Sabtu sore, usai sholat ashar. Hari ketiga Iqna -putri kedua saya- dirawat di rumah sakit karena typus, saya berpamitan kepada Iqna untuk mengantar orang tua ke rumah. Tidak disangka-sangka, ketika saya mencium keningnya tangan lemah Iqna menyambar seraya mengaitkan tangannya ke leher dan tak melepaskannya.
"Abi nggak boleh pergi, dede nggak mau ditinggal..." kalimat itu lemah terucap dari mulut mungilnya.
Saya bilang, "sebentar ya de, mau antar Abah ke rumah. Nanti Abi balik lagi..."
Namun tetap saja kait tangannya tak terlepas, terus melingkar di leher saya. Kali ini dibumbui air matanya yang mengalir bening melintasi pipinya. Saya pun memberi kode ke Abah agar menunggu sejenak. Sebuah buku cerita saya ambil dan membacakannya. Saya pun sempat bersenandung 'nina bobo' sambil mengusap-usap punggungnya. Soal mengusap-usap punggung ini, adalah kesenangannya sejak bayi dan menjadi senjata andalan saya setiap menemaninya tidur. Kalau ibu saya bilang, "itu nurunin abinya".
Tak berapa lama kemudian, Iqna pun tidur. Tetapi lingkar lengannya masih mengait erat di leher saya. Perlahan saya angkat tangan gadis kecil berusia lima tahun itu. Sejenak saya memandangi wajahnya dan selangkah demi langkah meninggalkan kamar rumah sakit.
Sepanjang jalan mengantar orangtua ke rumah -yang hanya sekitar dua puluh menit- hanya wajah 'malaikat kecil' itu yang terus menerus muncul. Tiba-tiba saya jadi merasa takut, gelisah dan resah. Jangan-jangan... Ah, saya tepis segera perasaan itu. Namun seharian itu saya terus menerus merasa takut kehilangannya, terlebih sejak Senin sore panasnya belum juga turun, masih berkisar 38 sampai 38,5 derajat celcius.
Sekembalinya ke rumah sakit, saya ciumi lagi kening si kecil yang sedang terlelap. Dan nyatanya, dada ini terus menerus tak henti bergemuruh. Minggu pagi, gemuruh resah itu mulai reda. Apalagi saya mulai bisa melihat Iqna tersenyum meskipun panasnya belum juga turun. Minggu siang saya semakin tenang karena ia sudah mau makan walau hanya beberapa suap saja.
Siang itu saya pun minta izin keluar untuk makan siang. Segera saya pesan semangkuk mie ayam, plus teh botol di warung sebelahnya. Usai makan, mie pun terbayar dan langsung menuju ke kamar rumah sakit.
Entah apa yang sudah atau bakal terjadi. Sesuatu yang aneh saya rasakan. resah, galau dan ketakutan yang kemarin tibat-tiba muncul kembali. Segera saya naiki anak tangga dan memasuki kamar tempat Iqna dirawat. "Alhamdulillah..." ia terlihat biasa-biasa saja meskipun masih lemah. Tetapi kenapa saya masih merasa resah?
Akhirnya saya mencoba menghilangkannya dengan berwudhu dan membaca beberapa ayat suci Al Quran untuk menenangkan diri. Setengah jam berlalu, keresahan justru makin menjadi. Namun seketika, "Ya Allah..." saya setengah berteriak. Pantas saja saya terus menerus merasa resah. Saya pun bergegas ke luar rumah sakit dan menemui ibu penjual teh botol.
"Maaf bu, tadi saya lupa membayar teh botol. Sekali lagi maaf, saya sangat lupa dan tidak sengaja melupakannya. Mohon dimaafkan..." saya malu sekali.
"Iya pak, tidak apa-apa" sahutnya.
Saya merasa harus memastikan pemberian maafnya saya dapatkan. Karenanya saya ulangi lagi permintaan maaf itu, "Tolong bu maafkan saya, agar saya merasa tenang".
Akhirnya, "Ya pak, sudah saya maafkan. Saya tahu bapak tidak sengaja..."
Alhamdulillah lega rasanya. Ternyata yang membuat saya resah di hari Minggu itu, hanya uang seharga teh botol. Ya cuma Rp. 2.000,- membuat saya sangat takut dan resah. Terima kasih Ya Allah... (Gaw)
1 comment:
betapa senangnya, hati dibuat resah ketika ada suatu kesalahan. sungguh saya sangat khawatir ketika hati ini sudah tidak lagi dibuat resah oleh yang Maha menguasai hati, dan tidak lagi merasakan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah sebuah kesalahan.
ketika hati menjadi batu :(
Post a Comment