Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Saturday, November 05, 2005

Lebaran bagi Penghuni Lapas Anak Tangerang

Sabtu pagi, 3 Syawal 1426 H, alias hari ketiga lebaran, puluhan relawan Kelompok Kerja Sosial (KKS) Melati menyambangi Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara atau biasa dikenal dengan Lapas Anak di Tangerang. Sebelumnya, sudah diberitahukan kepada para relawan untuk berkenan membawa makanan kecil atau kue lebaran untuk para penghuni Lapas. Bagi para relawan Melati, kunjungan ini tak sekadar menjadi kunjungan kesekian kalinya, tetapi juga menjadi kunjungan yang paling mengharukan. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Hadi dan Bayu, dua anak SMP yang ikut serta dalam rombongan relawan KKS Melati, kali pertama mengikuti kegiatan sosial, membayangkan suasana 'penjara' anak-anak itu teramat menyeramkan. Awalnya, mereka mengira akan bertemu wajah-wajah sangar dan sikap brutal para penghuni. Ternyata, setelah lima belas menit di dalam dan berbincang langsung dengan mereka, keduanya bisa tersenyum. "Tak seperti bayangan saya, ternyata mereka ramah dan bersahabat," ujar Hadi.

Ya, bukan hanya karena hari itu masih dalam suasana lebaran hingga mereka begitu ramah. Bahkan pada kunjungan kami sebelumnya pun, mereka memang ramah dan sangat bersahabat. Sikap yang mereka tunjukkan, seolah menghilangkan kesan brutal fisik sebagian mereka yang terlihat 'berbeda' dari anak-anak biasa. Tatto, dan codet di wajah, menjadi hiasan seragam anak-anak penghuni Lapas yang rat-rata berusia di bawah 18 tahun.

Bagaimana lebaran mereka di Lapas? sebahagia kita kah? Silahkan menilainya dari beberapa yang mampu saya rekam.

Gobel Gonzales, begitu teman-temannya memanggil, menganggap, lebaran kali ini tak begitu menyedihkan, walau tak satu pun orang tua dan keluarga lainnya yang mengunjunginya di hari raya ini. "Ini lebaran ketiga saya tanpa mereka, jadi sekarang sudah biasa. Yang sedih justru di lebaran tiga tahun yang lalu, itu lebaran pertama saya tanpa kunjungan mereka".

Gobel pantas bersedih, dia dan lebih 300 temannya harus bermalam takbiran di dalam lingkungan Lapas. Tak ada baju baru kiriman, tak ada kue lebaran, dan yang pasti, tak ada tangan yang sangat ia rindui untuk dikecup. "Saya kangen ibu, saya ingin ibu tahu betapa menyesalnya saya".

"Tapi saya cukup senang berada di tempat ini. Kalau di luar, belum tentu saya berpuasa, belum tentu saya rajin tarawih, belum tentu saja rajin sholat wajib. Jadi, lebaran tahun ini, terasa sekali bahwa ini bulan kemenangan bagi saya, karena saya mampu berpuasa full, tarawih dan baca quran setiap hari pun tak tinggal," tambah Gobel tak bermaksud menyindir orang-orang di luar Lapas.

Agus, saya kira dia yang terlihat paling senang hari itu. "Besok saya sudah bebas." Tapi tetap saja lebaran kali ini terasa menyedihkan baginya. "Waktu malam takbiran saya menangis, saya teringat malam takbiran bersama orang tua dan adik-adik," ujar anak remaja yang masuk ke Lapas lantaran kasus narkoba itu. Sementara remaja berpeci di sebelahnya tak sebahagia Agus. "Bahkan lebaran tahun depan pun saya masih di sini," sedihnya.

Taufik, remaja berkulit putih bersih dan jauh dari tampang seram itu mengaku bersemangat di hari raya ini. "Hari bebas saya masih empat bulan lagi, tapi saya berpikir, tak akan pernah lagi berlebaran di tempat ini tahun depan. Cukup dua lebaran saja". Ia tertangkap basah membawa sejumlah ganja dan obat terlarang lainnya di bilangan Senen, Jakarta Pusat. "Saya tidak mau kejeblos ke lubang yang sama dua kali," sambil menyebut beberapa teman se Lapas yang berulang kali ke luar masuk karena kasus yang sama.

Semakin lama berbincang dengan remaja-remaja itu membuat saya semakin haru. Dan, nyatanya, air mata ini tak mampu terbendung saat menangkap sosok anak paling kecil di antara ratusan yang ada. Rizki namanya, usianya baru 9 tahun, asal Serang, Banten. 9 tahun? saya membayangkan betapa anak seusia itu masih senang bermanja bersama ibunya, masih ingin banyak bermain. "Ibu nggak datang, mungkin ibu malu punya anak seperti saya," akunya sedih. Entah siapa sebenarnya yang harus menanggung malu, Rizki atau orang tuanya lantaran pencabulan terhadap anak tetangga yang dilakukan bocah 9 tahun itu. Bukankah anak seusia itu seharusnya masih dalam pengawasan ketat orang tuanya?

Kue lebaran yang kami bawa, juga berbagi kebahagiaan lebaran yang kami lakukan hari itu, mungkin tak banyak membersitkan senyum di hati mereka. Tapi, kami yakinkan kepada mereka satu hal, bahwa mereka layak mendapatkan sahabat. Dan kami lah sahabat mereka.

Bayu Gawtama

No comments: