Sore kemarin hujan teramat deras hingga lepas maghrib. Janji untuk mengajak anak-anak keluar membeli makanan kecil pun tertunda hingga malam menjelang. Hujan masih rintik-rintik ketika saya dan kedua anak saya keluar rumah, sementara anak-anak saya ceria menghitung bintang, saya terlibat obrolan mengasikkan dengan bapak pengayuh becak yang kan mengantar kami ke tempat membeli makanan.
"Anaknya berapa pak?" tanya bapak separuh baya itu. "Sementara dua dulu pak, ini pun saya kerepotan," jawab saya sambil menoleh, nampaklah wajah tegar yang menyimpan banyak pengalaman. "Wah, dua sih belum repot pak, anak saya sepuluh..."
Tertegun hati ini, kembali saya menoleh untuk menatap lebih lama wajah yang baru saja menerangkan bahwa anaknya sepuluh. Di benak saya hanya terlukis angka "10" terus menerus memutari seluas jagad benak ini, hati pun bertanya, "sepuluh?" saya bukan tidak percaya dengan kata-katanya yang nampak jujur, justru saya tidak yakin akan kesanggupan saya jika saya diberi amanah sebanyak itu, yang jika ditambah satu isteri berarti ada sebelas amanah.
Mengayuh becak seharian penuh sejak pagi masih menggeliat hingga malam ketika orang seperti saya beranjak ke alam mimpi, sungguh tak pernah masuk di akal saya untuk bisa menanggung amanah seberat itu. Malu juga saya ketika menyatakan, "baru dua pak, ini juga sudah kerepotan". Padahal, setelah saya mengucapkan kalimat itu, langsung disambar pernyataan dari bapak pengayuh becak yang seolah-olah menganggap saya ini cengeng, lemah dan bukan lelaki, ya, karena anaknya sepuluh tapi tak ada satu kalimat pun darinya tentang repotnya mengurus anak.
Dalam perjalanan kembali ke rumah, saya tergumam, seorang guru lagi saya temukan malam ini. Anak-anak tetap pada keceriaannya menghitung bintang, sementara saya terus dibuat tertegun oleh ucapan dan petuah lelaki pengayuh becak itu. "Anak-anak itu amanah dari Gusti Allah pak, Dia tidak akan mengamanahkannya kepada kita kalau Dia tidak tahu kemampuan kita. Dia tahu persis bahwa lelaki seperti kita mampu dititipkan amanah" kakinya memang mengayuh becak, tapi lidahnya tak henti bertutur indah.
"Malu rasanya kalau kita mengeluh dititipkan amanah ini, wong Gusti Allah pun tahu kemampuan kita toh..." Ya, malu juga saya terhadap bapak. Anehnya beraninya saya bertanya soal rezeki, "Setiap amanah itu memang ada imbalannya pak, lha seperti bapak menumpang becak saya ini, bagi saya bapak dan anak-anak ini adalah amanah saya selama masih di atas becak saya. Tanggungjawab saya adalah mengantarkan bapak ke tempat tujuan, soal saya harus kehujanan dan besoknya sakit, itu bagian dari resiko saya menanggung amanah. Imbalannya, ya setelah bapak turun pasti ngasih uang toh ke saya?..."
Lama saya merenungi kalimatnya, serasa tidak yakin kalimat itu keluar dari bapak tua pengayuh becak. Saya seperti baru saja ditampar-tampar yang menyadarkan diri bahwa Allah tak pernah berdiam diri untuk setiap amanah dan tanggungjawab kemanusiaan yang kita jalani sebaik-baiknya sesuai dengan anjuran-Nya.
Sampailah saya di rumah, entah seberapa banyak anak-anak saya menghitung jumlah bintang yang sebenarnya hanya terlihat sedikit itu karena baru saja turun hujan. Sama seperti saya yang tak tahu harus membayar berapa kepada bapak pengayuh becak itu untuk pelajarannya malam ini.
Bayu Gawtama
No comments:
Post a Comment