Siapa pun kita akan selalu bertanya, "kenapa orang-orang di lereng Merapi tak mau mengungsi, padahal gejala letusan Merapi semakin terlihat," atau "Apa mereka sudah bosan hidup?" Lainnya, "Kenapa ahrus mati bersama mbah Marijan? biarkan saja kuncen itu mati terkena lahar bersama keyakinannya. Tidak perlu mengajak warga lainnya".
Apa yang kami dapatkan saat mengunjungi para warga di lereng-lereng Merapi sepakan terakhir, pertanyaan-pertanyaan itu terjawab sudah. Tak sedikit pun terbersit di pikiran mereka untuk berani menantang lava yang panasnya mencapai 6000 derajat celcius. Tak satu pun dari warga yang sok jagoan mau melawan gerusan awan panas -mereka menyebutnya Wedus Gembel- yang mencapai titik panas 300 derajat celcius. Mereka sudah pernah melihat keluarga, sahabat, rekan dan tetangga mereka yang pernah terkena wedus gembel, sungguh mengerikan. Batok kepala pecah, perut meletus, kulit hangus terbakar dan sudah pasti para korban itu mati meregang nyawa dalam kepanasan yang luar biasa.
Bukan. Bukan itu alasan mereka tetap bertahan di rumah-rumah mereka di lereng Merapi. Adalah harta kekayaan -yang tak layak disebut kekayaan- dan hewan peliharaan yang tak rela ditinggalkan begitu saja. Bertahun-tahun mereka membanting tulang, memeras keringat, menggantang matahari dan menadah hujan dengan kepala dan tubuh mereka demi sesuap nasi dan seperak tabungan yang mereka kumpulkan setiap hari. Hari demi hari, waktu yang terus berjalan, tiap keping itu pun berbuah menjadi seekor kambing. Kambing yang beranak pinak, melahirkan seekor sapi. Lama kelamaan, tak hanya seekor, bahkan empat hingga lima ekor sapi kini menghuni halaman samping rumah mereka. Tak hanya hewan, warga yang dulu tidur di rumah berdinding bilik bambu dan beratap jerami, telah mampu hidup lebih nyaman di rumah yang telah berdinding batako dan beratap genteng terbuat dari tanah. Semua itu hasil dari perjalanan panjang melelahkan, pengorbanan yang tak terukur, serta tetes peluh dan darah yang tak terbilang. Siapakah yang rela meninggalkan itu semua?
"Kami hidup di sini, mati pun akan di sini" kalimat itu bukan kalimat menantang gagahnya Merapi, terlebih sebagai jawaban untuk menjemput kematian. Bukan, sungguh bukan itu. Mereka telah lama bersahabat dengan Merapi, mereka tahu Merapi tak pernah jahat kepada sahabatnya. Justru ketika Merapi pernah mengambil sebagian saudara dan kerabat mereka, itulah bagian dari pengorbanan sebuah persahabatan. Bukankah persahabatan harus dibingkai oleh cinta dan pengorbanan? Bukankah persahabatan semestinya diwarnai dengan saling memberi?
Ya. Merapi telah banyak memberi kepada warga di lereng Merapi. Alam dan sekitarnya telah memberi mereka kehidupan sepanjang hayat. Bertahun-tahun warga di lereng Merapi hidup dari pemberian Allah di alam sekitarnya, termasuk Merapi. Keberadaan Merapi di tengah-tengah mereka adalah sumber kehidupan. Dan selama bertahun-tahun itu pula mereka bisa mendapatkan segala apa yang mereka mampu kumpulkan saat ini. Isteri, anak-anak, kerabat, rumah, dan hewan ternak. Semuanya hasil jerih payah bersahabat dengan Merapi. Akankah mereka rela meninggalkan itu semua?
Bayangkan bila Anda yang menjadi mereka. Atau tak perlu jauh-jauh menjadi seperti mereka. Siapa pun, termasuk kita akan mempertahankan harta kekayaan kita ketika ada yang hendak mengambilnya. Karena kita tahu betapa berharganya harta itu, bukan karena harganya, melainkan jalan panjang berliku serta pengorbanan yang pernah kita lakukan untuk mendapatkan semua harta miliki kita. Sebuah proses panjang yang tak terbayar oleh apapun, sehingga sekian banyak orang rela mati demi mempertahankan hartanya. Padahal, banyak orang berpikir, lepaskan saja dan biarkan rampok mengambil harta kita dari pada harus mati. Toh, harta bisa dicari lagi. Mudah bicara bagi yang tidak mengalaminya langsung, tapi tidak bagi mereka yang berhadapan dengan kondisi itu.
Seperti halnya mereka yang tetap bersikeras menetap di lereng Merapi. Bahkan ratusan pengungsi pun berani kembali ke dusun-dusun mereka yang berada di kawasan rawan bahaya (KRB) Merapi. "Siapa yang mengurus hewan ternak kami pak," ujar Mbah Wigyo, salah seorang pengungsi yang kembali ke Dusun Jambu, Kepuharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Hidup adalah pengorbanan. Siapa pun akan berkorban untuk menjalani dan mempertahankan kehidupan. Tetapi terkadang tidak sedikit orang yang rela mengorbankan kehidupan untuk sesuatu yang sangat berharga yang dimilikinya. Mempertahankan harta benda yang dimilikinya dari hasil memeras keringat selama puluhan tahun, akan dilakukannya meski harus dibayar dengan kematian.
Jadi, sungguh. Mereka tak sedang menentang maut. Yang mereka lakukan adalah mempertahankan hak mereka, yang tak kan terbayarkan oleh apa pun. Mereka rela menebusnya dengan kematian. Semangat ini yang tak banyak dimiliki oleh orang-orang kaya dan berlimpah harta, yang bisa membayar siapa pun untuk menjaga harta mereka asalkan tidak dengan kehidupannya. Warga di lereng Merapi, adalah potret pejuang kehidupan. Apa yang mereka lakukan bukanlah aksi heroik menentang maut, tetapi sebuah jihad mempertahankan hak mereka. Salahkah mereka melakukan itu? Wallaahu 'a'lam
Bayu Gawtama
Public Relation
ACT-Aksi Cepat Tanggap
2 comments:
Yang ada kini tinggal tafsir....tafsir...dan tafsir...., Simbah ditafsirkan oleh banyak sudut pandang, tetapi saya yakin betul apapun tafsir itu, Simbah tetap sosok yang sederhana dan selalu memegang teguh apa yang diucapkan (bukan satu hal yang mudah tentunya).
Mungkin mutiara itu yang kita akan dapati dari sekian banyak tafsir mengenai Simbah....mulai dari yang dianggap Syirik oleh beberapa kalangan hingga yang menganggap Simbah seorang guru.
Sekali lagi SELAMAT JALAN MBAH!
mojopahit.irfan
selamat jalan mbah.......!
semoga Amal perbuatanmu diterina oleh ALLOH. amin !
Post a Comment