Satiri namanya, usianya kira-kira satu setengah kali usia saya, berarti sudah empat puluh limaan. Saya mengenalnya sejak hari-hari pertama tinggal di wilayah tempat saya menetap saat ini, sejak pertama kali saya melihatnya saat bersama shalat jamaah di masjid Al Barokah. Saya memang tak setiap waktu shalat bisa berjamaah di masjid tersebut, karena bisa jadi di waktu-waktu tertentu saya masih di kantor atau shalat di masjid yang saya temui di jalan. Dan harus saya akui, saya tak serajin dirinya yang senantiasa berusaha berjamaah di masjid setiap waktu.
Beberapa bulan belakangan masjid di wilayah tempat tinggal kami itu tengah direnovasi, dan selaku warga yang baik para warga pun bahu membahu mengulurkan tangannya menyumbangkan tenaganya dalam penyelesaian renovasi masjid tersebut. Meski tidak semua warga berpartisipasi, yang pasti selalu ada sosok Pak Satiri.
Lelaki yang tubuh dan wajahnya nampak lebih tua dari usianya itu nyaris tak pernah absen di setiap minggu pagi bahkan sebelum corong masjid berkali-kali memanggil-manggil jamaah yang masih asik di rumah. Saya sendiri, kadang menunggu panggilan untuk kerja baik itu terdengar baru bergegas ke masjid meninggalkan semua aktivitas di rumah.
Sampai di masjid, pastilah sudah ada beberapa orang yang tengah bersiap, sebagiannya justru sudah beraksi dengan peralatan yang tersedia. “Wah saya pasti tak pernah lebih dulu dari Pak Satiri,” sapa saya terhadap lelaki berperawakan kurus itu.
“Ini panggilan masjid pak, jadi saya mesti lebih cepat,” sindiran yang tepat buat orang seperti saya. Seharusnya saya yang lebih muda bisa lebih cepat tiba di masjid tinimbang dirinya. Tapi bukankah soal amal baik dan balasan yang bakal diberi Allah kelak juga tak pandang muda dan tua?
Sambil terus bekerja, obrolan dan canda pun tak pernah sepi mengiringi. Saya masih tetap terlibat obrolan ringan dengan Pak Satiri. “Saya ini pak, malu kalau absen kerja bakti untuk masjid. Pertama, saya sholat di masjid ini, bersosialisasi juga dengan warga masjid ini. Kalau pagi ini tidak kerja bakti, sore nanti atau maghrib saat berjamaah mau jawab apa saya kalau warga yang lain bertanya, padahal saya ada di rumah seharian.”
Baginya, tempat bersosialisasi paling tepat adalah shalat berjamaah di masjid. “Yang di masjid, insya Allah orang baik-baik, bukankah mereka yang selalu kita cari sebagai teman hidup di dunia?” sebuah nasihat yang tak mungkin saya bantah.
Alasan kedua ia tak ingin menghilang dari aktivitas kerja bakti di masjid dikemukakannya tepat ketika saya tengah merasa kurangnya pergaulan dengan masjid, mungkin karena hanya di beberapa waktu shalat saja saya ada di masjid setiap harinya. “Usia saya boleh dibilang sudah tua pak, lha nanti kalau saya mati kan juga dishalatkan di masjid ini.” Menurutnya, keluarga yang ditinggalkannya pasti akan malu kepada warga masjid jika ia tak pernah aktif di masjid tapi ketika meninggal dishalatkan di masjid tersebut. Duh, saya kok nyaris tak pernah terpikir kesana ya?
Saat sejenak istirahat, sambil mengunyah beberapa penganan yang dihantarkan ibu-ibu yang tak ingin ketinggalan beramal untuk masjid, Pak Satiri bertanya kepada saya, “Eh, saya dengar kalau turut membantu dalam membangun masjid, di surga nanti kita akan dibuatkan bangunan ya oleh Allah?” Saya hanya tersenyum seraya mengangguk malu untuk menjawabnya, teringat dua kali sudah saya absen dalam aktivitas kerja bakti pembangunan masjid ini.
Lelaki empat puluh lima tahunan itu, Satiri namanya. Ia memang tak sedang berpuisi di depan saya, tetapi tiga alasan yang dikemukakannya terdengar seperti satire buat saya. Ya, satire seorang lelaki bernama Satiri.
Bayu Gawtama
No comments:
Post a Comment