Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, December 01, 2005

Adakah yang Akan Membantunya?

“Saya tak mau menjual akidah untuk uang 70 juta rupiah,” lirih Lucky saat menceritakan satu kisah di tahun 1999. Saat itu, ia terhimpit kesulitan keuangan dan tak tahu lagi kemana harus mencari pinjaman. Tetangganya yang mayoritas muslim di kawasan tempat tinggalnya seperti hidup sendiri-sendiri, seolah tak pernah tahu keadaan sekeliling. Selain juga karena Lucky tak biasa meminta atau meminjam uang. Saat itu, salah satu anak gadisnya yang hendak melahirkan mengalami pendarahan hebat. Pihak rumah sakit meminta uang 1 juta rupiah untuk biaya pengobatan ibu dan calon anak itu agar selamat. Pikirannya pun buntu, yang dituju hanyalah sebuah rumah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sampai di rumah itu, ia langsung disodorkan amplop berisi ung 70 juta rupiah. Tak hanya itu, jika merasa kurang orang-orang di rumah itu pun menawarkan sejumlah cek yang siap ditandatangani hari itu juga dan esoknya bisa dicairkan. Bukan tanpa syarat, karena Lucky harus menandatangani selembar perjanjian. Mengetahui bahwa surat dimaksud berisi pernyataan bahwa ia harus kembali ke agama asal, urunglah ia mengambil 70 juta rupiah itu dan pulang dengan tangan hampa. “Yang saya butuhkan hanya 1 juta, untuk biaya rumah sakit,” ujarnya.

Itulah sepenggal kisah H. Lucky Lucas Polhaupessy, lelaki kelahiran Ambon, 26 Juni 1948, yang siang itu mampir ke kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengadukan soal rumahnya yang hancur terkena angin ribut, Rabu, 30 November 2005, sekitar pukul 11.30 WIB. Saat kejadian, ia sedang di luar rumah untuk mencari sesuap nasi. Memang tidak ada hujan hari itu, hanya angin besar yang terjangannya mampu merusak atap bagian dapur dan kamar mandi yang terbuat dari asbes model lama yang lebar. Rumah seluas 50 meter persegi itu ditempati duabelas kepala, terdiri dari Lucky beserta isteri dan anak menantunya.

Rumah kecil yang tak berplester itu kini dibiarkan dengan bagian dapur dan kamar mandi yang terbuka. Bisa dibilang, jika turun hujan rumahnya bukan lagi kebocoran, lebih pantas disebut kehujanan. “Untuk menadah air hujan di dapur, saya pakai terpal plastik. Ada yang ngasih,” terang Ayah enam anak itu. Berangkat dari rumahnya di daerah Sawangan, Depok, pukul 09.00, ia berjalan kaki menuju kantor ACT di Ciputat, Tangerang. Tiba di kantor ACT hampir pukul 13.00 WIB. Ia mengaku lebih memilih berjalan kaki untuk menghemat uangnya. “buat makan sehari-hari saja sudah pas-pasan,” tambahnya.

H. Lucky Lucas Polhaupessy, asal Pulau Tuhaha, Ambon, sebenarnya bukan lelaki sembarangan. Butuh perjuangan berat baginya ketika harus memilih jalan hidupnya sebagai muslim. Sebelumnya, saat masih beragama non muslim, ia terbilang orang berekonomi plus, punya rumah bagus dan kendaraan. Sejak tahun 1989, ia mulai tertarik untuk mempelajari agama Islam. Ia makin serius mempelajari Islam hingga akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam dan membawa serta seluruh keluarga ke dalam Islam pada tahun 1995.

Bukan perkara enteng bagi Lucky dan keluarganya memutuskan berislam. Tahun 1994, ia dan keluarganya sudah memantapkan hati untuk memeluk agama Islam, tapi secara materi mereka belum siap. Butuh waktu lama bagi keluarga itu untuk memutuskan dan mantap menerima resiko terbesar ketika memeluk agama Islam. “Waktu itu saya bilang kepada isteri dan anak-anak, kalau kita masuk Islam, harus bersiap-siap kalau suatu saat harus tinggal di kolong jembatan atau emperan toko,” tuturnya.

Ya, keluarga Lucky di Ambon bukan sembarang keluarga. Ayahnya adalah kepala suku Pulau Tuhaha, Ambon. Darah ‘ningrat’ yang dimilikinya membuatnya mendapat kesempatan untuk hidup mewah dan berkecukupan di Jakarta. Kemewahan dan kecukupan inilah yang harus rela ditinggalkannya ketika memutuskan berpindah agama. “Istilahnya, saya ini terkena hukum adat. Semua harta kekayaan saya disita oleh adat. Bahkan nama saya pun mungkin sudah dicoret dari daftar hak waris dan silsilah keluarga di Tuhaha,” tandasnya. Meski demikian, malu-malu ia mengakui bahwa hingga detik ini ia masih diharapkan kembali ke Tuhaha, dan kembali ke agama semula.

Tahun 1995, akhirnya ia dan seluruh keluarga merasa mantap untuk memeluk Islam dengan segala konsekuensinya. Dan memang benar, Lucky yang kemudian berganti nama menjadi H. Zacky Tamam Muslim itu harus tersingkir dari rumah mewahnya di Kebayoran. Sebelumnya mereka juga pernah menempati rumah besar di daerah Senen, Jakarta Pusat. Mereka sekeluarga pun menempati rumah petak kontrakan di Pondok Kopi, Jakarta Timur. Sempat berpindah kontrakan di beberapa tempat di Jakarta Timur, sampai akhirnya ia menempati rumah kecil di Sawangan. Rumah yang saat ini ditempatinya.

Ia dan keluarganya mengucapkan syahadat di Masjid Istiqlal, dibimbing KH. Hasan Basri (alm). Dua tahun kemudian, 1997, ia mendapatkan kesempatan pergi ke tanah suci bersama rombongan amirul mukminin kala itu, Pak Habibie. Lucky pun bimbang, ia sempat bertanya apakah kesempatan itu bisa diuangkan saja mengingat kondisi keluarganya yang memprihatinkan. Tapi, kesempatan itu tidak bisa diuangkan. Akhirnya, atas kesepakatan keluarga, ia pun berangkat menunaikan rukun Islam kelima itu. Tentu saja dengan gundah hati memikirkan keluarga di tanah air. ”pernah kami bertahan berminggu-minggu hanya dengan sebungkus mie. Tetangga tak ada yang tahu apakah kami makan atau tidak hari itu,” akunya.

Sejak memeluk agama Islam, perekonomian keluarganya berubah 180 derajat. Jangankan kendaraan, rumah pun seadanya. Bahkan saat ini sudah dalam keadaan setengah rusak akibat terjangan angin ribut hari Kamis, 30 November 2005 lalu. Kini, sehari-harinya ia mengandalkan penghasilan dari usaha kecil-kecilan berupa seni kerajinan bambu. Sedikit keahliannya membuat menara-menara kecil (miniatur) dari bambu itulah yang menjadi sandaran hidup keluarganya kini. “tapi sekarang lagi sepi order. Tidak ada pesanan,” keluhnya.

Kedatangannya ke kantor ACT, untuk meminta bantuan bahan bangunan agar rumahnya bisa diperbaiki kembali. Selain itu, ia juga berharap rumahnya lebih layak dihuni. Ingin sekali kami sampaikan kepadanya, bahwa kami hanya lembaga sosial yang tak mampu berbuat banyak. Tapi kami tak ingin membuatnya kecewa yang telah datang jauh menempuh empat jam berjalan kaki dari rumahnya hanya dengan jawaban, “Maaf, kami tak dapat membantu.” Kami yakinkan kepadanya, masih banyak saudara-saudara muslim yang akan membantunya. Insya Allah.

Lucky tersenyum, ia merasa mendapatkan energi baru. Sebaris kata mengakhiri obrolan kami, “bantu juga keluarga kami dengan doa, agar tetap bertahan sebagai mukmin”.

(tulisan ini tak bermaksud apa pun untuk kalangan/agama tertentu. Kami hanya ingin mengetuk kepedulian saudara-saudara kami sesama muslim).
Bantuan bisa disalurkan melalui rekening:
BCA 676 0 30 31 33
Bank Mandiri 128 000 4555 808
BSM 004 011 9999
Muamalat 304 0022 915
Info: 0812 969 0183 (Fatimah Noer)

Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
0217414482
0852 190 68581