Pernah suatu hari saya berangkat ke kantor hanya dengan sepuluh ribu rupiah di kantong. Jika dihitung untuk ongkos pulang pergi dari dan ke kantor, jumlah itu hanya lebih seribu rupiah saja. Jelas dan sudah pasti tak ada makan siang hari ini. Dalam perjalanan menuju kantor, ada seorang ibu yang mengamen sambil menggendong bayinya. Entah kenapa saya pun tergerak untuk memberinya barang sedikit meski uang milik saya amat terbatas. "Pasti ada gantinya," hati pun bergumam yakin.
Selang satu setengah jam di kantor, seorang rekan menyodorkan map sumbangan anak yatim. Lirih saya menatap map kumal itu, sementara saya tahu seorang ibu menunggu harap di depan gerbang. Saya keluarkan sedikit dari sedikit yang saya punya. Lagi-lagi saya berkeyakinan, "pasti ada gantinya". Saya hanya tak ingin orang lain tahu saya benar-benar dalam keterbatasan, disisi lain lega rasanya masih ada yang bisa diberikan untuk orang yang lebih membutuhkan.
Tinggallah saya berpikir bagaimana pulang nanti dengan sisa uang yang tak mencukupi. Bahkan hati ini pun bertambah lirihnya mengingat uang yang saya tinggalkan untuk isteri di rumah tak jauh berbeda jumlahnya dengan yang saya bawa ke kantor. Entah apa yang ada dalam benaknya, saya hanya menduga bahwa ia teramat penuh harap suaminya membawa pulang rezeki yang cukup walau sekadar untuk masak besok pagi. Dugaan itu lah yang sempat membuat tangan saya terasa berat untuk mengulurkan pemberian ke ibu pengamen di bis tadi, juga ketika map anak yatim disodorkan di meja saya.
Tidak ada yang benar-benar bisa merasakan manisnya buah kesabaran sampai seseorang benar-benar yakin dan teguh diatas gapura kesabaran yang dibangunnya. Saya terus menerus mengukir kalimat itu dalam hati sepanjang hari di kantor meski bayang-bayang sesal memberi terus menghantui, "Siapa suruh memberi? Sekarang bingung kan nggak punya ongkos untuk pulang?", hilir mudik bayang sesal itu terus menari-nari. Berkali-kali ditepis, berkali-kali pula ia mengganggu. Berat memang.
Selepas ashar nyaris runtuh keyakinan saya bahwa Allah akan mengganti setiap infak yang kita keluarkan dengan yang lebih besar. Walau buru-buru saya kesampingkan pikiran itu dengan satu kalimat, "Mungkin tidak hari ini Dia menggantinya". Saya juga mulai mengira-ngira siapa rekan di kantor yang masih punya sedikit uang untuk saya pinjam.
***
Menjelang jam pulang kantor, seseorang memberi tahu bahwa uang royalti buku saya sudah keluar dan bisa diambil saat itu juga. Maha benar Allah atas semua janji-Nya. Saya yakin, kabar ini akan menambah manis senyum isteri di rumah.
Bayu Gawtama
3 comments:
Keikhlasan memberi seringkali benar-benar diuji manakala kita sedang berada dalam kesempitan. Ini juga untuk menguji sejauh mana kepedulian kita thd sesama. Banyak pelejaran yg saya petik ttg hal ini, terutama ketika menonton acara TOLOOONG di tv. Yang tergerak menolong kebanyakan adalah mereka yg juga uangnya pas2an. Semoga Pak Bayu...dan orang2 itu..istiqomah dlm keikhlasan membantu sesama. amiin.
Happens to me Gaw..many times..mengajarkan gue untuk percaya pada Yang Di Atas.... :) Love your writings, kapan jadi tamu gue di radio? :)
Keikhlasan dari seorang hamba 4JJI akan membawa hambanya makin semakin dekat dan taqwa...semoga aku juga bisa menjadi hamba 4JJI yg sedemikian kaya dlm membelanjakan harta di jalan 4JJI...syukron atas artikel nya...keep in touch to get ridho 4JJI
Post a Comment