal yang akan tertera di kwitansi, petugas klinik selalu bertanya, “mau ditulis berapa di kwitansinya?”. Meski dia sudah tahu jawaban saya selalu sama, “sesuai yang saya keluarkan”. Rupanya, petugas itu sebenarnya sudah tahu akan jawaban saya itu, namun ia hanya ingin tahu apakah saya akan berubah atau tetap pada pendirian saya. Bahwa saya tidak akan melebihkan bahkan satu sen pun nominal yang tertera di kwitansi untuk mendapatkan keuntungan. Ketika mendapat jawaban yang sama, wanita berusia limapuluh tahunan itu berujar, “alhamdulillah masih lurus…”
Kesempatan berbuat dosa ternyata selalu terbuka di mana pun dan kapan pun, termasuk disaat kita menderita. Saat kita sakit, atau anggota keluarga sakit, kesempatan itu datang dengan cara seperti yang saya ceritakan di atas. Melalui kwitansi rumah sakit atau klinik, kita bisa saja mencantumkan nominal yang lebih dari sudah kita bayarkan. Kesempatan itu selalu saja ada dan bahkan ditawarkan, seperti yang selalu saya alami. Mungkin seandainya saya mengambil kesempatan itu dan meminta petugas klinik menuliskan nominalnya dua kali lipat dari yang saya bayarkan, kantor akan menggantinya tanpa banyak bertanya. Tetapi, apakah semudah itu saya menyebut angka yang saya inginkan? Akankah terasa ringan tangan saya saat menerima uang pengganti berobat dari kantor dalam jumlah yang tak sesuai?
Saya terus berpikir, seandainya saya mengambil kesempatan itu dan terus menerus mengulanginya setiap kali meminta kwitansi berobat. Dua kesalahan, kalau tidak bisa dibilang dosa, langsung tercipta secara bersamaan. Pertama, berdusta dengan nilai nominal yang tak semestinya. Kedua, merugikan perusahaan yang menurut saya masuk dalam kategori korupsi. Lantas, apa bedanya kita dengan para koruptor? Perbuatannya sama-sama memanipulasi angka-angka dan sama-sama merugikan perusahaan. Meski nilainya berbeda, namanya tetap sama; korupsi.
Tidak selesai sampai di dua kesalahan itu, perbuatan itu juga akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap diri ini. Pertama, jelas-jelas kita akan dimintai pertanggungjawabannya kelak oleh Allah. Kedua, karena Allah tidak suka dengan perbuatan kita, jangan-jangan Sang Maha Penyembuh itu tak berkenan memberikan kesembuhan. Tentu ini lebih mengerikan, karena dengan semakin seringnya anggota keluarga kita sakit lantaran tak sembuh-sembuh, jangan-jangan kita semakin sering memanfaatkan kesempatan ini secara terus menerus untuk memanipulasi angka.
Semestinya kita bersyukur, setiap kali sakit atau anggota keluarga yang sakit, masih ada biaya untuk ke dokter. Apakah pantas rasa syukur itu diwujudkan dengan cara memanipulasi nominal dalam kwitansi berobat kita? Di saat yang sama, di luar kita teramat banyak orang-orang bernasib tak seberuntung kita membiarkan penyakitnya terus menggerogoti tubuhnya lantaran tak ada biaya untuk ke dokter. Tak sedikit yang harus menahan sakitnya hingga maut menjemput, lagi-lagi biaya menjadi kendala. Banyak anak-anak yang bertahun-tahun tergolek di tempat tidur, sementara orangtuanya tak mampu berbuat apa pun untuk kesembuhan si buah hati.
Sedangkan kita? Jangankan bersyukur, justru kita melakukan dosa di saat Allah menegur kita dengan sakit. Kwitansi itu hanya selembar kertas. Namun jika tertera nominal yang dimanipulasi di atasnya, selembar kertas itu akan membuat repot urusan kita di hadapan Allah kelak.
Bayu Gawtama
Yang menarik, setiap kali hendak menuliskan nominal yang akan tertera di kwitansi, petugas klinik selalu bertanya, “mau ditulis berapa di kwitansinya?”. Meski dia sudah tahu jawaban saya selalu sama, “sesuai yang saya keluarkan”. Rupanya, petugas itu sebenarnya sudah tahu akan jawaban saya itu, namun ia hanya ingin tahu apakah saya akan berubah atau tetap pada pendirian saya. Bahwa saya tidak akan melebihkan bahkan satu sen pun nominal yang tertera di kwitansi untuk mendapatkan keuntungan. Ketika mendapat jawaban yang sama, wanita berusia limapuluh tahunan itu berujar, “alhamdulillah masih lurus…”
Kesempatan berbuat dosa ternyata selalu terbuka di mana pun dan kapan pun, termasuk disaat kita menderita. Saat kita sakit, atau anggota keluarga sakit, kesempatan itu datang dengan cara seperti yang saya ceritakan di atas. Melalui kwitansi rumah sakit atau klinik, kita bisa saja mencantumkan nominal yang lebih dari sudah kita bayarkan. Kesempatan itu selalu saja ada dan bahkan ditawarkan, seperti yang selalu saya alami. Mungkin seandainya saya mengambil kesempatan itu dan meminta petugas klinik menuliskan nominalnya dua kali lipat dari yang saya bayarkan, kantor akan menggantinya tanpa banyak bertanya. Tetapi, apakah semudah itu saya menyebut angka yang saya inginkan? Akankah terasa ringan tangan saya saat menerima uang pengganti berobat dari kantor dalam jumlah yang tak sesuai?
Saya terus berpikir, seandainya saya mengambil kesempatan itu dan terus menerus mengulanginya setiap kali meminta kwitansi berobat. Dua kesalahan, kalau tidak bisa dibilang dosa, langsung tercipta secara bersamaan. Pertama, berdusta dengan nilai nominal yang tak semestinya. Kedua, merugikan perusahaan yang menurut saya masuk dalam kategori korupsi. Lantas, apa bedanya kita dengan para koruptor? Perbuatannya sama-sama memanipulasi angka-angka dan sama-sama merugikan perusahaan. Meski nilainya berbeda, namanya tetap sama; korupsi.
Tidak selesai sampai di dua kesalahan itu, perbuatan itu juga akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap diri ini. Pertama, jelas-jelas kita akan dimintai pertanggungjawabannya kelak oleh Allah. Kedua, karena Allah tidak suka dengan perbuatan kita, jangan-jangan Sang Maha Penyembuh itu tak berkenan memberikan kesembuhan. Tentu ini lebih mengerikan, karena dengan semakin seringnya anggota keluarga kita sakit lantaran tak sembuh-sembuh, jangan-jangan kita semakin sering memanfaatkan kesempatan ini secara terus menerus untuk memanipulasi angka.
Semestinya kita bersyukur, setiap kali sakit atau anggota keluarga yang sakit, masih ada biaya untuk ke dokter. Apakah pantas rasa syukur itu diwujudkan dengan cara memanipulasi nominal dalam kwitansi berobat kita? Di saat yang sama, di luar kita teramat banyak orang-orang bernasib tak seberuntung kita membiarkan penyakitnya terus menggerogoti tubuhnya lantaran tak ada biaya untuk ke dokter. Tak sedikit yang harus menahan sakitnya hingga maut menjemput, lagi-lagi biaya menjadi kendala. Banyak anak-anak yang bertahun-tahun tergolek di tempat tidur, sementara orangtuanya tak mampu berbuat apa pun untuk kesembuhan si buah hati.
Sedangkan kita? Jangankan bersyukur, justru kita melakukan dosa di saat Allah menegur kita dengan sakit. Kwitansi itu hanya selembar kertas. Namun jika tertera nominal yang dimanipulasi di atasnya, selembar kertas itu akan membuat repot urusan kita di hadapan Allah kelak.
Bayu Gawtama
Wednesday, December 07, 2005
H. Zacky, Potret Keluarga Miskin di Pinggiran Jakarta
Tidak kuasa kami menahan haru menyaksikan kondisi Sebuah rumah yang hampir roboh, dindingnya yang terbuat dari bata putih sudah berangsur condong, atapnya dari asbes bekas sudah porak poranda akibat terpaan angin ribut disertai hujan, yang melanda desa Bedahan Sawangan depok pada hari Rabu 30 November 2005. Rumah dengan bangunan seluas 50 meter persegi dibangun di atas tanah seluas 50 meter persegi itu dihuni oleh H. Zacky Tamam Muslim (57 tahun) bersama sang istri, Hindun (44 tahun) dan enam orang anaknya. Dalam rumah itu juga terdapat dua mantu serta dua cucunya. Berarti rumah yang nyaris roboh tersebut dihuni 3 keluarga dengan 12 jiwa. Mereka hidup tanpa listrik dan tidur beralaskan tikar, seluruh anggota keluarga lebih banyak berpuasa meski diluar bulan Ramadhan.
H. Zakcy yang sebelumnya bernama Lucky Lucas Polhaupessy adalah seorang mualaf yang mengucapkan syahadat pada tahun 1995. Gelar Haji yang dimilikinya adalah hadiah dari Departemen Agama yang memberangkatkannya ke Tanah Suci pada tahun 1997. Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu dan wawasan keislaman salah satunya dilakukan dengan melakukan perjalanan Jihad Muhibah pada tahun 1999 yaitu melakukan berjalan kaki ke seluruh wilayah Indonesia.
Profesi H. Zacky adalah guru privat Bahasa Inggris dan pengrajin maket miniatur menara dari bahan bambu. Setelah krisis moneter tahun 1998, usaha kerajinan tangan mulai suram apalagi setahun yang lalu sang istri menderita sakit stroke memerlukan biaya yang besar, sehingga modal usahanya terpakai untuk membiayai pengobatan istrinya. Demikian pula kegiatan mengajar sebagai guru privat juga sudah mulai berkurang karena biaya transportasi yang mahal akibat kenaikan BBM. Kini mobilitasnya jauh menurun, kalaupun mengajar, sang guru privat ini harus berjalan kaki dari Sawangan ke tempat ia mengajar, antara lain di Jakarta dan di Bogor. Untuk kembali menggerakkan roda ekonomi keluarga, H. Zacky sangat membutuhkan modal usaha. Sebenarnya usaha kerajinan membuat miniatur menara ini banyak pesanan dari beberapa pihak. Saat ini ada permintaan pembiatan miniature rumah adat dan menara yang belum terselesaikan akibat tidak adanya dana.
Hindun, sang istri, pernah menjadi kepala dapur Pesantren Al-Awwabin yang berada di depan rumahnya. Namun setahun yang lalu ia tak lagi bekerja di pesantren tersebut karena penyakit stroke yang dideritanya. Kini Hindun lebih banyak di rumah dan tidak bisa melakukan kegiatan untuk menopang ekonomi keluarganya. Hingga hari ini, Hindun masih perlu perawatan intensif untuk penyakitnya itu. Namun, ketiadaan biaya membuatnya lebih banyak pasrah menerima nasib.
Meski terhimpit ekonominya, namun untuk pendidikan anaknya, H. Zacky sangat memberi perhatian dan berharap kelak anaknya yang masih sekolah dapat membahagiakan orang tuanya di kemudian hari. Upaya ini terlihat dari anak ke tiganya yang masih duduk di bangku SMA kelas 2, mendapatkan beasiswa karena prestasinya dan keahliannya melukis. Tidak selayaknya anak usia SMA yang lain, anak gadis H. Zacky ini juga harus berjuang untuk meringankan orang tuannya. Ia berangkat dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki yang jaraknya lebih dari 5 kilometer. Setelah jam pelajaran sekolah usai, ia tidak langsung pulang, tetapi membantu membersihkan dan merapikan musholla yang berada di lingkungan sekolah. Oleh pengurus mushollah, ia diberi uang jajan dan untuk membeli peralatan sekolah.
1 Desember 2005, di bawah terik matahari dengan berjalan kaki dari rumahnya, H. Zacky menuju kantor ACT yang berjarak lebih dari 25 Km. Lelaki itu berharap ada pihak yang dapat meringankan beban hidupnya. Di kantor ACT, ia diterima oleh staf komunikasi untuk selanjutnya berkas diteruskan ke ACT Rescue di bawah Divisi Program. Dari penuturan H. Zacky dan kesimpulan diskusi Divisi Program, berselang satu hari, Tim ACT Rescue meluncur menuju kediaman H. Zacky untuk melakukan verifikasi dan validasi data. Setelah melihat langsung kondisi rumah dan keluarganya, tak kuasa kami menahan air mata. Tak layak kami menyebut rumah itu sebagai tempat tinggal. Atapnya tinggal seperempat bagian, dindingnya nyaris roboh, lantaran pernah ditabrak mobil. Apabila hujan turun, semua anggota keluarga harus mengungsi sebab kamar dan ruang tamu banjir. Mengingat kondisi rumah yang sudah sangat tidak layak huni, yang sewaktu-waktu rumah tersebut roboh dan dapat mengakibatkan jatuhnya korban. Kadang saat hujan deras, mereka lebih memilih berbasah kuyup kedinginan karena khawatir rumah mereka roboh.
Tim ACT Rescue segera merencanakan untuk melakukan tindakan emergency secepatnya. Yaitu membangun kembali bagian atap rumah dan memasang slope untuk memperkuat rangka penyangga atap.
3 Desember 2005, sepuluh anggota Tim ACT Rescue beraksi bergotong royong membangun atap rumah H. Zacky. Sebagian dana yang diterima ACT dari para donatur, kami pergunakan untuk membangun rumah tersebut. Saat ini, kami masih menerima beberapa sumbangan untuk keluarga H. Zacky.
Meski H. Zakcy dan keluarga kini dapat berlindung dari air hujan, namun ia masih berharap ada pihak yang dapat meringankan beban hidupnya. (Eko Yudho)
Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
021-7414482
0852 190 68581
H. Zakcy yang sebelumnya bernama Lucky Lucas Polhaupessy adalah seorang mualaf yang mengucapkan syahadat pada tahun 1995. Gelar Haji yang dimilikinya adalah hadiah dari Departemen Agama yang memberangkatkannya ke Tanah Suci pada tahun 1997. Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu dan wawasan keislaman salah satunya dilakukan dengan melakukan perjalanan Jihad Muhibah pada tahun 1999 yaitu melakukan berjalan kaki ke seluruh wilayah Indonesia.
Profesi H. Zacky adalah guru privat Bahasa Inggris dan pengrajin maket miniatur menara dari bahan bambu. Setelah krisis moneter tahun 1998, usaha kerajinan tangan mulai suram apalagi setahun yang lalu sang istri menderita sakit stroke memerlukan biaya yang besar, sehingga modal usahanya terpakai untuk membiayai pengobatan istrinya. Demikian pula kegiatan mengajar sebagai guru privat juga sudah mulai berkurang karena biaya transportasi yang mahal akibat kenaikan BBM. Kini mobilitasnya jauh menurun, kalaupun mengajar, sang guru privat ini harus berjalan kaki dari Sawangan ke tempat ia mengajar, antara lain di Jakarta dan di Bogor. Untuk kembali menggerakkan roda ekonomi keluarga, H. Zacky sangat membutuhkan modal usaha. Sebenarnya usaha kerajinan membuat miniatur menara ini banyak pesanan dari beberapa pihak. Saat ini ada permintaan pembiatan miniature rumah adat dan menara yang belum terselesaikan akibat tidak adanya dana.
Hindun, sang istri, pernah menjadi kepala dapur Pesantren Al-Awwabin yang berada di depan rumahnya. Namun setahun yang lalu ia tak lagi bekerja di pesantren tersebut karena penyakit stroke yang dideritanya. Kini Hindun lebih banyak di rumah dan tidak bisa melakukan kegiatan untuk menopang ekonomi keluarganya. Hingga hari ini, Hindun masih perlu perawatan intensif untuk penyakitnya itu. Namun, ketiadaan biaya membuatnya lebih banyak pasrah menerima nasib.
Meski terhimpit ekonominya, namun untuk pendidikan anaknya, H. Zacky sangat memberi perhatian dan berharap kelak anaknya yang masih sekolah dapat membahagiakan orang tuanya di kemudian hari. Upaya ini terlihat dari anak ke tiganya yang masih duduk di bangku SMA kelas 2, mendapatkan beasiswa karena prestasinya dan keahliannya melukis. Tidak selayaknya anak usia SMA yang lain, anak gadis H. Zacky ini juga harus berjuang untuk meringankan orang tuannya. Ia berangkat dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki yang jaraknya lebih dari 5 kilometer. Setelah jam pelajaran sekolah usai, ia tidak langsung pulang, tetapi membantu membersihkan dan merapikan musholla yang berada di lingkungan sekolah. Oleh pengurus mushollah, ia diberi uang jajan dan untuk membeli peralatan sekolah.
1 Desember 2005, di bawah terik matahari dengan berjalan kaki dari rumahnya, H. Zacky menuju kantor ACT yang berjarak lebih dari 25 Km. Lelaki itu berharap ada pihak yang dapat meringankan beban hidupnya. Di kantor ACT, ia diterima oleh staf komunikasi untuk selanjutnya berkas diteruskan ke ACT Rescue di bawah Divisi Program. Dari penuturan H. Zacky dan kesimpulan diskusi Divisi Program, berselang satu hari, Tim ACT Rescue meluncur menuju kediaman H. Zacky untuk melakukan verifikasi dan validasi data. Setelah melihat langsung kondisi rumah dan keluarganya, tak kuasa kami menahan air mata. Tak layak kami menyebut rumah itu sebagai tempat tinggal. Atapnya tinggal seperempat bagian, dindingnya nyaris roboh, lantaran pernah ditabrak mobil. Apabila hujan turun, semua anggota keluarga harus mengungsi sebab kamar dan ruang tamu banjir. Mengingat kondisi rumah yang sudah sangat tidak layak huni, yang sewaktu-waktu rumah tersebut roboh dan dapat mengakibatkan jatuhnya korban. Kadang saat hujan deras, mereka lebih memilih berbasah kuyup kedinginan karena khawatir rumah mereka roboh.
Tim ACT Rescue segera merencanakan untuk melakukan tindakan emergency secepatnya. Yaitu membangun kembali bagian atap rumah dan memasang slope untuk memperkuat rangka penyangga atap.
3 Desember 2005, sepuluh anggota Tim ACT Rescue beraksi bergotong royong membangun atap rumah H. Zacky. Sebagian dana yang diterima ACT dari para donatur, kami pergunakan untuk membangun rumah tersebut. Saat ini, kami masih menerima beberapa sumbangan untuk keluarga H. Zacky.
Meski H. Zakcy dan keluarga kini dapat berlindung dari air hujan, namun ia masih berharap ada pihak yang dapat meringankan beban hidupnya. (Eko Yudho)
Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
021-7414482
0852 190 68581
Friday, December 02, 2005
Tiga Belas Tahun Tergolek di Tempat Tidur, Nur Azizah yang Terlupakan
Seolah tak percaya, saat melihat kondisi Nur Azizah, seorang gadis
berusia 13 tahun tergolek lemas tak berdaya di tempat tidur. Gadis
bertubuh kurus dengan berat badan yang tidak sampai 20 kg itu
menderita kelumpuhan sejak usia 6 bulan setelah mendapatkan
imunisasi. Sapri, 40 tahun, ayah Nur Azizah, hanya bisa pasrah dengan kondisi anaknya. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai buruh
bangunan dengan penghasilan yang tak menentu itu mengaku tak memiliki cukup uang untuk biaya berobat Nur Azizah. "Untuk kebutuhan pokok sehari-hari pun, penghasilan saya belum bisa dibilang cukup. Dari mana uang untuk biaya rumah sakit?" tanyanya penuh harap.
Di tepi keputusasaannya, Kholis, 37 tahun, sang ibunda masih menyimpan secercah harapan kelak anaknya akan membaik kondisinya. Namun dengan kondisi ekonomi keluarga yang sangat terbatas, Kholis hanya bisa pasrah dan berdoa untuk kesembuhan buah hatinya itu.
Nur Azizah, puteri kedua dari tiga bersaudara, yang tinggal di Kampung Pugur, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang itu, hanya bisa menggerakkan wajahnya untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Anak-anak seusianya, umumnya sudah duduk di bangku kelas satu SLTP. Tidak demikian dengan Nur Azizah, gadis malang itu harus terus menerus tergolek di tempat tidur selama 13. Praktis, seluruh aktivitas hidupnya, seperti mandi, makan, minum, sangat bergantung kepada ibunya.
Sebenarnya, kondisi Nur Azizah pernah diketahui oleh aparat desa bahkan para pejabat di Kecamatan Pagedangan. Bahkan pada saat pemerintah setempat tengah giat menangani kasus polio, Kholis dan anaknya diminta datang ke Kecamatan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Kedatangan Kholis yang membawa anaknya itu disaksikan
juga oleh aparat MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Terbersit kegembiraan di wajah Kholis membayangkan anaknya dapat segera sembuh. Apalagi ketika ia mendapatkan kartu Gakin (keluarga miskin) dan rekomendasi dari kecamatan untuk berobat gratis ke RSUD Tangerang.
Berbekal kartu Gakin dan surat keterangan dari Kepala Desa, Kholis memapah anaknya dan menumpang angkutan umum menuju RSUD Tangerang. Wanita yang sehari-harinya hanya menjaga dan melayani Nur Azizah itu berpikir seluruh biaya pengobatan anaknya akan benar-benar gratis. Akan tetapi, setelah diperiksa oleh dokter RSUD, Kholis diminta membawa Nur Azizah untuk dilakukan scanning pada bagian kepalanya di rumah sakit lain. Ditambah, ia pun harus menebus beberapa resep obat di apotik. Tak sepeser pun uang di kantongnya untuk biaya scanning dan resep obat. Maka sejak itu, Kholis tak lagi membawa Nur Azizah ke rumah sakit.
7 Oktober 2005, Absor, relawan ACT dari Kecamatan Pagedangan, melaporkan kepada ACT perihal kondisi Nurul Azizah. Dari laporan tersebut, Sabtu, 8 Oktober 2005, Eko Yudho, Koordinator ACT Rescue didampingi Absor, segera meluncur menuju rumah keluarga Nur Azizah.
Binar mata Kholis tak mampu menyembunyikan kesedihannya saat menuturkan kisah perjalanan anak kedua yang dicintainya itu kepada Tim ACT. Tak berapa lama, Kholis pun tak mampu lagi membendung tangisnya. Kehadiran Tim ACT baginya, seperti doa yang terijabah. Sebab, usai sholat Maghrib sehari sebelumnya, Kholis berdo'a untuk kesembuhan Nur Azizah, juga agar dirinya diberi kesabaran dalam menjalani ujian dalam kehidupan ini.
Untuk membangun kembali rasa optimisme ibunda Nur Azizah, Tim ACT memberikan semangat dan motivasi agar tidak berputus asa dalam mengupayakan kesembuhan anaknya. Disamping memberikan bantuan biaya transportasi untuk berobat ke rumah sakit, Tim ACT juga secara paralel melakukan advokasi agar hak Nur Azizah sebagai anggota masyarakat yang tidak mampu mendapatkan pengobatan secara gratis dari pemerintah.
Seolah terbayang harapan cerah membentang di depan, Kholis kembali bersemangat untuk membawa Nur Azizah berobat. Ternyata pada saat akan ke rumah sakit, masa berlaku kartu Gakin sudah habis. Kholis pun segera mengurus kembali di Kantor Desa Lengkong Kulon. Namun, pengurusan kartu Gakin tersebut seperti dipersulit oleh salah seorang staf Kepala Desa. Kholis menangis di kantor Kepala Desa, mengiba agar dibuatkan surat keterangan untuk memperoleh kartu Gakin. Alhamdulillah, setelah sempat bersitegang dengan staf Kepala Desa itu, akhirnya Kholis mendapatkan kartu Gakin tersebut.
Namun, lagi-lagi Kholis harus tetap mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus beberapa resep obat di apotik, karena obat dimaksud tidak tersedia di rumah sakit. Bisa dibayangkan, sambil berpuasa ibu Kholis memapah anaknya menuju rumah sakit dengan menumpang angkutan umum. Untuk sampai ke rumah sakit, ibu dan anak itu harus berganti kendaraan dua kali.
Sabtu, 29 Oktober 2005, empat hari sebelum lebaran, kembali Tim ACT mendatangi rumah Nur Azizah untuk memantau perkembangan kesehatannya. Puji Syukur bagi Allah, kondisi Nur Azizah tampak membaik, ia menyambut kami dengan senyuman dan lambaian tangan. Padahal sebelumnya, gadis itu tak mampu, bahkan untuk sekadar mengepalkan tangannya. Kini, Nur Azizah sudah sudah mampu menggenggam sesuatu.
Sebelumnya, Nur Azizah yang hanya tergolek di tempat tidur, kini ia sudah bisa merayap di lantai dan menggerakkan sedikit demi sedikit kakinya untuk berpindah. Melihat perkembangan kondisi Nur Azizah yang menggembirakan ini, Tim ACT memberikan bantuan makanan bergizi berupa susu bubuk instan untuk penguatan tulang dan pertumbuhan.
Untuk kelanjutan pengobatan anaknya, Kholis masih mengeluhkan ongkos transportasi ke rumah sakit yang semakin mahal, terlebih setelah kenaikan harga BBM. Perlu diketahui, keluarga Nur Azizah tidak terdaftar untuk mendapatkan Bantuan Tunai Langsung (BTL) kompensasi kenaikan BBM. Kholis berharap masih ada yang peduli untuk meringankan kesulitan hidupnya.
Ketika kasus polio menjadi kasus nasional, seluruh perhatian pemerintah di bidang kesehatan dan masyarakat tertuju kepada para korban penderita polio. Bahkan berita tentang penderita polio ini mendominasi sebagian besar media massa. Namun seiring berjalannya waktu, kasus polio ini mulai berangsur-angsur hilang dari pemberitaan dan pembicaraan. Menyusul kasus penyakit lainnya yang melanda negeri ini. Bisa jadi, kasus polio ini pun dilupakan. Berapa banyak anak-anak yang bernasib sama dengan Nur Azizah?
Gaung pengobatan gratis di tingkat implementasi belum menjadi kenyataan. Namun kita sebagai anggota masyarakat tidak boleh hanya menyalahkan keadaan.. Harus ada tindakan nyata untuk meringankan penderitaan saudara-saudara kita yang nasibnya belum beruntung.
Ingat, bisa jadi, rezeki kita saat ini karena doa mereka. Orang-orang yang pernah kita bantu. (Eko Yudho P)
Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
021-7414482
0852 190 68581
berusia 13 tahun tergolek lemas tak berdaya di tempat tidur. Gadis
bertubuh kurus dengan berat badan yang tidak sampai 20 kg itu
menderita kelumpuhan sejak usia 6 bulan setelah mendapatkan
imunisasi. Sapri, 40 tahun, ayah Nur Azizah, hanya bisa pasrah dengan kondisi anaknya. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai buruh
bangunan dengan penghasilan yang tak menentu itu mengaku tak memiliki cukup uang untuk biaya berobat Nur Azizah. "Untuk kebutuhan pokok sehari-hari pun, penghasilan saya belum bisa dibilang cukup. Dari mana uang untuk biaya rumah sakit?" tanyanya penuh harap.
Di tepi keputusasaannya, Kholis, 37 tahun, sang ibunda masih menyimpan secercah harapan kelak anaknya akan membaik kondisinya. Namun dengan kondisi ekonomi keluarga yang sangat terbatas, Kholis hanya bisa pasrah dan berdoa untuk kesembuhan buah hatinya itu.
Nur Azizah, puteri kedua dari tiga bersaudara, yang tinggal di Kampung Pugur, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang itu, hanya bisa menggerakkan wajahnya untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Anak-anak seusianya, umumnya sudah duduk di bangku kelas satu SLTP. Tidak demikian dengan Nur Azizah, gadis malang itu harus terus menerus tergolek di tempat tidur selama 13. Praktis, seluruh aktivitas hidupnya, seperti mandi, makan, minum, sangat bergantung kepada ibunya.
Sebenarnya, kondisi Nur Azizah pernah diketahui oleh aparat desa bahkan para pejabat di Kecamatan Pagedangan. Bahkan pada saat pemerintah setempat tengah giat menangani kasus polio, Kholis dan anaknya diminta datang ke Kecamatan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Kedatangan Kholis yang membawa anaknya itu disaksikan
juga oleh aparat MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Terbersit kegembiraan di wajah Kholis membayangkan anaknya dapat segera sembuh. Apalagi ketika ia mendapatkan kartu Gakin (keluarga miskin) dan rekomendasi dari kecamatan untuk berobat gratis ke RSUD Tangerang.
Berbekal kartu Gakin dan surat keterangan dari Kepala Desa, Kholis memapah anaknya dan menumpang angkutan umum menuju RSUD Tangerang. Wanita yang sehari-harinya hanya menjaga dan melayani Nur Azizah itu berpikir seluruh biaya pengobatan anaknya akan benar-benar gratis. Akan tetapi, setelah diperiksa oleh dokter RSUD, Kholis diminta membawa Nur Azizah untuk dilakukan scanning pada bagian kepalanya di rumah sakit lain. Ditambah, ia pun harus menebus beberapa resep obat di apotik. Tak sepeser pun uang di kantongnya untuk biaya scanning dan resep obat. Maka sejak itu, Kholis tak lagi membawa Nur Azizah ke rumah sakit.
7 Oktober 2005, Absor, relawan ACT dari Kecamatan Pagedangan, melaporkan kepada ACT perihal kondisi Nurul Azizah. Dari laporan tersebut, Sabtu, 8 Oktober 2005, Eko Yudho, Koordinator ACT Rescue didampingi Absor, segera meluncur menuju rumah keluarga Nur Azizah.
Binar mata Kholis tak mampu menyembunyikan kesedihannya saat menuturkan kisah perjalanan anak kedua yang dicintainya itu kepada Tim ACT. Tak berapa lama, Kholis pun tak mampu lagi membendung tangisnya. Kehadiran Tim ACT baginya, seperti doa yang terijabah. Sebab, usai sholat Maghrib sehari sebelumnya, Kholis berdo'a untuk kesembuhan Nur Azizah, juga agar dirinya diberi kesabaran dalam menjalani ujian dalam kehidupan ini.
Untuk membangun kembali rasa optimisme ibunda Nur Azizah, Tim ACT memberikan semangat dan motivasi agar tidak berputus asa dalam mengupayakan kesembuhan anaknya. Disamping memberikan bantuan biaya transportasi untuk berobat ke rumah sakit, Tim ACT juga secara paralel melakukan advokasi agar hak Nur Azizah sebagai anggota masyarakat yang tidak mampu mendapatkan pengobatan secara gratis dari pemerintah.
Seolah terbayang harapan cerah membentang di depan, Kholis kembali bersemangat untuk membawa Nur Azizah berobat. Ternyata pada saat akan ke rumah sakit, masa berlaku kartu Gakin sudah habis. Kholis pun segera mengurus kembali di Kantor Desa Lengkong Kulon. Namun, pengurusan kartu Gakin tersebut seperti dipersulit oleh salah seorang staf Kepala Desa. Kholis menangis di kantor Kepala Desa, mengiba agar dibuatkan surat keterangan untuk memperoleh kartu Gakin. Alhamdulillah, setelah sempat bersitegang dengan staf Kepala Desa itu, akhirnya Kholis mendapatkan kartu Gakin tersebut.
Namun, lagi-lagi Kholis harus tetap mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus beberapa resep obat di apotik, karena obat dimaksud tidak tersedia di rumah sakit. Bisa dibayangkan, sambil berpuasa ibu Kholis memapah anaknya menuju rumah sakit dengan menumpang angkutan umum. Untuk sampai ke rumah sakit, ibu dan anak itu harus berganti kendaraan dua kali.
Sabtu, 29 Oktober 2005, empat hari sebelum lebaran, kembali Tim ACT mendatangi rumah Nur Azizah untuk memantau perkembangan kesehatannya. Puji Syukur bagi Allah, kondisi Nur Azizah tampak membaik, ia menyambut kami dengan senyuman dan lambaian tangan. Padahal sebelumnya, gadis itu tak mampu, bahkan untuk sekadar mengepalkan tangannya. Kini, Nur Azizah sudah sudah mampu menggenggam sesuatu.
Sebelumnya, Nur Azizah yang hanya tergolek di tempat tidur, kini ia sudah bisa merayap di lantai dan menggerakkan sedikit demi sedikit kakinya untuk berpindah. Melihat perkembangan kondisi Nur Azizah yang menggembirakan ini, Tim ACT memberikan bantuan makanan bergizi berupa susu bubuk instan untuk penguatan tulang dan pertumbuhan.
Untuk kelanjutan pengobatan anaknya, Kholis masih mengeluhkan ongkos transportasi ke rumah sakit yang semakin mahal, terlebih setelah kenaikan harga BBM. Perlu diketahui, keluarga Nur Azizah tidak terdaftar untuk mendapatkan Bantuan Tunai Langsung (BTL) kompensasi kenaikan BBM. Kholis berharap masih ada yang peduli untuk meringankan kesulitan hidupnya.
Ketika kasus polio menjadi kasus nasional, seluruh perhatian pemerintah di bidang kesehatan dan masyarakat tertuju kepada para korban penderita polio. Bahkan berita tentang penderita polio ini mendominasi sebagian besar media massa. Namun seiring berjalannya waktu, kasus polio ini mulai berangsur-angsur hilang dari pemberitaan dan pembicaraan. Menyusul kasus penyakit lainnya yang melanda negeri ini. Bisa jadi, kasus polio ini pun dilupakan. Berapa banyak anak-anak yang bernasib sama dengan Nur Azizah?
Gaung pengobatan gratis di tingkat implementasi belum menjadi kenyataan. Namun kita sebagai anggota masyarakat tidak boleh hanya menyalahkan keadaan.. Harus ada tindakan nyata untuk meringankan penderitaan saudara-saudara kita yang nasibnya belum beruntung.
Ingat, bisa jadi, rezeki kita saat ini karena doa mereka. Orang-orang yang pernah kita bantu. (Eko Yudho P)
Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
021-7414482
0852 190 68581
Thursday, December 01, 2005
Adakah yang Akan Membantunya?
“Saya tak mau menjual akidah untuk uang 70 juta rupiah,” lirih Lucky saat menceritakan satu kisah di tahun 1999. Saat itu, ia terhimpit kesulitan keuangan dan tak tahu lagi kemana harus mencari pinjaman. Tetangganya yang mayoritas muslim di kawasan tempat tinggalnya seperti hidup sendiri-sendiri, seolah tak pernah tahu keadaan sekeliling. Selain juga karena Lucky tak biasa meminta atau meminjam uang. Saat itu, salah satu anak gadisnya yang hendak melahirkan mengalami pendarahan hebat. Pihak rumah sakit meminta uang 1 juta rupiah untuk biaya pengobatan ibu dan calon anak itu agar selamat. Pikirannya pun buntu, yang dituju hanyalah sebuah rumah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sampai di rumah itu, ia langsung disodorkan amplop berisi ung 70 juta rupiah. Tak hanya itu, jika merasa kurang orang-orang di rumah itu pun menawarkan sejumlah cek yang siap ditandatangani hari itu juga dan esoknya bisa dicairkan. Bukan tanpa syarat, karena Lucky harus menandatangani selembar perjanjian. Mengetahui bahwa surat dimaksud berisi pernyataan bahwa ia harus kembali ke agama asal, urunglah ia mengambil 70 juta rupiah itu dan pulang dengan tangan hampa. “Yang saya butuhkan hanya 1 juta, untuk biaya rumah sakit,” ujarnya.
Itulah sepenggal kisah H. Lucky Lucas Polhaupessy, lelaki kelahiran Ambon, 26 Juni 1948, yang siang itu mampir ke kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengadukan soal rumahnya yang hancur terkena angin ribut, Rabu, 30 November 2005, sekitar pukul 11.30 WIB. Saat kejadian, ia sedang di luar rumah untuk mencari sesuap nasi. Memang tidak ada hujan hari itu, hanya angin besar yang terjangannya mampu merusak atap bagian dapur dan kamar mandi yang terbuat dari asbes model lama yang lebar. Rumah seluas 50 meter persegi itu ditempati duabelas kepala, terdiri dari Lucky beserta isteri dan anak menantunya.
Rumah kecil yang tak berplester itu kini dibiarkan dengan bagian dapur dan kamar mandi yang terbuka. Bisa dibilang, jika turun hujan rumahnya bukan lagi kebocoran, lebih pantas disebut kehujanan. “Untuk menadah air hujan di dapur, saya pakai terpal plastik. Ada yang ngasih,” terang Ayah enam anak itu. Berangkat dari rumahnya di daerah Sawangan, Depok, pukul 09.00, ia berjalan kaki menuju kantor ACT di Ciputat, Tangerang. Tiba di kantor ACT hampir pukul 13.00 WIB. Ia mengaku lebih memilih berjalan kaki untuk menghemat uangnya. “buat makan sehari-hari saja sudah pas-pasan,” tambahnya.
H. Lucky Lucas Polhaupessy, asal Pulau Tuhaha, Ambon, sebenarnya bukan lelaki sembarangan. Butuh perjuangan berat baginya ketika harus memilih jalan hidupnya sebagai muslim. Sebelumnya, saat masih beragama non muslim, ia terbilang orang berekonomi plus, punya rumah bagus dan kendaraan. Sejak tahun 1989, ia mulai tertarik untuk mempelajari agama Islam. Ia makin serius mempelajari Islam hingga akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam dan membawa serta seluruh keluarga ke dalam Islam pada tahun 1995.
Bukan perkara enteng bagi Lucky dan keluarganya memutuskan berislam. Tahun 1994, ia dan keluarganya sudah memantapkan hati untuk memeluk agama Islam, tapi secara materi mereka belum siap. Butuh waktu lama bagi keluarga itu untuk memutuskan dan mantap menerima resiko terbesar ketika memeluk agama Islam. “Waktu itu saya bilang kepada isteri dan anak-anak, kalau kita masuk Islam, harus bersiap-siap kalau suatu saat harus tinggal di kolong jembatan atau emperan toko,” tuturnya.
Ya, keluarga Lucky di Ambon bukan sembarang keluarga. Ayahnya adalah kepala suku Pulau Tuhaha, Ambon. Darah ‘ningrat’ yang dimilikinya membuatnya mendapat kesempatan untuk hidup mewah dan berkecukupan di Jakarta. Kemewahan dan kecukupan inilah yang harus rela ditinggalkannya ketika memutuskan berpindah agama. “Istilahnya, saya ini terkena hukum adat. Semua harta kekayaan saya disita oleh adat. Bahkan nama saya pun mungkin sudah dicoret dari daftar hak waris dan silsilah keluarga di Tuhaha,” tandasnya. Meski demikian, malu-malu ia mengakui bahwa hingga detik ini ia masih diharapkan kembali ke Tuhaha, dan kembali ke agama semula.
Tahun 1995, akhirnya ia dan seluruh keluarga merasa mantap untuk memeluk Islam dengan segala konsekuensinya. Dan memang benar, Lucky yang kemudian berganti nama menjadi H. Zacky Tamam Muslim itu harus tersingkir dari rumah mewahnya di Kebayoran. Sebelumnya mereka juga pernah menempati rumah besar di daerah Senen, Jakarta Pusat. Mereka sekeluarga pun menempati rumah petak kontrakan di Pondok Kopi, Jakarta Timur. Sempat berpindah kontrakan di beberapa tempat di Jakarta Timur, sampai akhirnya ia menempati rumah kecil di Sawangan. Rumah yang saat ini ditempatinya.
Ia dan keluarganya mengucapkan syahadat di Masjid Istiqlal, dibimbing KH. Hasan Basri (alm). Dua tahun kemudian, 1997, ia mendapatkan kesempatan pergi ke tanah suci bersama rombongan amirul mukminin kala itu, Pak Habibie. Lucky pun bimbang, ia sempat bertanya apakah kesempatan itu bisa diuangkan saja mengingat kondisi keluarganya yang memprihatinkan. Tapi, kesempatan itu tidak bisa diuangkan. Akhirnya, atas kesepakatan keluarga, ia pun berangkat menunaikan rukun Islam kelima itu. Tentu saja dengan gundah hati memikirkan keluarga di tanah air. ”pernah kami bertahan berminggu-minggu hanya dengan sebungkus mie. Tetangga tak ada yang tahu apakah kami makan atau tidak hari itu,” akunya.
Sejak memeluk agama Islam, perekonomian keluarganya berubah 180 derajat. Jangankan kendaraan, rumah pun seadanya. Bahkan saat ini sudah dalam keadaan setengah rusak akibat terjangan angin ribut hari Kamis, 30 November 2005 lalu. Kini, sehari-harinya ia mengandalkan penghasilan dari usaha kecil-kecilan berupa seni kerajinan bambu. Sedikit keahliannya membuat menara-menara kecil (miniatur) dari bambu itulah yang menjadi sandaran hidup keluarganya kini. “tapi sekarang lagi sepi order. Tidak ada pesanan,” keluhnya.
Kedatangannya ke kantor ACT, untuk meminta bantuan bahan bangunan agar rumahnya bisa diperbaiki kembali. Selain itu, ia juga berharap rumahnya lebih layak dihuni. Ingin sekali kami sampaikan kepadanya, bahwa kami hanya lembaga sosial yang tak mampu berbuat banyak. Tapi kami tak ingin membuatnya kecewa yang telah datang jauh menempuh empat jam berjalan kaki dari rumahnya hanya dengan jawaban, “Maaf, kami tak dapat membantu.” Kami yakinkan kepadanya, masih banyak saudara-saudara muslim yang akan membantunya. Insya Allah.
Lucky tersenyum, ia merasa mendapatkan energi baru. Sebaris kata mengakhiri obrolan kami, “bantu juga keluarga kami dengan doa, agar tetap bertahan sebagai mukmin”.
(tulisan ini tak bermaksud apa pun untuk kalangan/agama tertentu. Kami hanya ingin mengetuk kepedulian saudara-saudara kami sesama muslim).
Bantuan bisa disalurkan melalui rekening:
BCA 676 0 30 31 33
Bank Mandiri 128 000 4555 808
BSM 004 011 9999
Muamalat 304 0022 915
Info: 0812 969 0183 (Fatimah Noer)
Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
0217414482
0852 190 68581
Sampai di rumah itu, ia langsung disodorkan amplop berisi ung 70 juta rupiah. Tak hanya itu, jika merasa kurang orang-orang di rumah itu pun menawarkan sejumlah cek yang siap ditandatangani hari itu juga dan esoknya bisa dicairkan. Bukan tanpa syarat, karena Lucky harus menandatangani selembar perjanjian. Mengetahui bahwa surat dimaksud berisi pernyataan bahwa ia harus kembali ke agama asal, urunglah ia mengambil 70 juta rupiah itu dan pulang dengan tangan hampa. “Yang saya butuhkan hanya 1 juta, untuk biaya rumah sakit,” ujarnya.
Itulah sepenggal kisah H. Lucky Lucas Polhaupessy, lelaki kelahiran Ambon, 26 Juni 1948, yang siang itu mampir ke kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengadukan soal rumahnya yang hancur terkena angin ribut, Rabu, 30 November 2005, sekitar pukul 11.30 WIB. Saat kejadian, ia sedang di luar rumah untuk mencari sesuap nasi. Memang tidak ada hujan hari itu, hanya angin besar yang terjangannya mampu merusak atap bagian dapur dan kamar mandi yang terbuat dari asbes model lama yang lebar. Rumah seluas 50 meter persegi itu ditempati duabelas kepala, terdiri dari Lucky beserta isteri dan anak menantunya.
Rumah kecil yang tak berplester itu kini dibiarkan dengan bagian dapur dan kamar mandi yang terbuka. Bisa dibilang, jika turun hujan rumahnya bukan lagi kebocoran, lebih pantas disebut kehujanan. “Untuk menadah air hujan di dapur, saya pakai terpal plastik. Ada yang ngasih,” terang Ayah enam anak itu. Berangkat dari rumahnya di daerah Sawangan, Depok, pukul 09.00, ia berjalan kaki menuju kantor ACT di Ciputat, Tangerang. Tiba di kantor ACT hampir pukul 13.00 WIB. Ia mengaku lebih memilih berjalan kaki untuk menghemat uangnya. “buat makan sehari-hari saja sudah pas-pasan,” tambahnya.
H. Lucky Lucas Polhaupessy, asal Pulau Tuhaha, Ambon, sebenarnya bukan lelaki sembarangan. Butuh perjuangan berat baginya ketika harus memilih jalan hidupnya sebagai muslim. Sebelumnya, saat masih beragama non muslim, ia terbilang orang berekonomi plus, punya rumah bagus dan kendaraan. Sejak tahun 1989, ia mulai tertarik untuk mempelajari agama Islam. Ia makin serius mempelajari Islam hingga akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam dan membawa serta seluruh keluarga ke dalam Islam pada tahun 1995.
Bukan perkara enteng bagi Lucky dan keluarganya memutuskan berislam. Tahun 1994, ia dan keluarganya sudah memantapkan hati untuk memeluk agama Islam, tapi secara materi mereka belum siap. Butuh waktu lama bagi keluarga itu untuk memutuskan dan mantap menerima resiko terbesar ketika memeluk agama Islam. “Waktu itu saya bilang kepada isteri dan anak-anak, kalau kita masuk Islam, harus bersiap-siap kalau suatu saat harus tinggal di kolong jembatan atau emperan toko,” tuturnya.
Ya, keluarga Lucky di Ambon bukan sembarang keluarga. Ayahnya adalah kepala suku Pulau Tuhaha, Ambon. Darah ‘ningrat’ yang dimilikinya membuatnya mendapat kesempatan untuk hidup mewah dan berkecukupan di Jakarta. Kemewahan dan kecukupan inilah yang harus rela ditinggalkannya ketika memutuskan berpindah agama. “Istilahnya, saya ini terkena hukum adat. Semua harta kekayaan saya disita oleh adat. Bahkan nama saya pun mungkin sudah dicoret dari daftar hak waris dan silsilah keluarga di Tuhaha,” tandasnya. Meski demikian, malu-malu ia mengakui bahwa hingga detik ini ia masih diharapkan kembali ke Tuhaha, dan kembali ke agama semula.
Tahun 1995, akhirnya ia dan seluruh keluarga merasa mantap untuk memeluk Islam dengan segala konsekuensinya. Dan memang benar, Lucky yang kemudian berganti nama menjadi H. Zacky Tamam Muslim itu harus tersingkir dari rumah mewahnya di Kebayoran. Sebelumnya mereka juga pernah menempati rumah besar di daerah Senen, Jakarta Pusat. Mereka sekeluarga pun menempati rumah petak kontrakan di Pondok Kopi, Jakarta Timur. Sempat berpindah kontrakan di beberapa tempat di Jakarta Timur, sampai akhirnya ia menempati rumah kecil di Sawangan. Rumah yang saat ini ditempatinya.
Ia dan keluarganya mengucapkan syahadat di Masjid Istiqlal, dibimbing KH. Hasan Basri (alm). Dua tahun kemudian, 1997, ia mendapatkan kesempatan pergi ke tanah suci bersama rombongan amirul mukminin kala itu, Pak Habibie. Lucky pun bimbang, ia sempat bertanya apakah kesempatan itu bisa diuangkan saja mengingat kondisi keluarganya yang memprihatinkan. Tapi, kesempatan itu tidak bisa diuangkan. Akhirnya, atas kesepakatan keluarga, ia pun berangkat menunaikan rukun Islam kelima itu. Tentu saja dengan gundah hati memikirkan keluarga di tanah air. ”pernah kami bertahan berminggu-minggu hanya dengan sebungkus mie. Tetangga tak ada yang tahu apakah kami makan atau tidak hari itu,” akunya.
Sejak memeluk agama Islam, perekonomian keluarganya berubah 180 derajat. Jangankan kendaraan, rumah pun seadanya. Bahkan saat ini sudah dalam keadaan setengah rusak akibat terjangan angin ribut hari Kamis, 30 November 2005 lalu. Kini, sehari-harinya ia mengandalkan penghasilan dari usaha kecil-kecilan berupa seni kerajinan bambu. Sedikit keahliannya membuat menara-menara kecil (miniatur) dari bambu itulah yang menjadi sandaran hidup keluarganya kini. “tapi sekarang lagi sepi order. Tidak ada pesanan,” keluhnya.
Kedatangannya ke kantor ACT, untuk meminta bantuan bahan bangunan agar rumahnya bisa diperbaiki kembali. Selain itu, ia juga berharap rumahnya lebih layak dihuni. Ingin sekali kami sampaikan kepadanya, bahwa kami hanya lembaga sosial yang tak mampu berbuat banyak. Tapi kami tak ingin membuatnya kecewa yang telah datang jauh menempuh empat jam berjalan kaki dari rumahnya hanya dengan jawaban, “Maaf, kami tak dapat membantu.” Kami yakinkan kepadanya, masih banyak saudara-saudara muslim yang akan membantunya. Insya Allah.
Lucky tersenyum, ia merasa mendapatkan energi baru. Sebaris kata mengakhiri obrolan kami, “bantu juga keluarga kami dengan doa, agar tetap bertahan sebagai mukmin”.
(tulisan ini tak bermaksud apa pun untuk kalangan/agama tertentu. Kami hanya ingin mengetuk kepedulian saudara-saudara kami sesama muslim).
Bantuan bisa disalurkan melalui rekening:
BCA 676 0 30 31 33
Bank Mandiri 128 000 4555 808
BSM 004 011 9999
Muamalat 304 0022 915
Info: 0812 969 0183 (Fatimah Noer)
Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
0217414482
0852 190 68581
Wednesday, November 30, 2005
Menolong, Pekerjaan Paling Nikmat
Seringkali saya melihat seorang pemuda dengan sabar menyeberangkan seorang tunanetra, tangannya erat menuntun agar terhindar dari kecelakaan. Di lain tempat, pemuda lainnya memanfaatkan dua tangan kuatnya untuk membantu seorang ibu menjinjing barang belanjaan. Bukan, ia bukan kuli angkut di pasar yang biasa menjual tenaganya. Tapi ini benar-benar seorang pemuda yang dengan ikhlas membantu tanpa pamrih. Sementara itu, seorang gadis terlihat sopan mengobati luka seorang pengendara motor yang terjatuh. Dari dalam mobilnya, ia mengambil kotak obat, kemudian memberikan pertolongan pertama.
Cukupkah bagi saya hanya sebagai penonton dari aksi yang dilakukan orang-orang itu? Tentu tidak. Dari hari ke hari semakin banyak episode-episode kebaikan yang tak henti berlalu lalang di depan mata ini, semakin terdorong diri ini untuk mengetahui motif apa yang membuat mereka mau dan rela melakukan itu semua. Nampaknya agak nakal saya ketika harus bertanya tentang ’motif’ mereka, seolah saya meragukan niat ikhlas mereka dan menggantinya dengan motif kacangan, seperti imbalan materi, pamer kesalihan atau tebar pesona.
Tapi, tetap saja saya tergelitik untuk terus bertanya, dan maafkan kalau saya memang terlalu lancang untuk menanyakannya. Bukan berarti selama ini saya tak pernah menolong orang lain. Sebab katanya, orang Indonesia itu sangat ramah dan saling tolong menolong. Tapi entah kenapa, saya lagi-lagi harus bertanya tentang motif kebaikan yang dilakukan orang lain. Aksi tanya menanya itu berhenti ketika seorang sahabat yang menjadi ’korban’ pertanyaan saya menjawabnya dengan kalimat tegas, ”berhentilah bertanya, lakukan saja”.
Kemudian saya pun tak lagi melulu menjadi penonton. Setiap kali ada kesempatan untuk menolong tak terbuang sia-sia. Saya upayakan tak terlewatkan dengan kalimat andalan, ”maaf” atau berkilah sambil berharap orang lain akan membantunya. Saya percaya betul, bahwa kesempatan berbuat baik itu kadang tak datang dua kali. Sekali terlewati, sudah itu tak ada lagi. Sekali kita buang kesempatan baik itu, esok tak bertemu lagi. Tinggallah kita berharap Allah mau memberikan kesempatan kedua agar kita bisa berbuat baik.
***
Seorang bapak berusia senja memeluk saya erat seolah tak ingin saya pergi dari hadapannya. ”datanglah ke sini kapan pun, rumah kami selalu terbuka untuk anda,” ujarnya terbata-bata. Isterinya tak henti menahan-nahan saya agar tetap tinggal, kalau perlu ia mempersilahkan memilih satu dari beberapa cucunya yang mulai tumbuh dewasa untuk dipersunting. Aih.
Di lain tempat, seorang ibu tak henti berucap terima kasih hanya karena lima ribu rupiah yang saya berikan kepadanya. Ia mengaku kehabisan ongkos untuk kembali ke rumah, sambil menangis ia meminta uang untuk bisa sampai pulang.
Nampaknya saya tak perlu lagi bertanya kenapa begitu banyak orang mau menolong sesama. Pertanyaan itu tak lagi menggelitik rasa penasaran saya, dan telah terhenti. Tak perlu pula ada yang menjawab kenapa orang tak bosan berbuat kebaikan untuk orang lainnya. Karena saya telah menemukan sendiri jawaban itu. Ternyata, menolong itu nikmat. Bahkan bisa dibilang pekerjaan paling nikmat yang pernah saya tahu, saya kerjakan, dan coba saya jadikan kebiasaan dalam hidup.
Menolong tak selalu berupa materi, tak melulu berbentuk harta. Bisa jadi hanya sebuah doa yang tulus jika memang raga tak mampu, harta pun tak ada. Jika waktu tak ada, namun ada sedikit rezeki, bisalah kita membantu. Sungguh, berbuat kebaikan terhadap sesama, tak saja nikmat, tapi juga sebuah investasi dunia akhirat. Percayalah.
Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
0852 190 68581
Cukupkah bagi saya hanya sebagai penonton dari aksi yang dilakukan orang-orang itu? Tentu tidak. Dari hari ke hari semakin banyak episode-episode kebaikan yang tak henti berlalu lalang di depan mata ini, semakin terdorong diri ini untuk mengetahui motif apa yang membuat mereka mau dan rela melakukan itu semua. Nampaknya agak nakal saya ketika harus bertanya tentang ’motif’ mereka, seolah saya meragukan niat ikhlas mereka dan menggantinya dengan motif kacangan, seperti imbalan materi, pamer kesalihan atau tebar pesona.
Tapi, tetap saja saya tergelitik untuk terus bertanya, dan maafkan kalau saya memang terlalu lancang untuk menanyakannya. Bukan berarti selama ini saya tak pernah menolong orang lain. Sebab katanya, orang Indonesia itu sangat ramah dan saling tolong menolong. Tapi entah kenapa, saya lagi-lagi harus bertanya tentang motif kebaikan yang dilakukan orang lain. Aksi tanya menanya itu berhenti ketika seorang sahabat yang menjadi ’korban’ pertanyaan saya menjawabnya dengan kalimat tegas, ”berhentilah bertanya, lakukan saja”.
Kemudian saya pun tak lagi melulu menjadi penonton. Setiap kali ada kesempatan untuk menolong tak terbuang sia-sia. Saya upayakan tak terlewatkan dengan kalimat andalan, ”maaf” atau berkilah sambil berharap orang lain akan membantunya. Saya percaya betul, bahwa kesempatan berbuat baik itu kadang tak datang dua kali. Sekali terlewati, sudah itu tak ada lagi. Sekali kita buang kesempatan baik itu, esok tak bertemu lagi. Tinggallah kita berharap Allah mau memberikan kesempatan kedua agar kita bisa berbuat baik.
***
Seorang bapak berusia senja memeluk saya erat seolah tak ingin saya pergi dari hadapannya. ”datanglah ke sini kapan pun, rumah kami selalu terbuka untuk anda,” ujarnya terbata-bata. Isterinya tak henti menahan-nahan saya agar tetap tinggal, kalau perlu ia mempersilahkan memilih satu dari beberapa cucunya yang mulai tumbuh dewasa untuk dipersunting. Aih.
Di lain tempat, seorang ibu tak henti berucap terima kasih hanya karena lima ribu rupiah yang saya berikan kepadanya. Ia mengaku kehabisan ongkos untuk kembali ke rumah, sambil menangis ia meminta uang untuk bisa sampai pulang.
Nampaknya saya tak perlu lagi bertanya kenapa begitu banyak orang mau menolong sesama. Pertanyaan itu tak lagi menggelitik rasa penasaran saya, dan telah terhenti. Tak perlu pula ada yang menjawab kenapa orang tak bosan berbuat kebaikan untuk orang lainnya. Karena saya telah menemukan sendiri jawaban itu. Ternyata, menolong itu nikmat. Bahkan bisa dibilang pekerjaan paling nikmat yang pernah saya tahu, saya kerjakan, dan coba saya jadikan kebiasaan dalam hidup.
Menolong tak selalu berupa materi, tak melulu berbentuk harta. Bisa jadi hanya sebuah doa yang tulus jika memang raga tak mampu, harta pun tak ada. Jika waktu tak ada, namun ada sedikit rezeki, bisalah kita membantu. Sungguh, berbuat kebaikan terhadap sesama, tak saja nikmat, tapi juga sebuah investasi dunia akhirat. Percayalah.
Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
0852 190 68581
Tuesday, November 22, 2005
Madrasah Cinta
Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah? Sudah pasti jawabannya adalah kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, seberat apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lama pun waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan; “positif”.
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna sekejap mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran. Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak-anak. Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak-anak. Si kecil baru saja berucap “Ma…” segera ia mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada didaftar telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka. Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.
“Demi anak”, “Untuk anak”, menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya dan berganti mengambil baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil. Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi anak.
Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Uang sekolah anak, 2. Beli susu anak, … nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.
Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia terus pun mendongeng.
Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta kalimat, “sudah makan belum?” tak lupa terlontar saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli makan siangnya sendiri di kampus.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan. ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, “Masihkah kau anakku?”
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, “bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian”. Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya. “Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil,” ujarnya.
Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibu lah madrasah cinta saya, sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran: cinta. Sekolah yang hanya ada satu guru: pecinta. Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama: yang dicinta.
Bayu Gawtama
Pecinta yang dicinta
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna sekejap mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran. Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak-anak. Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak-anak. Si kecil baru saja berucap “Ma…” segera ia mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada didaftar telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka. Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.
“Demi anak”, “Untuk anak”, menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya dan berganti mengambil baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil. Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi anak.
Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Uang sekolah anak, 2. Beli susu anak, … nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.
Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia terus pun mendongeng.
Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta kalimat, “sudah makan belum?” tak lupa terlontar saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli makan siangnya sendiri di kampus.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan. ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, “Masihkah kau anakku?”
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, “bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian”. Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya. “Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil,” ujarnya.
Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibu lah madrasah cinta saya, sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran: cinta. Sekolah yang hanya ada satu guru: pecinta. Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama: yang dicinta.
Bayu Gawtama
Pecinta yang dicinta
Friday, November 18, 2005
Beratkah Berucap "Terima Kasih"?
Sudahkah kalimat “terima kasih” selalu terhadiahkan kepada setiap orang yang pernah membantu Anda? Jika ya, maka Anda tak perlu khawatir, karena saya tidak sedang berbicara tentang Anda. Tapi tentang orang-orang di sekitar kita, dan mungkin saja termasuk saya.
Nyaris setiap hari, setiap jam dalam hidup kita selalu dibantu oleh pihak lain, disadari atau tidak. Sejak awal bangun pagi, sudah ada pembantu yang memasak air panas untuk menyeduh kopi, bahkan kopi sudah tersedia sebelum kita beranjak dari tempat tidur. Berangkat ke kantor dengan pakaian yang tidak kusut, tentu ada yang menyetrikanya. Sepatu pun sudah disemir mengkilap, bukan bim salabim kan? Sampai sarapan sudah siap tersaji di meja makan sebelum kita meminta. Bukan soal siapa yang menyiapkannya, bisa jadi sang isteri lihai nan sigap yang melakukan itu semua, atau pembantu kita yang super hebat. Tapi terpenting dari soal siapa adalah, berterima kasihkah kita untuk setiap pelayanan memuaskan itu?
Keluar dari rumah, entah dengan sopir pribadi yang telah mencuci bersih mobil dan menyiapkan kendaraan agar tak ngadat di jalan, sehingga kita tak terlambat tiba di kantor. Atau bagi orang yang harus menggunakan jasa angkutan umum untuk dari dan ke kantor, pernahkah kalimat “terima kasih” juga terucap kepada kondektur atau sopir angkutan umum yang kita tumpangi?
Tiba di kantor, tak perlu bertanya siapa yang sudah datang lebih pagi membersihkan meja kerja yang kemarin sore kita tinggalkan dalam keadaan kotor dan berantakan. Air putih atau teh hangat sudah tersedia di meja kerja, bahkan menjelang siang pun kita masih berteriak, “jang, kopi susu donk,” kepada office boy yang setia melayani. Apakah si Ujang pelayanan setia kita di kantor itu selalu mendapatkan hadiah “terima kasih” untuk air putih dan kopi susu yang ia sajikan? Walau pun ia tahu, menuntut ucapan “terima kasih” bukanlah haknya.
Rasanya, nyaris seluruh hidup kita dari pagi sampai pagi kembali selalu dibantu orang lain. Bahkan di rumah pun, saat lelah menyengat sepulang kerja, serta merta sang isteri dibantu si kecil membukakan sepatu dan kaus kaki, kita pun berpikir, itu sudah kewajiban mereka; Melayani kita yang bekerja seharian. Andai isteri mendengar kalimat itu, mungkin ia akan berujar, “Kamu pikir saya di rumah hanya tidur-tiduran saja?”
Saya pun tergelitik untuk menghitung berapa banding berapa antara pelayanan yang saya dapatkan dengan ucapan terima kasih yang terlontar. Saya sering lupa berterima kasih kepada isteri yang setiap malam menemani saya tidur, atau berterima kasih kepada Si Euceu yang setiap pukul 05.30 sudah datang untuk membantu isteri saya mencuci pakaian. Saya sering lupa berterima kasih kepada petugas pom bensin yang sering mengisi full tangki motor saya. “Itu memang pekerjaannya, dan kewajiban saya sudah selesai hanya dengan memberikan sejumlah uang sesuai jumlah bensin terisi,” mungkin begitu pikir nakal saya. Mana rasa terima kasih saya?
Kita sering kali berpikir, bahwa orang-orang yang memberikan bantuan dan pelayanan sehari-hari itu memang sudah selayaknya dan kewajiban mereka berbuat demikian. Isteri dan anak-anak, misalnya. Wajib memberikan service penuh karena kita merasa sudah lelah seharian bekerja, “Toh gaji sebulan saya bekerja singgah di dompet isteri,” begitu alasan kita. Pembantu rumah tangga yang seringkali tak kenal lelah bekerja dari pagi hingga kembali pagi, dinilai “wajib” mengerjakan semua pekerjaannya karena kita merasa sudah membayarnya. Padahal, nilai bayarannya seringkali tak layak dan jauh dari beratnya pekerjaan yang diemban. Bukankah pembantu hanya membantu? Lalu kenapa semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakannya? Tak pantaskah ia memperoleh ucapan terima kasih dari kita?
Ujang sang office boy kantor yang tak pernah menolak permintaan kita, percayalah, “terima kasih” yang kita ucapkan saat ia mengantarkan segelas air putih atau teh hangat akan membuatnya senang setiap kali kita memintanya kembali. Boleh jadi, ucapan terima kasih itu akan sedikit menghiburnya dari kemurungan setiap kali menerima upah bulanannya yang tak seberapa dari gaji kita. Bahkan ada sopir angkutan umum yang termangu sesaat hanya karena mendengar ucapan terima kasih saat penumpang memberikan ongkos. Bisa jadi, ia baru saja menemukan manusia langka. Atau jangan-jangan, itu kalimat “terima kasih” pertama yang ia dapatkan sepanjang tahun berprofesi sebagai sopir angkot.
Sudahlah tak pernah berterima kasih, kadang kita menambahi sikap kita dengan banyak menuntut. Merasa sudah membayar gaji pembantu, kemudian kita berhak membentak-bentak wanita berbayaran kecil itu hanya karena masih ada sedikit noda di kemeja. Kita juga marah-marah kepada office boy yang lambat mengantarkan minuman, atau kepada sopir angkot yang secara tak sengaja melewatkan beberapa meter saja dari tempat berhenti kita semestinya. Lalu, kita memberikan ongkos dengan hati kesal dan wajah kecewa.
Tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah orang lain lakukan untuk kita, dan kita senantiasa menuntut lebih dari orang lain. Meminta orang lain melakukan lebih banyak, lebih baik, lebih sering dari yang sudah dilakukannya. Orang lain melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang kita inginkan, kita lebih dulu marah, dan kemudian lupa mengucapkan terima kasih. Ucapkanlah terima kasih lebih dulu, baru kemudian beritahu kekurangan atau kesalahan secara baik-baik. Dijamin, mereka akan mengerjakannya lebih baik tanpa wajah merengut.
Tidak berterima kasih dan banyak menuntut adalah sebuah circle, keduanya saling berkait berkelindan. Biasanya kedua sikap ini tidak terpisahkan, setiap kali kita tidak berterima kasih, mesti diiringi dengan tuntutan. Atau sebaliknya, setiap kita mengajukan tuntutan, hasil yang kita dapatkan dari tuntutan itu kita anggap sebagai hak. Karenanya, “terima kasih” tak perlu terucapkan.
Ironisnya, budaya buruk ini pun kita berlakukan terhadap Allah. Kita terus menerus berdoa dilimpahkan rezeki. Hanya karena rezeki yang didapat hari ini tidak berlimpah, lalu dalam doa selanjutnya kita berujar, “Ya Allah, kok cuma segini?” Sungguh, bersyukur dan bersabar lebih menjauhkan kita dari ancaman azab dan siksa dari-Nya.
Bayu Gawtama
Nyaris setiap hari, setiap jam dalam hidup kita selalu dibantu oleh pihak lain, disadari atau tidak. Sejak awal bangun pagi, sudah ada pembantu yang memasak air panas untuk menyeduh kopi, bahkan kopi sudah tersedia sebelum kita beranjak dari tempat tidur. Berangkat ke kantor dengan pakaian yang tidak kusut, tentu ada yang menyetrikanya. Sepatu pun sudah disemir mengkilap, bukan bim salabim kan? Sampai sarapan sudah siap tersaji di meja makan sebelum kita meminta. Bukan soal siapa yang menyiapkannya, bisa jadi sang isteri lihai nan sigap yang melakukan itu semua, atau pembantu kita yang super hebat. Tapi terpenting dari soal siapa adalah, berterima kasihkah kita untuk setiap pelayanan memuaskan itu?
Keluar dari rumah, entah dengan sopir pribadi yang telah mencuci bersih mobil dan menyiapkan kendaraan agar tak ngadat di jalan, sehingga kita tak terlambat tiba di kantor. Atau bagi orang yang harus menggunakan jasa angkutan umum untuk dari dan ke kantor, pernahkah kalimat “terima kasih” juga terucap kepada kondektur atau sopir angkutan umum yang kita tumpangi?
Tiba di kantor, tak perlu bertanya siapa yang sudah datang lebih pagi membersihkan meja kerja yang kemarin sore kita tinggalkan dalam keadaan kotor dan berantakan. Air putih atau teh hangat sudah tersedia di meja kerja, bahkan menjelang siang pun kita masih berteriak, “jang, kopi susu donk,” kepada office boy yang setia melayani. Apakah si Ujang pelayanan setia kita di kantor itu selalu mendapatkan hadiah “terima kasih” untuk air putih dan kopi susu yang ia sajikan? Walau pun ia tahu, menuntut ucapan “terima kasih” bukanlah haknya.
Rasanya, nyaris seluruh hidup kita dari pagi sampai pagi kembali selalu dibantu orang lain. Bahkan di rumah pun, saat lelah menyengat sepulang kerja, serta merta sang isteri dibantu si kecil membukakan sepatu dan kaus kaki, kita pun berpikir, itu sudah kewajiban mereka; Melayani kita yang bekerja seharian. Andai isteri mendengar kalimat itu, mungkin ia akan berujar, “Kamu pikir saya di rumah hanya tidur-tiduran saja?”
Saya pun tergelitik untuk menghitung berapa banding berapa antara pelayanan yang saya dapatkan dengan ucapan terima kasih yang terlontar. Saya sering lupa berterima kasih kepada isteri yang setiap malam menemani saya tidur, atau berterima kasih kepada Si Euceu yang setiap pukul 05.30 sudah datang untuk membantu isteri saya mencuci pakaian. Saya sering lupa berterima kasih kepada petugas pom bensin yang sering mengisi full tangki motor saya. “Itu memang pekerjaannya, dan kewajiban saya sudah selesai hanya dengan memberikan sejumlah uang sesuai jumlah bensin terisi,” mungkin begitu pikir nakal saya. Mana rasa terima kasih saya?
Kita sering kali berpikir, bahwa orang-orang yang memberikan bantuan dan pelayanan sehari-hari itu memang sudah selayaknya dan kewajiban mereka berbuat demikian. Isteri dan anak-anak, misalnya. Wajib memberikan service penuh karena kita merasa sudah lelah seharian bekerja, “Toh gaji sebulan saya bekerja singgah di dompet isteri,” begitu alasan kita. Pembantu rumah tangga yang seringkali tak kenal lelah bekerja dari pagi hingga kembali pagi, dinilai “wajib” mengerjakan semua pekerjaannya karena kita merasa sudah membayarnya. Padahal, nilai bayarannya seringkali tak layak dan jauh dari beratnya pekerjaan yang diemban. Bukankah pembantu hanya membantu? Lalu kenapa semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakannya? Tak pantaskah ia memperoleh ucapan terima kasih dari kita?
Ujang sang office boy kantor yang tak pernah menolak permintaan kita, percayalah, “terima kasih” yang kita ucapkan saat ia mengantarkan segelas air putih atau teh hangat akan membuatnya senang setiap kali kita memintanya kembali. Boleh jadi, ucapan terima kasih itu akan sedikit menghiburnya dari kemurungan setiap kali menerima upah bulanannya yang tak seberapa dari gaji kita. Bahkan ada sopir angkutan umum yang termangu sesaat hanya karena mendengar ucapan terima kasih saat penumpang memberikan ongkos. Bisa jadi, ia baru saja menemukan manusia langka. Atau jangan-jangan, itu kalimat “terima kasih” pertama yang ia dapatkan sepanjang tahun berprofesi sebagai sopir angkot.
Sudahlah tak pernah berterima kasih, kadang kita menambahi sikap kita dengan banyak menuntut. Merasa sudah membayar gaji pembantu, kemudian kita berhak membentak-bentak wanita berbayaran kecil itu hanya karena masih ada sedikit noda di kemeja. Kita juga marah-marah kepada office boy yang lambat mengantarkan minuman, atau kepada sopir angkot yang secara tak sengaja melewatkan beberapa meter saja dari tempat berhenti kita semestinya. Lalu, kita memberikan ongkos dengan hati kesal dan wajah kecewa.
Tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah orang lain lakukan untuk kita, dan kita senantiasa menuntut lebih dari orang lain. Meminta orang lain melakukan lebih banyak, lebih baik, lebih sering dari yang sudah dilakukannya. Orang lain melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang kita inginkan, kita lebih dulu marah, dan kemudian lupa mengucapkan terima kasih. Ucapkanlah terima kasih lebih dulu, baru kemudian beritahu kekurangan atau kesalahan secara baik-baik. Dijamin, mereka akan mengerjakannya lebih baik tanpa wajah merengut.
Tidak berterima kasih dan banyak menuntut adalah sebuah circle, keduanya saling berkait berkelindan. Biasanya kedua sikap ini tidak terpisahkan, setiap kali kita tidak berterima kasih, mesti diiringi dengan tuntutan. Atau sebaliknya, setiap kita mengajukan tuntutan, hasil yang kita dapatkan dari tuntutan itu kita anggap sebagai hak. Karenanya, “terima kasih” tak perlu terucapkan.
Ironisnya, budaya buruk ini pun kita berlakukan terhadap Allah. Kita terus menerus berdoa dilimpahkan rezeki. Hanya karena rezeki yang didapat hari ini tidak berlimpah, lalu dalam doa selanjutnya kita berujar, “Ya Allah, kok cuma segini?” Sungguh, bersyukur dan bersabar lebih menjauhkan kita dari ancaman azab dan siksa dari-Nya.
Bayu Gawtama
Friday, November 11, 2005
Pak Haji: Paling Ditakuti Anak Kecil
Di salah satu kampung yang pernah saya kunjungi, saya mengajukan pertanyaan kepada sekelompok anak-anak kecil yang berhasil saya kumpulkan. “Siapa yang paling kalian takuti di kampung ini?” Serempak suara-suara kecil itu nyaring berbunyi satu nada, “Pak Hajiiiii….”. Berkerenyit dahi ini mendengar jawaban polos dan spontan dari anak-anak itu. Entah ada apa gerangan dengan “Pak Haji”? Saya tahu yang dimaksud mereka adalah benar-benar “Pak Haji”, salah satu orang yang paling tua sekaligus dituakan di kampung tersebut.
Saya tak ingin menyalahkan anak-anak itu dengan jawaban mereka, tidak pula serta merta membela “Pak Haji” yang menjadi momok menakutkan bagi anak-anak itu. Beberapa saat setelah satu persatu mulut mungil di hadapan saya bertutur tentang Pak Haji, barulah saya mengerti mengapa “Pak Haji” begitu ditakuti.
Suatu hari, sesaat setelah adzan maghrib berkumandang, anak-anak bergerombol ke Masjid untuk ikut sholat berjamaah. Dasar anak-anak, tak tahu yang semestinya mereka kerjakan sambil menunggu jamaah lainnya datang, mereka justru saling ngobrol, membuat kegaduhan. Beberapa lainnya malah berlarian di pelataran masjid. Sontak, Pak Haji membentak dan mengusir anak-anak itu. “Keluar! … kalau mau main jangan di masjid…” Kontan saja, bentakkan itu menciutkan nyali anak-anak, dan berhamburan lah mereka keluar masjid. Belum sempat mereka mendengarkan kalimat lanjutan Pak Haji, “Kalau mau ikut sholat, diam dan duduk tenang…” Dan yang pasti, belum sempat juga mereka ikut sholat berjamaah.
Kisah lainnya masih dialami anak-anak itu di hari lain. Waktunya agak maju sedikit, yakni sekitar lima belas menit sebelum adzan maghrib menggema. Anak-anak itu tak menghiraukan jeritan ibu mereka agar menghentikan permainan dan segera bersiap ke masjid. Mereka terus asyik bermain kelereng. Tiba-tiba, byuurrr … seember air menyiram tanah lapang tempat mereka bermain. Menghempaskan kelereng, debu pun berterbangan. Satu-dua anak basah kuyup. Siapa yang mengguyur mereka? Ternyata, Pak Haji…
Jika salah satu anak-anak itu adalah saya, mungkin saya akan jengkel kepada Pak Haji. Terlebih bila saat itu saya sedang kalah bermain. Tentu saja saya semakin tak simpati dengan Pak Haji itu, jangan harap saya mau mencium tangannya lagi secara ikhlas. Kesal, sebal dan benci, mungkin yang saat itu saya dan teman-teman rasakan. Maklum, anak kecil, belum bisa mencerna maksud dan tujuan dari “guyuran” air dari Pak Haji.
Sejak aksi pengguyuran itu, sosok Pak Haji semakin menakutkan bagi anak-anak itu. Jangankan bertemu langsung, mendengar bunyi terompah atau “dehem"nya pun, mereka sudah lari terbirit-birit.
Lalu, mereka membandingkan Pak Haji dengan salah seorang warga kampung di situ. Seorang lelaki paruh baya yang bukan tokoh masyarakat, dan tidak dituakan di kampung itu. Tapi disukai anak-anak.
Ketika anak-anak kecil itu mendatangi masjid, lelaki itu berdiri di pintu masjid, menyalami dan mencium keningnya satu persatu. Lembut ia berujar singkat, “Duuh, anak pintar… langsung duduk, dan jangan bercanda ya”. Bedakan dengan bentakan yang biasa diterima anak-anak itu sebelumnya.
Atau ketika anak-anak itu tak kenal waktu, terus bermain hingga waktu maghrib menjelang. Lelaki yang anaknya ikut bermain kelereng itu justru melibatkan diri dalam permainan anak-anak itu. “Boleh bapak ikut main?” Tentu saja, anak-anak justru senang kalau ada orang dewasa yang melibatkan diri dalam permainan mereka. Walau pun terkadang dengan syarat tertentu. “nyentilnya pakai kelingking ya pak…”
Selang lima menit bermain, “Wah, waktu maghrib hampir tiba nih. Yuk kita bubar dan bersegera ke masjid. Bapak tunggu di masjid ya,” ajak lelaki itu santun. Tak ada yang menolak, pun membantah. Serentak mereka “bubar grak” menuju rumah masing-masing, mandi, berganti pakaian, kemudian beranjak ke masjid.
***
Ini cuma cerita dari satu kampung, dan seorang “Pak Haji”. Tentu saya tidak bermaksud mendeskriditkan seseorang dengan titel “haji”. Toh, masih banyak kampung lain di negeri ini dengan jutaan “Pak Haji” yang tidak ditakuti anak-anak. Masih banyak “Pak Haji” yang dicintai anak-anak, dan jamaahnya. Yang tangan wanginya selalu menjadi rebutan untuk diciumi bolak-balik sebagai bentuk penghormatan dan kecintaaan terhadapnya.
Serulah mereka ke jalan Allah dengan cara yang baik dan penuh hikmah…
Bayu Gawtama
Saya tak ingin menyalahkan anak-anak itu dengan jawaban mereka, tidak pula serta merta membela “Pak Haji” yang menjadi momok menakutkan bagi anak-anak itu. Beberapa saat setelah satu persatu mulut mungil di hadapan saya bertutur tentang Pak Haji, barulah saya mengerti mengapa “Pak Haji” begitu ditakuti.
Suatu hari, sesaat setelah adzan maghrib berkumandang, anak-anak bergerombol ke Masjid untuk ikut sholat berjamaah. Dasar anak-anak, tak tahu yang semestinya mereka kerjakan sambil menunggu jamaah lainnya datang, mereka justru saling ngobrol, membuat kegaduhan. Beberapa lainnya malah berlarian di pelataran masjid. Sontak, Pak Haji membentak dan mengusir anak-anak itu. “Keluar! … kalau mau main jangan di masjid…” Kontan saja, bentakkan itu menciutkan nyali anak-anak, dan berhamburan lah mereka keluar masjid. Belum sempat mereka mendengarkan kalimat lanjutan Pak Haji, “Kalau mau ikut sholat, diam dan duduk tenang…” Dan yang pasti, belum sempat juga mereka ikut sholat berjamaah.
Kisah lainnya masih dialami anak-anak itu di hari lain. Waktunya agak maju sedikit, yakni sekitar lima belas menit sebelum adzan maghrib menggema. Anak-anak itu tak menghiraukan jeritan ibu mereka agar menghentikan permainan dan segera bersiap ke masjid. Mereka terus asyik bermain kelereng. Tiba-tiba, byuurrr … seember air menyiram tanah lapang tempat mereka bermain. Menghempaskan kelereng, debu pun berterbangan. Satu-dua anak basah kuyup. Siapa yang mengguyur mereka? Ternyata, Pak Haji…
Jika salah satu anak-anak itu adalah saya, mungkin saya akan jengkel kepada Pak Haji. Terlebih bila saat itu saya sedang kalah bermain. Tentu saja saya semakin tak simpati dengan Pak Haji itu, jangan harap saya mau mencium tangannya lagi secara ikhlas. Kesal, sebal dan benci, mungkin yang saat itu saya dan teman-teman rasakan. Maklum, anak kecil, belum bisa mencerna maksud dan tujuan dari “guyuran” air dari Pak Haji.
Sejak aksi pengguyuran itu, sosok Pak Haji semakin menakutkan bagi anak-anak itu. Jangankan bertemu langsung, mendengar bunyi terompah atau “dehem"nya pun, mereka sudah lari terbirit-birit.
Lalu, mereka membandingkan Pak Haji dengan salah seorang warga kampung di situ. Seorang lelaki paruh baya yang bukan tokoh masyarakat, dan tidak dituakan di kampung itu. Tapi disukai anak-anak.
Ketika anak-anak kecil itu mendatangi masjid, lelaki itu berdiri di pintu masjid, menyalami dan mencium keningnya satu persatu. Lembut ia berujar singkat, “Duuh, anak pintar… langsung duduk, dan jangan bercanda ya”. Bedakan dengan bentakan yang biasa diterima anak-anak itu sebelumnya.
Atau ketika anak-anak itu tak kenal waktu, terus bermain hingga waktu maghrib menjelang. Lelaki yang anaknya ikut bermain kelereng itu justru melibatkan diri dalam permainan anak-anak itu. “Boleh bapak ikut main?” Tentu saja, anak-anak justru senang kalau ada orang dewasa yang melibatkan diri dalam permainan mereka. Walau pun terkadang dengan syarat tertentu. “nyentilnya pakai kelingking ya pak…”
Selang lima menit bermain, “Wah, waktu maghrib hampir tiba nih. Yuk kita bubar dan bersegera ke masjid. Bapak tunggu di masjid ya,” ajak lelaki itu santun. Tak ada yang menolak, pun membantah. Serentak mereka “bubar grak” menuju rumah masing-masing, mandi, berganti pakaian, kemudian beranjak ke masjid.
***
Ini cuma cerita dari satu kampung, dan seorang “Pak Haji”. Tentu saya tidak bermaksud mendeskriditkan seseorang dengan titel “haji”. Toh, masih banyak kampung lain di negeri ini dengan jutaan “Pak Haji” yang tidak ditakuti anak-anak. Masih banyak “Pak Haji” yang dicintai anak-anak, dan jamaahnya. Yang tangan wanginya selalu menjadi rebutan untuk diciumi bolak-balik sebagai bentuk penghormatan dan kecintaaan terhadapnya.
Serulah mereka ke jalan Allah dengan cara yang baik dan penuh hikmah…
Bayu Gawtama
Thursday, November 10, 2005
Peduli Tak Kenal Waktu
Siapa yang menyangka, di tengah malam saat mata terpejam, tubuh rebah setelah seharian berpeluh keringat, tiba-tiba selaut air menghempaskan seluruh bangunan dan isinya. Anak dan isteri hilang, sanak keluarga lainnya tak terdengar kabar hingga berhari-hari. Hewan ternak raib ditelan ombak, begitu juga harta dan barang berharga hasil jerih payah bertahun-tahun. Semua sirna dalam hitungan detik, sekejap tanpa sisa. Di lain tempat, air meluap beriringan dengan getaran bumi yang melululantakkan seisi alam menerjang di pagi hari, saat mata belum lagi jernih, saat tubuh masih menggeliat, ketika sebagian masih bermalas-malas di tempat tidur.
Kalaulah boleh memilih, kenapa bencana tidak datang di siang hari, saat semua penghuni lebih siap dan sigap. Atau di hari libur, saat Ayah tak sedang di kantor, ibu tak sibuk berbelanja di pasar, anak-anak libur sekolah, sehingga semua keluarga berada di rumah bersama-sama bahu membahu menyelamatkan diri dari amukan badai. Mungkin, kalau Allah berkehendak, seluruh keluarga tak terpisah. Walau pun pilihannya, selamat bersama-sama atau bila mati pun pula bersama. Atau setidaknya, ada lebih banyak anggota keluarga yang bisa diselamatkan.
Tapi, bencana memang selalu datang tanpa memberi kabar…
Tak ada yang mampu menduga ketika bencana tiba disaat para petani hendak memanen hasil keringatnya berbulan-bulan. Buah ranum ratusan kilo yang siap dipetik, sirna seketika tersapu badai. Sayur mayur yang baru dipanen dan siap diangkut ke kota, habis dihempas angin topan. Padi menguning yang siap dituai, musnah dihantam bencana, hewan ternak dan ratusan kilo ikan di tambak hanyut dan tenggelam.
Andai boleh meminta, kenapa badai tak datang disaat kebun petani tak sedang berbuah, ketika sayur mayur baru saja dikirim ke kota. Atau ketika padi baru selesai habis dipanen, dan hewan ternak juga ikan-ikan telah habis terjual. Karena dengan begitu, kalau pun harus merugi karena rumah dan kampung hancur berantakan oleh badai, kesedihan tak bertambah dengan hilangnya hewan ternak, buah-buah siap dipanen, juga sayur mayur. Mungkin, sebagian pembayaran belum dilunasi orang-orang di kota, sehingga para korban bencana itu masih punya harapan hidup dengan uang hasil penjualan pertanian mereka.
Tetapi, lagi-lagi kita tak pernah tahu kapan musibah akan menimpa…
Tak satu pun kita mengira, menjelang hari raya, atau saat pesta ulang tahun, mungkin juga menjelang pesta pernikahan, angin topan, puting beliung, tsunami, gempa bumi, banjir bandang datang tanpa permisi. Hancurlah semua yang ada, baju baru, gaun pengantin, kue ulang tahun, makanan untuk pesta, bahkan keluarga dan calon pengantin pun terberangus oleh badai.
Jika pun boleh berharap, badai dan bencana itu datanglah di hari-hari ketika kita tak sedang berbahagia. Mungkin bolehlah di hari ketika kita tengah putus asa, atau saat tak sedang bersemangat hidup dan mati menjadi pilihan yang lebih baik. Jika boleh tawar menawar dengan Sang Pencipta Bencana, tundalah bencana itu hingga lewat hari raya, setelah pesta pernikahan sehingga ada kesempatan bagi kedua mempelai mereguk indahnya berumah tangga, atau setelah kita membuka kado ulang tahun dari teman dan kerabat.
Tapi, kita semua tahu, rencana Allah tak bisa ditawar dan hanya Dia yang tahu. Jika sudah tiba waktunya, tak mungkin ditunda walau sedetik.
Seperti halnya bencana, rezeki juga sering datang tak kenal waktu. Ia bisa kita terima di jalanan, di kantor, di masjid, di warung makan, dan di mana saja. Rezeki bisa tiba-tiba menghampiri kita disaat susah maupun senang, disaat berlebih atau ketika tak sepeser pun mengisi kantong kita. Bedanya dengan bencana, tak ada yang mau tawar menawar soal rezeki, agar dikurangi barang sedikit saja. Tak ada pula manusia di muka bumi ini yang meminta ditunda datangnya rezeki. Karena doa kita pun berbunyi, “dekatkan jika masih jauh, turunkan jika masih di atas, keluarkan dari dalam bumi jika masih di perut bumi, percepat jika memang bisa dipercepat, … dan, perbesarlah jika memang seharusnya kecil…”
Sama dengan musibah dan bencana, rezeki itu urusan Allah, dan hanya Dia yang tahu kapan rezeki itu datang. Ia pun, datang sering tak kenal waktu.
Kali ini, bencana tak menyentuh kita, keluarga, rumah, juga harta kekayaan kita. Allah masih berkenan kita menikmati indahnya hidup, tanpa air mata kehilangan anggota keluarga, atau kehabisan harta kekayaan akibat bencana. Hingga hari ini, bencana terus melanda saudara-saudara kita dan ia sering datang tak kenal waktu.
Maka, teruslah peduli dan berbagi kepada mereka yang tertimpa bencana. Bencana datang tak kenal waktu, semestinya kepedulian kita tak pun tak kenal waktu. Tak terbatas hanya pada bulan suci ramadhan, atau saat kita dalam keadaan lapang. Ingat, sewaktu-waktu sangat mungkin bencana itu menimpa kita. Dan biarkan orang lain yang bergilir membantu kita nanti.
Bayu Gawtama
Kalaulah boleh memilih, kenapa bencana tidak datang di siang hari, saat semua penghuni lebih siap dan sigap. Atau di hari libur, saat Ayah tak sedang di kantor, ibu tak sibuk berbelanja di pasar, anak-anak libur sekolah, sehingga semua keluarga berada di rumah bersama-sama bahu membahu menyelamatkan diri dari amukan badai. Mungkin, kalau Allah berkehendak, seluruh keluarga tak terpisah. Walau pun pilihannya, selamat bersama-sama atau bila mati pun pula bersama. Atau setidaknya, ada lebih banyak anggota keluarga yang bisa diselamatkan.
Tapi, bencana memang selalu datang tanpa memberi kabar…
Tak ada yang mampu menduga ketika bencana tiba disaat para petani hendak memanen hasil keringatnya berbulan-bulan. Buah ranum ratusan kilo yang siap dipetik, sirna seketika tersapu badai. Sayur mayur yang baru dipanen dan siap diangkut ke kota, habis dihempas angin topan. Padi menguning yang siap dituai, musnah dihantam bencana, hewan ternak dan ratusan kilo ikan di tambak hanyut dan tenggelam.
Andai boleh meminta, kenapa badai tak datang disaat kebun petani tak sedang berbuah, ketika sayur mayur baru saja dikirim ke kota. Atau ketika padi baru selesai habis dipanen, dan hewan ternak juga ikan-ikan telah habis terjual. Karena dengan begitu, kalau pun harus merugi karena rumah dan kampung hancur berantakan oleh badai, kesedihan tak bertambah dengan hilangnya hewan ternak, buah-buah siap dipanen, juga sayur mayur. Mungkin, sebagian pembayaran belum dilunasi orang-orang di kota, sehingga para korban bencana itu masih punya harapan hidup dengan uang hasil penjualan pertanian mereka.
Tetapi, lagi-lagi kita tak pernah tahu kapan musibah akan menimpa…
Tak satu pun kita mengira, menjelang hari raya, atau saat pesta ulang tahun, mungkin juga menjelang pesta pernikahan, angin topan, puting beliung, tsunami, gempa bumi, banjir bandang datang tanpa permisi. Hancurlah semua yang ada, baju baru, gaun pengantin, kue ulang tahun, makanan untuk pesta, bahkan keluarga dan calon pengantin pun terberangus oleh badai.
Jika pun boleh berharap, badai dan bencana itu datanglah di hari-hari ketika kita tak sedang berbahagia. Mungkin bolehlah di hari ketika kita tengah putus asa, atau saat tak sedang bersemangat hidup dan mati menjadi pilihan yang lebih baik. Jika boleh tawar menawar dengan Sang Pencipta Bencana, tundalah bencana itu hingga lewat hari raya, setelah pesta pernikahan sehingga ada kesempatan bagi kedua mempelai mereguk indahnya berumah tangga, atau setelah kita membuka kado ulang tahun dari teman dan kerabat.
Tapi, kita semua tahu, rencana Allah tak bisa ditawar dan hanya Dia yang tahu. Jika sudah tiba waktunya, tak mungkin ditunda walau sedetik.
Seperti halnya bencana, rezeki juga sering datang tak kenal waktu. Ia bisa kita terima di jalanan, di kantor, di masjid, di warung makan, dan di mana saja. Rezeki bisa tiba-tiba menghampiri kita disaat susah maupun senang, disaat berlebih atau ketika tak sepeser pun mengisi kantong kita. Bedanya dengan bencana, tak ada yang mau tawar menawar soal rezeki, agar dikurangi barang sedikit saja. Tak ada pula manusia di muka bumi ini yang meminta ditunda datangnya rezeki. Karena doa kita pun berbunyi, “dekatkan jika masih jauh, turunkan jika masih di atas, keluarkan dari dalam bumi jika masih di perut bumi, percepat jika memang bisa dipercepat, … dan, perbesarlah jika memang seharusnya kecil…”
Sama dengan musibah dan bencana, rezeki itu urusan Allah, dan hanya Dia yang tahu kapan rezeki itu datang. Ia pun, datang sering tak kenal waktu.
Kali ini, bencana tak menyentuh kita, keluarga, rumah, juga harta kekayaan kita. Allah masih berkenan kita menikmati indahnya hidup, tanpa air mata kehilangan anggota keluarga, atau kehabisan harta kekayaan akibat bencana. Hingga hari ini, bencana terus melanda saudara-saudara kita dan ia sering datang tak kenal waktu.
Maka, teruslah peduli dan berbagi kepada mereka yang tertimpa bencana. Bencana datang tak kenal waktu, semestinya kepedulian kita tak pun tak kenal waktu. Tak terbatas hanya pada bulan suci ramadhan, atau saat kita dalam keadaan lapang. Ingat, sewaktu-waktu sangat mungkin bencana itu menimpa kita. Dan biarkan orang lain yang bergilir membantu kita nanti.
Bayu Gawtama
Monday, November 07, 2005
Gundah Berakhir Syukur
Saya akan bercerita lagi tentang seorang Ayah. Plus dengan gundahnya. Tujuh belas tahun yang lalu,usianya masih empat puluh tujuh tahun, dan ia masih berstatus pegawai negeri. Ia bukan atasan, tapi juga bukan bawahan. Punya atasan, pun ada pegawai yang posisinya berada di bawahnya. Di usia itulah, ia terus menerus merasa gundah. Gundah akan segala bentuk ‘permainan’ yang dilakukan atasannya, gundah akan keresahan yang dialami pegawa-pegawai di bawahnya, dan teramat gundah akan masa depannya yang tak kunjung berubah.
Di usianya yang hampir memasuki masa pensiun, ia masih tinggal di rumah kontrakan dua kamar yang belum layak disebut rumah. Tak punya kendaraan bermotor, tak punya handphone andai saja seorang anaknya tak menghadiahinya suatu kali saat ia berulang tahun. Ia masih selalu turun naik angkot menuju kantornya, berangkat pagi kembali menjelang malam. Di saat yang sama, rekan-rekan seprofesi dan setingkatnya sesama pegawai negeri sipil, sudah punya rumah mewah yang berdiri di atas tanah seluas seribu meter. Sebuah mobil Toyota keluaran terbaru sering mejeng di rumahnya, itu belum termasuk dua sepeda motor yang dipakai anaknya ke sekolah. Satu lagi yang tak kalah hebatnya, beberapa temannya pun sampai ada yang dua-tiga kali berangkat haji. “Mungkin dia habis dapat warisan,” baik sangkanya.
Seorang kenalannya, yang ia sebut-sebut tingkatan kepegawaiannya satu level di bawahnya, bahkan sudah bertahun-tahun memiliki rumah besar, lengkap dengan perabot mewah dan kendaraan bermotor. Melihat ‘kesuksesan’ teman-temannya, ia semakin gundah. Usianya bertambah satu tahun, bertambah pula kegundahannya. Akankah ia mewarisi kemiskinan kepada anak-anaknya kelak?
Bukan tak ada kesempatan baginya untuk meraih ‘kesuksesan’ layaknya teman-teman seprofesinya. Bukan tak mungkin ia pun, bahkan, bisa memiliki rumah lebih mewah, kendaraan lebih mahal dari teman-temannya. “Kesempatan itu terus terjadi di depan mata,” ujarnya. Setiap waktu ia harus berhadapan dengan perintah atasannya untuk me-mark-up anggaran. Setiap saat itulah ia terus merasa gundah, karena sang boss pun berujar enteng, “ambil sebagian buat kamu,” Dan godaan itu tak satu dua kali saja. Ia bersikeras untuk tidak melakukan perintah atasannya, tapi ia juga tak tega melihat jeritan anak buahnya yang berharap ia mau menuruti perintah sang boss. Maklum, kalau anggaran di-mark-up, semua dapat jatah, bahkan sampai ke bawah.
Usia terus bertambah, memasuki angka lima puluh. Gundahnya semakin menjadi. Seorang pegawai negeri, bukan atasan, juga bukan bawahan, masih tinggal di rumah kontrakan selama bertahun-tahun. Tak terbeli kendaraan, meski sekadar roda dua. Saya pernah sering mendapatinya mengenakan pakaian yang itu-itu saja selama beberapa hari. kadang ia terlambat ke kantor menunggu tangan lihai sang isteri menjahit celana panjangnya yang sedikit koyak. Pernah juga saya dengar, ia meminta sang isteri meminjam sejumlah uang ke tetangga agar bisa berangkat ke kantor. Pantang baginya untuk terlambat, apalagi absen dengan alasan yang yang tidak jelas.
Satu, dua tahun berikutnya. Gundahnya menghilang seketika menjelang memasuki masa pensiun. Ia justru bersyukur tak terlibat praktik dan ‘permainan’ yang selama bertahun-tahun berlangsung di depan matanya. Ia memang melihat semua itu, namun ia hanya mampu menutup mata agar tak tergoda barang sedikit pun mencicipinya. Hingga kini, saat ia menghabiskan sisa-sisa hidupnya di rumah kontrakannya yang selama puluhan tahun ia tempati, ia boleh berbangga tak menyentuh uang yang bukan haknya.
“Saya masih senang ikut pengajian, akan ditaruh di mana wajah ini seandainya saya ambil ‘kesempatan’ itu dahulu, saat seorang ustadz bicara soal haramnya korupsi. Pasti akan panas telinga saya mendengar ayat-ayat yang dilafazkan ustadz tentang harta yang bersih. Akankah sanggup saya tersenyum dengan harta-harta yang orang lain tahu, bahwa tak mungkin pegawai seperti saya mampu memilikinya jika tidak dengan cara yang tidak halal?” Bibirnya bergetar mengucapkan kalimat ini.
Kegundahan yang puluhan tahun ia jaga dan tetap terjaga sebagai gundah yang lebih sering terselesaikan dengan airmata di atas sajadah setiap malamnya itu, kini membuahkan ketenangan hidup. Ia tetap bersyukur, meski hingga hari ini masih tinggal di rumah kontrakannya. Ia merasa tenang, “Bahkan mati nanti pun saya tak cemas, karena tidak banyak harta yang harus saya pertanggungjawabkan di hadapan Allah”.
Giliran saya yang bersyukur, karena saya teramat mengenal dan dekat dengan sosok Ayah ini. Semoga saya bisa menjadi seperti yang diharapkannya, jujur dan bersih meski harus terus menerus menggenggam gundah.
Bayu Gawtama
Di usianya yang hampir memasuki masa pensiun, ia masih tinggal di rumah kontrakan dua kamar yang belum layak disebut rumah. Tak punya kendaraan bermotor, tak punya handphone andai saja seorang anaknya tak menghadiahinya suatu kali saat ia berulang tahun. Ia masih selalu turun naik angkot menuju kantornya, berangkat pagi kembali menjelang malam. Di saat yang sama, rekan-rekan seprofesi dan setingkatnya sesama pegawai negeri sipil, sudah punya rumah mewah yang berdiri di atas tanah seluas seribu meter. Sebuah mobil Toyota keluaran terbaru sering mejeng di rumahnya, itu belum termasuk dua sepeda motor yang dipakai anaknya ke sekolah. Satu lagi yang tak kalah hebatnya, beberapa temannya pun sampai ada yang dua-tiga kali berangkat haji. “Mungkin dia habis dapat warisan,” baik sangkanya.
Seorang kenalannya, yang ia sebut-sebut tingkatan kepegawaiannya satu level di bawahnya, bahkan sudah bertahun-tahun memiliki rumah besar, lengkap dengan perabot mewah dan kendaraan bermotor. Melihat ‘kesuksesan’ teman-temannya, ia semakin gundah. Usianya bertambah satu tahun, bertambah pula kegundahannya. Akankah ia mewarisi kemiskinan kepada anak-anaknya kelak?
Bukan tak ada kesempatan baginya untuk meraih ‘kesuksesan’ layaknya teman-teman seprofesinya. Bukan tak mungkin ia pun, bahkan, bisa memiliki rumah lebih mewah, kendaraan lebih mahal dari teman-temannya. “Kesempatan itu terus terjadi di depan mata,” ujarnya. Setiap waktu ia harus berhadapan dengan perintah atasannya untuk me-mark-up anggaran. Setiap saat itulah ia terus merasa gundah, karena sang boss pun berujar enteng, “ambil sebagian buat kamu,” Dan godaan itu tak satu dua kali saja. Ia bersikeras untuk tidak melakukan perintah atasannya, tapi ia juga tak tega melihat jeritan anak buahnya yang berharap ia mau menuruti perintah sang boss. Maklum, kalau anggaran di-mark-up, semua dapat jatah, bahkan sampai ke bawah.
Usia terus bertambah, memasuki angka lima puluh. Gundahnya semakin menjadi. Seorang pegawai negeri, bukan atasan, juga bukan bawahan, masih tinggal di rumah kontrakan selama bertahun-tahun. Tak terbeli kendaraan, meski sekadar roda dua. Saya pernah sering mendapatinya mengenakan pakaian yang itu-itu saja selama beberapa hari. kadang ia terlambat ke kantor menunggu tangan lihai sang isteri menjahit celana panjangnya yang sedikit koyak. Pernah juga saya dengar, ia meminta sang isteri meminjam sejumlah uang ke tetangga agar bisa berangkat ke kantor. Pantang baginya untuk terlambat, apalagi absen dengan alasan yang yang tidak jelas.
Satu, dua tahun berikutnya. Gundahnya menghilang seketika menjelang memasuki masa pensiun. Ia justru bersyukur tak terlibat praktik dan ‘permainan’ yang selama bertahun-tahun berlangsung di depan matanya. Ia memang melihat semua itu, namun ia hanya mampu menutup mata agar tak tergoda barang sedikit pun mencicipinya. Hingga kini, saat ia menghabiskan sisa-sisa hidupnya di rumah kontrakannya yang selama puluhan tahun ia tempati, ia boleh berbangga tak menyentuh uang yang bukan haknya.
“Saya masih senang ikut pengajian, akan ditaruh di mana wajah ini seandainya saya ambil ‘kesempatan’ itu dahulu, saat seorang ustadz bicara soal haramnya korupsi. Pasti akan panas telinga saya mendengar ayat-ayat yang dilafazkan ustadz tentang harta yang bersih. Akankah sanggup saya tersenyum dengan harta-harta yang orang lain tahu, bahwa tak mungkin pegawai seperti saya mampu memilikinya jika tidak dengan cara yang tidak halal?” Bibirnya bergetar mengucapkan kalimat ini.
Kegundahan yang puluhan tahun ia jaga dan tetap terjaga sebagai gundah yang lebih sering terselesaikan dengan airmata di atas sajadah setiap malamnya itu, kini membuahkan ketenangan hidup. Ia tetap bersyukur, meski hingga hari ini masih tinggal di rumah kontrakannya. Ia merasa tenang, “Bahkan mati nanti pun saya tak cemas, karena tidak banyak harta yang harus saya pertanggungjawabkan di hadapan Allah”.
Giliran saya yang bersyukur, karena saya teramat mengenal dan dekat dengan sosok Ayah ini. Semoga saya bisa menjadi seperti yang diharapkannya, jujur dan bersih meski harus terus menerus menggenggam gundah.
Bayu Gawtama
Saturday, November 05, 2005
Lebaran bagi Penghuni Lapas Anak Tangerang
Sabtu pagi, 3 Syawal 1426 H, alias hari ketiga lebaran, puluhan relawan Kelompok Kerja Sosial (KKS) Melati menyambangi Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara atau biasa dikenal dengan Lapas Anak di Tangerang. Sebelumnya, sudah diberitahukan kepada para relawan untuk berkenan membawa makanan kecil atau kue lebaran untuk para penghuni Lapas. Bagi para relawan Melati, kunjungan ini tak sekadar menjadi kunjungan kesekian kalinya, tetapi juga menjadi kunjungan yang paling mengharukan. Setidaknya itu yang saya rasakan.
Hadi dan Bayu, dua anak SMP yang ikut serta dalam rombongan relawan KKS Melati, kali pertama mengikuti kegiatan sosial, membayangkan suasana 'penjara' anak-anak itu teramat menyeramkan. Awalnya, mereka mengira akan bertemu wajah-wajah sangar dan sikap brutal para penghuni. Ternyata, setelah lima belas menit di dalam dan berbincang langsung dengan mereka, keduanya bisa tersenyum. "Tak seperti bayangan saya, ternyata mereka ramah dan bersahabat," ujar Hadi.
Ya, bukan hanya karena hari itu masih dalam suasana lebaran hingga mereka begitu ramah. Bahkan pada kunjungan kami sebelumnya pun, mereka memang ramah dan sangat bersahabat. Sikap yang mereka tunjukkan, seolah menghilangkan kesan brutal fisik sebagian mereka yang terlihat 'berbeda' dari anak-anak biasa. Tatto, dan codet di wajah, menjadi hiasan seragam anak-anak penghuni Lapas yang rat-rata berusia di bawah 18 tahun.
Bagaimana lebaran mereka di Lapas? sebahagia kita kah? Silahkan menilainya dari beberapa yang mampu saya rekam.
Gobel Gonzales, begitu teman-temannya memanggil, menganggap, lebaran kali ini tak begitu menyedihkan, walau tak satu pun orang tua dan keluarga lainnya yang mengunjunginya di hari raya ini. "Ini lebaran ketiga saya tanpa mereka, jadi sekarang sudah biasa. Yang sedih justru di lebaran tiga tahun yang lalu, itu lebaran pertama saya tanpa kunjungan mereka".
Gobel pantas bersedih, dia dan lebih 300 temannya harus bermalam takbiran di dalam lingkungan Lapas. Tak ada baju baru kiriman, tak ada kue lebaran, dan yang pasti, tak ada tangan yang sangat ia rindui untuk dikecup. "Saya kangen ibu, saya ingin ibu tahu betapa menyesalnya saya".
"Tapi saya cukup senang berada di tempat ini. Kalau di luar, belum tentu saya berpuasa, belum tentu saya rajin tarawih, belum tentu saja rajin sholat wajib. Jadi, lebaran tahun ini, terasa sekali bahwa ini bulan kemenangan bagi saya, karena saya mampu berpuasa full, tarawih dan baca quran setiap hari pun tak tinggal," tambah Gobel tak bermaksud menyindir orang-orang di luar Lapas.
Agus, saya kira dia yang terlihat paling senang hari itu. "Besok saya sudah bebas." Tapi tetap saja lebaran kali ini terasa menyedihkan baginya. "Waktu malam takbiran saya menangis, saya teringat malam takbiran bersama orang tua dan adik-adik," ujar anak remaja yang masuk ke Lapas lantaran kasus narkoba itu. Sementara remaja berpeci di sebelahnya tak sebahagia Agus. "Bahkan lebaran tahun depan pun saya masih di sini," sedihnya.
Taufik, remaja berkulit putih bersih dan jauh dari tampang seram itu mengaku bersemangat di hari raya ini. "Hari bebas saya masih empat bulan lagi, tapi saya berpikir, tak akan pernah lagi berlebaran di tempat ini tahun depan. Cukup dua lebaran saja". Ia tertangkap basah membawa sejumlah ganja dan obat terlarang lainnya di bilangan Senen, Jakarta Pusat. "Saya tidak mau kejeblos ke lubang yang sama dua kali," sambil menyebut beberapa teman se Lapas yang berulang kali ke luar masuk karena kasus yang sama.
Semakin lama berbincang dengan remaja-remaja itu membuat saya semakin haru. Dan, nyatanya, air mata ini tak mampu terbendung saat menangkap sosok anak paling kecil di antara ratusan yang ada. Rizki namanya, usianya baru 9 tahun, asal Serang, Banten. 9 tahun? saya membayangkan betapa anak seusia itu masih senang bermanja bersama ibunya, masih ingin banyak bermain. "Ibu nggak datang, mungkin ibu malu punya anak seperti saya," akunya sedih. Entah siapa sebenarnya yang harus menanggung malu, Rizki atau orang tuanya lantaran pencabulan terhadap anak tetangga yang dilakukan bocah 9 tahun itu. Bukankah anak seusia itu seharusnya masih dalam pengawasan ketat orang tuanya?
Kue lebaran yang kami bawa, juga berbagi kebahagiaan lebaran yang kami lakukan hari itu, mungkin tak banyak membersitkan senyum di hati mereka. Tapi, kami yakinkan kepada mereka satu hal, bahwa mereka layak mendapatkan sahabat. Dan kami lah sahabat mereka.
Bayu Gawtama
Hadi dan Bayu, dua anak SMP yang ikut serta dalam rombongan relawan KKS Melati, kali pertama mengikuti kegiatan sosial, membayangkan suasana 'penjara' anak-anak itu teramat menyeramkan. Awalnya, mereka mengira akan bertemu wajah-wajah sangar dan sikap brutal para penghuni. Ternyata, setelah lima belas menit di dalam dan berbincang langsung dengan mereka, keduanya bisa tersenyum. "Tak seperti bayangan saya, ternyata mereka ramah dan bersahabat," ujar Hadi.
Ya, bukan hanya karena hari itu masih dalam suasana lebaran hingga mereka begitu ramah. Bahkan pada kunjungan kami sebelumnya pun, mereka memang ramah dan sangat bersahabat. Sikap yang mereka tunjukkan, seolah menghilangkan kesan brutal fisik sebagian mereka yang terlihat 'berbeda' dari anak-anak biasa. Tatto, dan codet di wajah, menjadi hiasan seragam anak-anak penghuni Lapas yang rat-rata berusia di bawah 18 tahun.
Bagaimana lebaran mereka di Lapas? sebahagia kita kah? Silahkan menilainya dari beberapa yang mampu saya rekam.
Gobel Gonzales, begitu teman-temannya memanggil, menganggap, lebaran kali ini tak begitu menyedihkan, walau tak satu pun orang tua dan keluarga lainnya yang mengunjunginya di hari raya ini. "Ini lebaran ketiga saya tanpa mereka, jadi sekarang sudah biasa. Yang sedih justru di lebaran tiga tahun yang lalu, itu lebaran pertama saya tanpa kunjungan mereka".
Gobel pantas bersedih, dia dan lebih 300 temannya harus bermalam takbiran di dalam lingkungan Lapas. Tak ada baju baru kiriman, tak ada kue lebaran, dan yang pasti, tak ada tangan yang sangat ia rindui untuk dikecup. "Saya kangen ibu, saya ingin ibu tahu betapa menyesalnya saya".
"Tapi saya cukup senang berada di tempat ini. Kalau di luar, belum tentu saya berpuasa, belum tentu saya rajin tarawih, belum tentu saja rajin sholat wajib. Jadi, lebaran tahun ini, terasa sekali bahwa ini bulan kemenangan bagi saya, karena saya mampu berpuasa full, tarawih dan baca quran setiap hari pun tak tinggal," tambah Gobel tak bermaksud menyindir orang-orang di luar Lapas.
Agus, saya kira dia yang terlihat paling senang hari itu. "Besok saya sudah bebas." Tapi tetap saja lebaran kali ini terasa menyedihkan baginya. "Waktu malam takbiran saya menangis, saya teringat malam takbiran bersama orang tua dan adik-adik," ujar anak remaja yang masuk ke Lapas lantaran kasus narkoba itu. Sementara remaja berpeci di sebelahnya tak sebahagia Agus. "Bahkan lebaran tahun depan pun saya masih di sini," sedihnya.
Taufik, remaja berkulit putih bersih dan jauh dari tampang seram itu mengaku bersemangat di hari raya ini. "Hari bebas saya masih empat bulan lagi, tapi saya berpikir, tak akan pernah lagi berlebaran di tempat ini tahun depan. Cukup dua lebaran saja". Ia tertangkap basah membawa sejumlah ganja dan obat terlarang lainnya di bilangan Senen, Jakarta Pusat. "Saya tidak mau kejeblos ke lubang yang sama dua kali," sambil menyebut beberapa teman se Lapas yang berulang kali ke luar masuk karena kasus yang sama.
Semakin lama berbincang dengan remaja-remaja itu membuat saya semakin haru. Dan, nyatanya, air mata ini tak mampu terbendung saat menangkap sosok anak paling kecil di antara ratusan yang ada. Rizki namanya, usianya baru 9 tahun, asal Serang, Banten. 9 tahun? saya membayangkan betapa anak seusia itu masih senang bermanja bersama ibunya, masih ingin banyak bermain. "Ibu nggak datang, mungkin ibu malu punya anak seperti saya," akunya sedih. Entah siapa sebenarnya yang harus menanggung malu, Rizki atau orang tuanya lantaran pencabulan terhadap anak tetangga yang dilakukan bocah 9 tahun itu. Bukankah anak seusia itu seharusnya masih dalam pengawasan ketat orang tuanya?
Kue lebaran yang kami bawa, juga berbagi kebahagiaan lebaran yang kami lakukan hari itu, mungkin tak banyak membersitkan senyum di hati mereka. Tapi, kami yakinkan kepada mereka satu hal, bahwa mereka layak mendapatkan sahabat. Dan kami lah sahabat mereka.
Bayu Gawtama
Malu Diri di Hari Terakhir
Malu, mungkin hanya kata itu yang pantas mewakili perasaan saya mengakhiri Ramadhan tahun ini. Saya tak tahu lagi harus berkata apa, nyatanya Ramadhan kali ini terlewati begitu saja, kosong nilai dan sedikit bekas yang terbawa sesudahnya. Mungkin saya akan menyesal hingga ke akhirat, andai Allah tak memberikan satu kesempatan lagi bertemu bulan suci ini di tahun depan.
Betapa tidak. Hari terakhir Ramadhan saat mengunjungi ibu, saya mendapatinya sedang menangis. Tahukah gerangan yang membuatnya menangis? Sungguh satu kalimat yang sempat diri ini terpaku, bibir bergetar tak mampu berkata apapun. "Ibu sedih, Ramadhan kali ini tak sanggup khatam Qur'an empat kali. Ramadhan tahun lalu, bisa empat kali". Pukulan telak menohok bilik terdalam hati ini, betapa saya yang masih muda ini harus tersengal-sengal untuk mengkhatamkan satu kali saja. Usia saya baru 32 tahun, bandingkan dengan ibu yang sudah 58 tahun...
Hari terakhir itu juga saya berpapasan dengan Abah -demikian saya memanggilnya-, mantan penjaga Masjid Annur, masjid di kawasan tempat tinggal ibu. "Ramadhan ini Abah nggak sempurna, tiga kali Abah nggak sholat tarawih di masjid. Ini kaki nggak bisa diajak kerjasama sih..." Duh, satu tamparan keras lagi untuk saya. Lelaki berusia 67 tahun itu mengeluh Ramadhannya tak sempurna hanya karena tiga kali tidak tarawih di masjid. Ia mengerjakannya di rumah, lantaran reumatiknya kambuh. Bagaimana dengan saya? Kesibukan pekerjaan membuat saya lebih sering bertarawih di rumah. Sempurnakah Ramadhan saya?
Sehari sebelumnya, saya masih berhitung-hitung soal berapa infak yang harus dikeluarkan bulan ini. Padahal di luar sana, orang-orang sudah berlomba memperbanyak infak dan sedekahnya. Mereka lebih cepat menghitungnya, lebih cepat juga mengeluarkannya. Jangan-jangan, saya lebih banyak berpikir untung rugi, dan takut kalau-kalau kehabisan uang untuk berhari raya.
Ya Allah, pantaskah hamba menjadi fitri di hari lebaran esok?
Bayu Gawtama
Betapa tidak. Hari terakhir Ramadhan saat mengunjungi ibu, saya mendapatinya sedang menangis. Tahukah gerangan yang membuatnya menangis? Sungguh satu kalimat yang sempat diri ini terpaku, bibir bergetar tak mampu berkata apapun. "Ibu sedih, Ramadhan kali ini tak sanggup khatam Qur'an empat kali. Ramadhan tahun lalu, bisa empat kali". Pukulan telak menohok bilik terdalam hati ini, betapa saya yang masih muda ini harus tersengal-sengal untuk mengkhatamkan satu kali saja. Usia saya baru 32 tahun, bandingkan dengan ibu yang sudah 58 tahun...
Hari terakhir itu juga saya berpapasan dengan Abah -demikian saya memanggilnya-, mantan penjaga Masjid Annur, masjid di kawasan tempat tinggal ibu. "Ramadhan ini Abah nggak sempurna, tiga kali Abah nggak sholat tarawih di masjid. Ini kaki nggak bisa diajak kerjasama sih..." Duh, satu tamparan keras lagi untuk saya. Lelaki berusia 67 tahun itu mengeluh Ramadhannya tak sempurna hanya karena tiga kali tidak tarawih di masjid. Ia mengerjakannya di rumah, lantaran reumatiknya kambuh. Bagaimana dengan saya? Kesibukan pekerjaan membuat saya lebih sering bertarawih di rumah. Sempurnakah Ramadhan saya?
Sehari sebelumnya, saya masih berhitung-hitung soal berapa infak yang harus dikeluarkan bulan ini. Padahal di luar sana, orang-orang sudah berlomba memperbanyak infak dan sedekahnya. Mereka lebih cepat menghitungnya, lebih cepat juga mengeluarkannya. Jangan-jangan, saya lebih banyak berpikir untung rugi, dan takut kalau-kalau kehabisan uang untuk berhari raya.
Ya Allah, pantaskah hamba menjadi fitri di hari lebaran esok?
Bayu Gawtama
Friday, October 28, 2005
Orang Miskin Dilarang Lebaran?
Sampai detik ini saya masih ingat kasus seorang ibu yang digelandang petugas keamanan sebuah Mal di Jakarta, karena kedapatan mencuri beberapa pasang pakaian anak dan menyembunyikannya di balik pakaiannya. Ketika ditanya motif pencurian yang dilakukannya, sambil menangis minta ampun, si ibu berkata, "Anak saya menangis setiap hari minta baju lebaran, orang miskin seperti saya, punya uang dari mana untuk membelinya?".
Itu kasus tiga atau empat tahun yang lalu, di hari-hari terakhir Ramadhan. Bahwa kemudian di sebuah harian nasional, kasus serupa diberitakan kembali setahun kemudian, lagi-lagi terjadi di beberapa hari terakhir Ramadhan, menjelang lebaran.
Tahun ini, saya belum mendengar atau membaca berita yang sama, dan semoga saja tidak ada kasus demikian. Walau pun saya harus bersiap kemungkinan mendapati berita serupa, bahkan mungkin tidak satu kasus. Bisa dua, empat, atau tak terbilang kasus serupa di berbagai tempat. Kasus empat tahun lalu, dan setahun kemudian saja, saya duga itu hanya sebuah contoh. Artinya, ada banyak kasus serupa dengan motif yang tidak berbeda terjadi di banyak tempat, di banyak Mal, di banyak kota di Indonesia. Mungkin, kebetulan kasus lainnya itu tidak tertangkap media. Atau justru banyak pencuri-pencuri dadakan itu -terpaksa mencuri karena anak mereka minta baju lebaran- tidak tertangkap.
Lebaran memang sebuah fenomena. Bagi orang-orang mampu, lebaran layaknya pameran status sosial. Rumah mereka kembali seperti baru menjelang lebaran, seluruh anggota keluarga mengenakan pakaian serba baru dan mahal, hidangan di meja makan pun beraneka ragam dan bentuk. Tak cukup satu lauk, bisa disebutkan hingga empat macam lauk siap disantap. Belum lagi makanan kecil, kue lebaran, dan jenis es segar menemani kehangatan silaturahim hari raya. Dan yang tak pernah ketinggalan, anak-anak kecil mereka berlomba mengumpulkan uang "salam tempel" atau "hadiah lebaran". Tak jarang mereka menghitung bersama, untuk menunjukkan jumlah yang mereka dapat lebih banyak dari anak lainnya.
Bagaimana dengan orang-orang di luar mereka? kelas menengah, masihlah boleh berbahagia. Meski tak semahal dan sebanyak pakaian orang-orang kelas atas, mereka masih bisa berbaju baru, bersepatu baru. Kue-kue masih tersedia di ruang tamu, begitu juga ketupat lebaran dan rendang daging. "Setahun sekali," ujar mereka beralasan.
Termasuk soal "angpaw" lebaran, meski sedikit, tetap saja mampu membuat anak-anak itu tersenyum. Setidaknya mereka bisa membeli mainan yang sudah lama diidamkan, tidak perlu merengek dan menggelendoti kantong orang tua mereka. Dengan uang yang tak seberapa itu, seolah mampu membeli semua keinginan mereka yang selama ini sekadar mimpi.
Bagaimana nasib orang-orang miskin? Anak yatim?. Ada yang terpaksa mencuri dan mengambil resiko berlebaran di balik jeruji demi keceriaan anak mereka di hari raya. Bagi mereka yang tetap sederhana dan menerima kenyataan, cukuplah nasi dan air putih tetap tersedia. Kalau pun boleh berharap, seikat ketupat kiriman dari tetangga akan menghiasi dapur mereka. Setidaknya, ada nuansa lebaran di rumah mereka dengan hadirnya tiga-empat belah ketupat di dapur.
Kue lebaran? Nanti dulu. Justru mereka yang akan mendatangi rumah-rumah orang mampu. Gayung bersambut karena biasanya orang-orang kaya akan menggelar "open house" untuk para tetangganya. Di saat seperti inilah, orang-orang miskin akan merasa lebaran juga diperuntukkan bagi mereka. Untuk anak-anak, selain mencicipi, dan sedikit memenuhi kantong-kantong mereka dengan aneka kue lebaran, bolehlah berharap ada jatah "angpaw" dari tuan rumah. Jadilah mereka rajin mencium tangan para dermawan hari raya itu, "ya, setahun sekali".
Ah, lebaran memang fenomenal. Berbagai lapisan masyarkat merayainya dengan caranya masing-masing. Ya si kaya, juga si miskin. Jadi, kata siapa orang miskin dilarang lebaran? Mereka tak terima THR, tak berbaju baru, tak punya kue lebaran, tak ada ketupat, tapi mereka punya harapan bertemu orang-orang yang akan membagi keceriaan hari raya. Semoga, harapan itu mampu terjawab di hari raya ini.
Bayu Gawtama
Itu kasus tiga atau empat tahun yang lalu, di hari-hari terakhir Ramadhan. Bahwa kemudian di sebuah harian nasional, kasus serupa diberitakan kembali setahun kemudian, lagi-lagi terjadi di beberapa hari terakhir Ramadhan, menjelang lebaran.
Tahun ini, saya belum mendengar atau membaca berita yang sama, dan semoga saja tidak ada kasus demikian. Walau pun saya harus bersiap kemungkinan mendapati berita serupa, bahkan mungkin tidak satu kasus. Bisa dua, empat, atau tak terbilang kasus serupa di berbagai tempat. Kasus empat tahun lalu, dan setahun kemudian saja, saya duga itu hanya sebuah contoh. Artinya, ada banyak kasus serupa dengan motif yang tidak berbeda terjadi di banyak tempat, di banyak Mal, di banyak kota di Indonesia. Mungkin, kebetulan kasus lainnya itu tidak tertangkap media. Atau justru banyak pencuri-pencuri dadakan itu -terpaksa mencuri karena anak mereka minta baju lebaran- tidak tertangkap.
Lebaran memang sebuah fenomena. Bagi orang-orang mampu, lebaran layaknya pameran status sosial. Rumah mereka kembali seperti baru menjelang lebaran, seluruh anggota keluarga mengenakan pakaian serba baru dan mahal, hidangan di meja makan pun beraneka ragam dan bentuk. Tak cukup satu lauk, bisa disebutkan hingga empat macam lauk siap disantap. Belum lagi makanan kecil, kue lebaran, dan jenis es segar menemani kehangatan silaturahim hari raya. Dan yang tak pernah ketinggalan, anak-anak kecil mereka berlomba mengumpulkan uang "salam tempel" atau "hadiah lebaran". Tak jarang mereka menghitung bersama, untuk menunjukkan jumlah yang mereka dapat lebih banyak dari anak lainnya.
Bagaimana dengan orang-orang di luar mereka? kelas menengah, masihlah boleh berbahagia. Meski tak semahal dan sebanyak pakaian orang-orang kelas atas, mereka masih bisa berbaju baru, bersepatu baru. Kue-kue masih tersedia di ruang tamu, begitu juga ketupat lebaran dan rendang daging. "Setahun sekali," ujar mereka beralasan.
Termasuk soal "angpaw" lebaran, meski sedikit, tetap saja mampu membuat anak-anak itu tersenyum. Setidaknya mereka bisa membeli mainan yang sudah lama diidamkan, tidak perlu merengek dan menggelendoti kantong orang tua mereka. Dengan uang yang tak seberapa itu, seolah mampu membeli semua keinginan mereka yang selama ini sekadar mimpi.
Bagaimana nasib orang-orang miskin? Anak yatim?. Ada yang terpaksa mencuri dan mengambil resiko berlebaran di balik jeruji demi keceriaan anak mereka di hari raya. Bagi mereka yang tetap sederhana dan menerima kenyataan, cukuplah nasi dan air putih tetap tersedia. Kalau pun boleh berharap, seikat ketupat kiriman dari tetangga akan menghiasi dapur mereka. Setidaknya, ada nuansa lebaran di rumah mereka dengan hadirnya tiga-empat belah ketupat di dapur.
Kue lebaran? Nanti dulu. Justru mereka yang akan mendatangi rumah-rumah orang mampu. Gayung bersambut karena biasanya orang-orang kaya akan menggelar "open house" untuk para tetangganya. Di saat seperti inilah, orang-orang miskin akan merasa lebaran juga diperuntukkan bagi mereka. Untuk anak-anak, selain mencicipi, dan sedikit memenuhi kantong-kantong mereka dengan aneka kue lebaran, bolehlah berharap ada jatah "angpaw" dari tuan rumah. Jadilah mereka rajin mencium tangan para dermawan hari raya itu, "ya, setahun sekali".
Ah, lebaran memang fenomenal. Berbagai lapisan masyarkat merayainya dengan caranya masing-masing. Ya si kaya, juga si miskin. Jadi, kata siapa orang miskin dilarang lebaran? Mereka tak terima THR, tak berbaju baru, tak punya kue lebaran, tak ada ketupat, tapi mereka punya harapan bertemu orang-orang yang akan membagi keceriaan hari raya. Semoga, harapan itu mampu terjawab di hari raya ini.
Bayu Gawtama
Sunday, October 23, 2005
Salam Sejahtera bagi Pak Muslim
Adzan maghrib berkumandang, waktu berbuka puasa pun tiba. Tapi sore itu saya masih berada di angkot, duduk di pojok berhadapan dengan lelaki paruh baya. Lelaki itu, serta merta mengeluarkan sebuah minuman kemasan rasa jeruk dari dalam tasnya. Untuknya berbuka puasa, pikir saya. Tapi ternyata, “Silahkan berbuka, sudah masuk waktunya,” sambil menyodorkan minuman itu ke arah saya. Belum sempat saya menolaknya, ia sudah mengeluarkan beberapa gelas minuman kemasan yang sama, kemudian dibagikan kepada seluruh penumpang dalam angkot, termasuk seorang mahasiswa di sebelahnya.
Mahasiswa itu, seorang non muslim. Dengan sangat sopan ia menolak pemberian lelaki paruh baya itu. “Saya bukan muslim, saya tidak berpuasa, terima kasih,” ujarnya sopan. Lelaki itu tak mau kalah, ia tetap menyodorkan minuman itu, dan, “Ini bulan berkah, keberkahan puasa bukan hanya untuk kami yang muslim, bahkan juga untuk orang diluar muslim,” kata-kata itu teramat menyentuh batin saya, dan saya yakin juga bagi mahasiswa itu.
“Nama saya Muslim” begitu ia memperkenalkan dirinya kepada saya. Nama yang sangat mewakili perbuatannya. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, dan seorang muslim semestinya menjadi rahmat bagi semua orang, tidak terkecuali. Seorang muslim ialah yang senantiasa menebar kasih sayang kepada sesama, tak peduli ia berbeda agama. Dan Pak Muslim telah mengajarkan langsung kan hal-hal yang selama ini masih sering menjadi materi dasar di berbagai pengajian dan forum keagamaan yang kita ikuti. Pak Muslim bukan seorang ustadz, bukan ulama, dia juga tidak banyak berbicara di atas mimbar, di televisi, tapi apa yang baru saja dilakukannya di hadapan saya, jauh lebih mengagumkan dari sekadar kata-kata indah yang terumbar di berbagai mimbar dan corong pengeras suara.
Sungguh saya malu, terlalu sering berbicara dan tak berupaya mengimbanginya dengan amal nyata. Kalau mau dihitung, sedikit sekali yang sudah saya kerjakan untuk membuktikan betapa Islam itu benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam, bagi semua umat, tidak terkecuali.
Jati diri seorang muslim bukan ditunjukkan dengan simbol, bendera dan kata-kata. Sesungguhnya, jati diri itu tertanam dalam jiwa yang kemudian tercermin dalam perilaku dan perbuatannya sehar-hari. Pakaian yang kita kenakan hanya menunjukkan fisik kemusliman kita, tapi kesejatian seorang muslim lebih dipancarkan dari kebaikan-kebaikan yang kita kerjakan. Pakaian seorang muslim yang sebenarnya, adalah kata-kata baik penuh hikmah dan perbuatan yang mengandung keberkahan bagi siapa saja, tidak terkecuali.
Nama saya bukan Muslim, tapi saya seorang muslim. Semoga saya bisa seperti Pak Muslim.
Bayu Gawtama
Mahasiswa itu, seorang non muslim. Dengan sangat sopan ia menolak pemberian lelaki paruh baya itu. “Saya bukan muslim, saya tidak berpuasa, terima kasih,” ujarnya sopan. Lelaki itu tak mau kalah, ia tetap menyodorkan minuman itu, dan, “Ini bulan berkah, keberkahan puasa bukan hanya untuk kami yang muslim, bahkan juga untuk orang diluar muslim,” kata-kata itu teramat menyentuh batin saya, dan saya yakin juga bagi mahasiswa itu.
“Nama saya Muslim” begitu ia memperkenalkan dirinya kepada saya. Nama yang sangat mewakili perbuatannya. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, dan seorang muslim semestinya menjadi rahmat bagi semua orang, tidak terkecuali. Seorang muslim ialah yang senantiasa menebar kasih sayang kepada sesama, tak peduli ia berbeda agama. Dan Pak Muslim telah mengajarkan langsung kan hal-hal yang selama ini masih sering menjadi materi dasar di berbagai pengajian dan forum keagamaan yang kita ikuti. Pak Muslim bukan seorang ustadz, bukan ulama, dia juga tidak banyak berbicara di atas mimbar, di televisi, tapi apa yang baru saja dilakukannya di hadapan saya, jauh lebih mengagumkan dari sekadar kata-kata indah yang terumbar di berbagai mimbar dan corong pengeras suara.
Sungguh saya malu, terlalu sering berbicara dan tak berupaya mengimbanginya dengan amal nyata. Kalau mau dihitung, sedikit sekali yang sudah saya kerjakan untuk membuktikan betapa Islam itu benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam, bagi semua umat, tidak terkecuali.
Jati diri seorang muslim bukan ditunjukkan dengan simbol, bendera dan kata-kata. Sesungguhnya, jati diri itu tertanam dalam jiwa yang kemudian tercermin dalam perilaku dan perbuatannya sehar-hari. Pakaian yang kita kenakan hanya menunjukkan fisik kemusliman kita, tapi kesejatian seorang muslim lebih dipancarkan dari kebaikan-kebaikan yang kita kerjakan. Pakaian seorang muslim yang sebenarnya, adalah kata-kata baik penuh hikmah dan perbuatan yang mengandung keberkahan bagi siapa saja, tidak terkecuali.
Nama saya bukan Muslim, tapi saya seorang muslim. Semoga saya bisa seperti Pak Muslim.
Bayu Gawtama
Tuhan Masih Ada kok...
“Ternyata Tuhan itu ada,” kalimat itu saya dengar hanya beberapa jam setelah seluruh stasiun televisi menayangkan bencana tsunami di Aceh hingga menewaskan ratusan ribu orang, akhir Desember 2004. Begitu pula ketika beberapa bulan kemudian, Allah kembali menggetarkan bumi dan menghancurkan Nias. Tidak sedikit korban yang meninggal, dan teramat banyak airmata yang tumpah, karena belum lagi kita lupa akan bencana tsunami sebelumnya. Rupanya belum cukup sampai di Nias, badai Katrina pun menyerang Amerika, Negara dengan berbagai sarana dan fasilitas terlengkap itu pun terlihat tidak siap kedatangan teguran Allah itu. Masih belum puas Allah mengingatkan ummatnya, Pakistan pun dihantam gempa, sedikitnya lima puluh ribu orang meninggal akibat bencana itu. Kali ini, mulut kita pun berucap, “Tuhan benar-benar masih ada”.
Beberapa hari lalu saya mengantar seorang teman ke rumah anak yatim. Dia ingin mengantarkan sendiri sedekahnya agar lebih bisa melihat langsung orang yang menerimanya. “Lebih puas jika langsung menyerahkannya,” akunya. Ada yang membuat saya tergelitik untuk terus memikirkannya sampai di rumah, yakni kalimat yang keluar dari mulut ibu si anak yatim yang mendapat santunan dari teman saya. “Duh Gusti, akhirnya Engkau mendengar juga doa orang kecil seperti kami”. Selama ini, aku ibu itu, ia tak pernah alpa berdoa, tak pernah meninggalkan sholat, tapi ia selalu bertanya kenapa nasibnya tidak berubah, selalu menjadi orang miskin. “Sejak kecil, orang tua saya miskin. Sampai saya punya keluarga sendiri, almarhum suami saya juga miskin. Sampai sekarang tetap jadi orang miskin,” keluhnya. Saya menangkap satu keluhan secara tidak langsung dari ibu itu kepada Allah, kenapa tak berkenan mengubah nasibnya.
Saya terus merenung, hingga kemudian teringat dengan kalimat “ternyata Tuhan itu ada” yang pernah saya dengar ketika bencana dahsyat melanda Aceh. Kalimat itu, ditambah perkataan ibu si anak yatim, “… Engkau mendengar juga doa kami” itu memunculkan satu anggapan, bahwa selama ini terlalu sering kita menganggap nihil keberadaan Tuhan. Dan ketika Allah benar-benar menunjukkan keberadaannya, baik dengan bencana maupun nikmat dan anugerah, barulah bibir ini menyebut namanya dan mengakui keberadaannya. Walaupun harus diakui, nama Tuhan lebih sering terucap di waktu sengsara, saat bencana dan ketika manusia berada di pintu mati. Saat sehat dan hidup senang, kita lebih banyak lupa akan-Nya.
Mungkin selama ini kita lupa bahwa Allah senantiasa terlibat dalam berbagai urusan hidup manusia. Kita tak sadar, bahwa Allah tak pernah memejamkan matanya untuk merekam setiap gerak kita dalam menjalani kehidupan. Seluruh gerak kita perinci, semua perkataan kita perhuruf, tercatat dengan sempurna di tangan-Nya. Kita lupa semua itu, sehingga Dia mengingatkannya kembali dengan tsunami, gempa dan bencana lainnya. Allah menguji seorang hamba tidak hanya dengan bencana, seseorang diberi kelebihan harta, atau sebaliknya dibuat miskin terus menerus itu juga bagian dari ujian dari-Nya. Siapakah yang lebih mampu bersabar dengan ujian itu, itulah yang membuat Allah tersenyum. Namun sekali lagi kita lupa, lupa ketika terlalu banyak nikmat Allah berikan. Kita juga ragu, ragu apakah Allah itu mendengar doa yang setiap hari kita ucapkan sambil menangis.
Sebenarnya, keraguan akan Tuhan dan berbagai ketentuan-Nya seperti yang ditunjukkan dengan bencana, juga oleh ibu si anak yatim , sama dengan keraguan yang ada pada diri kita. Janji Allah melipatgandakan ganjaran untuk setiap sedekah, infak dan zakat yang kita keluarkan dari harta kita, sering tergantung di benak kita, “Benarkah?” Terlebih ketika teramat sering kita berinfak dan bersedekah tapi kita merasa rezeki kita biasa-biasa saja, tidak berlipatganda seperti yang dijanjikan Allah. Muncullah keraguan akan janji Allah itu, dan karenanya, keesokan harinya kita mengurangi jumlah infak atau sedekah kita. Hingga di pekan berikutnya, tak ada lagi yang tersisihkan dari harta kita untuk diinfakkan, karena kita semakin ragu. Padahal, sudah pasti Allah menambahkan rezeki kita, buktinya, kita masih mampu berinfak.
Sungguh, Allah menguji kita dengan cara yang seringkali tidak bisa kita mengerti. Disaat sengsara, hidup susah, kita bertanya, “Tuhan dimana Engkau?” dan memerintah Tuhan, “Tuhan, dengarkan doa kami”. Ketika bencana datang, bibir ini berucap, “Tuhan benar-benar ada dan sedang marah”. Sama halnya dengan kita yang tiba-tiba mendapatkan rezeki yang tidak diduga-duga, padahal baru kemarin kita bersedekah. “Terima kasih Tuhan, Engkau Maha menepati janji”. Lalu, ketika dahulu sekian lama kita menunggu ganjaran berlipatganda itu kita merasa tak pernah mendapatkannya, akankah mulut ini lancang berkata, “Tuhan, janjimu palsu”?
Percayalah, Tuhan masih ada kok…
Bayu Gawtama
Beberapa hari lalu saya mengantar seorang teman ke rumah anak yatim. Dia ingin mengantarkan sendiri sedekahnya agar lebih bisa melihat langsung orang yang menerimanya. “Lebih puas jika langsung menyerahkannya,” akunya. Ada yang membuat saya tergelitik untuk terus memikirkannya sampai di rumah, yakni kalimat yang keluar dari mulut ibu si anak yatim yang mendapat santunan dari teman saya. “Duh Gusti, akhirnya Engkau mendengar juga doa orang kecil seperti kami”. Selama ini, aku ibu itu, ia tak pernah alpa berdoa, tak pernah meninggalkan sholat, tapi ia selalu bertanya kenapa nasibnya tidak berubah, selalu menjadi orang miskin. “Sejak kecil, orang tua saya miskin. Sampai saya punya keluarga sendiri, almarhum suami saya juga miskin. Sampai sekarang tetap jadi orang miskin,” keluhnya. Saya menangkap satu keluhan secara tidak langsung dari ibu itu kepada Allah, kenapa tak berkenan mengubah nasibnya.
Saya terus merenung, hingga kemudian teringat dengan kalimat “ternyata Tuhan itu ada” yang pernah saya dengar ketika bencana dahsyat melanda Aceh. Kalimat itu, ditambah perkataan ibu si anak yatim, “… Engkau mendengar juga doa kami” itu memunculkan satu anggapan, bahwa selama ini terlalu sering kita menganggap nihil keberadaan Tuhan. Dan ketika Allah benar-benar menunjukkan keberadaannya, baik dengan bencana maupun nikmat dan anugerah, barulah bibir ini menyebut namanya dan mengakui keberadaannya. Walaupun harus diakui, nama Tuhan lebih sering terucap di waktu sengsara, saat bencana dan ketika manusia berada di pintu mati. Saat sehat dan hidup senang, kita lebih banyak lupa akan-Nya.
Mungkin selama ini kita lupa bahwa Allah senantiasa terlibat dalam berbagai urusan hidup manusia. Kita tak sadar, bahwa Allah tak pernah memejamkan matanya untuk merekam setiap gerak kita dalam menjalani kehidupan. Seluruh gerak kita perinci, semua perkataan kita perhuruf, tercatat dengan sempurna di tangan-Nya. Kita lupa semua itu, sehingga Dia mengingatkannya kembali dengan tsunami, gempa dan bencana lainnya. Allah menguji seorang hamba tidak hanya dengan bencana, seseorang diberi kelebihan harta, atau sebaliknya dibuat miskin terus menerus itu juga bagian dari ujian dari-Nya. Siapakah yang lebih mampu bersabar dengan ujian itu, itulah yang membuat Allah tersenyum. Namun sekali lagi kita lupa, lupa ketika terlalu banyak nikmat Allah berikan. Kita juga ragu, ragu apakah Allah itu mendengar doa yang setiap hari kita ucapkan sambil menangis.
Sebenarnya, keraguan akan Tuhan dan berbagai ketentuan-Nya seperti yang ditunjukkan dengan bencana, juga oleh ibu si anak yatim , sama dengan keraguan yang ada pada diri kita. Janji Allah melipatgandakan ganjaran untuk setiap sedekah, infak dan zakat yang kita keluarkan dari harta kita, sering tergantung di benak kita, “Benarkah?” Terlebih ketika teramat sering kita berinfak dan bersedekah tapi kita merasa rezeki kita biasa-biasa saja, tidak berlipatganda seperti yang dijanjikan Allah. Muncullah keraguan akan janji Allah itu, dan karenanya, keesokan harinya kita mengurangi jumlah infak atau sedekah kita. Hingga di pekan berikutnya, tak ada lagi yang tersisihkan dari harta kita untuk diinfakkan, karena kita semakin ragu. Padahal, sudah pasti Allah menambahkan rezeki kita, buktinya, kita masih mampu berinfak.
Sungguh, Allah menguji kita dengan cara yang seringkali tidak bisa kita mengerti. Disaat sengsara, hidup susah, kita bertanya, “Tuhan dimana Engkau?” dan memerintah Tuhan, “Tuhan, dengarkan doa kami”. Ketika bencana datang, bibir ini berucap, “Tuhan benar-benar ada dan sedang marah”. Sama halnya dengan kita yang tiba-tiba mendapatkan rezeki yang tidak diduga-duga, padahal baru kemarin kita bersedekah. “Terima kasih Tuhan, Engkau Maha menepati janji”. Lalu, ketika dahulu sekian lama kita menunggu ganjaran berlipatganda itu kita merasa tak pernah mendapatkannya, akankah mulut ini lancang berkata, “Tuhan, janjimu palsu”?
Percayalah, Tuhan masih ada kok…
Bayu Gawtama
Subscribe to:
Posts (Atom)