Dua pekan sudah saya di rumah setelah resign dari kantor tempat saya bekerja. Ada yang hilang dari keputusan yang harus saya ambil dua pekan lalu itu, pertama kehilangan status sebagai orang kantoran, kedua kehilangan saudara-saudara yang sudah sekian tahun bersama dalam keseriusan maupun kelakar, ketiga mungkin juga saya kehilangan banyak kesempatan yang biasa saya dapatkan selama menyandang predikat bukan lelaki pengangguran, dan terakhir yang sudah pasti yakni kehilangan sumber penghasilan tetap.
Dua pekan menyandang status "orang bebas" saya memang kehilangan banyak hal, setidaknya empat hal tersebut diatas. Tapi setelah dua pekan di rumah, saya justru banyak mendapatkan hal baru yang selama ini nyaris saya lupakan, yakni kehangatan dan kedekatan dengan keluarga. "Asiik ... hari ini Abi nggak kerja lagi," begitu riangnya si sulung melihat saya masih di rumah pagi hari saat ia baru saja membuka matanya. Ia, juga adiknya, seperti mendapatkan malaikatnya kembali yang selama ini hanya ia dengar suaranya melalui telepon di hari siang. Yang jarang mereka jumpai di malam hari jika tak memaksakan diri menahan kantuknya hingga pukul sembilan malam. Pun jika terpaksa mata harus terpejam, mereka berharap bertemu lelaki super sibuk ini dalam mimpinya, karena saat terjaga esok pagi, sang malaikat pun telah duduk sibuk di belakang meja kantor. Sebuah ciuman hangat yang senantiasa mampir saat malam dan pagi pun tak pernah mereka sadari.
Pernah suatu hari, saat tak lagi mampu menahan berat matanya si sulung berpesan kepada ibunya, "Kalau Abi pulang, bangunin ya" tentu saja pesan yang diteruskan isteri saya itu membuat mata ini berkaca, meski ibunya pun tak pernah membangunkannya dan membiarkan ia menikmati mimpinya.
Dua pekan sudah saya meninggalkan semua aktivitas harian di kantor, tak terasa begitu banyak waktu yang terlewati bersama makhluk-makhluk manis yang Allah titipkan untuk dijaga sebaik-baiknya. Tapi apa yang saya lakukan? dua pekan ini saya benar-benar merasa bahwa ada hak mereka yang tak terpenuhi, hak untuk menikmati kehadiran sosok lelaki berani tempat mereka berlindung, lelaki tangguh tempat mereka mengadu saat diolok temannya, lelaki tegar tempat mereka menyandarkan kepalanya ketika sedih, lelaki sejati yang kan mengusap perih lukanya dan membasuh air mata mereka dengan jari tangannya.
Sebagai lelaki, tugas saya memang mencari nafkah. Sebagai Ayah, sudah lazim jika saya mengukur jalanan seharian demi menjamin keluarga tetap memperoleh asupan energi. Tapi bukan berarti saya bebas mengabaikan kebutuhan mereka akan kehadiran sosok lelaki yang semestinya memberikan kekuatan penuh, melengkapi separuh kekuatan yang mereka peroleh dari ibunya. Semestinya pula saya menjamin energi cinta dari seorang Ayah terhadap anak-anak tetap terpenuhi. Bukankah energi cinta tak pernah tersebandingkan dengan berapa pun uang yang saya berikan?
Suatu hari ketika masih di kantor, saya mendapat telepon dari rumah yang mengkabarkan bahwa si bungsu menangis kesakitan ketika terjatuh saat belajar naik sepeda. Tahukah apa yang membuat hati ini begitu miris? karena yang disebutnya saat menangis adalah nama saya, yang dipanggilnya ketika meringis juga nama saya, dengan demikian ia begitu berharap saya lah yang mengangkatnya saat ia jatuh, yang membasuh lukanya kemudian memeluknya dengan penuh cinta.
Saya tak ingin kembali merasakan kemirisan yang sama saat ini dan senantiasa memaksimalkan kehadiran saya untuk mereka. Bukan soal lima menit atau lima puluh tahun saya bersama mereka, tapi terpenting dari soal waktu adalah seberapa dalam makna hadir saya untuk mereka. Tidakkah Anda juga demikian?
Bayu Gawtama
2 comments:
Jadi ingat bapak :((.....
hiks..hikss..sedih :(( rindu ayah ku yg sdh 21 tahun meninggalkan aku dan keluarga ku hikss
Post a Comment