Kalau ada satu kata indah diantara kata indah lainnya, kata itu adalah “tulus”. Kata yang derajatnya sama dengan kata “jujur”, sama-sama kata yang lebih banyak berada di buku-buku cerita atau dongeng pengantar tidur, kata yang nyaris punah karena semakin langka orang yang menyematkan ketulusan dalam setiap perbuatannya, dan kata yang mungkin sebentar lagi akan segera masuk museum agar dapat dikenang oleh keturunan kita yang akan datang, bahwa dalam kehidupan orang-orang terdahulu pernah ada sikap dan perilaku tulus yang mewarnai hidup.
Saya termasuk yang sulit menilai apakah semua yang saya katakan dan lakukan sepanjang hidup ini telah berbingkai ketulusan, karena kadang masih saja ada kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak tatkala saya tak mendapatkan apa-apa dari yang saya perbuat. Mengeluh, mengumpat, bahkan bersumpah atas nama Allah atas ketidakadilan yang saya terima. Padahal, siapa suruh saya berharap kepada manusia? Atau, mungkinkah saya tak lagi dapat membingkai semua pekerjaan saya dalam ketulusan, sehingga apa pun yang saya lakukan mesti berbuah keuntungan?
Nyaris diri ini tak lagi percaya ada ketulusan yang masih bisa terukir di muka bumi ini, sampai suatu ketika dalam perjalanan ke Subang, Jawa Barat, saya berkenalan dengan Kang Adi, seorang pedagang asongan di bis kota. Perkenalan dari ketertarikan saya atas ketulusan yang dilakukan Kang Adi terhadap tiga preman yang sedang mabuk di dalam bis.
Saya yang duduk di bagian tengah bis kota tersentak oleh makian seorang pria yang ditemani dua rekannya dengan wajah yang tidak kalam sangarnya. Yang dimaki, seorang pemuda pedagang asongan yang menjual aneka makanan seperti tahu sumedang, telur puyuh, jambu, mangga, dan kacang. Rupanya mereka memaksa membeli enam bungkus makanan hanya dengan selembar uang seribu rupiah.
Dimaki dan ujung kausnya ditarik tak membuat pedagang itu panik, “Maaf kang, kalau mau saya bisa kasih seberapa banyak Akang mau. Jadi nggak usah kasar begini,” ujarnya sambil menyodorkan beberapa makanan yang diminta tiga preman itu. “Ini uang Akang yang seribu, mungkin nanti Akang butuh buat beli rokok.”
Selepas itu, Kang Adi yang naik dari pintu belakang terus ke depan dan melewati saya. Tidak ada bekas ketakutan di wajahnya, justru seulas senyum dan air muka ceria yang ada. Sejak keributan di belakang hingga ia melewati saya dengan ketenangannya, membuat langkah ini pun berayun mendekatinya yang duduk di bangku belakang sopir. “Ada apa tadi Kang ribut-ribut di belakang?” saya membuka pembicaraan. Setelah itu pula saya tahu namanya Adi, usianya terpaut dua tahun di atas saya. Ia pun menganggap kejadian tadi bukan apa-apa, “sudah biasa,” terangnya.
Saya mengira apa yang dilakukannya dengan memberi enam bungkus makanan kepada tiga preman itu karena rasa takutnya, dan saya juga beranggapan Kang Adi hanya mencari selamat walau pun harus rugi. “Eh, bukan begitu. Mereka itu kan memang tidak punya uang, mereka cuma nggak tahu cara meminta. Ya jadinya kasar begitu.” Menurutnya, seandainya mereka minta baik-baik pun ia akan memberikannya dengan tulus.
“Akang nggak takut rugi?” tanya saya yang makin penasaran. “Waaah, buat orang kecil seperti saya, rugi atau dirugikan mah sudah biasa. Justru lebih rugi kalau saya sampai nggak ikhlas dengan kerugian itu, bisa-bisa nggak bisa tidur. Dagang kecil-kecilan seperti ini, kalau pun rugi ya ikhlasin aja, biar tidur tenang dan besok tetap semangat berdagang.”
“Tapi kan Akang tidak dapat keuntungan apa-apa dengan dengan memberi sekian banyak kepada tiga preman tadi?” Pertanyaan saya malah disambut cekikian kecilnya, “Abang orang Jakarta ya? Ketahuan sama saya kalau Abang orang kota, segala sesuatu diukurnya sama materi…” malu hati ini disebut seperti itu.
Hari ini, kata Kang Adi, tiga preman itu meminta paksa darinya. Tapi karena ia memberinya dengan baik dan ikhlas, Kang Adi yakin suatu hari bertemu kembali mereka akan memintanya baik-baik, bahkan sungkan meminta kepadanya karena ia terlalu baik. “Kalau semua orang bisa berbuat baik, yang berbuat jahat itu pasti malu. Kalau semua orang bisa bersikap lembut, yang lain pasti malu bersikap kasar, ya kan?” sebuah tanya yang jawabannya pasti “Ya”.
Aih, Kang Adi… bolehkah saya menjadi muridmu?
Bayu Gawtama
Sebuah kisah perjalanan ke Subang tujuh tahun lalu
6 comments:
Subhanallah, luar biasa banget niy Kang Adi. Jadi malu ati tatkala manusia khususnya saya yg kadang masih mengukur sesuatu berdasarkan materi.
Alhamdulillah dapet pelajaran berharga hari ini. :)
Inilah salah satu yang saya bilang waktu lalu, kenapa setelah mampir ke sini sedih saya jadi berkurang bang gaw... "Makasih" itu karena bang gaw udah jadi perantara antara saya dan "guru-guru" di luar sana yang Subhanallah dengan kesederhanaannya justru tampak keikhlasannya dan dalem "ilmunya"... :)
Jadi malu sama orang seperti kang Adi...jadi malu sama Allah...
Thx pak pencerahannya
Subhanallah...kisahnya. Terima kasih Mas Gaw..udah transfer pelajaran hari ini...
Bagaimana dengan kesehataanya kang adi ? saya sedang meneliti pengaruh kesehatan orang terhadap orang-orang yang tulus
Bagaimana dengan kesehatan kang adi kang? adanya nggak pengaruh dari ketulusannya itu terhadap kesehatannya?
Post a Comment