Kemarin sore bus patas reguler jurusan Blok M-Tangerang yang saya tumpangi mendadak mogok. Sudah dicoba berkali-kali, namun sopir tetap gagal menghidupkan mesin bus yang sudah sarat penumpang itu. Sebagian besar penumpang berkesah, peluh pun menjadi hiasan seragam semua penumpang. Sepuluh menit sudah kendaraan itu mogok, hingga akhirnya kondektur berteriak minta tolong kepada penumpang laki-laki untuk membantu mendorong bus besar itu.
Dan, tidak lebih dari lima orang yang turun. Saya salah satunya. Kami pun mendorong sekuat tenaga, namun bus hanya bergerak sedikit. Sopir pun mulai keluar suaranya untuk minta tolong penumpang laki-laki yang lain agar membantu mendorong, kemudian beberapa orang lagi turun. Lagi, dengan sekuat tenaga perlahan bus pun bergerak namun mesinnya masih belum hidup. Harus didorong sekali lagi, padahal sudah tiga kali kami mendorongnya. Tenaga pun sudah lah terkuras, saya melihat ke dalam bus masih banyak laki-laki sehat dan bugar berdiri dan duduk tenang.
Ya sudahlah, komando dari kondektur menggerakkan tangan-tangan kami untuk kembali mendorong, dan berhasil. Tidak sia-sia nafas tersengal dan peluh membasahi pakaian, yang penting bus bisa jalan. Ada kepuasan tersendiri saat bus itu melaju kembali sambil berdoa agar tidak lagi mogok, sungguh, tenaga ini sudah habis. Saya yakin orang-orang yang tadi bersama saya mendorong pun merasakan kepuasan yang sama, melebihi kepuasan orang-orang yang hanya duduk dan berdiri tenang di dalam bis selama mogok tadi.
Rasanya, saya ingin sekali merasa egois saat bus itu mogok dengan tetap di dalam dan tak perlu turun untuk membantu mendorong, tapi kalau saja saya menyaksikan orang-orang berpeluh mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong dan saya diam saja, pasti jiwa saya sedang kacau. Bus yang mogok itu memang bukan urusan saya, tapi akan menjadi urusan saya jika saya berada di dalamnya. Jika tidak ada orang-orang yang turun untuk membantu mendorong, apakah bus akan sampai di tujuan?
Saya juga ingin sekali menumpahkan kekesalan saya, tapi apakah dengan marah-marah saja tanpa turun tangan membantu mendorong bisa menghidupkan mesin bus? Seharusnya saya tetap diam karena sudah membayar ongkos bus dan soal mesin yang mati itu bukan tugas saya. Saya bisa saja turun dan menunggu bus berikutnya yang akan membawa saya ke Tangerang. Tapi seandainya saya melakukan itu, pastilah ada bagian otak saya yang sedang terganggu.
***
Seorang mukmin yang baik adalah mereka yang berani berkata, "Ini pundakku, mana bebanmu". Dan bukan mereka yang menjadi beban bagi orang lain. Andai pun ia tak mampu membantu orang lain meringankan bebannya, bantu lah diri sendiri untuk tidak membebani orang lain. Seperti halnya bus yang mogok kemarin, jika tidak mau atau tak mampu membantu mendorong, turunlah dari bus agar Anda tidak menambah berat beban bagi yang mendorong.
Sebuah pelajaran di sore hari
Bayu Gawtama
1 comment:
Hebat........terharu.......
Post a Comment