“Ternyata Tuhan itu ada,” kalimat itu saya dengar hanya beberapa jam setelah seluruh stasiun televisi menayangkan bencana tsunami di Aceh hingga menewaskan ratusan ribu orang, akhir Desember 2004. Begitu pula ketika beberapa bulan kemudian, Allah kembali menggetarkan bumi dan menghancurkan Nias. Tidak sedikit korban yang meninggal, dan teramat banyak airmata yang tumpah, karena belum lagi kita lupa akan bencana tsunami sebelumnya. Rupanya belum cukup sampai di Nias, badai Katrina pun menyerang Amerika, Negara dengan berbagai sarana dan fasilitas terlengkap itu pun terlihat tidak siap kedatangan teguran Allah itu. Masih belum puas Allah mengingatkan ummatnya, Pakistan pun dihantam gempa, sedikitnya lima puluh ribu orang meninggal akibat bencana itu. Kali ini, mulut kita pun berucap, “Tuhan benar-benar masih ada”.
Beberapa hari lalu saya mengantar seorang teman ke rumah anak yatim. Dia ingin mengantarkan sendiri sedekahnya agar lebih bisa melihat langsung orang yang menerimanya. “Lebih puas jika langsung menyerahkannya,” akunya. Ada yang membuat saya tergelitik untuk terus memikirkannya sampai di rumah, yakni kalimat yang keluar dari mulut ibu si anak yatim yang mendapat santunan dari teman saya. “Duh Gusti, akhirnya Engkau mendengar juga doa orang kecil seperti kami”. Selama ini, aku ibu itu, ia tak pernah alpa berdoa, tak pernah meninggalkan sholat, tapi ia selalu bertanya kenapa nasibnya tidak berubah, selalu menjadi orang miskin. “Sejak kecil, orang tua saya miskin. Sampai saya punya keluarga sendiri, almarhum suami saya juga miskin. Sampai sekarang tetap jadi orang miskin,” keluhnya. Saya menangkap satu keluhan secara tidak langsung dari ibu itu kepada Allah, kenapa tak berkenan mengubah nasibnya.
Saya terus merenung, hingga kemudian teringat dengan kalimat “ternyata Tuhan itu ada” yang pernah saya dengar ketika bencana dahsyat melanda Aceh. Kalimat itu, ditambah perkataan ibu si anak yatim, “… Engkau mendengar juga doa kami” itu memunculkan satu anggapan, bahwa selama ini terlalu sering kita menganggap nihil keberadaan Tuhan. Dan ketika Allah benar-benar menunjukkan keberadaannya, baik dengan bencana maupun nikmat dan anugerah, barulah bibir ini menyebut namanya dan mengakui keberadaannya. Walaupun harus diakui, nama Tuhan lebih sering terucap di waktu sengsara, saat bencana dan ketika manusia berada di pintu mati. Saat sehat dan hidup senang, kita lebih banyak lupa akan-Nya.
Mungkin selama ini kita lupa bahwa Allah senantiasa terlibat dalam berbagai urusan hidup manusia. Kita tak sadar, bahwa Allah tak pernah memejamkan matanya untuk merekam setiap gerak kita dalam menjalani kehidupan. Seluruh gerak kita perinci, semua perkataan kita perhuruf, tercatat dengan sempurna di tangan-Nya. Kita lupa semua itu, sehingga Dia mengingatkannya kembali dengan tsunami, gempa dan bencana lainnya. Allah menguji seorang hamba tidak hanya dengan bencana, seseorang diberi kelebihan harta, atau sebaliknya dibuat miskin terus menerus itu juga bagian dari ujian dari-Nya. Siapakah yang lebih mampu bersabar dengan ujian itu, itulah yang membuat Allah tersenyum. Namun sekali lagi kita lupa, lupa ketika terlalu banyak nikmat Allah berikan. Kita juga ragu, ragu apakah Allah itu mendengar doa yang setiap hari kita ucapkan sambil menangis.
Sebenarnya, keraguan akan Tuhan dan berbagai ketentuan-Nya seperti yang ditunjukkan dengan bencana, juga oleh ibu si anak yatim , sama dengan keraguan yang ada pada diri kita. Janji Allah melipatgandakan ganjaran untuk setiap sedekah, infak dan zakat yang kita keluarkan dari harta kita, sering tergantung di benak kita, “Benarkah?” Terlebih ketika teramat sering kita berinfak dan bersedekah tapi kita merasa rezeki kita biasa-biasa saja, tidak berlipatganda seperti yang dijanjikan Allah. Muncullah keraguan akan janji Allah itu, dan karenanya, keesokan harinya kita mengurangi jumlah infak atau sedekah kita. Hingga di pekan berikutnya, tak ada lagi yang tersisihkan dari harta kita untuk diinfakkan, karena kita semakin ragu. Padahal, sudah pasti Allah menambahkan rezeki kita, buktinya, kita masih mampu berinfak.
Sungguh, Allah menguji kita dengan cara yang seringkali tidak bisa kita mengerti. Disaat sengsara, hidup susah, kita bertanya, “Tuhan dimana Engkau?” dan memerintah Tuhan, “Tuhan, dengarkan doa kami”. Ketika bencana datang, bibir ini berucap, “Tuhan benar-benar ada dan sedang marah”. Sama halnya dengan kita yang tiba-tiba mendapatkan rezeki yang tidak diduga-duga, padahal baru kemarin kita bersedekah. “Terima kasih Tuhan, Engkau Maha menepati janji”. Lalu, ketika dahulu sekian lama kita menunggu ganjaran berlipatganda itu kita merasa tak pernah mendapatkannya, akankah mulut ini lancang berkata, “Tuhan, janjimu palsu”?
Percayalah, Tuhan masih ada kok…
Bayu Gawtama
1 comment:
Assalamu'alaikum Wr.wb
Prihatin.....
JIka memang ada orang yang menganggap Tuhan itu gak ada.
Yang pasti kurang iman.
Semoga Allah senantiasa menunjukkan kedekatannya kepada kita semua, amiin.
Salam kenal,
arhtifa@yahoo.com
Post a Comment