Malu, mungkin hanya kata itu yang pantas mewakili perasaan saya mengakhiri Ramadhan tahun ini. Saya tak tahu lagi harus berkata apa, nyatanya Ramadhan kali ini terlewati begitu saja, kosong nilai dan sedikit bekas yang terbawa sesudahnya. Mungkin saya akan menyesal hingga ke akhirat, andai Allah tak memberikan satu kesempatan lagi bertemu bulan suci ini di tahun depan.
Betapa tidak. Hari terakhir Ramadhan saat mengunjungi ibu, saya mendapatinya sedang menangis. Tahukah gerangan yang membuatnya menangis? Sungguh satu kalimat yang sempat diri ini terpaku, bibir bergetar tak mampu berkata apapun. "Ibu sedih, Ramadhan kali ini tak sanggup khatam Qur'an empat kali. Ramadhan tahun lalu, bisa empat kali". Pukulan telak menohok bilik terdalam hati ini, betapa saya yang masih muda ini harus tersengal-sengal untuk mengkhatamkan satu kali saja. Usia saya baru 32 tahun, bandingkan dengan ibu yang sudah 58 tahun...
Hari terakhir itu juga saya berpapasan dengan Abah -demikian saya memanggilnya-, mantan penjaga Masjid Annur, masjid di kawasan tempat tinggal ibu. "Ramadhan ini Abah nggak sempurna, tiga kali Abah nggak sholat tarawih di masjid. Ini kaki nggak bisa diajak kerjasama sih..." Duh, satu tamparan keras lagi untuk saya. Lelaki berusia 67 tahun itu mengeluh Ramadhannya tak sempurna hanya karena tiga kali tidak tarawih di masjid. Ia mengerjakannya di rumah, lantaran reumatiknya kambuh. Bagaimana dengan saya? Kesibukan pekerjaan membuat saya lebih sering bertarawih di rumah. Sempurnakah Ramadhan saya?
Sehari sebelumnya, saya masih berhitung-hitung soal berapa infak yang harus dikeluarkan bulan ini. Padahal di luar sana, orang-orang sudah berlomba memperbanyak infak dan sedekahnya. Mereka lebih cepat menghitungnya, lebih cepat juga mengeluarkannya. Jangan-jangan, saya lebih banyak berpikir untung rugi, dan takut kalau-kalau kehabisan uang untuk berhari raya.
Ya Allah, pantaskah hamba menjadi fitri di hari lebaran esok?
Bayu Gawtama
No comments:
Post a Comment