Sungguh, semalam adalah penyesalan yang teramat pedih. Saya membiarkan seorang wanita bersebelah kaki bertopang dua tongkat berjalan lumayan jauh dari tempat ia turun dari angkot. Begini, saya menyetop angkot dan sebelum naik terlebih dulu bertanya ke sopir apakah mobil ini akan belok di ujung gang atau lurus, "belok," jawab sang sopir. Maka naiklah saya dan duduk di sebelah sopir tanpa memperhatikan beberapa penumpang di belakang.
Dua menit berselang, "Ya, ini mobil nggak lurus ya bang?" tanya seorang wanita di belakang. "Ya saya harus jalan donk..." suaranya terdengar lesu. Terperangahlah saya, terbelalak mata ini, dan runtuh seketika dada saya segera melihat wanita yang turun. Sulit ia menghulurkan tangannya untuk memberikan ongkos angkot karena satu tangannya erat memegang tongkat. "Bang, kalau begitu lurus saja, kasihan kalau ibu ini harus jalan," pinta saya segera. Tapi, "Wah, saya inginnya belok bang," beberapa suara di belakang.
"Sudahlah, nggak apa-apa saya masih bisa jalan kok," wanita dengan sebelah kaki itu pun mengalah. Saya menatapnya pedih, bahkan ketika mobil angkot berjalan pun saya tak bisa memalingkan pandangan saya darinya. Pelan setengah berbisik saya berkata padanya, "Maaf..." Meski saya tahu, hanya angin yang mendengar maaf saya.
Benar-benar malam yang mencekam, bukan karena hujan dan guntur yang tak hentinya. Tapi gemuruh di dada inilah penyebabnya, betapa saya tak mampu berbuat apa pun untuk mengubah keputusan sopir angkot untuk memutar arahnya melewati tujuan ibu muda yang saat berjalan pun terlihat lamban bersangga dua tongkat di pangkal lengannya. Padahal, jika angkot itu tidak berbelok dan mengambil jalan lurus pun saya hanya rugi waktu tak lebih dari sepuluh menit, toh akhirnya tujuan akhirnya tetap sama. Memang jika mengambil arah lurus, mobil harus memutar lebih jauh. Tapi, hanya sepuluh menit?
Tentu saja sulit mata ini terpejam karena bayang wanita bersebelah kaki itu terus menerus melintas, terbayang betapa menderitanya ia hanya karena ulah saya dan beberapa penumpang di belakang yang berkeras mempertahankan waktu yang tidak lebih dari sepuluh menit. Bukankah saya dan empat penumpang lainnya masih sehat dan memiliki kaki yang lengkap? Bagaimana jika saya menjadi dirinya yang hanya bersebelah kaki? Marahkah saya kepada semua penumpang itu?
"Ya Allah, jangan biarkan ia marah dan mengadukannya kepada-Mu. Sungguh saya tak bermaksud membuatnya tidak ridha atas perlakuan saya, menyesal hamba atas kelemahan ini, tapi jangan jadikan derita wanita bersebelah kaki itu sebagai alasan Engkau menghukum hamba." Menangis saya dalam sujud panjang tengah malam tadi.
Hingga pagi ini, rasa bersalah itu masih saja terasa. Sesal sejak semalam tak mau pergi begitu saja, mungkinkah ini pengganti derita sebelah kaki wanita yang semalam harus menahan berat tubuhnya berjalan puluhan meter? Saya yang sehat seringkali tidak bersyukur dengan apa yang saya miliki. Sementara orang yang lemah lebih sering bersyukurnya. Ah, makin pedihlah hati ini.
Bayu Gawtama
3 comments:
pak, saya ikut merasakan rasa penyesalan bapak. Maaf, Tapi apakah bapak tidak berpikir bahwa wanita tersebut adalah wanita yang kuat dan tidak ingin dikasihani. namun bila supir angkot mengikuti keinginan bapak, apakah hal tersebut tidak membuat wanita itu merasa dikasihani.
Setiap kisah punya 2 sides of story, just like a coin. Speaking about old people, cuma mau share pengalaman yang saya jumpai di sini. Rata-rata mereka punya pride yang tinggi of themselves. Coba di train kalo ditawarin kursi, gak selalu mereka mau. Kalo kita maksa pun mereka akhirnya bilang, well, di mana kamu turun? Nanti saya duduk setelah kamu aja. Salut sama independency mereka. Namun bersikap santun dan ramah gak ada ruginya, karena nyatanya mereka tetep menghargai sikap itu. It also makes us feel so much better... :p
Smoga 4JJI SWT memberi kekuatan kpd wanita itu untuk smp ke t4 tujuan dan smg 4JJI mengijabah doa Pa Gaw yaa.. semoga azzam Pa Gaw mendapat pahala kebaikan :)
Post a Comment