Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, September 20, 2007

[Peduli Bengkulu] Balada Lampu Cogok

Anasia (65 tahun), salah seorang warga Dusun Raja, Kecamatan Lais, Bengkulu Utara menuturkan kejadian gempa yang mengguncang dusunnya pada Rabu (12/9) selepas adzan maghrib. Ketika itu, ia tengah berada di rumahnya bersama suaminya, Sapri, dan kedua anaknya.

“tiba-tiba rumah bergetar, kami langsung berlari ke halaman rumah. Belum jauh kami ke halaman, rumah kami sudah roboh,” tuturnya.

Beruntung Anasia, Sapri dan kedua anaknya sudah terlebih dulu keluar rumah. Sebab jika melihat kondisi rumahnya saat ini yang sudah rata dengan tanah, ceritanya akan berbeda jika mereka tak segera keluar rumah. “mungkin kami sudah tidak ada, kejadiannya sangat cepat,” tambah Anasia.

Sejak Rabu malam, ia beserta suami dan kedua anaknya mendirikan tenda dengan terpal yang dimiliknya untuk sekadar berteduh. Sapri, sang suami menceritakan, sejak Rabu malam itu, mereka tidur berempat di tenda terpal berukuran 3 x 2 meter tanpa penutup sisi. Sehingga angin laut yang berada di belakang rumahnya begitu mudah menerobos setiap celah tenda. “Dingin pak, saya jadi sakit-sakitan. Apalagi makan pun seadanya…” terang Sapri.

Dusun Raja, Kecamatan Lais, Bengkulu Utara, merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak cukup parah akibat guncangan gempa Rabu lalu. Semenjak gempa hingga Selasa (18/9), jaringan listrik belum tersambung, sehingga seluruh pengungsi hidup dalam kegelapan.

Sore menjelang maghrib itu, Sapri memperlihatkan lampu cogok (di jawa lebih dikenal dengan lampu sentir), sebuah alat penerangan berbahan bakar minyak dengan satu sumbu kecil menyembul di atasnya. “Ini lampu kami, kami menyebutnya lampu cogok,” kata Sapri.

Semula kami menganggap bahwa kondisi tersebut wajar mengingat semua jaringan listrik di dusun tersebut memang belum tersambung. Namun ternyata, selama belasan tahun sebelum gempa pun keluarga Sapri memang hidup dalam kegelapan. “Kami orang miskin, tidak punya uang untuk membayar listrik. Jadi ya hanya lampu cogok inilah penerangan rumah kami…” mata Anasia berlinang.

“Sekarang, kami tidak lagi punya rumah. Satu-satunya rumah kami walaupun kecil sudah rata dengan tanah. Tidak tahu apakah nanti kami bisa punya rumah lagi atau tidak,” Anasia nampak sudah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Sapri pun menutup obrolan kami dengan kalimat yang meruntuhkan hati, “lampu cogok inilah yang masih kami punya. Sebelum dan sesudah gempa, tetap kami pakai lampu ini.” (gaw/bengkulu utara)

No comments: