Banyak hal yang ingin saya lakukan di masa SMP, banyak pula kegiatan yang ingin saya ikuti, meski tak jarang tidak sedikit yang akhirnya terbentur keterbatasan. Satu yang masih saya ingat terus hingga kini adalah saat saya terpilih masuk tim sekolah untuk mengikuti lomba gerak jalan Palang Merah Remaja (PMR) tingkat DKI Jakarta. Tentu saja saya senang bukan main, karena banyak anggota PMR yang berhasrat masuk tim terpaksa harus gigit jari karena tak terpilih. Sementara saya bersama dua puluh anggota tim lainnya tinggal bersiap dan berlatih lebih keras untuk memenangi perlombaan tersebut.
Sungguh rasa senang saya terhenti setibanya di rumah saat menyadari saya tak memiliki celana putih bagus untuk seragam tim. Setiap anggota diwajibkan menggunakan celana pendek putih dengan atasan kaos tim yang sudah disiapkan sekolah masing-masing. Sementara celana putih satu-satunya milik saya sudah sangat jelek yang saya pakai sepekan sekali setiap hari senin. Dan karena lombanya hari minggu, untuk upacara hari Senin mungkin saya tidak punya celana putih lainnya. Tidak hanya itu, saya pun tak memiliki sepatu Warriors -sepatu yang cukup ngetrend di tahun 1986an-.
Akhirnya saya menelepon komandan tim, Nugraha, untuk menyampaikan pengunduran diri agar ia bisa segera mencari pengganti saya. Mumpung masih sore, pasti dia bisa mencari jalan keluarnya untuk perlombaan besok pagi. Tapi, “Kamu tidak tergantikan, kumpul malam ini di rumah Teguh, kita cari jalan keluarnya”.
Sesuai waktu yang disepakati, lima anggota tim, Saya, Nugraha, Teguh, Wasis dan Dicky berkumpul di rumah Teguh. Rupanya masing-masing mereka membawa satu celana putih untuk dicoba-paskan oleh saya. Sayang, tubuh mereka rata-rata lebih besar dan sudah pasti celana mereka pun terlalu besar ukuran celananya untuk saya. Begitu juga dengan sepatu, tak satu pun dari mereka yang memiliki lebih satu sepatu untuk bisa saya pakai. Kalau pun ada, sepatu milik Kak Fajar, kakak perempuan Teguh. Tapi itu pun terlalu besar ukurannya.
Saya menyerah, sementara waktu terus berlalu. “Cari anggota yang lain yang punya sepatu itu dan punya celana putih bagus”. Tapi empat kepala di depan saya menggeleng, hingga Wasis bersuara, “Masih ada waktu, kita keliling ke rumah teman-teman, siapa tahu ada yang bisa meminjamkannya”. Serempak empat suara lain berkata, “Setuju”.
Lima pasang kaki kecil itu pun melangkah menyisir jalan membelah malam mengetuk satu persatu rumah teman sekolah. Hingga pintu ke empat, belum satu pun kami dapatkan dua barang yang dicari, kalau pun ada lagi-lagi soal ukuran. Tapi tak satu pun dari kami yang menyerah dan terus berpacu dengan malam, langkah kami seperti sedang berlomba dengan barisan bintang yang dikomandani bulan. Ya kami sudah berlomba terlebih dulu sebelum perlombaan dimulai.
Sampailah kami di rumah Niken, gadis cantik teman sekelas kami. Beruntung dia memiliki adik lelaki yang seukuran saya, lebih beruntungnya, sepatu Warriors dan celana putihnya pun sangat pas di kaki dan tubuh saya. Lengkaplah sudah, kami berlima pun berpelukan.
Dalam perjalanan pulang ke rumah Teguh, kami satu kan langkah layaknya sedang berbaris. Suara lantang Nugraha memecah malam menghitung langkah, tapi bukan satu, dua, tiga, melainkan, “Satu, karena kita satu, satu kita selalu satu, satu langkah kita satu”.
***
Tim PMR SMP 207 yang diwakili kami memang tak meraih trophy apa pun dalam perlombaan keesokan harinya. Tapi semalam kami telah memenangi perlombaan yang lebih penting dari gerak jalan itu, sebuah langkah yang tetap diatur dan dirapatkan agar tetap bersatu, tidak terpisahkan dan tak kenal menyerah. Adakah yang seindah persahabatan seperti itu?
Bayu Gawtama
Spesial buat Nugraha, Teguh, Wasis dan Dicky
1 comment:
Hi, I just stopped by ... aku baca post kamu tentang SMP 207 itu yang di meruya atau .... I'm looking the lost freind. aku alumni 207 (meruya). Cheers.
Post a Comment