Di salah satu kampung yang pernah saya kunjungi, saya mengajukan pertanyaan kepada sekelompok anak-anak kecil yang berhasil saya kumpulkan. “Siapa yang paling kalian takuti di kampung ini?” Serempak suara-suara kecil itu nyaring berbunyi satu nada, “Pak Hajiiiii….”. Berkerenyit dahi ini mendengar jawaban polos dan spontan dari anak-anak itu. Entah ada apa gerangan dengan “Pak Haji”? Saya tahu yang dimaksud mereka adalah benar-benar “Pak Haji”, salah satu orang yang paling tua sekaligus dituakan di kampung tersebut.
Saya tak ingin menyalahkan anak-anak itu dengan jawaban mereka, tidak pula serta merta membela “Pak Haji” yang menjadi momok menakutkan bagi anak-anak itu. Beberapa saat setelah satu persatu mulut mungil di hadapan saya bertutur tentang Pak Haji, barulah saya mengerti mengapa “Pak Haji” begitu ditakuti.
Suatu hari, sesaat setelah adzan maghrib berkumandang, anak-anak bergerombol ke Masjid untuk ikut sholat berjamaah. Dasar anak-anak, tak tahu yang semestinya mereka kerjakan sambil menunggu jamaah lainnya datang, mereka justru saling ngobrol, membuat kegaduhan. Beberapa lainnya malah berlarian di pelataran masjid. Sontak, Pak Haji membentak dan mengusir anak-anak itu. “Keluar! … kalau mau main jangan di masjid…” Kontan saja, bentakkan itu menciutkan nyali anak-anak, dan berhamburan lah mereka keluar masjid. Belum sempat mereka mendengarkan kalimat lanjutan Pak Haji, “Kalau mau ikut sholat, diam dan duduk tenang…” Dan yang pasti, belum sempat juga mereka ikut sholat berjamaah.
Kisah lainnya masih dialami anak-anak itu di hari lain. Waktunya agak maju sedikit, yakni sekitar lima belas menit sebelum adzan maghrib menggema. Anak-anak itu tak menghiraukan jeritan ibu mereka agar menghentikan permainan dan segera bersiap ke masjid. Mereka terus asyik bermain kelereng. Tiba-tiba, byuurrr … seember air menyiram tanah lapang tempat mereka bermain. Menghempaskan kelereng, debu pun berterbangan. Satu-dua anak basah kuyup. Siapa yang mengguyur mereka? Ternyata, Pak Haji…
Jika salah satu anak-anak itu adalah saya, mungkin saya akan jengkel kepada Pak Haji. Terlebih bila saat itu saya sedang kalah bermain. Tentu saja saya semakin tak simpati dengan Pak Haji itu, jangan harap saya mau mencium tangannya lagi secara ikhlas. Kesal, sebal dan benci, mungkin yang saat itu saya dan teman-teman rasakan. Maklum, anak kecil, belum bisa mencerna maksud dan tujuan dari “guyuran” air dari Pak Haji.
Sejak aksi pengguyuran itu, sosok Pak Haji semakin menakutkan bagi anak-anak itu. Jangankan bertemu langsung, mendengar bunyi terompah atau “dehem"nya pun, mereka sudah lari terbirit-birit.
Lalu, mereka membandingkan Pak Haji dengan salah seorang warga kampung di situ. Seorang lelaki paruh baya yang bukan tokoh masyarakat, dan tidak dituakan di kampung itu. Tapi disukai anak-anak.
Ketika anak-anak kecil itu mendatangi masjid, lelaki itu berdiri di pintu masjid, menyalami dan mencium keningnya satu persatu. Lembut ia berujar singkat, “Duuh, anak pintar… langsung duduk, dan jangan bercanda ya”. Bedakan dengan bentakan yang biasa diterima anak-anak itu sebelumnya.
Atau ketika anak-anak itu tak kenal waktu, terus bermain hingga waktu maghrib menjelang. Lelaki yang anaknya ikut bermain kelereng itu justru melibatkan diri dalam permainan anak-anak itu. “Boleh bapak ikut main?” Tentu saja, anak-anak justru senang kalau ada orang dewasa yang melibatkan diri dalam permainan mereka. Walau pun terkadang dengan syarat tertentu. “nyentilnya pakai kelingking ya pak…”
Selang lima menit bermain, “Wah, waktu maghrib hampir tiba nih. Yuk kita bubar dan bersegera ke masjid. Bapak tunggu di masjid ya,” ajak lelaki itu santun. Tak ada yang menolak, pun membantah. Serentak mereka “bubar grak” menuju rumah masing-masing, mandi, berganti pakaian, kemudian beranjak ke masjid.
***
Ini cuma cerita dari satu kampung, dan seorang “Pak Haji”. Tentu saya tidak bermaksud mendeskriditkan seseorang dengan titel “haji”. Toh, masih banyak kampung lain di negeri ini dengan jutaan “Pak Haji” yang tidak ditakuti anak-anak. Masih banyak “Pak Haji” yang dicintai anak-anak, dan jamaahnya. Yang tangan wanginya selalu menjadi rebutan untuk diciumi bolak-balik sebagai bentuk penghormatan dan kecintaaan terhadapnya.
Serulah mereka ke jalan Allah dengan cara yang baik dan penuh hikmah…
Bayu Gawtama
No comments:
Post a Comment