Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, July 21, 2005

Jatuh Lagi Bangun Lagi

Saya masih ingat dengan sangat jelas pertama kali ibu membelikan sepeda, sebuah sepeda mini berwarna merah yang dibeli saat ulang tahun saya yang ke delapan. Saya nekat minta dibelikan sepeda meski saya belum pernah sekali pun belajar naik sepeda, sebab sewaktu kecil pun sepeda saya selalu beroda empat. Dan semenjak pindah rumah, sepeda itu tak ikut serta pindah alias dijual.

Alhasil, ketika sepeda baru itu hadir di rumah hanya menjadi tontonan saya, abang dan adik-adik. Karena tak satu pun dari kami yang bisa menaikinya, padahal setiap kali melihat teman-teman bersepeda, rasanya mudah sekali mengendarainya. Tapi sekali dicoba, saya jatuh, begitu juga dengan abang dan adik saya yang lain. Itu pun sudah dibantu ibu yang memegangi di belakang, bahkan pernah satu kali ibu ikut terjatuh bersama saya dan sepeda baru itu.

Enam hari sudah sepeda baru itu lebih banyak menghiasi teras depan rumah ketimbang berputar-putar mengitari komplek perumahan. Untuk menghibur diri, sepeda yang berdiri di atas standard-nya itu saya naiki, berdua dengan adik saya yang duduk di boncengan (kursi belakang). Sementara kaki saya tetap aktif menggoes pedal sepeda, praktis sepeda hanya jalan di tempat. Semakin cepat roda berputar semakin senanglah kami, meski hanya jalan di tempat. Dan ketika mencapai putaran tertentu, tiba-tiba standard-nya tidak kuat menahan beban dan... sepeda pun melaju tanpa kendali. Kami pun jatuh, plus luka memar di kaki, tangan dan kepala.

Dari peristiwa itu, saya dan adik mengambil kesimpulan, jalan mengitari komplek perumahan dalam rangka belajar sepeda, atau pun berjalan di tempat dengan standard masih terpasang, kami tetap jatuh. Sakit yang diderita pun tidak berbeda, memar juga, berdarah juga. Jadi, kenapa kami tetap membiarkan sepeda baru itu hanya menjadi hiasan di teras rumah? pun kami naiki tak pernah melaju ke depan, tak pernah menghantarkan kami kemana-mana...

Akhirnya, kami keluarkan sepeda itu dan saya membiarkan adik lelaki saya mencobanya lebih dulu. Sekali ia mencobanya, jatuh, dua kali mencoba, dua kali jatuh, sepuluh kali jatuh, ia tetap bangun dan terus mencoba, sampai akhirnya dua meter sepeda itu pun melaju, senanglah ia meski kemudian jatuh lagi. Jika mau dihitung, sudah berapa banyak luka dan bekas luka yang kini menghiasi kaki dan tangannya. Dan pemandangan itu membuat saya gentar dan enggan mencoba. Bahkan ketika adik saya sudah bisa mengendarai sepeda itu pun saya belum berani mencobanya. Padahal sejak awal sepeda itu dibeli, saya lah yang paling menggebu untuk mengendarainya.

Sampai suatu hari, "Kalau nggak berani jatuh, nggak akan tahu enaknya naik sepeda. Dan sudah pasti nggak lebih banyak jalan yang bisa dilalui," adik saya menggurui. Saya pun tertegun, bisa-bisanya dia ngomong begitu mentang-mentang sudah bisa naik sepeda. Tapi diam-diam saya mengakui kata-katanya, dengan bersepeda dia sudah bisa pergi jauh lebih dari yang bisa saya tempuh dengan hanya berjalan kaki. Bahkan ia sudah sering bermain ke luar komplek, sementara saya hanya mendekam di tempat. Semua karena ketidakberanian saya mengambil resiko untuk jatuh bangun dan menerima semua luka yang diakibatkan dari belajar bersepeda.

Tak mau kalah, akhirnya saya beranikan diri mengambil resiko yang sama yang dilakukan adik saya dua bulan lalu. Jatuh sekali, coba lagi, tiga kali jatuh, bangun lagi dan terus mencoba. Sampai akhirnya, sepeda pun melaju lumayan cepat, padahal saya belum lagi mampu menggunakan rem dengan baik. Akhirnya, selokan pun jadi tempat pendaratan terakhir. Tak cuma sudut mata ini yang berair, bahkan beberapa bagian kaki pun sudah basah dengan cairan merah. Sakit, pasti.

***

Selayaknya belajar naik sepeda, jatuh bangun dan terluka adalah hal biasa. Justru ketika kita enggan mencobanya, takkan pernah kita tahu luka dan akibat yang diderita, dan sungguh, derita sesungguhnya adalah ketika kita tahu tak banyak tempat yang bisa kita jelajahi, tak lebih jauh jalan yang bisa kita tempuhi, karena itu takkan banyak pelajaran yang didapat.

Hidup ibarat bersepeda, senantiasanya kita menjaga keseimbangan. Jika tidak, maka kejatuhan pun kan kita derita. Namun saat kejatuhan itu lah kita benar-benar merasai perjuangan hidup sebenarnya, bukan pada saat kita mampu melaju dalam keseimbangan tanpa aral yang menghalangi. Pun jika sudah sedemikian melajunya menjalani hidup, ingatlah untuk sanggup berhenti jika arah yang dituju salah, atau menuju ke arah yang salah. Segera berhenti, untuk memutar arah sebenarnya, atau siap-siap terpuruk ke jalan yang kita akan sulit untuk kembalinya.

Bayu Gawtama

No comments: